Cerpen: Amien Wangsitalaja
Sumber: Jawa Pos, Edisi 02/05/2006 Post: 02/06/2006 Disimak: 157 kali
________________________________________
Haji Norham akhir-akhir ini merasa,
sepertinya makin banyak saja orang melakukan kegiatan-kegiatan dan
proyek-proyek sosial dan atau keagamaan. Dari anak-anak muda sampai orang-orang
tua, dari panitia-panitia kecil sampai panitia-panitia besar. Haji Norham
merasakan hal ini sepulangnya dari ibadah hajinya setahun lalu. Dan ia
merasakannya bukan karena setelah pulang haji itu ia menjadi interes dengan
kegiatan atau acara berbau sosial dan atau keagaaman itu. Sama sekali bukan,
karena ia hampir tak punya waktu untuk hal-hal semacam itu. Ia tak kan punya
waktu untuk hal-hal di luar kesibukan kantor yang cukup menguras pikiran dan
energi.
Haji Norham merasakannya jika
pada malam hari menjelang tidur istrinya melaporkan kondisi keuangan harian
keluarga. Di samping untuk kebutuhan subsistensi harian, uang jajan anak, uang
arisan, biasanya istrinya juga menyebutkan pengeluaran-pengeluaran yang tak
terduga atau tak direncanakan. Paling sering dari pengeluaran tak terencana ini
adalah sumbangan dana untuk acara-acara sosial dan atau keagamaan.
"Siang tadi datang beberapa
mahasiswa dari Seksi Kerohanian Islam Fakultas Sastra. Mereka akan mengadakan
bakti sosial dalam rangka merayakan Idul Qurban di sebuah desa tandus bagian
dari wilayah Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunung Kidul. Mereka butuh dana dan
pakaian-pakaian bekas. Ini proposal kegiatan mereka."
"Berapa kau kasihkan,
Bu?"
"Seratus ribu, Yah…."
"Seratus ribu?!"
"Juga enam belas helai
pakaian bekas kita."
"Kenapa seratus ribu? Apa
kau sudah merasa cukup kaya raya dengan gajiku yang hanya dua setengah juta
sebulan itu? Jika setiap orang datang minta sumbangan kau kasih sekian dan per
bulan kita menerima lebih dari sepuluh proposal kegiatan, bagaimana kita akan
memenuhi kebutuhan keluarga kita sendiri?"
"Saya merasa tidak enak
untuk memberi sedikit. Mereka tahu Ayah adalah seorang haji lagi seorang yang
memiliki jabatan penting di sebuah kantor lembaga pendidikan swasta ternama di
kota ini."
"Apakah seorang haji atau
seorang yang memiliki jabatan penting di sebuah kantor harus berarti orang yang
kaya dan tidak pernah mempunyai problem keuangan?"
"Tapi, Yah…
mahasiswa-mahasiswa itu bilang bahwa yang memberitahu dan menyuruh mereka untuk
datang ke sini adalah Pak Puji, dan kulihat di proposal mereka memang terdapat
nama Pujiharto SS MHum sebagai dosen pembimbing. Bukankah Pak Puji itu teman
Ayah sewaktu mahasiswa dulu? Apakah Ayah tak sungkan pada Pak Puji jika kita
hanya memberi sedikit apalagi menolak proposal mereka?"
Haji Norham tiba-tiba menjadi
sangat terbebani dengan gelar haji yang disandangnya, ketika sebuah gelar
selalu berhubungan dengan persoalan gengsi dan citra. Ia sendiri sebetulnya
tidak memiliki kebiasaan untuk menuliskan inisial "H" di depan namanya
ketika ia menuliskan namanya untuk keperluan apa pun. Tapi, orang lain
melakukan demikian terhadapnya. Ini tampak dari, misalnya, undangan rapat
kantor atau pertemuan wali murid sekolah anaknya. Mereka menulis di kertas
undangan itu Kepada Yth. Bpk H Norham SS.
Dan orang-orang memang terlanjur
mengenalnya sebagai seorang haji. Maka, sepintar apa pun ia menyembunyikan
inisial "H" itu orang-orang akan tetap memperlakukannya sebagai
seorang haji. Dan yang paling memuakkan dari perlakuan orang-orang itu terhadap
seorang haji adalah sikap mereka yang muncul dari citra yang tertanam secara
umum bahwa seorang haji pastilah kaya dan suka berderma. Kaya, karena orang
tahu bahwa tidak setiap orang mampu untuk melakukan ibadah ini oleh sebab
biayanya yang teramat tinggi. Suka berderma, karena seseorang yang terpanggil
untuk ibadah haji dianggap pastilah seseorang yang memperhatikan agamanya,
sedang berderma adalah sebagian dari moralitas yang direkomendasikan oleh
agama.
Karena itu, jika di masjid
kampungnya diadakan acara peringatan Maulid Nabi atau ketika lantai masjid akan
diganti dengan keramik, misalnya, orang-orang akan memposisikan Haji Norham
sebagai penyandang dana dengan nominal yang lebih tinggi dari warga umumnya.
Itu karena ia seorang haji. Bahkan, perlakuan semacam ini kemudian juga berlaku
untuk bukan saja hal-hal yang berhubungan secara langsung dengan persoalan
keagamaan. Untuk kegiatan-kegiatan kerja bakti kampung, perbaikan pos ronda,
pembikinan gapura, agustusan, lomba mancing, dan sebagainya, orang-orang
pastilah membawa proposalnya pertama kali ke rumah Haji Norham.
Biasanya yang menemui mereka
adalah istrinya karena ia sendiri berada di kantor siang hari. Dan istrinya,
sebagai seorang perempuan, pastilah sensitif dalam persoalan gengsi dan citra
diri. Istrinya pasti tidak akan menolak proposal apa pun dan jika memberi
pastilah dalam angka yang dianggapnya pantas sebagai sumbangan dana dari
keluarga seorang haji.
Sering Haji Norham berpikir
mungkin lebih baik ia mengumumkan kepada orang-orang itu bahwa dirinya tidaklah
kaya-kaya amat. Ia sendiri merasa bahwa dirinya bahkan belum termasuk jajaran
orang yang agak kaya pun. Ia mempunyai rumah, tapi itu dibelinya dengan bantuan
mertua dan orang tuanya. Meski ia memang mampu mempercantik rumah itu, ia tidak
merasa yakin mampu membeli rumah itu sendiri. Ia pun memakai mobil, tapi
bukankah itu mobil kantor? Kemudian soal haji? Ia memang tidak sempat berterus
terang kepada orang-orang, entah karena gengsi atau apa, bahwa ia tidak berhaji
atas biaya sendiri. Secara kebetulan dan di luar kebiasaan, direktur lembaga
pendidikan tempatnya bekerja memiliki inisiatif untuk mengadakan pemilihan
pegawai teladan. Ia pun terpilih karena etosnya dalam bekerja memang tidak
diragukan. Dan bukan main hadiahnya: dihajikan oleh kantor. Begitulah, tahun
lalu ia naik haji.
Haji Norham merasa bahwa
orang-orang itu tidak mau tahu bahwa ia bisa naik haji bukan karena ia kaya.
Sebagai orang yang tidaklah kaya, ia bahkan tidak pernah sempat memiliki
pikiran untuk suatu saat bisa naik haji karena ia merasa jalan ke sana teramat
jauh jika melihat kondisi keuangannya. Ia cukup rasional dalam sikapnya.
Memang, konon ada beberapa cerita yang kurang rasional mengenai hasrat berhaji.
Inti cerita itu rata-rata mengungkapkan perihal orang-orang yang secara nalar
tidak mungkin bisa naik haji, tapi oleh kuatnya doa dan hasrat orang tersebut
akhirnya bisa melaksanakan haji dengan jalan yang tak terduga.
Misalnya, konon ada seorang
pembantu yang bekerja pada seorang juragan dari sebuah kerajinan perak di
Kotagede, yang sebagai pembantu janganlah dibayangkan ia memiliki cukup uang,
bahkan untuk kebutuhan hariannya pun. Karena itu, janganlah dinalarkan suatu
saat ia bisa naik haji. Tapi, buruh itu memiliki doa dan hasrat yang hebat
untuk ke sana. Tiap kali ia disuruh membeli rokok oleh juragannya, ia selalu
memungut sebutir kerikil dari jalan yang dilaluinya dari antara rumah
majikannya dengan warung rokok. Malam harinya kerikil itu dibawanya pulang dan
dikumpulkannya di dalam sebuah karung beras. Anak lelakinya yang tak tamat SMU
terheran-heran dengan kebiasaan bapaknya mengumpulkan kerikil tersebut.
"Untuk apa sih, Pak,
kerikil-kerikil itu?"
"Ini bapakmu kumpulkan
setiap kali bapakmu bekerja mengabdi pada majikan yang memberi kita makan. Kerikil-kerikil
ini menjadi saksi atas ibadah dan mu’amalah bapakmu ini. Kelak, kerikil-kerikil
ini akan menjelma menjadi batangan-batangan emas yang akan bapakmu gunakan
untuk membiayai haji."
"Ha ha ha…."
"Kenapa? Kamu tidak
mempercayainya?"
"Aduuh, Bapak, Bapak…. Bapak
sedang mimpi atau mengejek Tuhan, Pak? Bagaimana kerikil bisa berubah menjadi
emas?"
"Kamu pasti tidak akan
mempercayainya. Tapi, jangan ejek bapakmu karena itu berarti mengejek
Tuhanmu."
Pada saatnya karung beras
tersebut telah penuhlah oleh kerikil. Entah berapa ribu biji kerikil yang
berarti berapa ribu kali pula si pembantu itu berjalan dari rumah majikan ke
warung rokok demi memenuhi tugasnya dan demi beribadah mencari nafkah dan
berapa ribu butir keringat pula menetes dari tubuhnya. Namun, kerikil-kerikil
itu tak kunjung jua menjelma menjadi kepingan-kepingan emas. Malam itu anak
lelaki satu-satunya kembali sinis kepadanya,
"Gimana, Pak? Kapan Bapak
akan menjual emas-emas Bapak untuk membayar ONH?"
Si pembantu itu tampak termenung
seolah putus asa dengan kehidupannya. Ia merasa sedang bercanda dengan nasib.
Bagaimana mungkin seorang pembantu berharap bisa naik haji? Tidakkah ia berkaca
diri? Tidak sadarkah bahwa dirinya hanya seorang pembantu?
Esok paginya si pembantu itu
mencoba melupakan kepiluan hatinya atas ejekan dari anak lelakinya semalam. Ia
kembali menyiapkan diri untuk bekerja, berangkat ke rumah majikannya. Hari itu,
seperti biasanya majikannya menyuruhnya untuk membeli rokok. Ia pun berangkat
ke warung rokok yang biasanya melalui jalan yang biasanya. Tapi, tidak seperti
biasanya ia lupa memungut sebuah kerikil untuk dibawa pulang malam harinya dan
disimpan untuk siapa tahu nantinya menjelma menjadi batangan emas. Sesampai di
rumah majikannya ia segera menyerahkan rokok kepada majikannya.
"Pak Toto, duduklah
dulu."
Toto itulah namanya dan
majikannya yang berusia lebih muda darinya itu selalu memanggilnya dengan
"pak" di depan namanya.
"Ya, Tuan."
"Pak Toto tahu mengenai
kondisi kesehatan Nyonya, bukan?"
"Ya, Tuan. Ada apa
gerangan?"
"Begini, kami sudah lama
berencana untuk bersama-sama naik haji. Setelah bertahun-tahun menyisihkan
laba, kami merasa tahun ini keuangan kami telah mencukupi untuk membiayai
keberangkatan kami berdua. Tapi, sebagaimana Pak Toto ketahui, diabetes Nyonya
semakin parah saja dan tidak memungkinkannya untuk pergi haji. Kami semalam
mengobrol dan Nyonya memutuskan merelakan diri untuk tidak berangkat haji.
Bukan hanya itu, sebagai rasa terima kasih dan penghormatan kami atas kesetiaan
Pak Toto bekerja di rumah kami, Nyonya telah memutuskan untuk menshadaqahkan
uang hajinya kepada Pak Toto. Karena itu, Pak Toto bersiaplah tahun ini naik
haji bersama saya."
"Ya, Allah! Masya Allah!
Subhanallah!"
Tak kuasa pembantu itu menahan
tangis. Ia tidak percaya dengan datangnya rejeki yang tiada pernah diduganya
dan ia menyesal telah sempat berputus asa terhadap rahmat Tuhan. Kemudian tahun
itu pula naik hajilah si pembantu itu, tentu saja tidak dengan menjual
kerikil-kerikil yang terkumpul di karung beras yang memang tidak akan pernah
menjelma menjadi batangan emas itu.
Jika mengingat cerita semacam ini
terkadang Haji Norham merasakan kemiripannya dengan apa yang dialaminya. Tapi,
ia selalu menganggap kepergian hajinya bukanlah sebuah keajaiban. Hal yang
rasional baginya jika kantor tempatnya bekerja menghajikannya karena
pertimbangannya juga rasional, karena ia memang cukup memiliki dedikasi dan
etos kerja yang tinggi. Tapi, ia juga sangat berbahagia dengan kesempatan
berhaji itu. Hanya, efek samping dari konsekuensi gelar hajinya itulah yang
kini merisaukannya. Perlakuan orang-orang itulah yang membuatnya risih meski
istrinya selalu mencoba menetralkan perasaannya.
"Sudahlah, Yah. Bukankah
bershadaqah itu besar pahalanya? Insya Allah Tuhan akan membalas dengan rejeki
yang lebih besar."
Selalu saja istrinya berbicara
mengenai pahala. Bukanlah Haji Norham tidak percaya dengan pahala, tapi ia
tidak ingin bersikap munafik bahwa selama ini mereka bersedekah tidak seratus
persen oleh keikhlasan. Mereka bersedekah oleh adanya sedikit keterpaksaan dan
keharusan. Orang-orang yang datang membawa proposal dan list donatur terkadang
mirip dengan para perampok baginya yang tidak memberi kesempatan selain bahwa
ia harus memberi sejumlah uang pantas kepada mereka. Tiba-tiba Haji Norham
menjadi tidak nyaman dengan malam-malamnya karena malam-malam itu harus dilalui
dengan mendengarkan laporan pengeluaran keuangan harian dari istrinya dan
teramat sering di laporan itu disebutkan perihal sedekah untuk proposal
kegiatan atau pembangunan sarana dan prasarana kegiatan sosial dan atau
keagamaan.
Uang, itulah pangkal
persoalannya. Orang butuh uang untuk sebuah kegiatan yang meriah. Orang butuh
uang untuk pembangunan sarana dan prasarana kegiatan yang megah. Orang malu
masjid atau musalanya tidak berkeramik, orang malu gapura kampungnya tidak
cantik. Orang mengejar penampakan dan bukan substansi. Jika memperingati Maulid
Nabi, bukan bagaimana bisa mengambil ibrah dari kehidupan Nabi yang ditekankan,
tapi semata meriahnya acara. Orang tidak lebih memikirkan bagaimana memakmurkan
masjid, memfungsikan masjid secara esensial sesuai fungsinya sebagai sarana
ibadah dan dakwah; tapi orang lebih memikirkan bagaimana merias masjid dan
memewahkan struktur bangunan fisiknya.
Haji Norham menjadi teringat
dengan masa kecilnya di sebuah desa kecil di pinggiran Kabupaten Wonogiri.
Masjidnya yang sederhana tapi mengabarkan adanya ruh di sana. Jika datang
hari-hari peringatan keagamaan, orang cukup berkumpul, berdoa dan saling
nasihat-menasihati. Haji Norham tiba-tiba merindukan masjid kampungnya, ia
merindukan keberagamaan yang sederhana, yang tidak harus menjajakan proposal
penggalangan dana. Mungkin tidak ada salahnya jika ia mengambil cuti barang
seminggu untuk pulang ke desanya di Lebaran Haji tahun ini. Barangkali lebih lima
tahun ia lupa pulang desa dan lebih sering bapaknya yang renta dengan diantar
adik-adiknya yang datang mengunjunginya ke Yogya. Ia ingin mengenang masjid
desanya.
Jadilah ia sendirian pulang ke
desa. Anak-anak tidak bisa ikut karena sekolah tidak libur panjang, sedang
istrinya harus menemani anak-anak di rumah. Haji Norham salat Ied di masjid
desanya. Masjid itu mulai menampakkan perubahan. Wajarlah kiranya, rentang
waktu lima tahunan menjadikan masjid desanya mulai diperbaiki dan diperluas.
Rupanya demam pembangunan sudah menjangkau ke desa-desa.
Pada hari ketiga kepulangannya,
Kepala Dusun dan Ketua RT bersilaturahmi ke rumah bapaknya. Haji Norham ikut
menemui mereka. Mereka pun berakrab-akrablah melepas rindu. Haji Norham memuji
perkembangan yang terjadi di desanya dan tentu saja para tamu itu merespons
secara antusias.
"Kita memang sangat
berterima kasih dengan anak-anak kita yang menjadi perantau ke kota-kota.
Merekalah tumpuan kita untuk perbaikan desa ini. Lebaran Fitri kemarin,
paguyuban warga kita yang merantau ke Jakarta kembali menyumbang untuk
pembangunan desa dan masjid kita. Alhamdulillah jumlahnya cukup besar, Pak
Haji, lima juta rupiah."
Kepala Dusun dan Ketua RT saling
timpal-menimpali menceritakan pembangunan desa dan uluran dana para perantau.
"Memang baru para perantau
di Jakartalah yang tampak memiliki perhatian pada desa asal mereka. Padahal
kita juga mengharapkan anak-anak kita yang merantau ke kota lain juga berbuat
demikian. Pembangunan desa kita masih memerlukan uluran dana yang lebih besar
lagi. Kita belum punya gapura desa yang permanen, jalan-jalan di dalam desa
belum semuanya diaspal, halaman masjid belum memiliki taman…."
"Secara kebetulan sekali
Lebaran Haji ini Pak Haji Norham pulang desa. Karena itulah, kami atas nama sesepuh
kampung mewakili para warga juga berharap sekiranya Pak Haji bersedia
mengumpulkan para anak-anak kita yang merantau ke Yogya dan membikin paguyuban
di sana. Tidak lupa setelah paguyuban berdiri, pikirkanlah kami yang terlantar
di desa ini."
"Atau, barangkali Pak Haji
sendiri saat ini juga akan memelopori, atas nama perantau di Yogya, mendermakan
sedikit dari harta Pak Haji untuk pembangunan desa kita ini? Itu kami pikir
sangat mulia dan kami sangat berterima kasih atas nama warga. Tentu, sebagai seorang
haji, Bapak tidak rela jika masjid desa kita kalah megah dengan masjid desa
sebelah."
"Anak-anak remaja masjid
juga mulai bersemangat mengadakan berbagai kegiatan semacam peringatan
hari-hari keagamaan, Pak Haji, sehingga masjid kita menjadi tidak sepi."
Berapi-api keduanya mencecarkan
kata-kata ke telinga Haji Norham. Haji Norham tak kuasa menimpali mereka. Ia
bingung dan hanya mampu menjawab dengan mengumbar senyum. Diam-diam Haji Norham
membatin,
"Seandainya istrikulah yang
menemui kedua sesepuh desa ini…."
***
Samarinda 2006
0 comments:
Post a Comment