Sunday, 22 June 2014

Bulan di atas Teluk Ambon



Oleh: Adrian Faletehan

Gelap turun di Halong dan tirai lembayung di langit barat tak tampak lagi. Dermaga makin sepi sejak KM Tatamailau bertolak menuju Sorong. Nyala lampu-lampu di seberang teluk Ambon Baguala tampak seperti kunang-kunang. Penduduk Poka dan Rumah Tiga yang masih tinggal, kutahu, malam ini tak akan tidur nyenyak setelah kerusuhan kembali pecah dua pekan lalu.
Patok beton tempat mengikatkan tali kapal mulai terasa dingin di pantatku. Udara kemarau kali ini terasa lebih menusuk. Kuangkat ujung leher jaketku sampai menyentuh telinga. Lalu kutarik kepalaku hingga kedua telingaku terlindung oleh leher jaket. Sekilas, mungkin aku akan terlihat seperti penyu atau kura-kura yang ingin menyembunyikan kepala ke dalam tempurung tubuhnya.

"Brrrphh….," gumamku seolah kehilangan kosa kata. Mulutku terasa asam sejak rokok terakhir kubuang puntungnya sejam yang lalu. Tangan Sandrina terulur ke arahku dengan sebungkus kretek. Kuambil sebatang dan kunyalakan dengan geretan yang selalu ada di kantung jaketku. Sekilas mataku menyapu wajahnya. Cahaya lampu merkuri dari pangkalan angkatan laut hanya menerangi bagian belakang kepalanya. Helai-helai rambutnya yang berombak sebahu, tampak berpendar-pendar oleh cahaya. Wajahnya, seperti setengah bagian bulan yang terlindung dari matahari.
Aku tahu, ia sengaja memalingkan wajah dari sorotan lampu itu agar rautnya tak terbaca olehku. Aku juga tahu, sejak sejam lalu ia berusaha keras menahan bulir-bulir air itu meluncur jatuh dari pelupuk matanya. Diambilnya sebatang rokok kretek dari bungkusnya. Tapi, ia menolak ketika tanganku terulur dengan geretan menyala. Ia memilih mengambil korek api dari tas punggung yang tergeletak di dekat kakinya. Ia tetap diam. Kami sama-sama diam. Hanya riak-riak ombak dan suara cengkih dari rokok tang terbakar yang terdengar.
"San..," kataku memecah kebisuan. Kugamit tangannya agar berdiri mendekat. Ia menurut saja ketika kupeluk pinggangnya dari belakang. Punggungnya dingin, terasa di kulit wajahku. Ada gigil terasa pada telapak tangan kanannya yang kugenggaman. Jemarinya lunglai, tidak seperti biasanya.
"Kamu menyesal?" tanyanya mengejutkanku. Suaranya datar, pertanda ia telah berhasil mengendalikan perasaannya. Aku tak segera menjawab. Kuhisap rokokku dalam satu tarikan panjang. Kubuang asap melalui mulutku, membentuk lingkaran yang sekejap kemudian musnah tertiup angin. Rokok yang sudah separuh terbakar kujatuhkan ke lantai dermaga, lalu kuinjak dengan sepatuku. Kutempelkan wajahku pada punggungnya. Pinggangnya kupeluk erat hingga kurasakan ada hangat yang menjalar di tubuhnya. "Kamu menyesali cinta kita?" ia mengulang pertanyaannya.
Kalimat yang tak pernah kuharapkan keluar dari mulutnya sejak terakhir kali kami bercinta dengan penuh gairah, akhir tahun lalu. Sebelum pulau ini dicabik-cabik oleh kerusuhan di awal tahun. Konflik horisontal, konflik agama dan rasial, itu omongan orang yang sempat kubaca di koran-koran. Lalu kami terpisah oleh keadaan. Ia terikat oleh pekerjaannya di Paso. Aku sendiri tak bisa meninggalkan orang-orang malang yang lari dari kampungnya ke Batumerah, Al Fatah dan Kantor Transmigrasi.
Sebenarnyalah kami tak pernah benar-benar terpisah. Sesekali kami masih saling bicara kalau sinyal telepon seluler kami tidak terganggu. Tapi, tidak ada satupun tema pembicaraan kami menyangkut hal-hal pribadi. Tak ada waktu untuk itu. Juga rasanya tak pantas. Paling hanya saling menanyakan kesehatan masing-masing. Selebihnya adalah soal pengungsi, daerah-daerah rawan yang mungkin mengancam keselamatan kami masing-masing. Kami saling menjaga dengan cara itu.
Sampai akhirnya kami bertemu di Halong. Di antara tenda-tenda pengungsi, peralatan medis, catatan-catatan investigasi, dan buku-buku yang sempat diselamatkan sebelum sekretariat kami diserbu orang yang datang entah dari mana. Setelah beberapa hari, baru sore tadi kami punya kesempatan untuk bicara tentang diri kami sendiri. Setelah beberapa sisa pekerjaan tanggunganku kuserahkan ke Cok Lawalata dan Bram Kaplale.
"Adakah yang harus kita sesali?" kataku balik bertanya tanpa mengharap jawaban. "Bukan salah siapapun kalau kita memiliki keyakinan yang berbeda...," aku menyambung. Sedetik kemudian ia memutar tubuhnya. Dibenamkannya wajahku di antara belahan dadanya. Kurasakan ada cairan hangat jatuh merambat di keningku ketika Sandrina menunduk mencium ubun-ubunku. Dalam diam, ia menangis dan kedua lengannya makin kuat membenamkan kepalaku ke dadanya. Pada situasi normal, pelukan seperti ini biasanya menjadi awal kami bercinta. Sekarang, tidak.
Dalam situasi bergolak seperti ini, kami tak pernah lagi bercinta. Berpikir tentang itupun tidak. Wajah-wajah malang para pengungsi yang tak berdosa membuat berahi kami kuncup. Terlebih lagi ketakutan dan ancaman itu. Bahkan andaipun kami tidak saling terpisah. T-shirt bertulis ale rasa beta rasa(1) tak akan menyelamatkan kami berdua. Jika berada di lingkungan Acang(2), Sandrina sangat mungkin akan celaka. Sebaliknya di lingkungan Obet(3), aku yang akan mendapat petaka. Barangkali hanya di antara kawan-kawan di lingkungan kerja kami, rasa aman itu terasa.
Pernah kami berencana meninggalkan pulau ini. Mungkin ke Yogya, atau Jakarta. Di dua kota itu, banyak hal bisa kami kerjakan sekadar untuk bertahan hidup. Di sini? Rumah kecil kontrakan tempat tinggal kami di Waylela, sudah rata dengan tanah. Itu kabar yang dibawa Marlon kepadaku. Siapa yang membakarnya, kami tidak tahu. Mereka datang menyerbu saat kakiku terpasak di Batumerah, sementara Sandrina tidak bisa keluar dari Paso sejak ia menengok keluarganya di sana. "Rumah itu benar-benar sudah hancur," tutur Sandrina dengan mata berkaca-kaca, saat pertama kami bertemu di Halong. Ia melihatnya dalam perjalanan Paso-Halong.
Rumah ayahku di Hitulama, mungkin hanya aman untukku. Itupun kalau aku bisa selamat sampai ke sana. Bagi Sandrina, rasa aman bersama keluargaku di sana kini sudah jadi masa lalu. Seperti halnya rasa aman bagiku jika ada di rumah Om Ongen di Paso. Ngeri benar aku membayangkan ada dalam perjalanan menuju rumah itu, ketika kelewang, tombak, senapang rakitan dan panah teracu penuh curiga kepada siapapun yang disangka Acang. Kengerian yang itu juga yang dirasakan Sandrina jika ia pergi ke rumah ayahku.
Membayangkan saat-saat damai, ketika kami berdua ada di antara ayah dan ibu di Hitu Lama, atau saat kami berada di samping Om Ongen sambil mendengarkan nyanyian Tante Ruth diiringi organ Peter, tanpa terasa mataku berkaca-kaca. Dan cairan hangat itu menitik dari mataku. Lalu jatuh ke lantai dermaga. Tanpa suara. Tapi aku tahu benar, tetesan itu memercikkan ribuan titik-titik air berskala mikro. Tercerai-berai. Persis benar dengan harapan kami terhadap sebuah rumah kecil dengan tawa anak-anak yang ceria.
Satu atau dua dari mereka, mungkin akan memiliki pupil mata coklat seperti aku, atau alis yang bagus seperti milik Sandrina. Salah satu dari mereka, mungkin akan memiliki bakat musikal keluarga Om Ongen yang begitu membekas di Gereja Maranatha di Kota Ambon. Tapi, bukan tidak mungkin anak-anak kami akan menjadi juara tilawah Al Qur'an sebagaimana kakak dan adik perempuanku. Ah, seringkali kami berdua membayangkan kemungkinan-kemungkinan itu dengan sangat optimistik. "Dur, biarlah nanti anak-anak kita sendiri yang memutuskan akan jadi apa?" begitu kata Sandrina setiap kali kami bicara tentang rencana membesarkan anak-anak. Dan aku selalu mengiyakan.
"Dur, San! Kalian mau ikut patroli, nggak?" Lamunanku buyar. Mas Pur, prajurit angkatan laut asal Surabaya, memanggil-manggil dari speed boat yang diparkir di dekat gudang perlengkapan, tempat aku dan kawan-kawan relawan lainnya biasa numpang tidur. Logat Jawanya sangat kentara. Maklum, ia lahir dan tumbuh besar di Surabaya sebelum menjadi marinir. "Tidak, Mas! Matur nuwun!(4)" jawabku berteriak dalam bahasa Jawa yang baru aku pelajari beberapa waktu lalu.
Pada saat seperti malam ini, tidak ada yang lebih berharga bagi kami kecuali menghabiskan waktu dalam suasana yang sangat pribadi. Setelah terpisah dengan cara yang menyakitkan, ingin benar rasanya menguasai malam ini hanya untuk kami berdua. Bahkan andaipun yang bisa kami bagi saat ini hanyalah kesedihan.
Di bawah dermaga, suara riak-riak yang membentur tiang-tiang beton penyangga membentuk musik alam yang ritmis. Sedang dari lapangan voli di balik gudang perlengkapan, kudengar anak-anak muda bernyanyi-nyanyi. "..mari katong badansa rame-rame.."(5) Menari? Di pengungsian? Ah, mereka pasti hanya ingin melepaskan ketegangan, tanpa benar-benar ingin menari. Speed boat Mas Pur kulihat meluncur cepat di bawah bulan, membelah permukaan Teluk Ambon. Buih-buih di belakangnya yang terbentuk akibat putaran propeler penggeraknya, terlihat samar, lalu hilang.
Kami masih berpelukan. Kubiarkan dua tangan Sandrina menyusup ke belakang punggungku, mencari kehangatan di balik jaketku. Kepalanya kini jatuh di dadaku. Angin memainkan beberapa helai rambutnya hingga menyentuh wajahku. Ah, sentuhan kecil ini menyadarkan aku; betapa aku merindukannya! Udara terasa basah. Dingin mulai menembus jaketku. Pelukan kami makin erat. Tanpa bicara. Kami hanya ingin berpelukan. Membebaskan rindu. Menghabiskan kesempatan selagi ada.
Besok-besok, kerusuhan mungkin akan reda. Pekerjaan akan berkurang dengan sendirinya. Tapi trauma dan luka setelah konflik ini begitu menakutkan bagi kami. Acang mungkin tidak akan lagi mau bertetangga dengan Obet. Begitu juga sebaliknya. Acang akan membedakan dirinya dari Obet seperti minyak tanah menyingkirkan air. Obet, mungkin akan menjauhkan Acang seperti daun talas memainkan embun. Bagaimana kami bisa bertahan dalam kehidupan seperti itu? Aku pasti tak akan kuat kehilangan suasana akrab di ruang tengah rumah Om Ongen. Suara merdu tante Ruth. Permainan organ Peter. Aku takut membayangkan tidak lagi bisa melihat ibu mengelus-elus kepala istriku. Juga, senyum puas Sandrina setelah merapikan jilbab adikku yang memang suka mengenakannya sembarangan.
Di gerbang Pangkalan Halong, prajurit jaga membuka portal untuk mobil MSF(6) yang baru pulang. Anak-anak muda di lapangan voli sudah berhenti bernyanyi. Bulan tepat ada di atas kepala. Malam sudah larut. Kami masih berpelukan.

wedomartani, 28 juli 2004

1.  Bahasa Ambon: Kamu rasakan, aku juga rasakan. Ini adalah kredo yang dipakai oleh kawan-kawan yang mengupayakan rekonsiliasi dan penghentian konflik di Ambon pada tahun 1999.
2.  Diambil dari nama muslim di Ambon, Hasan, adalah sebutan untuk siapapun yang beragama Islam.
3.  Diambil dari nama nasrani Robert, merujuk kapada siapapun yang beragama Nasrani di Ambon. Seperti halnya Acang, Obet adalah cara komunitas nasrani dan muslim di Ambon untuk membedakan antara "kita" dan "mereka". Cara identifikasi kelompok sosial semacam ini mulai muncul dan sangat populer sejak konflik yang melibatkan berbagai
sentimen; politik, ekonomi, ras dan terutama agama, pecah di Ambon pada awal tahun 1999. Cara identifikasi semacam itu lebih tendensius karena sebenarnya komunitas muslim dan nasrani di Ambon biasanya juga bisa dikenali dari sapaan antar mereka sendiri. Di komunitas muslim, biasanya dipakai sapaan bang atau abang untuk kawan laki-laki dan caca untuk kawan perempuan. Sedangkan di komunitas nasrani, biasanya dipakai sapaan bu atau bung untuk kawan laki-laki dan usi untuk kawan perempuan.
4.  Bahasa Jawa yang berarti, "Terima kasih."
5.  Bahasa Maluku artinya, "mari kita menari/berdansa bersama-sama.." adalah satu baris dari Rame-rame, sebuah lagu pergaulan yang sangat populer di Maluku, terutama Ambon. Lagu ini juga dinyanyikan dalam sebuah album penyanyi pop/jazz Utha Likumahuwa pada pertengahan tahun 80-an.
6.       Médecins sans Frontier (Doctors without Border), sebuah NGO internasional yang berpusat di Belgia. Mereka bekerja untuk mengatasi berbagai persoalan medis, terutama di daerah-daerah konflik. Pada tahun 2001, NGO ini mendapatkan Nobel Perdamaian.

0 comments:

Post a Comment