This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Tuesday, 24 June 2014

Di Balik Gemerlap Podium


02 Januari 2006 - 01:29   (Diposting oleh: redaksi)

Cerpen Karya Arnette Harjanto

Cahaya spot light yang menyala terang jatuh tepat di wajahku. Di sampingku duduk seorang renta. Namun, sorot matanya memancarkan kepribadian yang kuat - bila tidak mau disebut keras kepala. Senyumnyapun terkembang, membuat wajahnya berseri-seri. Orang tua itu adalah bapakku, bapak yang menghilang dari kehidupan kami selama 14 tahun, yang membuat aku, ibu, dan keenam saudaraku membanting tulang mencari sesuap nasi.
Kini orang tua itu telah kembali. Dan di sinilah kami saat ini berada - aku, bapak, dan ibu – di Denmark, di bawah sorotan lampu-lampu besar, di bawah tatapan berpasang-pasang mata kagum. Dinding Ballroom tempat kami berada dihiasi lukisan-lukisan bapak yang berhasil disembunyikan pada masa Orde Lama. Malam ini bapak akan menerima penghargaan dari Denmark, penghargaan yang tak pernah diberikan ibu pertiwi.

Tukang Jahit


Cerpen: Aris Kurniawan 

Sumber: Pikiran Rakyat,  Edisi 10/29/2005  Post:  10/31/2005 Disimak: 157 kali

DENDAM yang sekian lama kupendam-pendam, tak lama lagi agaknya bakal terlunaskan. Aku telah menyelesaikan halaman terakhir ceritaku. Sungguh perjuangan yang tidak ringan untuk sampai di halaman terakhir. Harus melewati malam-malam penuh penderitaan. Akan langsung kutonjok mukanya bila ia mengatakan bahwa aku hanya seorang tukang jahit; tidak punya ide orisinal dan hanya menjahit cerita-cerita yang ditulis pengarang lain. Ia harus mengakui tak ada pengarang lain yang pernah menggarap cerita yang kutulis kali ini. Aku bertekad benar-benar menggampar mukanya, kalau perlu meludahinya sekalian, bila dia masih berani mengejek karangan ini. Kurasa tak perlu lagi mempertimbangkan perkawanan kami.

Sumirah


Cerpen: Aris Kurniawan 

Sumber: Suara Karya,  Edisi 02/05/2006 Post:  02/06/2006 Disimak: 107 kali


Sumirah memasukkan beberapa potong pakaian yang dianggapnya masih bagus ke dalam tas, bersama lipstik, sisir, jepit rambut, cermin kecil, handbody dan sebuah tetris yang ia beli untuk adiknya. Kalung emas pemberian Tuan dan uang gaji tiga bulan ia simpan dalam dompet yang diselipkan di kantong celana.
Ia merasa tak perlu membawa serta jam weker mungil berbentuk gajah berwarna merah jambu yang dibelikan Nyonya. Jam weker yang setiap subuh berdering membangunkanya. Sumirah sebetulnya menyukai bentuknya yang lucu. Tapi benci jika ingat bunyinya yang sangat nyaring membuat jantungnya berdebar keras seperti mau pecah. Sumirah pernah hampir membantingnya seandainya tak ingat Nyonya yang menyetelnya demikian. Nyonya memang keterlaluan. Padahal tanpa dibunyikan pun Sumirah bisa bangun tepat waktu. Sejenak ia meraba perutnya, ia merasakan ada yang bergerak-gerak di sana.

Sebuah Jalan



Cerita Aris Kurniawan
 TUESDAY, AUGUST 30, 2005


Jalanan sepi dan basah, kawan. Tetapi, lampu-lampu jalanan kiranya masih menyala kala itu, sehingga paras pucat perempuan itu sempat tertangkap meski tidak terlalu jelas lantaran cahaya lampu terhalang ranting akasia. Hujan sudah selesai, tetapi udara tentu saja sangat dingin. Tanpa hujan pun udara malam tetap dingin, bukan? Maafkan kalau aku kelihatan sok tahu, kawan. Kau tentu boleh tak setuju dengan bermacam ungkapan atau perumpamaan yang kubuat dalam menceritakan semua ini.

Ia meletakkan bokongnya di bangku halte dengan cemas yang deras menggerayangi perasaannya. Jemari tangannya yang lentik terawat meremas-remas sapu tangan basah yang digunakan untuk menyeka wajah dan rambutnya. Sebuah tas kecil terbuat dari kulit berwarna coklat talinya masih nyangkol di bahu, dikempit ketiaknya. Kopor hitam didekap kedua lututnya yang gemetar. Cahaya temaram menyembunyikan tubuhnya yang menggigil dibungkus jaket dan kaus hitam ketat. Kecemasan makin deras, sukar dibendung. Ia sering mengalami kecemasan. Tapi kali ini baru dialami sepanjang hidupnya.

Perempuan di Bangku Halte


Post:  03/21/2006 Disimak: 5 kali
Cerpen: Aris Kurniawan 
Sumber: Lampung post,  Edisi 03/19/2006 

JALANAN sepi dan basah, kawan. Tetapi, lampu-lampu jalanan kiranya masih menyala kala itu, sehingga paras pucat perempuan itu sempat tertangkap meski tidak terlalu jelas lantaran cahaya lampu terhalang ranting akasia. Hujan sudah selesai, tetapi udara tentu saja sangat dingin. Tanpa hujan pun udara malam tetap dingin, bukan? Maafkan kalau aku kelihatan sok tahu, kawan. Kau tentu boleh tak setuju dengan bermacam ungkapan atau perumpamaan yang kubuat dalam menceritakaan semua ini.

Penantian Karmin




Cerpen: Aris Kurniawan 

Sumber: Suara Pembaruan,  Edisi 10/30/2005  Post:  10/31/2005 Disimak: 181 kali

Karmin duduk di tunggul pohon kelapa itu. Malam baru saja rampung. Fajar yang cemerlang telah merobek kelam di ufuk timur. Permukaan lautan bagai cermin raksasa yang bergoyang-goyang. Karmin duduk mencangkung, matanya menatap cakrawala yang telah bertemu dengan lautan di ujung sana. Di kejauhan perahu-perahu tampak timbul tenggelam bagai perahu mainan Karmin dulu.
Perlahan-lahan matahari muncul dengan kemilau cahayanya menyilaukan. Melihat matahari itu Karmin selalu teringat Sumirah yang tengah dinantinya. Sumirah selalu ngomong, "Bila matahri muncul, itu tandanya kamu harus berkemas menjemputku.

Nokturno



Sunday, May 02, 2004 
Cerpen Aris Kurniawan

Setelah menghunjamkan belati ke jantung laki-laki itu menatap dengan mata kosong saat dia mengerjat meregang nyawa, perempuan itu menyeret dan membuang mayatnya begitu saja ke dalam semak-semak belakang rumah. Beberapa saat ia menatap tubuh kaku itu tersungkur memeluk belukar. Tubuh yang semalam lalu masih memberinya kehangatan. Perempuan itu kemudian buru-buru melucuti seluruh pakaiannya setelah mengepel ceceran darah di lantai, lantas mandi merendam tubuhnya dengan air hangat dalam bathtub. Hujan masih rintik-rintik menimpa genting dan daun-daun, suaranya terdengar bagai orkes malam yang menggores perasaan. Ia menikmatinya sambil meresapi sensasi kehangatan yang menjalari saraf-saraf sekujur tubuhnya sampai merem melek.