Tuesday, 24 June 2014

Pulang Haji



Cerpen: Amien Wangsitalaja 

Sumber: Jawa Pos,  Edisi 02/05/2006 Post:  02/06/2006 Disimak: 157 kali
________________________________________
Haji Norham akhir-akhir ini merasa, sepertinya makin banyak saja orang melakukan kegiatan-kegiatan dan proyek-proyek sosial dan atau keagamaan. Dari anak-anak muda sampai orang-orang tua, dari panitia-panitia kecil sampai panitia-panitia besar. Haji Norham merasakan hal ini sepulangnya dari ibadah hajinya setahun lalu. Dan ia merasakannya bukan karena setelah pulang haji itu ia menjadi interes dengan kegiatan atau acara berbau sosial dan atau keagaaman itu. Sama sekali bukan, karena ia hampir tak punya waktu untuk hal-hal semacam itu. Ia tak kan punya waktu untuk hal-hal di luar kesibukan kantor yang cukup menguras pikiran dan energi.


Haji Norham merasakannya jika pada malam hari menjelang tidur istrinya melaporkan kondisi keuangan harian keluarga. Di samping untuk kebutuhan subsistensi harian, uang jajan anak, uang arisan, biasanya istrinya juga menyebutkan pengeluaran-pengeluaran yang tak terduga atau tak direncanakan. Paling sering dari pengeluaran tak terencana ini adalah sumbangan dana untuk acara-acara sosial dan atau keagamaan.

"Siang tadi datang beberapa mahasiswa dari Seksi Kerohanian Islam Fakultas Sastra. Mereka akan mengadakan bakti sosial dalam rangka merayakan Idul Qurban di sebuah desa tandus bagian dari wilayah Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunung Kidul. Mereka butuh dana dan pakaian-pakaian bekas. Ini proposal kegiatan mereka."

"Berapa kau kasihkan, Bu?"
"Seratus ribu, Yah…."

"Seratus ribu?!"
"Juga enam belas helai pakaian bekas kita."

"Kenapa seratus ribu? Apa kau sudah merasa cukup kaya raya dengan gajiku yang hanya dua setengah juta sebulan itu? Jika setiap orang datang minta sumbangan kau kasih sekian dan per bulan kita menerima lebih dari sepuluh proposal kegiatan, bagaimana kita akan memenuhi kebutuhan keluarga kita sendiri?"

"Saya merasa tidak enak untuk memberi sedikit. Mereka tahu Ayah adalah seorang haji lagi seorang yang memiliki jabatan penting di sebuah kantor lembaga pendidikan swasta ternama di kota ini."

"Apakah seorang haji atau seorang yang memiliki jabatan penting di sebuah kantor harus berarti orang yang kaya dan tidak pernah mempunyai problem keuangan?"

"Tapi, Yah… mahasiswa-mahasiswa itu bilang bahwa yang memberitahu dan menyuruh mereka untuk datang ke sini adalah Pak Puji, dan kulihat di proposal mereka memang terdapat nama Pujiharto SS MHum sebagai dosen pembimbing. Bukankah Pak Puji itu teman Ayah sewaktu mahasiswa dulu? Apakah Ayah tak sungkan pada Pak Puji jika kita hanya memberi sedikit apalagi menolak proposal mereka?"

Haji Norham tiba-tiba menjadi sangat terbebani dengan gelar haji yang disandangnya, ketika sebuah gelar selalu berhubungan dengan persoalan gengsi dan citra. Ia sendiri sebetulnya tidak memiliki kebiasaan untuk menuliskan inisial "H" di depan namanya ketika ia menuliskan namanya untuk keperluan apa pun. Tapi, orang lain melakukan demikian terhadapnya. Ini tampak dari, misalnya, undangan rapat kantor atau pertemuan wali murid sekolah anaknya. Mereka menulis di kertas undangan itu Kepada Yth. Bpk H Norham SS.

Dan orang-orang memang terlanjur mengenalnya sebagai seorang haji. Maka, sepintar apa pun ia menyembunyikan inisial "H" itu orang-orang akan tetap memperlakukannya sebagai seorang haji. Dan yang paling memuakkan dari perlakuan orang-orang itu terhadap seorang haji adalah sikap mereka yang muncul dari citra yang tertanam secara umum bahwa seorang haji pastilah kaya dan suka berderma. Kaya, karena orang tahu bahwa tidak setiap orang mampu untuk melakukan ibadah ini oleh sebab biayanya yang teramat tinggi. Suka berderma, karena seseorang yang terpanggil untuk ibadah haji dianggap pastilah seseorang yang memperhatikan agamanya, sedang berderma adalah sebagian dari moralitas yang direkomendasikan oleh agama.

Karena itu, jika di masjid kampungnya diadakan acara peringatan Maulid Nabi atau ketika lantai masjid akan diganti dengan keramik, misalnya, orang-orang akan memposisikan Haji Norham sebagai penyandang dana dengan nominal yang lebih tinggi dari warga umumnya. Itu karena ia seorang haji. Bahkan, perlakuan semacam ini kemudian juga berlaku untuk bukan saja hal-hal yang berhubungan secara langsung dengan persoalan keagamaan. Untuk kegiatan-kegiatan kerja bakti kampung, perbaikan pos ronda, pembikinan gapura, agustusan, lomba mancing, dan sebagainya, orang-orang pastilah membawa proposalnya pertama kali ke rumah Haji Norham.

Biasanya yang menemui mereka adalah istrinya karena ia sendiri berada di kantor siang hari. Dan istrinya, sebagai seorang perempuan, pastilah sensitif dalam persoalan gengsi dan citra diri. Istrinya pasti tidak akan menolak proposal apa pun dan jika memberi pastilah dalam angka yang dianggapnya pantas sebagai sumbangan dana dari keluarga seorang haji.

Sering Haji Norham berpikir mungkin lebih baik ia mengumumkan kepada orang-orang itu bahwa dirinya tidaklah kaya-kaya amat. Ia sendiri merasa bahwa dirinya bahkan belum termasuk jajaran orang yang agak kaya pun. Ia mempunyai rumah, tapi itu dibelinya dengan bantuan mertua dan orang tuanya. Meski ia memang mampu mempercantik rumah itu, ia tidak merasa yakin mampu membeli rumah itu sendiri. Ia pun memakai mobil, tapi bukankah itu mobil kantor? Kemudian soal haji? Ia memang tidak sempat berterus terang kepada orang-orang, entah karena gengsi atau apa, bahwa ia tidak berhaji atas biaya sendiri. Secara kebetulan dan di luar kebiasaan, direktur lembaga pendidikan tempatnya bekerja memiliki inisiatif untuk mengadakan pemilihan pegawai teladan. Ia pun terpilih karena etosnya dalam bekerja memang tidak diragukan. Dan bukan main hadiahnya: dihajikan oleh kantor. Begitulah, tahun lalu ia naik haji.

Haji Norham merasa bahwa orang-orang itu tidak mau tahu bahwa ia bisa naik haji bukan karena ia kaya. Sebagai orang yang tidaklah kaya, ia bahkan tidak pernah sempat memiliki pikiran untuk suatu saat bisa naik haji karena ia merasa jalan ke sana teramat jauh jika melihat kondisi keuangannya. Ia cukup rasional dalam sikapnya. Memang, konon ada beberapa cerita yang kurang rasional mengenai hasrat berhaji. Inti cerita itu rata-rata mengungkapkan perihal orang-orang yang secara nalar tidak mungkin bisa naik haji, tapi oleh kuatnya doa dan hasrat orang tersebut akhirnya bisa melaksanakan haji dengan jalan yang tak terduga.

Misalnya, konon ada seorang pembantu yang bekerja pada seorang juragan dari sebuah kerajinan perak di Kotagede, yang sebagai pembantu janganlah dibayangkan ia memiliki cukup uang, bahkan untuk kebutuhan hariannya pun. Karena itu, janganlah dinalarkan suatu saat ia bisa naik haji. Tapi, buruh itu memiliki doa dan hasrat yang hebat untuk ke sana. Tiap kali ia disuruh membeli rokok oleh juragannya, ia selalu memungut sebutir kerikil dari jalan yang dilaluinya dari antara rumah majikannya dengan warung rokok. Malam harinya kerikil itu dibawanya pulang dan dikumpulkannya di dalam sebuah karung beras. Anak lelakinya yang tak tamat SMU terheran-heran dengan kebiasaan bapaknya mengumpulkan kerikil tersebut.

"Untuk apa sih, Pak, kerikil-kerikil itu?"
"Ini bapakmu kumpulkan setiap kali bapakmu bekerja mengabdi pada majikan yang memberi kita makan. Kerikil-kerikil ini menjadi saksi atas ibadah dan mu’amalah bapakmu ini. Kelak, kerikil-kerikil ini akan menjelma menjadi batangan-batangan emas yang akan bapakmu gunakan untuk membiayai haji."

"Ha ha ha…."
"Kenapa? Kamu tidak mempercayainya?"

"Aduuh, Bapak, Bapak…. Bapak sedang mimpi atau mengejek Tuhan, Pak? Bagaimana kerikil bisa berubah menjadi emas?"

"Kamu pasti tidak akan mempercayainya. Tapi, jangan ejek bapakmu karena itu berarti mengejek Tuhanmu."

Pada saatnya karung beras tersebut telah penuhlah oleh kerikil. Entah berapa ribu biji kerikil yang berarti berapa ribu kali pula si pembantu itu berjalan dari rumah majikan ke warung rokok demi memenuhi tugasnya dan demi beribadah mencari nafkah dan berapa ribu butir keringat pula menetes dari tubuhnya. Namun, kerikil-kerikil itu tak kunjung jua menjelma menjadi kepingan-kepingan emas. Malam itu anak lelaki satu-satunya kembali sinis kepadanya,

"Gimana, Pak? Kapan Bapak akan menjual emas-emas Bapak untuk membayar ONH?"

Si pembantu itu tampak termenung seolah putus asa dengan kehidupannya. Ia merasa sedang bercanda dengan nasib. Bagaimana mungkin seorang pembantu berharap bisa naik haji? Tidakkah ia berkaca diri? Tidak sadarkah bahwa dirinya hanya seorang pembantu?

Esok paginya si pembantu itu mencoba melupakan kepiluan hatinya atas ejekan dari anak lelakinya semalam. Ia kembali menyiapkan diri untuk bekerja, berangkat ke rumah majikannya. Hari itu, seperti biasanya majikannya menyuruhnya untuk membeli rokok. Ia pun berangkat ke warung rokok yang biasanya melalui jalan yang biasanya. Tapi, tidak seperti biasanya ia lupa memungut sebuah kerikil untuk dibawa pulang malam harinya dan disimpan untuk siapa tahu nantinya menjelma menjadi batangan emas. Sesampai di rumah majikannya ia segera menyerahkan rokok kepada majikannya.

"Pak Toto, duduklah dulu."
Toto itulah namanya dan majikannya yang berusia lebih muda darinya itu selalu memanggilnya dengan "pak" di depan namanya.

"Ya, Tuan."
"Pak Toto tahu mengenai kondisi kesehatan Nyonya, bukan?"

"Ya, Tuan. Ada apa gerangan?"
"Begini, kami sudah lama berencana untuk bersama-sama naik haji. Setelah bertahun-tahun menyisihkan laba, kami merasa tahun ini keuangan kami telah mencukupi untuk membiayai keberangkatan kami berdua. Tapi, sebagaimana Pak Toto ketahui, diabetes Nyonya semakin parah saja dan tidak memungkinkannya untuk pergi haji. Kami semalam mengobrol dan Nyonya memutuskan merelakan diri untuk tidak berangkat haji. Bukan hanya itu, sebagai rasa terima kasih dan penghormatan kami atas kesetiaan Pak Toto bekerja di rumah kami, Nyonya telah memutuskan untuk menshadaqahkan uang hajinya kepada Pak Toto. Karena itu, Pak Toto bersiaplah tahun ini naik haji bersama saya."

"Ya, Allah! Masya Allah! Subhanallah!"
Tak kuasa pembantu itu menahan tangis. Ia tidak percaya dengan datangnya rejeki yang tiada pernah diduganya dan ia menyesal telah sempat berputus asa terhadap rahmat Tuhan. Kemudian tahun itu pula naik hajilah si pembantu itu, tentu saja tidak dengan menjual kerikil-kerikil yang terkumpul di karung beras yang memang tidak akan pernah menjelma menjadi batangan emas itu.

Jika mengingat cerita semacam ini terkadang Haji Norham merasakan kemiripannya dengan apa yang dialaminya. Tapi, ia selalu menganggap kepergian hajinya bukanlah sebuah keajaiban. Hal yang rasional baginya jika kantor tempatnya bekerja menghajikannya karena pertimbangannya juga rasional, karena ia memang cukup memiliki dedikasi dan etos kerja yang tinggi. Tapi, ia juga sangat berbahagia dengan kesempatan berhaji itu. Hanya, efek samping dari konsekuensi gelar hajinya itulah yang kini merisaukannya. Perlakuan orang-orang itulah yang membuatnya risih meski istrinya selalu mencoba menetralkan perasaannya.

"Sudahlah, Yah. Bukankah bershadaqah itu besar pahalanya? Insya Allah Tuhan akan membalas dengan rejeki yang lebih besar."

Selalu saja istrinya berbicara mengenai pahala. Bukanlah Haji Norham tidak percaya dengan pahala, tapi ia tidak ingin bersikap munafik bahwa selama ini mereka bersedekah tidak seratus persen oleh keikhlasan. Mereka bersedekah oleh adanya sedikit keterpaksaan dan keharusan. Orang-orang yang datang membawa proposal dan list donatur terkadang mirip dengan para perampok baginya yang tidak memberi kesempatan selain bahwa ia harus memberi sejumlah uang pantas kepada mereka. Tiba-tiba Haji Norham menjadi tidak nyaman dengan malam-malamnya karena malam-malam itu harus dilalui dengan mendengarkan laporan pengeluaran keuangan harian dari istrinya dan teramat sering di laporan itu disebutkan perihal sedekah untuk proposal kegiatan atau pembangunan sarana dan prasarana kegiatan sosial dan atau keagamaan.

Uang, itulah pangkal persoalannya. Orang butuh uang untuk sebuah kegiatan yang meriah. Orang butuh uang untuk pembangunan sarana dan prasarana kegiatan yang megah. Orang malu masjid atau musalanya tidak berkeramik, orang malu gapura kampungnya tidak cantik. Orang mengejar penampakan dan bukan substansi. Jika memperingati Maulid Nabi, bukan bagaimana bisa mengambil ibrah dari kehidupan Nabi yang ditekankan, tapi semata meriahnya acara. Orang tidak lebih memikirkan bagaimana memakmurkan masjid, memfungsikan masjid secara esensial sesuai fungsinya sebagai sarana ibadah dan dakwah; tapi orang lebih memikirkan bagaimana merias masjid dan memewahkan struktur bangunan fisiknya.

Haji Norham menjadi teringat dengan masa kecilnya di sebuah desa kecil di pinggiran Kabupaten Wonogiri. Masjidnya yang sederhana tapi mengabarkan adanya ruh di sana. Jika datang hari-hari peringatan keagamaan, orang cukup berkumpul, berdoa dan saling nasihat-menasihati. Haji Norham tiba-tiba merindukan masjid kampungnya, ia merindukan keberagamaan yang sederhana, yang tidak harus menjajakan proposal penggalangan dana. Mungkin tidak ada salahnya jika ia mengambil cuti barang seminggu untuk pulang ke desanya di Lebaran Haji tahun ini. Barangkali lebih lima tahun ia lupa pulang desa dan lebih sering bapaknya yang renta dengan diantar adik-adiknya yang datang mengunjunginya ke Yogya. Ia ingin mengenang masjid desanya.

Jadilah ia sendirian pulang ke desa. Anak-anak tidak bisa ikut karena sekolah tidak libur panjang, sedang istrinya harus menemani anak-anak di rumah. Haji Norham salat Ied di masjid desanya. Masjid itu mulai menampakkan perubahan. Wajarlah kiranya, rentang waktu lima tahunan menjadikan masjid desanya mulai diperbaiki dan diperluas. Rupanya demam pembangunan sudah menjangkau ke desa-desa.

Pada hari ketiga kepulangannya, Kepala Dusun dan Ketua RT bersilaturahmi ke rumah bapaknya. Haji Norham ikut menemui mereka. Mereka pun berakrab-akrablah melepas rindu. Haji Norham memuji perkembangan yang terjadi di desanya dan tentu saja para tamu itu merespons secara antusias.

"Kita memang sangat berterima kasih dengan anak-anak kita yang menjadi perantau ke kota-kota. Merekalah tumpuan kita untuk perbaikan desa ini. Lebaran Fitri kemarin, paguyuban warga kita yang merantau ke Jakarta kembali menyumbang untuk pembangunan desa dan masjid kita. Alhamdulillah jumlahnya cukup besar, Pak Haji, lima juta rupiah."

Kepala Dusun dan Ketua RT saling timpal-menimpali menceritakan pembangunan desa dan uluran dana para perantau.
"Memang baru para perantau di Jakartalah yang tampak memiliki perhatian pada desa asal mereka. Padahal kita juga mengharapkan anak-anak kita yang merantau ke kota lain juga berbuat demikian. Pembangunan desa kita masih memerlukan uluran dana yang lebih besar lagi. Kita belum punya gapura desa yang permanen, jalan-jalan di dalam desa belum semuanya diaspal, halaman masjid belum memiliki taman…."

"Secara kebetulan sekali Lebaran Haji ini Pak Haji Norham pulang desa. Karena itulah, kami atas nama sesepuh kampung mewakili para warga juga berharap sekiranya Pak Haji bersedia mengumpulkan para anak-anak kita yang merantau ke Yogya dan membikin paguyuban di sana. Tidak lupa setelah paguyuban berdiri, pikirkanlah kami yang terlantar di desa ini."

"Atau, barangkali Pak Haji sendiri saat ini juga akan memelopori, atas nama perantau di Yogya, mendermakan sedikit dari harta Pak Haji untuk pembangunan desa kita ini? Itu kami pikir sangat mulia dan kami sangat berterima kasih atas nama warga. Tentu, sebagai seorang haji, Bapak tidak rela jika masjid desa kita kalah megah dengan masjid desa sebelah."

"Anak-anak remaja masjid juga mulai bersemangat mengadakan berbagai kegiatan semacam peringatan hari-hari keagamaan, Pak Haji, sehingga masjid kita menjadi tidak sepi."

Berapi-api keduanya mencecarkan kata-kata ke telinga Haji Norham. Haji Norham tak kuasa menimpali mereka. Ia bingung dan hanya mampu menjawab dengan mengumbar senyum. Diam-diam Haji Norham membatin,
"Seandainya istrikulah yang menemui kedua sesepuh desa ini…."
***
Samarinda 2006 

0 comments:

Post a Comment