Cerpen: Akbar Faizal
Sumber: Kompas, Edisi 12/04/2005 Post: 12/06/2005 Disimak: 163 kali
Hujan sore tadi masih menyisakan
genangan di jalan becek yang memotong kampung di pinggiran sungai pada kaki
bukit. Selain perahu penyeberangan yang ditarik tambang antara kedua sisi
sungai, tak ada penduduk yang berani menyeberang dengan perahu kecil lainnya
terutama pada musim seperti saat ini.
Hari ini bulan ketujuh sejak
Hamid hilang tertelan arus sungai yang membelah kampung itu. Sejak sebuah
perusahaan milik orang kota menebang pohon di gunung tepat ke arah matahari
terbenam itu, arus sungai menjadi sangat deras. Paling berbahaya sebab batangan
pohon sering ikut menerjang apa saja yang menghalanginya. Iman desa Basari
pernah ditemukan pingsan dihantam batangan pohon yang hanyut itu saat berak di
pinggir sungai. Beruntung ia tidak terbawa arus dan menjadi mangsa buaya putih
yang dipercaya penduduk kampung sebagai penjaga sungai itu entah sejak kapan.
Beberapa kali terdengar suara
gedebuk dari kebun belakang. Buah kelapa yang matang tak kuat lagi
bergelantungan di pohonnya sehingga harus rela jatuh ke bumi menimbulkan bumi
gedebuk tadi. Tak ada yang peduli. Selain pohon cokelat yang tumbuh
serampangan, pohon kelapa menjadi penghasil kopra dan menjadi pendapatan lain
selain padi dan jagung bagi penduduk kampung itu. Beberapa keluarga menanam ubi
jalar dan ketela di antara pohon cokelat. Beberapa ratus meter ke arah bukit,
terdapat pekuburan yang berbatasan langsung dengan hutan lebat. Tak banyak
penduduk yang suka datang ke pekuburan itu, selain untuk memakamkan warga
kampung yang meninggal. Terlalu angker, kata mereka.
Kampung sebenarnya telah mati
bersamaan saat matahari jatuh ke ufuk barat. Surau yang lebih banyak kosong
berdiri rapuh di ujung jalan menghadap ke timur. Beberapa rumah terlihat masih
menyisakan aktivitas. Terdengar suara bercakap dari penghuninya diselingi
gerakan lampu minyak kemiri yang sering-sering hampir padam terkena angin dari
sela-sela dinding rumah. Dinding rumah penduduk yang bisa dihitung dengan jari
tangan dan kaki memang jarang-jarang. Itulah mengapa angin malam yang dingin menggigit
bisa dengan leluasa memainkan api lampu kemiri yang menjadi penerang utama
rumah-rumah penduduk. Aktivitas pemilik rumah juga dengan mudah terlihat dari
luar. Hampir-hampir tak ada privacy. Bahkan, aktivitas di atas tempat tidur pun
bisa terlihat dari sela-sela dinding rumah yang tak pernah tersentuh alat serut
kayu.
Nenek Lido masih merapikan
jagung-jagung kering sisa kebun yang dipetiknya tiga hari lalu. Rencananya,
jagung yang telah mengeras itu akan ditumbuk di lesung kayu miliknya tepat di
bawah pohon samping kandang dua ekor kambing miliknya di belakang rumah. Kakek
Lido, suaminya, sangat gemar menyantap nasi campur jagung meskipun hanya
berlauk ikan asin dan sayur daun berbumbu segenggam garam kasar.
Dua anak gadisnya, Jona dan
Warni, berusaha menggotong pisang yang masih basah sisa hujan ke loteng
darurat, tepat di atas ranjang keduanya. Jona yang lebih tua memanjat loteng
terlebih dahulu untuk menarik ke atas sementara Warni adiknya mengusung pisang
dari bawah. Dua orang gadis tangguh. Tak hanya secara fisik, tapi juga
ketegaran menghadapi kemiskinan. Sesekali Nenek Lido memandang kedua anak
gadisnya dari arah belakang. Ia masih sering memendam keinginan menggendong
mereka dalam buaian kasihnya seperti ketika ia melahirkan mereka berdua. Nenek
Lido melahirkan Jona ketika usianya telah mendekati masa menopause. Puluhan
tahun ia menunggu kehadiran anak- anaknya. Tak terhitung dukun yang
didatanginya. Ia telah hampir putus asa ketika Jona mulai ia hamilkan. Nenek
sangat mencintai kedua putrinya itu meskipun orang-orang kampung sering kali
menggunjingkan usianya yang tidak lagi muda.
Tak lama, upaya Jona dan Warni
berhasil dan pisang bisa digantung di sebilah bambu yang dipasang melintang di
loteng. Jona sempat berbalik ke belakang sebelum turun ke lantai bawah. Ujung
telinganya seakan mendengar tarikan nafas di balik timbunan daun jagung yang
menjadi dinding penahan angin di loteng bagian belakang. Tak ada apa-apa.
Gelap.
Kakek Lido tak pernah beranjak
dari tempatnya, kursi kayu sekaligus ranjang tempat tidurnya. Sudah tiga belas
tahun dia menikmati hari-harinya di situ. Saat istrinya membopong pisang,
jagung atau hasil bumi kebun mereka ke pasar untuk di jual dengan berjalan kaki
sejauh empat kilometer setiap Rabu, Kakek Lido tak pernah jauh beranjak dari
tempatnya. Ia hanya gelisah jika suara radio transistor yang menjadi temannya
sejak lama sekali mulai suak. Kakek Lido tak akan bisa tidur tanpa radio itu di
samping kepalanya. Tak peduli apakah siaran di radio transistornya ia mengerti
maksudnya. Tapi dunia seakan menjadi miliknya jika suara Elia Khadam melantun
meskipun sesekali suara radio melengking akibat gelombang radio lagi jelek.
Nenek Lido bertubuh subur.
Meskipun giginya hanya tersisa tiga buah di bagian kanan atas dan kiri bawah,
senyum tak pernah hilang dari wajahnya. Konon, nenek Lido dulu cantik. Banyak
jawara kampung dulu mencoba mendapatkan cintanya. Tapi ia dengan tulus menerima
pinangan kakek Lido sesuai keinginan ayahnya. Kata ayahnya, terlalu bodoh untuk
menolak pinangan Lido muda. Rajin shalat dan punya empat ekor sapi gemuk.
Lagipula, mana ada anak gadis di kampungnya yang berani melawan keinginan
orangtuanya. Cerita tentang kecantikan itu mungkin saja benar sebab dua anak
gadisnya manis, segar, dan kuat seperti ibunya.
Malam semakin dingin dan Nenek
Lido berusaha menegakkan badannya untuk menuju ke ranjangnya. Dari kamar bagian
tengah yang hanya dibatasi selembar kain bekas seprei yang tak lagi terpakai,
dua anak gadisnya tak lagi terdengar suaranya kecuali derit ranjang kriaak...
kriuuuk setiap ada pergerakan di atasnya. Kakek Lido tenggelam dalam buaian
lagu entah siapa dari radio transistornya. Tapi kakek belum tertidur. Batuknya
masih bersahut-sahutan pada beberapa jeda waktu.
”Kamu pinjam alu Puang Daha’
besok pagi. Alu kita patah,” Nenek Lido mematikan nyala lampu minyak kemiri
yang terselip di tiang rumah. Tak jelas ia berbicara dengan siapa.
”Kata Nisa, kambing yang hitam
kemarin makan bangkai di dekat kuburan. Coba kamu periksa apa dia terkena racun
dari bangkai itu,” kata Nenek Lido lagi. Kakek Lido hanya menggerakkan tubuhnya
di ranjang mininya pertanda mengerti perintah Nenek. Nenek Lido adalah kepala
keluarga yang sebenarnya. Ia roh bagi keluarganya sekaligus pencari nafkah. Tak
pernah ia mengeluh dalam hidupnya. Tidak juga ketika Kakek Lido memutuskan
menjual dua petak sawah warisannya beberapa tahun lalu untuk selanjutnya
membeli radio transistor dan sedikit diserahkan kepada istrinya untuk
selanjutnya menikmati hari-harinya dengan radio transistornya. Tak pernah pula
ada protes dari kedua anak gadisnya atas semua beban dan peran yang diemban
ibunya. Mana berani keduanya masuk ke wilayah peran kedua orangtuanya? Semuanya
seperti berjalan alamiah.
Malam merangkak jauh dan dingin
semakin menggigit. Hujan mulai turun lagi meski tak sederas sore tadi. Nenek
Lido agak gelisah tidurnya. Ia sempat ke dapur dalam gulita untuk mencari
sesuatu. Tapi kedua anak gadisnya telah lelap. Terdengan pelan suara krek...
krreek... krreeek dari loteng. Sekelebat bayangan melompat ke tiang tengah
rumah tepat di atas kamar Jona dan Warni. Rumah panggung itu bergerak. Nenek
Lido menggerakkan kepala di atas bantal kusamnya seakan mendengar atau
merasakan sesuatu. Akh, angin semakin kencang, pikirnya. Anjing melolong
bersahut-sahutan di ujung kampung tepat dari arah kuburan. Tak terdengar suara
apa-apa kecuali hujan yang jatuh ke atap rumbia, namun tak cukup keras untuk
mengalahkan suara radio transistor Kakek Lido. Tiba-tiba.
”Siapa kamu? Aaakkhh... Kindo,”
Jona dan Warni menjerit. Seseorang bertubuh besar bersarung dan berbaju kaus
hitam berusaha menindih tubuh Jona. Warni melompat ke luar kamar dan berlari ke
ranjang ibunya di dekat dapur. Jona berusaha melepaskan diri dari bekapan
lelaki yang mendengus keras. Baju Jona telah robek di bagian depan.
Nenek Lido melompat dari tempat
tidurnya. Rambutnya yang telah memutih di sana-sini berurai panjang kusut. Tak
dihiraukan sarungnya melorot dan menyisakan celana pendek besarnya
menggelantung tak beraturan di perutnya yang bergelambir.
”Siapaa...?” teriaknya setengah
melompat.
”Siapa yang berani memegang
anakku?” Nenek Lido telah sadar apa yang terjadi. Warni meringkuk di dekat
ranjang ibunya sambil menangis.
Dengan keras, Nenek Lido menarik
baju lelaki besar yang hampir berhasil memeloroti pakaian Jona. Lelaki itu
tersentak keras. Kini ia menghadapi Nenek Lido dengan marah. Matanya berkilat
menahan nafsu dan amarah. Nenek Lido mengenalinya: Rappe. Dengan sekali
mengayunkan tangan, Rappe, jawara kampung sebelah, menempeleng wajah Nenek Lido
dengan keras hingga terhuyung ke atas onggokan daun jagung sisa pekerjaannya
tadi sore. Tapi Nenek Lido bisa bangun dan berhasil mencengkeram baju lelaki
itu. Sebuah tendangan di bagian muka merontokkan gigi terakhir Nenek Lido. Dari
arah belakang, Jona berteriak marah sambil memukulkan bambu obor yang selalu
terselip di dinding kamarnya. Rappe semakin marah. Jona tertampar keras di
bagian wajah sebelah kiri hingga terjengkang ke belakang.
Nenek Lido melengking marah. Ia
melompat menghalangi Rappe yang akan menarik Jona. Rumah panggung itu bergoyang
keras. Dalam gelap, Nenek Lido sedang bertarung mempertahankan permata hatinya.
Rappe mundur. Wajahnya mengilat bengis dalam gelap malam. Ia tiba-tiba menarik
sesuatu dari balik bajunya. Sebilah pedang pendek. Nenek Lido tetap berdiri
membelakangi Jona yang menangis ketakutan.
Dalam gelap, sekelebat Rappe
bergerak ke depan dengan tangan teracung dengan pedang di tangannya. Tak ada
ruang bagi Nenek Lido untuk menghindar atau Jona tertebas di belakangan. Maka,
dengan secepat kilat, nenek melompat ke depan menyambut tubuh Rappe. Terjadi
tubrukan keras dan keduanya jatuh ke lantai. Dengan cepat Nenek Lido memegang
tangan kanan Rappe dan membalikkan tubuhnya ke depan pintu kamar. Rappe kini
terdesak dan berusaha menarik tangannya dari pegangan Nenek Lido. Cresss...
Berhasil. Secepat kilat Rappe melompat ke pintu belakang dan menghilang ke
dalam gelap dan hujan yang semakin deras. Jona melompat memeluk ibunya sambil
meraung tangis, ”Kindo.....”. Warni tetap menangis di kamar ibunya dengan penuh
ketakutan.
”Dia sudah pergi. Nyalakan
lampu,” Nenek Lido menyuruh Jona. Tapi Jona semakin keras memeluk ibunya. Nenek
membelai rambut putrinya yang merasakan tangan ibunya basah. Dengan susah
payah, Nenek Lido melepaskan diri dari pelukan anaknya dan berusaha menyalakan
lampu minyak kemiri. Tangannya gemetar dan nyeri. Lampu berhasil dinyalakan dan
Jona menjerit lalu pingsan. Tangan dan baju ibunya yang lusuh penuh darah,
kepalanya juga. Nenek Lido jatuh menyandar ke dinding. Ia memegang tangannya
yang bersimbah darah. Tiga jari tangan kanannya telah hilang dari tempatnya
tersayat pedang saat bergubung dengan Rappe tadi. Tapi Nenek Lido tidak
menangis.
Tidak juga ia marah kepada Kakek
Lido yang tak pernah beranjak dari tempat tidur dan radio transistornya saat
pergumulan dengan mautnya tadi. Kakek bahkan tak pernah merasa perlu untuk
menanyakan atau ikut nimbrung pembicaraan kampung ketika Rappe ditemukan mati
dengan leher tertebas saat di pinggiran kampung sepulang dari minum tuak di
kampung sebelah. Ia hanya sempat bertanya kepada beberapa orang yang melintas
di depan apa bertemu dengan Nenek Lido yang belum juga pulang sejak sore hari,
bertepatan dengan malam ditemukannya Rappe terkapar mandi darah di pinggir
jalan tanah kampung. Kakek bermaksud menyuruh istrinya membeli baterai radionya
yang mulai melemah.
Tapi Kakek Lido sadar bahwa kedua
anak gadisnya marah kepadanya sebab tak pernah lagi menyapanya sejak kejadian
malam itu. Toh ia juga tak terlalu peduli bahkan ketika kedua anak gadisnya
menolak duduk di dekat pembaringannya beberapa saat sebelum ia mengembuskan
nafas terakhirnya beberapa bulan sejak peristiwa malam itu. Hanya Nenek Lido
yang setia menemani Kakek di dekat kepalanya yang mulai melemah. Saat mendekati
sakratul maut, Nenek Lido mendekatkan mulutnya ke telinga kakek dan membisikkan
sesuatu. Entah apa. Tak ada yang tahu. Kakek tak bereaksi apa-apa. Hanya satu
permintaan Kakek Lido saat akan meninggal: Dimakamkan bersama radio transistor
miliknya dalam satu liang. Hanya itu.
Jakarta, 4 November 2005






0 comments:
Post a Comment