Cerpen Adek Alwi
Dimuat di Suara Pembaruan 11/11/2007 Telah Disimak 575 kali
SEJUK sekali! Di mana ini?" Mirna memeluk
tangan, menengok berkeliling. Hijau daun di mana-mana. Bunga aneka warna.
"Embun Pagi," jawab Herman di luar mobil.
"Tiga puluh kilo dari Bukittinggi. Keluarlah, lihat ke bawah!"
Mirna keluar mendekat, mendadak terhenti. Di dasar
lembah terhampar danau, tenang tak beriak, airnya biru dipagari bukit hijau.
Rumah bertebaran di pinggir, juga masjid dan surau, atapnya seng berkilau
disinari matahari.
"Danau Maninjau." Herman tersenyum.
"Indah, kan?"
"Indah!" Mirna tak membalas tatap lelaki
itu. Ia amat terpesona. Pikiran yang memberat oleh kesibukan dan kerisauan ibu
melihat dia masih sendiri di usia 33 luruh seketika. Ia tak sempat berpikir
bagaimana alam dapat meredam galau jiwa manusia, menenangkan hati dan pikiran.
Ia takjub, terus menatap; menampakkan garis kening, hidung, bibir, dagu yang
indah dari samping. Herman berdebar. Lalu dia menggeleng, merasa diri sudah tak
berhak. Perempuan ini bisiknya di hati, niscaya bukan yang dulu lagi.
"Itu Sungai Batang," tunjuk Herman.
"Di situ Hamka dan Noer Sutan Iskandar lahir. Juga kampung penyair Samadi
alias Anwar Rasjid."
Mirna menoleh, lalu kembali memandang danau.
"Itu Sigiran, kampung penyair Leon
Agusta," sambung Herman. "Sebelah situ Bayur. Desa kelahiran Jusuf
Sou'yb, novelis dan penyair."
Kini Mirna menghadapkan wajah. Herman lagi-lagi
merasa desir lama di hati; bangkit dari lubuk yang dalam. "Tentu keindahan
danau ini membuat putra-putranya jadi seniman," balas Mirna.
"Mungkin. Novel Kemarau pun ditulis AA Navis
sewaktu tinggal di Maninjau masa PRRI. Inspirasinya dia peroleh setelah
mengamati danau."
"Tapi, Maninjau bukan hanya melahirkan
seniman," sambung Herman. "Juga M. Natsir, Rasuna Said, ulama besar
ayah Hamka, Syekh DR Abdul Karim Amrullah. Dan, Buya Tuo AR Sutan Mansur.
Beliau ini abang ipar Hamka, pernah memimpin Muhammadiyah, dan ayah penyai
Samadi."
Mirna manggut-manggut. Tiba-tiba, dipandangnya
Herman. "Kukira kau mau mengajakku ke kampungmu," katanya. "Apa
namanya?"
"Saruaso."
"Tidak pernah kau sebut waktu kuliah. Di mana
itu?"
"Dekat Pagaruyung. Eh, mengapa tertawa?"
Mirna menggeleng, tersenyum.
"Kamu tertawa!" Herman penasaran.
"Ada apa?"
"Tidak. Hanya terpikir, mungkin karena dekat
Pagaruyung aku tidak kau bawa ke sana. Dekat pusat budaya Minang tentu adatnya
kuat. Kau pasti risi jalan dengan perempuan lain, takut dikira selingkuh."
"Bukan karena itu!" bantah Herman.
"Karena apa?"
"Jauh. Dan, kau suka danau. Lihat Lido saja
dulu takjub, padahal danau kecil."
Sudah berapa tahunkah itu? Sepuluh? Sebelas? Lelaki
itu masih ingat. Saat itu libur kuliah dan mereka ke danau dekat Bogor itu.
Tapi kenapa merasa harus ada yang berarti bila orang ingat sesuatu, pikir
Mirna. Aku pun tetap ingat lelaki ini, kapan saja, di mana pun, padahal itu
sia-sia. Mustahil Herman masih sendiri, seperti masa kuliah.
"Ya, Lido kecil dibanding ini," kata
Mirna. "Betul tidak ada danau di Saruaso, Man? Danau Singkarak itu di
mana?"
"Dekat Padang Panjang. Kalau kamu lama di
Sumatera Barat kubawa ke sana. Juga ke kampungku."
"Ke Saruaso?"
"Kenapa tidak?" sahut Herman. "Eh,
mengapa terkejut?"
Mirna menggeleng, kembali melihat danau. Senyum.
"Menurutmu apa dengan pergi berdua begini kita sudah selingkuh?" dia
bilang.
"Kenapa bertanya begitu?"
"Karena aku tak ingin ada yang dikhianati.
Sakit dikhianati."
Herman tertegun. "Jadi, kamu merasa ada yang
kita khianati di Jakarta?"
"Seperti yang di Saruaso?" balas Mirna
tangkas.
Herman diam, melayangkan mata ke danau. Bagaimana
ia jawab sindiran itu? Masih berguna dijawab? Sepuluh tahun tidak jumpa bukan
waktu yang singkat. Pasti Mirna tidak sendiri lagi. Dengan ketenaran sebagai
doktor ekonomi, cantik, mustahil dia masih sendiri. Langkahnya pun telah jauh,
menjejak benua-benua asing, saat studi atau untuk berseminar.
u
MENTARI mendekati tengah langit, cahayanya kemilau
di permukaan danau. Di Embun Pagi tetap sejuk. Herman merasa, saat ini yang
terbaik adalah minta maaf. Bukankah dulu dia lenyap begitu saja dari Jakarta,
usai wisuda, saat ayahnya wafat? Bukankah dia yang ingkar janji?
Walau janji bagi banyak orang kini diumbar lalu
diingkari, tapi tidak baginya. Herman tak setuju pemeo titian biasa lapuk,
janji biasa mungkir. Ia suka pemeo Tiongkok: sekali kata diucap, tiga ribu kuda
tak mampu menariknya kembali. Ia pun tahu, meski tak terlihat di wajah Mirna
saat jumpa kemarin, juga dalam kebersamaan mereka sejak pagi tadi, Mirna
terluka dia tinggalkan.
Ke siapa dia dulu cerita sebelum pulang? Tak ada.
Semua serba tergesa. Mirna mudik ke Jawa, dan dia panik mendengar kematian
ayahnya, pontang-panting mencari ongkos pulang. Lalu terikat di kampung, jadi
tiang keluarga, dengan ruh melayang ke Jakarta, juga Amerika, mendengar Mirna
studi di negeri jauh itu.
"Ayo ke bawah, Mir. Biar kamu lihat danau itu
dari dekat," ajak Herman.
"Lewat jalan itu?"
"Namanya Kelok 44, karena ada empat puluh
empat tikungan, dibangun masa Belanda. Lewat di situ danau bak minta disentuh.
Dan di bawah, di Maninjau menanti makanan khas sini, palai rinuak, pepes ikan
kecil-kecil putih sepentul korek api. Ayo, kapan lagi kamu ke Ranah Minang dan
menikmati salah satu danaunya!"
"Kamu kenal betul daerah ini padahal jauh dari
kampungmu," kata Mirna.
"Kamu lupa aku pengusaha hotel walau kelas
melati?" Herman tertawa.
"Juga karena sering kemari?"
"Ya."
"Dengan istrimu?"
Herman tertegun. Nyeri. "Waktu SMA,"
katanya. "Lalu mengantar wisatawan. Ayo!" Dia berjalan ke mobil,
membuka pintu, dan Mirna masuk. Wajahnya memerah seperti jambu. Hati Herman
berdebar kembali, namun lekas dia stater mobil.
Mirna lalu menikmati danau lewat jendela mobil yang
terbuka. Danau semakin indah; kadang di kiri, kanan, dan terus mendekat.
"Dari siapa kau tahu ada aku dalam seminar itu?" Mirna mengalihkan
mata dari danau.
"Kubaca iklannya di koran. Doktor Mirna
Ciptarianing jadi pembicara."
"Kamu menyetir dari Padang ke Bukittinggi
memastikan? Berapa jaraknya?"
"Sembilan puluh kilo. Aku ingin memastikan
tidak ada yang berubah."
"Ternyata?"
"Ternyata... Doktor itu memang
pembicara." Herman tertawa. "Walau tentu ada yang berubah."
"Apa?" Suara Mirna bergetar. "Kamu
tentu juga berubah, kan?"
"Ya, aku kini pengusaha hotel kecil."
Herman ketawa lagi.
Mirna mencari mata lelaki itu tapi Herman melihat
ke jalan. "Menurutmu apa yang berubah padaku?" desak Mirna.
Herman berpikir. Akan ia katakan terus terang?
Tidakkah jawaban Mirna nanti menyakitkan? Bahwa, karena ia ingkar janji, lenyap
begitu saja, perubahan itu terjadi! Siapa sudi terus sendiri, menanti lelaki
yang tak jelas hutan rimbanya!
"Kamu... ya, seperti sekarang. Ekonom
terkenal, tiap hari ditulis koran, masuk televisi!" Herman membelokkan
jawaban.
"Ngenyek!" Mirna meninju lengannya. Hati
Herman berdebar pula. Tapi naluri pemilik hotel dan pemandu wisata dia beri
peluang bereaksi. "Ini Kelok 13," katanya. "Saat perang saudara
dibuat orang pasar di sini. Hubungan putus dengan Bukittinggi, kota kabupaten.
Penduduk dan para pemimpin PRRI yang mengungsi ke sini terisolir. Daerah
Maninjau dihujani mortir dari Embun Pagi. Korbannya, ya, rakyat."
"Selalu rakyat jadi korban," sahut Mirna.
"Ya. Bagaimana menurutmu danau itu dari
sini?"
"Makin indah!"
"Ya, dari tiap kelok danau itu kian
indah."
"Sering kamu bawa istrimu kemari?"
Herman melihat jalan. Tahukah dia, mendengar itu
wajahnya yang terbayang? Ah, akan dia katakan saja sekarang? Masih bergunakah?
Tak lebih menyakitkan? Hm, ada baiknya belajar pada alam, renung Herman. Pada
danau yang menerima segalanya dengan tabah. Lihat, danau tetap teduh-indah
meski sungai yang mengaliri tentu tidak hanya membawa air. Juga yang serba tak
sedap.
***
MEREKA sampai di kelok pertama, gerbang kota kecil
Maninjau. "Belok kiri ke kampung Hamka, Leon Agusta," Herman
menjelaskan. "Kita ke kanan arah Bayur. Ada restoran di tepi jalan,
sebagian bangunannya di atas danau, makanya makanannya enak. Mata leluasa
memandang danau, telinga mendengar riak-riak yang lunak."
"Kamu pemandu wisata profesional," puji
Mirna. "Aku menurut saja." Ia tahu Herman belum menjawab
pertanyaannya tapi matanya berbinar. Danau dua-tiga meter di kiri. Di seberang
terlihat rumah penduduk, juga di kanan jalan. Bebukitan hijau di belakang danau
melingkar menjaga keasrian.
Di mana ada keteduhan begini? Mirna ingat, dia pernah
ke Bali saat galau hati tak tertanggung. Tapi ada yang khas pada Maninjau, tak
ditemui pada danau di Bali.
Herman memarkir mobil di muka restoran
berarsitektur Minang. Mirna keluar, melepas sepatu, lari mencelupkan kaki ke
air. Tepi danau tak berpasir, cuma batu-batu kecil, dan ikan di selanya. Saat
ia angkat muka ia lihat Herman di atas depan restoran, tersenyum. Hati Mirna
teriris. Tak mungkin lelaki itu masih sendiri di negeri elok ini. Tapi, ia kini
bersamanya. Apakah ia telah mendorong Herman mengkhianati istrinya?
Herman mendekat lewat tangga batu, berseru,
"Makan dulu, nanti ke situ!"
Mirna menarik kaki dari air dengan patuh,
menjinjing sepatu dan bersijingkat di bebatuan. Mereka duduk dekat jendela di
restoran, memandang danau.
"Permai?"
"Sangat indah!" Mata Mirna bercahaya.
"Sering kamu ajak istrimu ke sini?"
Herman menatap. Lalu menyahut, dengan getar suara
yang nyata, "Satu kali."
"O, ya?" Mirna coba tersenyum, tapi
gagal. "Saat kalian baru... menikah?"
Herman terus memandang. "Bukan. Saat
ini!" Mirna kaget. Jarinya bergetar di meja, ditariknya ke pangkuan.
"Kenapa kamu kira aku punya istri?"
Herman menuntut -ia tak tahu dari mana datang keberanian. "Karena
meninggalkanmu? Ayahku meninggal, Mir. Aku tertahan di kampung, mengurus ibu,
adik-adik."
Mirna masih terpana, lalu senyum. "Dan,
kamu," balasnya dengan suara nyaris tidak terdengar. "Mengapa menduga
ada yang kukhianati di Jakarta?"
Tak perlu lagi jawaban, penjelasan. Mata Herman
bersinar. Danau kian indah kilau-kemilau memantulkan berkas cahaya. ***
© 2002-2007 Sriti.com. All Rights Reserved.
0 comments:
Post a Comment