Cerpen: A Mustofa
Bisri
Sumber: Jawa Pos,
Edisi 11/27/2005 Post: 12/03/2005
Disimak: 219 kali
Apa yang harus aku lakukan? Berilah aku saran! Aku
benar-benar pusing.
Apabila masalahku ini berlarut-larut dan aku tidak segera
menemukan pemecahannya, aku khawatir akan berdampak buruk terhadap kondisi
kesehatan dan kegiatanku dalam masyarakat. Lebih-lebih terhadap dua permataku
yang manis-manis: Gita dan Ragil.
Tapi agar jelas, biarlah aku ceritakan lebih dahulu dari
awal.
Aku lahir dan tumbuh dalam keluarga yang -katakanlah--
kecukupan. Aku dianugerahi Tuhan wajah yang cukup cantik dan perawakan yang
menawan. Sejak kecil aku sudah menjadi "primadona" keluarga. Kedua
orang tuaku pun, meski tidak memanjakanku, sangat menyayangiku.
Di sekolah, mulai SD sampai dengan SMA, aku pun
--alhamdulillah-juga disayangi guru-guru dan kawan-kawanku. Apalagi aku sering
mewakili sekolah dalam perlombaan-perlombaan dan tidak jarang aku menjadi
juara.
Ketika di SD aku pernah menjadi juara I lomba menari. Waktu
SMP aku mendapat piala dalam lomba menyanyi. Bahkan ketika SMA aku pernah
menjuarai lomba baca puisi tingkat provinsi.
Tapi sungguh, aku tidak pernah bermimpi akhirnya aku menjadi
artis di ibu kota seperti sekarang ini. Cita-citaku dari kecil aku ingin
menjadi pengacara yang di setiap persidangan menjadi bintang, seperti sering
aku lihat dalam film. Ini gara-gara ketika aku baru beberapa semester kuliah,
aku memenangkan lomba foto model. Lalu ditawari main sinetron dan akhirnya
keasyikan main film. Kuliahku pun tidak berlanjut.
Seperti umumnya artis-artis popular di negeri ini, aku pun
kemudian menjadi incaran perusahaan-perusahaan untuk pembuatan iklan; diminta
menjadi presenter dalam acara-acara seremonial; menjadi host di tv-tv; malah
tidak jarang diundang untuk presentasi dalam seminar-seminar bersama
tokoh-tokoh cendekiawan. Yang terakhir ini, boleh jadi aku hanya dijadikan alat
menarik peminat. Tapi apa rugiku? Asal aku diberi honor standar, aku tak peduli.
Soal kuliahku yang tidak berlanjut, aku menghibur diriku
dengan mengatakan kepada diriku, "Ah, belajar kan tidak harus di bangku
kuliah. Lagi pula orang kuliah ujung-ujungnya kan untuk mencari materi. Aku
tidak menjadi pengacara dan bintang pengadilan, tak mengapa; bukankah kini aku
sudah menjadi superbintang. Materi cukup."
Memang sebagai perempuan yang belum bersuami, aku cukup
bangga dengan kehidupanku yang boleh dikata serba kecukupan. Aku sudah mampu
membeli rumah sendiri yang cukup indah di kawasan elite. Ke mana-mana ada mobil
yang siap mengantarku. Pendek kata aku bangga bisa menjadi perempuan yang
mandiri. Tidak lagi bergantung kepada orang tua. Bahkan kini sedikit-banyak aku
bisa membantu kehidupan ekonomi mereka di kampung. Sementara banyak
kawan-kawanku yang sudah lulus kuliah, masih lontang-lantung mencari pekerjaan.
Kadang-kadang untuk sekadar menyenangkan orang tua, aku
mengundang mereka dari kampung. Ibuku yang biasanya nyinyir mengomentari apa
saja yang kulakukan dan menasehatiku ini-itu, kini tampak seperti sudah
menganggapku benar-benar orang dewasa. Entah kenyataannya demikian atau hanya
karena segan kepada anaknya yang kini sudah benar-benar hidup mandiri. Yang
masih selalu ibu ingatkan, baik secara langsung atau melalui surat, ialah soal
ibadah.
"Nduk, ibadah itu penting. Bagaimana pun sibukmu, salat
jangan kamu abaikan!"
"Sempatkan membaca Quran yang pernah kau pelajari
ketika di kampung dulu, agar tidak hilang."
"Bila kamu mempunyai rezeki lebih, jangan lupa
bersedekah kepada fakir miskin dan anak yatim."
Ya, kalimat-kalimat semacam itulah yang masih sering beliau
wiridkan. Mula-mula memang aku perhatikan; bahkan aku berusaha melaksanakan
nasihat-nasihat itu, tapi dengan semakin meningkatnya volume kegiatanku,
lama-lama aku justru risi dan menganggapnya angin lalu saja.
Sebagai artis tenar, tentu saja banyak orang yang
mengidolakanku. Tapi ada seorang yang mengagumiku justru sebelum aku menjadi
setenar sekarang ini. Tidak. Ia tidak sekadar mengidolakanku. Dia menyintaiku
habis-habisan. Ini ia tunjukkan tidak hanya dengan hampir selalu hadir dalam
even-even di mana aku tampil; ia juga setia menungguiku shoting film dan
mengantarku pulang. Tidak itu saja. Hampir setiap hari, bila berjauhan, dia
selalu telepon atau mengirim SMS yang seringkali hanya untuk menyatakan kangen.
Di antara mereka yang mengagumiku, lelaki yang satu ini
memang memiliki kelebihan. Dia seorang pengusaha yang sukses. Masih muda,
tampan, sopan, dan penuh perhatian. Pendek kata, akhirnya aku takluk di hadapan
kegigihannya dan kesabarannya. Aku berhasil dipersuntingnya. Tidak perlu aku
ceritakan betapa meriah pesta perkawinan kami ketika itu. Pers memberitakannya
setiap hari hampir dua minggu penuh. Tentu saja yang paling bahagia adalah
kedua orang tuaku yang memang sejak lama menghendaki aku segera mengakhiri masa
lajangku yang menurut mereka mengkhawatirkan.
Begitulah, di awal-awal perkawinan, semua berjalan baik-baik
saja. Setelah berbulan madu yang singkat, aku kembali menekuni kegiatanku
seperti biasa. Suamiku pun tidak keberatan. Sampai akhirnya terjadi sesuatu
yang benar-benar mengubah jalan hidupku.
Beberapa bulan setelah Ragil, anak keduaku, lahir,
perusahaan suamiku bangkrut gara-gara krisis moneter. Kami, terutama suamiku,
tidak siap menghadapi situasi yang memang tidak terduga ini. Dia begitu
terpukul dan seperti kehilangan keseimbangan. Perangainya berubah sama sekali.
Dia jadi pendiam dan gampang tersinggung. Bicaranya juga tidak seperti dulu,
kini terasa sangat sinis dan kasar. Dia yang dulu jarang keluar malam, hampir
setiap malam keluar dan baru pulang setelah dini hari. Entah apa saja yang
dikerjakannya di luar sana. Beberapa kali kutanya dia selalu marah-marah, aku
pun tak pernah lagi bertanya.
Untung, meskipun agak surut, aku masih terus mendapatkan
kontrak pekerjaan. Sehingga, dengan sedikit menghemat, kebutuhan hidup
sehari-hari tidak terlalu terganggu. Yang terganggu justru keharmonisan
hubungan keluarga akibat perubahan perilaku suami. Sepertinya apa saja bisa
menjadi masalah. Sepertinya apa saja yang aku lakukan, salah di mata suamiku.
Sebaliknya menurutku justru dialah yang tak pernah melakukan hal-hal yang
benar. Pertengkaran hampir terjadi setiap hari.
Mula-mula, aku mengalah. Aku tidak ingin anak-anak
menyaksikan orang tua mereka bertengkar. Tapi lama-kelamaan aku tidak tahan.
Dan anak-anak pun akhirnya sering mendengar teriakan-teriakan kasar dari
mulut-mulut kedua orang tua mereka; sesuatu yang selama ini kami anggap tabu di
rumah. Masya Allah. Aku tak bisa menahan tangisku setiap terbayang tatapan tak
mengerti dari kedua anakku ketika menonton pertengkaran kedua orang tua mereka.
Sebenarnya sudah sering beberapa kawan sesama artis
mengajakku mengikuti kegiatan yang mereka sebut sebagai pengajian atau siraman
rohani. Mereka melaksanakan kegiatan itu secara rutin dan bertempat di rumah
mereka secara bergilir. Tapi aku baru mulai tertarik bergabung dalam kegiatan
ini setelah kemelut melanda rumah tanggaku. Apakah ini sekadar pelarian ataukah
--mudah-mudahan-- memang merupakan hidayah Allah. Yang jelas aku merasa
mendapatkan semacam kedamaian saat berada di tengah-tengah majelis pengajian.
Ada sesuatu yang menyentuh kalbuku yang terdalam, baik ketika sang ustadz
berbicara tentang kefanaan hidup di dunia ini dan kehidupan yang kekal kelak di
akhirat, tentang kematian dan amal sebagai bekal, maupun ketika mengajak jamaah
berdzikir.
Setelah itu, aku jadi sering merenung. Memikirkan tentang
diriku sendiri dan kehidupanku. Aku tidak lagi melayani ajakan bertengkar
suami. Atau tepatnya aku tidak mempunyai waktu untuk itu. Aku menjadi semakin
rajin mengikuti pengajian; bukan hanya yang diselenggarakan kawan-kawan artis,
tapi juga pengajian-pengajian lain termasuk yang diadakan di RT-ku. Tidak itu
saja, aku juga getol membaca buku-buku keagamaan.
Waktuku pun tersita oleh kegiatan-kegiatan di luar rumah.
Selain pekerjaanku sebagai artis, aku menikmati kegiatan-kegiatan pengajian.
Apalagi setelah salah seorang ustadz mempercayaiku untuk menjadi
"asisten"-nya. Bila dia berhalangan, aku dimintanya untuk mengisi
pengajian. Inilah yang memicu semangatku untuk lebih getol membaca buku-buku
keagamaan. O ya, aku belum menceritakan bahwa aku yang selama ini selalu
mengikuti mode dan umumnya yang mengarah kepada penonjolan daya tarik tubuhku,
sudah aku hentikan sejak kepulanganku dari umrah bersama kawan-kawan. Sejak itu
aku senantiasa memakai busana muslimah yang menutup aurat. Malah jilbabku
kemudian menjadi tren yang diikuti oleh kalangan muslimat.
Ringkas cerita; dari sekadar sebagai artis, aku berkembang
dan meningkat menjadi "tokoh masyarakat" yang diperhitungkan. Karena
banyaknya ibu-ibu yang sering menanyakan kepadaku mengenai berbagai masalah
keluarga, aku dan kawan-kawan pun mendirikan semacam biro konsultasi yang kami
namakan "Biro Konsultasi Keluarga Sakinah Primadona". Aku pun harus
memenuhi undangan-undangan --bukan sekadar menjadi "penarik minat"
seperti dulu-- sebagai nara sumber dalam diskusi-diskusi tentang
masalah-masalah keagamaan, sosial-kemasyarakatan, dan bahkan politik. Belum
lagi banyaknya undangan dari panitia yang sengaja menyelenggarakan forum
sekadar untuk memintaku berbicara tentang bagaimana perjalanan hidupku hingga
dari artis bisa menjadi seperti sekarang ini.
Dengan statusku yang seperti itu dengan volume kegiatan
kemasyarakatan yang sedemikian tinggi, kondisi kehidupan rumah tanggaku sendiri
seperti yang sudah aku ceritakan, tentu semakin terabaikan. Aku sudah semakin
jarang di rumah. Kalau pun di rumah, perhatianku semakin minim terhadap
anak-anak; apalagi terhadap suami yang semakin menyebalkan saja kelakuannya.
Dan terus terang, gara-gara suami, sebenarnyalah aku tidak kerasan lagi berada
di rumahku sendiri.
Lalu terjadi sesuatu yang membuatku terpukul. Suatu hari,
tanpa sengaja, aku menemukan sesuatu yang mencurigakan. Di kamar suamiku, aku
menemukan lintingan rokok ganja. Semula aku diam saja, tapi hari-hari
berikutnya kutemukan lagi dan lagi. Akhirnya aku pun menanyakan hal itu
kepadanya. Mula-mula dia seperti kaget, tapi kemudian mengakuinya dan berjanji
akan menghentikannya.
Namun beberapa lama kemudian aku terkejut setengah mati.
Ketika aku baru naik mobil akan pergi untuk suatu urusan, sopirku
memperlihatkan bungkusan dan berkata: "Ini milik siapa, Bu?"
"Apa itu?" tanyaku tak mengerti.
"Ini barang berbahaya, Bu," sahutnya khawatir,
"Ini ganja. Bisa gawat bila ketahuan!"
"Masya Allah!" Aku mengelus dadaku. Sampai sopir
kami tahu ada barang semacam ini. Ini sudah keterlaluan.
Setelah aku musnahkan barang itu, aku segera menemui suamiku
dan berbicara sambil menangis. Lagi-lagi dia mengaku dan berjanji kapok, tak
akan lagi menyentuh barang haram itu. Tapi seperti sudah aku duga, setelah itu
aku masih selalu menemukan barang itu di kamarnya. Aku sempat berpikir,
jangan-jangan kelakuannya yang kasar itu akibat kecanduannya mengonsumsi barang
berbahaya itu. Lebih jauh aku mengkhawatirkan pengaruhnya terhadap anak-anak.
Terus terang aku sudah tidak tahan lagi. Memang terpikir
keras olehku untuk meminta cerai saja, demi kemaslahatanku dan terutama
kemaslahatan anak-anakku. Namun seiring maraknya tren kawin-cerai di kalangan
artis, banyak pihak terutama fans-fansku yang menyatakan kagum dan memuji-muji
keharmonisan kehidupan rumah tanggaku. Bagaimana mereka ini bila tiba-tiba
mendengar --dan pasti akan mendengar-- idolanya yang konsultan keluarga sakinah
ini bercerai? Yang lebih penting lagi adalah akibatnya pada masa depan
anak-anakku. Aku sudah sering mendengar tentang nasib buruk yang menimpa
anak-anak orang tua yang bercerai. Aku bingung.
Apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus mengorbankan
rumah tanggaku demi kegiatan kemasyarakatanku, ataukah sebaiknya aku
menghentikan kegiatan kemasyarakatan demi keutuhan rumah tanggaku? Atau
bagaimana? Berilah aku saran! Aku benar-benar pusing!***






0 comments:
Post a Comment