Cerpen: Aris Kurniawan
SUNDAY, AUGUST 22, 2004
Got meluap. Bangkai tikus sebesar
kucing digiring air busuk kehitaman. Tersumbat kental. Maghrib. Deretan gubuk
mirip kandang babi. Senyap. Sesekali terdengar kecipak langkah di atas air.
Suara tawa sayup orang-orang merubung siaran acara lawak di televisi. Gubuk di
ujung gang, dengan remang cahaya listrik 5 watt, Kakek Marijan terengah.
Matanya nanar menatap Narto, cucunya, membeku dengan muka membiru tengkurap di
sisi bak.
Kakek Marijan mengelap keringat
yang membanjir. Pelahan diseretnya mayat cucunya itu. Dimasukkan ke dalam
karung yang telah disiapkan dengan rapi. Gerimis turun lagi dan langit makin
pekat ketika Kakek Marijan menaikkan karung ke dalam gerobak, dan perlahan
menariknya menyusuri gang demi gang becek berlumpur. Roda gerobak seperti menggelinding
di atas sungai. Entah ke mana. Narto, cucu yang sebetulnya sangat disayanginya,
terguncang-guncang. Namun tentu saja bocah itu tidak merasakan dingin ataupun
sakit karena nyawanya telah melayang.
"Maafkan Kakekmu,"
begitulah kalimat yang keluar dari mulut Kakek Marijan ketika hendak membekap
mulut Narto, bocah umur tujuh tahun, dengan bantal. Narto meronta dan cuma
meronta ketika Kakek Marijan membopong tubuhnya dan membenamkannya ke dalam bak
penuh air. Narto mengerjat beberapa saat sebelum lunglai, dan akhirnya
mengeras. Tidak ada jalan lain, pikir Kakek Marijan, untuk membalas sakit
hatiku pada ayahmu. Aku sudah terlanjur tersinggung dan tidak bisa memaafkan
menantuku sendiri.
Kakek Marijan teringat lagi
ucapan menantunya yang menyebabkan ia tersinggung dan sakit hati. "Tua
bangka tak berguna, selalu saja menyusahkan orang." Kakek Marijan memang
cuma bisa memendam kalimat itu dalam benaknya. Rupanya bukan sekali itu si
menantu melontarkan kalimat dan perilaku yang menyakitkan, melainkan berulangkali
kata-kata kotor menyembur dari mulut menantunya, baik bentakan maupun halus
namun penuh nada ejekan. "Seharian nongkrong. Bikin kandang merpati saja
nggak becus. Huh! Cuma menunggu nasi mateng saja kerjamu." Demikian si
menantu berujar seraya membanting pintu dan sengaja menyenggol teh tubruk
kesukaan Kakek Marijan. Teh tumpah dan gelasnya pecah. Kakek Marijan
tersuruk-suruk memunguti serpihan beling. Si menantu masih berujar,
"Pecahkan saja semua biar habis!" Kakek Marijan masih melihat menantunya
membuang dahak kental persis di depan mukanya. Narto yang tiba-tiba muncul dan
memeluknya dari belakang, dengan cepat direnggut ayahnya, "Jangan
dekat-dekat si pemalas, ayo masuk."
Kakek Marijan ingat tatapan jijik
menantunya yang seakan menghunjam ke dasar tulang. Dari kamarnya yang disekat
kardus lapuk Kakek Marijan mendengar menantunya menghardik, "Tidak tahu
bagaimana susahnya cari makan. Kalau tidak ada polisi sudah kuracuni."
Lalu terdengar tape disetel keras-keras.
"Iblis! Manusia tak tahu
adat, tak tahu balas budi. Dasar komunis," kata-kata itu cuma digumamkan
Kakek Marijan dalam kamarnya. Memang si menantu kadang bisa juga bersikap
santun dan manis. Tapi hati Kakek Marijan telanjur cedera dan menyimpan dendam.
Meski anaknya selalu bilang. "Jangan dimasukkan ke hati. Memang sifatnya
sudah begitu dari dulu. Anggap saja angin lalu." Kakek Marijan mau
mengatakan, perbuatannya sudah keterlaluan, tapi selalu urung. Ia paham,
anaknya tentu lebih membela suaminya. Makanya ia lebih senang memupuk dendam di
hatinya. Kakek Marijan tahu dirinya tidak berdaya dan mustahil dapat
melampiaskan dendamnya pada sang menantu secara fisik. Waktu jadi terasa
panjang dan sangat menyiksa setiap ia harus bertemu menantunya dalam rumah yang
sempit, di mana nafas para penghuninya terdengar satu sama lain. Makanya Kakek
Marijan lebih sering keluar dari kamarnya, berjalan-jalan dari gang ke gang,
menyusuri kali yang arusnya lambat dan airnya pekat membawa segala macam limbah
sambil mengajak Narto setiap menantunya berada di rumah setelah seharian pergi
entah ke mana mengais rejeki.
Sering memang, Kakek Marijan
punya kesempatan bagus melampiaskan dendam dengan menghantamkan linggis di
kepala menantunya ketika sedang mendengkur. Tapi ia tak juga kuasa melakukanya.
Selalu dihalangi rasa cemas cucunya jadi yatim dan anaknya jadi janda. Padahal
ia tahu persis anaknya seringkali mendapat perlakuan kasar suaminya. Tapi Kakek
Marijan maklum, mereka tetap saling mencinta. Ditambah lagi keadaan dirinya
yang cacat. Ia tak mau terlunta-lunta dan mati di pinggir rel kereta.
"Hhh, apa maksudnya Tuhan
menciptakan makhluk sepecundang diriku." Demikian Kakek Marijan sering
menggugat nasib buruk yang melilit dirinya. Dia cuma sanggup menggugat dengan
keluhan-keluhan cengeng yang membuat dia kadang malu sendiri. "Kenapa aku
tidak bunuh diri saja." Nah niat ini pun cuma sekadar niat yang tidak
kunjung dilakukan. Tentu takut akan rasa sakit yang pasti dihadapi orang yang
meregang nyawa secara paksa. Dia heran sendiri kenapa mesti takut menghadapi
rasa sakit yang tentu tak terlalu lama menyengat. Padahal hidup yang dihadapi
pun sudah begitu menyakitkan, dan terlalu cukup untuk jadi alasan buat
diakhiri.
Dendam di hati Kakek Marijan kian
menggunung. Selalu ia tahan-tahan untuk diletuskan. Rencana membunuh sang
menantu jelas sulit dilakukan. Dia mulai berpikir, menghitung-hitung apa yang
harus dilakukan supaya sang menantu laknat merasakan sakit hati seperti yang
dialaminya. Ya, Kakek Marijan hanya ingin menantunya merasa sakit hati. Tak
harus menyakiti fisik, apalagi membunuhnya.
Cara yang pernah ia rencanakan
namun urung dilakukan adalah menyuruh anaknya menyeleweng. Ini tak dilakukan
jelas karena ia tak mungkin bekerja sama dengan anaknya yang tentu saja lebih
membela suaminya.
Kakek Marijan terus berjalan
terseok-seok menarik gerobak. Hari makin gelap, sedang gerimis tetap setia
mengguyur tubuh rentanya yang mulai menggigil. Berkelebat terus-menerus di
kepalanya wajah sang menantu yang bermata merah, menghardik, "Matikan
tapenya, tua bangka! Maghrib. Tidak juga sadar mau masuk kubur. Bukannya
ibadah." Mengiang terus sepanjang waktu kata-kata itu. "Aku memang
komunis, tapi tahu menghargai orang ibadah."
Kakek Marijan pantas heran dengan
ucapan terakhir yang terlontar dari mulut menantunya itu. Yang ia tahu, komunis
ya komunis. Anti agama. Meski ia juga tak peduli apa itu komunis, apa itu
agama. Apa itu ber-Tuhan, apa itu anti Tuhan. Yang jelas menantunya telah
menyebabkan hatinya remuk parah. Dan ia tak menemukan cara membalaskan sakit
hatinya. Sampai kemudian muncul gagasan gila; membunuh cucunya sendiri. Ia tahu
Narto begitu berharga bagi ayahnya yang tak lain menantunya sendiri. Narto
satu-satunya harapan bagi ayahnya yang sangat dibanggakannya. Anak itu tidak
boleh disakiti. Bila sampai terjadi ayahnya mati-matian membela. Kakek Marijan
pernah melihat bagaimana sang menantu nyaris menggolok orang yang berani-berani
menyebabkan Narto menangis. Satu hal yang memang seharusnya membuat ia besar
hati.
Namun pada saat-saat begini ia
bertekad membunuh cucunya sendiri supaya ia bisa puas melihat menantunya remuk
redam. Maka, begitulah, saat yang ditunggu-tunggu tiba. Malam itu sang menantu
bersama istrinya berpesan supaya menjaga Narto baik-baik. Mereka tidak
menjelaskan hendak ke mana dan berapa lama. Kakek Marijan cuma diberi uang
untuk makan mereka berdua selama beberapa hari. Sempat ragu juga sebetulnya
ketika malam itu ia hendak membunuh cucunya sendiri. Ditatapnya wajah Narto
yang persis wajah sang menantu. Dihidup-hidupkan dendam di hatinya. Nyala merah
mata si menantu yang menatapnya dengan jijik. Hardikan-hardikannya diputar lagi
di telinganya seperti memutar rekaman kaset. Dan memang tumbuh juga. Kakek
Marijan bagai tidak melihat wajah Narto yang tengah terlelap dalam dekapannya,
melainkan wajah bengis sang menantu. Ia terlonjak, bangkit meraih bantal?
***
Kakek Marijan berhenti di tepi
kali yang permukaan airnya memantulkan lampu-lampu gemerlapan dari kendaran
yang berseliweran. Di kali ini sering dilihatnya mayat mengambang kembung entah
siapa. Orang mati dibunuh atau bunuh diri. Ah, sama saja: mayat. Dan kini
cucunya bakal jadi salah satu dari mereka. Ya, semuanya sudah terjadi seperti
takdir. Pada saat demikian muncul lagi keberaniannya yang lain; Kakek Marijan
berniat untuk turut mecemplungkan diri. Mati. Ini jalan yang paling aman
barangkali, begitu ia berpikir. Sebab ia tak mungkin lagi pulang dan menghadapi
kemarahan sang menantu yang cepat atau lambat tentu akan tahu ia yang telah
membunuh cucunya sendiri.
Lebih aman aku mati bunuh diri
ketimbang digebuki sang menantu. Ya kalau langsung mati. Tidak begitu berat
menanggung risiko. Kalau diseret ke kantor polisi, diadili, lantas masuk
bui?***
Cirebon, 12 Maret 2004
0 comments:
Post a Comment