Oleh:
Adrian Faletehan
Gelap turun di Halong dan tirai lembayung di langit
barat tak tampak lagi. Dermaga makin sepi sejak KM Tatamailau bertolak menuju
Sorong. Nyala lampu-lampu di seberang teluk Ambon Baguala tampak seperti kunang-kunang.
Penduduk Poka dan Rumah Tiga yang masih tinggal, kutahu, malam ini tak akan
tidur nyenyak setelah kerusuhan kembali pecah dua pekan lalu.
Patok beton tempat mengikatkan tali kapal mulai terasa
dingin di pantatku. Udara kemarau kali ini terasa lebih menusuk. Kuangkat ujung
leher jaketku sampai menyentuh telinga. Lalu kutarik kepalaku hingga kedua
telingaku terlindung oleh leher jaket. Sekilas, mungkin aku akan terlihat
seperti penyu atau kura-kura yang ingin menyembunyikan kepala ke dalam tempurung
tubuhnya.
"Brrrphh….," gumamku seolah kehilangan kosa
kata. Mulutku terasa asam sejak rokok terakhir kubuang puntungnya sejam yang
lalu. Tangan Sandrina terulur ke arahku dengan sebungkus kretek. Kuambil
sebatang dan kunyalakan dengan geretan yang selalu ada di kantung jaketku.
Sekilas mataku menyapu wajahnya. Cahaya lampu merkuri dari pangkalan angkatan
laut hanya menerangi bagian belakang kepalanya. Helai-helai rambutnya yang
berombak sebahu, tampak berpendar-pendar oleh cahaya. Wajahnya, seperti setengah
bagian bulan yang terlindung dari matahari.
Aku tahu, ia sengaja memalingkan wajah dari sorotan
lampu itu agar rautnya tak terbaca olehku. Aku juga tahu, sejak sejam lalu ia
berusaha keras menahan bulir-bulir air itu meluncur jatuh dari pelupuk matanya.
Diambilnya sebatang rokok kretek dari bungkusnya. Tapi, ia menolak ketika
tanganku terulur dengan geretan menyala. Ia memilih mengambil korek api dari
tas punggung yang tergeletak di dekat kakinya. Ia tetap diam. Kami sama-sama
diam. Hanya riak-riak ombak dan suara cengkih dari rokok tang terbakar yang
terdengar.
"San..," kataku memecah kebisuan. Kugamit
tangannya agar berdiri mendekat. Ia menurut saja ketika kupeluk pinggangnya
dari belakang. Punggungnya dingin, terasa di kulit wajahku. Ada gigil terasa pada telapak tangan kanannya
yang kugenggaman. Jemarinya lunglai, tidak seperti biasanya.
"Kamu menyesal?" tanyanya mengejutkanku.
Suaranya datar, pertanda ia telah berhasil mengendalikan perasaannya. Aku tak
segera menjawab. Kuhisap rokokku dalam satu tarikan panjang. Kubuang asap
melalui mulutku, membentuk lingkaran yang sekejap kemudian musnah tertiup
angin. Rokok yang sudah separuh terbakar kujatuhkan ke lantai dermaga, lalu
kuinjak dengan sepatuku. Kutempelkan wajahku pada punggungnya. Pinggangnya kupeluk
erat hingga kurasakan ada hangat yang menjalar di tubuhnya. "Kamu
menyesali cinta kita?" ia mengulang pertanyaannya.
Kalimat yang tak pernah kuharapkan keluar dari
mulutnya sejak terakhir kali kami bercinta dengan penuh gairah, akhir tahun
lalu. Sebelum pulau ini dicabik-cabik oleh kerusuhan di awal tahun. Konflik
horisontal, konflik agama dan rasial, itu omongan orang yang sempat kubaca di
koran-koran. Lalu kami terpisah oleh keadaan. Ia terikat oleh pekerjaannya di
Paso. Aku sendiri tak bisa meninggalkan orang-orang malang yang lari dari kampungnya ke
Batumerah, Al Fatah dan Kantor Transmigrasi.
Sebenarnyalah kami tak pernah benar-benar terpisah.
Sesekali kami masih saling bicara kalau sinyal telepon seluler kami tidak
terganggu. Tapi, tidak ada satupun tema pembicaraan kami menyangkut hal-hal
pribadi. Tak ada waktu untuk itu. Juga rasanya tak pantas. Paling hanya saling
menanyakan kesehatan masing-masing. Selebihnya adalah soal pengungsi,
daerah-daerah rawan yang mungkin mengancam keselamatan kami masing-masing. Kami
saling menjaga dengan cara itu.
Sampai akhirnya kami bertemu di Halong. Di antara
tenda-tenda pengungsi, peralatan medis, catatan-catatan investigasi, dan
buku-buku yang sempat diselamatkan sebelum sekretariat kami diserbu orang yang
datang entah dari mana. Setelah beberapa hari, baru sore tadi kami punya
kesempatan untuk bicara tentang diri kami sendiri. Setelah beberapa sisa
pekerjaan tanggunganku kuserahkan ke Cok Lawalata dan Bram Kaplale.
"Adakah yang harus kita sesali?" kataku
balik bertanya tanpa mengharap jawaban. "Bukan salah siapapun kalau kita
memiliki keyakinan yang berbeda...," aku menyambung. Sedetik kemudian ia
memutar tubuhnya. Dibenamkannya wajahku di antara belahan dadanya. Kurasakan
ada cairan hangat jatuh merambat di keningku ketika Sandrina menunduk mencium
ubun-ubunku. Dalam diam, ia menangis dan kedua lengannya makin kuat membenamkan
kepalaku ke dadanya. Pada situasi normal, pelukan seperti ini biasanya menjadi
awal kami bercinta. Sekarang, tidak.
Dalam situasi bergolak seperti ini, kami tak pernah
lagi bercinta. Berpikir tentang itupun tidak. Wajah-wajah malang para pengungsi yang tak berdosa
membuat berahi kami kuncup. Terlebih lagi ketakutan dan ancaman itu. Bahkan
andaipun kami tidak saling terpisah. T-shirt bertulis ale rasa beta rasa(1) tak
akan menyelamatkan kami berdua. Jika berada di lingkungan Acang(2), Sandrina
sangat mungkin akan celaka. Sebaliknya di lingkungan Obet(3), aku yang akan
mendapat petaka. Barangkali hanya di antara kawan-kawan di lingkungan kerja kami,
rasa aman itu terasa.
Pernah kami berencana meninggalkan pulau ini. Mungkin
ke Yogya, atau Jakarta.
Di dua kota
itu, banyak hal bisa kami kerjakan sekadar untuk bertahan hidup. Di sini? Rumah
kecil kontrakan tempat tinggal kami di Waylela, sudah rata dengan tanah. Itu
kabar yang dibawa Marlon kepadaku. Siapa yang membakarnya, kami tidak tahu.
Mereka datang menyerbu saat kakiku terpasak di Batumerah, sementara Sandrina
tidak bisa keluar dari Paso sejak ia menengok keluarganya di sana. "Rumah itu benar-benar sudah
hancur," tutur Sandrina dengan mata berkaca-kaca, saat pertama kami
bertemu di Halong. Ia melihatnya dalam perjalanan Paso-Halong.
Rumah ayahku di Hitulama, mungkin hanya aman untukku.
Itupun kalau aku bisa selamat sampai ke sana.
Bagi Sandrina, rasa aman bersama keluargaku di sana kini sudah jadi masa lalu. Seperti
halnya rasa aman bagiku jika ada di rumah Om Ongen di Paso. Ngeri benar aku
membayangkan ada dalam perjalanan menuju rumah itu, ketika kelewang, tombak,
senapang rakitan dan panah teracu penuh curiga kepada siapapun yang disangka
Acang. Kengerian yang itu juga yang dirasakan Sandrina jika ia pergi ke rumah
ayahku.
Membayangkan saat-saat damai, ketika kami berdua ada
di antara ayah dan ibu di Hitu Lama, atau saat kami berada di samping Om Ongen
sambil mendengarkan nyanyian Tante Ruth diiringi organ Peter, tanpa terasa
mataku berkaca-kaca. Dan cairan hangat itu menitik dari mataku. Lalu jatuh ke
lantai dermaga. Tanpa suara. Tapi aku tahu benar, tetesan itu memercikkan
ribuan titik-titik air berskala mikro. Tercerai-berai. Persis benar dengan
harapan kami terhadap sebuah rumah kecil dengan tawa anak-anak yang ceria.
Satu atau dua dari mereka, mungkin akan memiliki pupil
mata coklat seperti aku, atau alis yang bagus seperti milik Sandrina. Salah
satu dari mereka, mungkin akan memiliki bakat musikal keluarga Om Ongen yang
begitu membekas di Gereja Maranatha di Kota Ambon.
Tapi, bukan tidak mungkin anak-anak kami akan menjadi juara tilawah Al Qur'an
sebagaimana kakak dan adik perempuanku. Ah, seringkali kami berdua membayangkan
kemungkinan-kemungkinan itu dengan sangat optimistik. "Dur, biarlah nanti
anak-anak kita sendiri yang memutuskan akan jadi apa?" begitu kata
Sandrina setiap kali kami bicara tentang rencana membesarkan anak-anak. Dan aku
selalu mengiyakan.
"Dur, San! Kalian mau ikut patroli, nggak?"
Lamunanku buyar. Mas Pur, prajurit angkatan laut asal Surabaya, memanggil-manggil dari speed boat
yang diparkir di dekat gudang perlengkapan, tempat aku dan kawan-kawan relawan
lainnya biasa numpang tidur. Logat Jawanya sangat kentara. Maklum, ia lahir dan
tumbuh besar di Surabaya
sebelum menjadi marinir. "Tidak, Mas! Matur nuwun!(4)" jawabku
berteriak dalam bahasa Jawa yang baru aku pelajari beberapa waktu lalu.
Pada saat seperti malam ini, tidak ada yang lebih
berharga bagi kami kecuali menghabiskan waktu dalam suasana yang sangat
pribadi. Setelah terpisah dengan cara yang menyakitkan, ingin benar rasanya
menguasai malam ini hanya untuk kami berdua. Bahkan andaipun yang bisa kami
bagi saat ini hanyalah kesedihan.
Di bawah dermaga, suara riak-riak yang membentur
tiang-tiang beton penyangga membentuk musik alam yang ritmis. Sedang dari
lapangan voli di balik gudang perlengkapan, kudengar anak-anak muda
bernyanyi-nyanyi. "..mari katong badansa rame-rame.."(5) Menari? Di
pengungsian? Ah, mereka pasti hanya ingin melepaskan ketegangan, tanpa
benar-benar ingin menari. Speed boat Mas Pur kulihat meluncur cepat di bawah
bulan, membelah permukaan Teluk Ambon. Buih-buih di belakangnya yang terbentuk
akibat putaran propeler penggeraknya, terlihat samar, lalu hilang.
Kami masih berpelukan. Kubiarkan dua tangan Sandrina
menyusup ke belakang punggungku, mencari kehangatan di balik jaketku. Kepalanya
kini jatuh di dadaku. Angin memainkan beberapa helai rambutnya hingga menyentuh
wajahku. Ah, sentuhan kecil ini menyadarkan aku; betapa aku merindukannya!
Udara terasa basah. Dingin mulai menembus jaketku. Pelukan kami makin erat.
Tanpa bicara. Kami hanya ingin berpelukan. Membebaskan rindu. Menghabiskan
kesempatan selagi ada.
Besok-besok, kerusuhan mungkin akan reda. Pekerjaan
akan berkurang dengan sendirinya. Tapi trauma dan luka setelah konflik ini
begitu menakutkan bagi kami. Acang mungkin tidak akan lagi mau bertetangga
dengan Obet. Begitu juga sebaliknya. Acang akan membedakan dirinya dari Obet
seperti minyak tanah menyingkirkan air. Obet, mungkin akan menjauhkan Acang
seperti daun talas memainkan embun. Bagaimana kami bisa bertahan dalam
kehidupan seperti itu? Aku pasti tak akan kuat kehilangan suasana akrab di
ruang tengah rumah Om Ongen. Suara merdu tante Ruth. Permainan organ Peter. Aku
takut membayangkan tidak lagi bisa melihat ibu mengelus-elus kepala istriku.
Juga, senyum puas Sandrina setelah merapikan jilbab adikku yang memang suka
mengenakannya sembarangan.
Di gerbang Pangkalan Halong, prajurit jaga membuka
portal untuk mobil MSF(6) yang baru pulang. Anak-anak muda di lapangan voli
sudah berhenti bernyanyi. Bulan tepat ada di atas kepala. Malam sudah larut.
Kami masih berpelukan.
wedomartani, 28 juli 2004
1.
Bahasa
Ambon: Kamu rasakan, aku juga rasakan. Ini adalah kredo yang dipakai oleh
kawan-kawan yang mengupayakan rekonsiliasi dan penghentian konflik di Ambon pada tahun 1999.
2.
Diambil
dari nama muslim di Ambon, Hasan, adalah
sebutan untuk siapapun yang beragama Islam.
3.
Diambil
dari nama nasrani Robert, merujuk kapada siapapun yang beragama Nasrani di
Ambon. Seperti halnya Acang, Obet adalah cara komunitas nasrani dan muslim di
Ambon untuk membedakan antara "kita" dan "mereka". Cara
identifikasi kelompok sosial semacam ini mulai muncul dan sangat populer sejak
konflik yang melibatkan berbagai
sentimen; politik, ekonomi, ras dan terutama agama, pecah di Ambon pada awal tahun 1999. Cara identifikasi semacam itu lebih tendensius karena sebenarnya komunitas muslim dan nasrani di Ambon biasanya juga bisa dikenali dari sapaan antar mereka sendiri. Di komunitas muslim, biasanya dipakai sapaan bang atau abang untuk kawan laki-laki dan caca untuk kawan perempuan. Sedangkan di komunitas nasrani, biasanya dipakai sapaan bu atau bung untuk kawan laki-laki dan usi untuk kawan perempuan.
sentimen; politik, ekonomi, ras dan terutama agama, pecah di Ambon pada awal tahun 1999. Cara identifikasi semacam itu lebih tendensius karena sebenarnya komunitas muslim dan nasrani di Ambon biasanya juga bisa dikenali dari sapaan antar mereka sendiri. Di komunitas muslim, biasanya dipakai sapaan bang atau abang untuk kawan laki-laki dan caca untuk kawan perempuan. Sedangkan di komunitas nasrani, biasanya dipakai sapaan bu atau bung untuk kawan laki-laki dan usi untuk kawan perempuan.
4.
Bahasa
Jawa yang berarti, "Terima kasih."
5.
Bahasa
Maluku artinya, "mari kita menari/berdansa bersama-sama.." adalah
satu baris dari Rame-rame, sebuah lagu pergaulan yang sangat populer di Maluku,
terutama Ambon. Lagu ini juga dinyanyikan
dalam sebuah album penyanyi pop/jazz Utha Likumahuwa pada pertengahan tahun
80-an.
6.
Médecins sans
Frontier (Doctors without Border), sebuah NGO internasional yang berpusat di
Belgia. Mereka bekerja untuk mengatasi berbagai persoalan medis, terutama di
daerah-daerah konflik. Pada tahun 2001, NGO ini mendapatkan Nobel Perdamaian.
0 comments:
Post a Comment