Cerpen Arafat Nur
Dimuat di Republika 02/10/2008 Telah Disimak 255 kali
Sayup-sayup terdengar kumandang
azan Ashar dari masjid tua di perkampungan kumuh itu. Suara yang tak punya
fariasi dan menonon terdengar setiap masuk waktu shalat. Suara siapa lagi,
kalau bukan suara Pak Imam masjid itu, yang semua giginya telah tiada. Namun,
tak seorang pendengar pun tergugah atas panggilan shalat itu. Kecuali, dua tiga
orang tua yang menjadi jamaah tetap di sana.
Memang telah demikian keadaan
masyarakat di kampung itu dari waktu ke waktu. Nyaris tak ada perubahan.
Kecuali, bangunannya yang semakin mengkhawatirkan. Dinding papannya sudah lapuk
dimakan rayap. Beberapa papan telah terlepas dari tiang. Atap sengnya pun telah
banyak yang bocor, sehingga tiap kali turun hujan, air menggenangi lantai.
Namun, tak seorang pun peduli, kecuali, Pak Imam tua itu.
Seketika orang-orang dikejutkan
sebuah jeritan histeris dari sebuah rumah gubuk yang tidak berapa jauh dari
masjid tua itu. Jeritan itu tangisan seorang perempuan yang merintih histeris.
Spontana, ibu-ibu tersentak oleh suara itu, lalu meninggalkan kegiatannya dan
berhamburan ke sana.
Tak lama kemudian kerumunan
orang telah memadati pintu rumah Bang Lan. Mereka tampak bengong menyaksikan
peristiwa di depan mata. Kak Minah, isteri Bang Lan, sedang menangis
meronta-ronta sambil menjambak rambutnya sendiri.
Beberapa perempuan
menghampirinya, coba untuk menenangkannya.
"Lho, ada apa? Apa yang
terjadi?" tanya Kak Lela. Yang ditanya terus saja menangis walaupun sudah
sedikit mereda.
"Apa kau dipukul
suamimu?" tanya yang lain.
Kak Minah menggeleng sambil
terus terisak-isak.
"Suamimu ditangkap
polisi?"
Dia tetap menggeleng.
"Lho, jadi kenapa?"
tanya yang lainnya, mulai jengkel.
"Suamiku hilang!"
jawabnya masih terisak.
"Hilang? Hilang ke
mana?"
"Dia pergi enggak
bilang-bilang."
"Lho, bukankah suamimu
kalau pergi memang tak pernah bilang-bilang,"
kata Kak Lela.
"Dia dibawa lari Ina, lonte
itu!" perempuan itu mulai menangis lagi.
Orang-orang mulai paham kejadian
itu. Lelaki yang dipanggil Bang Lan itu memang sering singgah ke rumah
perempuan cantik bernama Ina yang tinggal bersama Bego anak janda Ina yang
lahir tanpa nikah.
Lelaki itu memang pernah
beberapa kali dipergoki orang-orang kampung ketika lagi berduaan. Dan, kabar
itupun cepat sekali tersebar dari mulut-mulut perempuan-perempuan hingga sampai
ke telinga Kak Minah.
"Awas, akan kubunuh lonte
itu!" teriak Kak Minah geram. "Akan kucincang-cincang dagingnya.
Kukasihkan untuk anjing. Dasar lonte tak tahu diri!" "Sudah, sudah!
Ngucap kamu, ngucap, Dik!" sergah Kak Lela.
"Sabar, Sabar. Orang sabar
disayang Tuhan," kata Kak Rabiah yang tak pernah menyentuh sajadah.
Ketika suasana mulai tenang,
orang-orang mulai berpencar. Mereka pulang tanpa pamit. Sementara, Kak Lela dan
Kak Rabiah masih tinggal di sana, menenangkan Kak Minah. Tentu saja dengan
nasehat dan petuah-petuah agama yang menyejukkan walaupun mereka tidak pernah
sembahyang.
Saat itu Bego sedang bermain
mobil-mobilan kaleng susu di halaman rumahnya. Sebenarnya dia bernama Muharram,
tapi karena pembawaannya yang tidak sempurna dan sikapnya yang seperti orang
bodoh, anak-anak sebayanya memanggilnya Bego. Bego memang tidak pernah peduli
dengan panggilannya itu. Sejak kehadirannya di dunia, dia sudah dikucilkan
masyarakat dan anak-anak sebayanya. Sering mendapat cemooh dan gunjingan dari
para tetangga, tapi dia juga tidak peduli, malah membuatnya menjadi anak nakal
dan bandel.
"Hei, Bego!" terdengar
teriakan yang sedikit mengusik keasyikannya bermain. Dia mengalihkan
pandangannya ke arah sumber suara dengan sikap tak peduli.
"Hei, kau lihat
suamiku?" tanya perempuan itu dengan memaksa.
"Mana kutahu. Itu bukan
urusanku!" jawabnya jengkel.
"Hei, anak kecil, sopan
sedikit bicara sama orang tua!" bentak Kak Minah. "Kau tahu, suamiku
dibawa lari makmu?"
"Mana kutahu, itu urusan
mereka!"
Mendengar jawaban itu, Kak Minah
menjadi jengkel dan geram. Ingin rasanya perempuan itu meremukkan kepala botak
anak kecil itu. Tapi Bego tak peduli. Dia kembali asyik dengan
motor-motorannya.
"Kurang ajar! Kau berani
kurang ajar sama orang tua. Dasar anak lonte!" makinya.
Yang dimaki tetap tidak peduli,
seperti tidak mendengarkan apa-apa. Dia terus saja menyetir motor-motorannya.
Sementara, Kak Minah semakin geram melihat ketak-acuhannya. Kak Minah seperti
dipermainkan anak bandel itu.
"Hei, Bego. Tolol. Bloon.
Aku sedang ngomong sama kamu. Dengar enggak?!" bentaknya.
"Siapa yang enggak dengar
suara segede itu. Orang pekak pun pasti dengar," jawabnya masih dengan
sikap tak acuh. "Suamiku dibawa lari makmu, tahu?"
"Memangnya kenapa?"
"Akan kucincang-cincang
makmu. Dagingnya akan kukasih anjing!"
"Ya sudah, cari sana.
Jangan bikin ribut di sini!"
"Kau memang anak kurang
ajar!" Kak Minah melepaskan sandal jepitnya dan melemparkannya ke arah
Bego. Sandal itu mendarat tepat di punggung anak itu. Bego yang masih asyik
dengan mainannya terkejut. Sebelum sandal yang sebelah lagi melayang, anak itu
sudah lari duluan. Tapi, Kak Minah tak peduli. Dikejarnya Bego sambil
mengacungkan sandalnya. Bego terus lari semakin menjauh dari kejaran Kak Minah.
Lantas menghilang entah ke mana. "Dasar anak haram!" makinya geram.
Kak Minah kembali ke rumahnya
dengan perasaan yang teramat kesal. Ketika itu terdengar kembali kumandang
adzan, menandakan telah masuknya shalat Magrib. Suara itu mentrenyuhkan
hatinya. Namun, tak ada yang peduli. Orang-orang terus sibuk dengan pekerjaan
dan dirinya sendiri, seakan tak ada waktu untuk memikirkan Tuhan.
Sampai di rumah, Kak Minah
kembali meronta-ronta, menangis seraya menghujati Ina yang membawa lari
suaminya. Suara itu tak banyak mengundang orang. Yang datang hanya Kak Lela dan
Kak Rabiah saja, tetangga terdekatnya. Mereka kembali lagi menenangkan Kak
Minah.
"Sudahlah, lupakan saja,
Dik," bujuk Kak Rabiah.
"Apa? Lupakan? Mana
bisa!"
"Serahkan saja semuanya
sama Tuhan. Allah pasti akan melemparkannya ke dalam neraka Jahanam!"
"Iya," Kak Lela
menimpali, "Kita semua harus mengingatNya selalu. Ini semua sudah kehendak
Tuhan. Dia hanya menguji keimanan kita. Kita sabar apa enggak."
"Betul," sambung Kak
Rabiah. "Dulu sewaktu suamiku dibawa lari lonte, aku tetap sabar, aku tak
pernah peduli. Mana bisa aku peduli sama lelaki hidung belang. Karena aku sabar
dan selalu mengingat Tuhan, aku mendapat jodoh baru dengan Bang Leman, biarpun
giginya ompong dan mukanya runyam, kan lumayan daripada menjanda terus."
"Apa iya?" tanya Kak
Minah.
"Lha, iya. Yang penting
kita selalu ingat dan mohon petunjuk padaNya. Iman kita akan bertambah,"
sambut Kak Rabiah lagi.
"Apa bisa kita bertambah
iman kalau tidak sembahyang?"
"Lha, yang penting niat.
Niat kita baik. Allah tahu itu," sahut Kak Rabiah. Memang mereka semua
jarang sembahyang, kecuali bulan puasa dan hari raya. Selebihnya sesekali
ketika ada penyambutan parayaan Maulid Nabi dan Israk Mikraj.
Di sebuah lorong sempit yang
terapit rapat rumah-rumah, Bego sedang menendang-nendang motoran kaleng susunya
yang sudah peot-peot. Anak ini tidak peduli bau busuk sampah-sampah yang
bertebaran di sepanjang lorong, jalan hingga ke rumah-rumah di kampung kumuh
itu.
"Payah, Kak Minah,"
dumalnya. "Suaminya hilang bikin aku susah. Entah untuk apa diurusin.
Orang tua memang aneh-aneh. Selalu bikin susah. Enggak bisa lihat orang lain
senang. Suami hilang aja diributin!" Bego berhenti sesaat sambil menendang
kaleng susu reotnya ke sungai. "Aku, mobilku rusak, enggak bikin ribut.
Ah, memang payah dia!" sambungnya.
Sayup-sayup terdengar lagi
kumandang adzan, menandakan masuknya shalat Isya. Masih suara dan nada yang
sama. Orang-orang kampung itupun masih dengan sikap yang sama, tak begitu
peduli pada panggilan itu.
0 comments:
Post a Comment