Cerpen: Oleh Afri Meldam
Minggu, 14 Mei 2006
Salsabila itu ada di matamu. Biarkan seribu camar memberiku erang. Albatros yang kemudian menukik dalam langkahku. Ada temali. Ada jangkar. Mak, simpanlah catatan harianmu di relung merah senja. Aku akan kembali. Tapi, relakan semua kelabat hadir menuju mimpi. "Mungkin besok kau berteman neon ataupun ranjang kosong. Bukalah jendela, tatap ombak. Maka, akan kau jumpai bayangku di sana."
Aku tak pernah mengering seperti
sahara. Karena aku adalah oase abadi yang kapan saja bisa membujuk mata para
musafir mereguk dalam terik. "Jangan tatap aku seperti itu. Aku tak tahan
melihat Salsabila yang membelah di kerling matamu. Pejamkanlah mata itu untuk
sejenak agar langkahku berubah kencana. Tolong padamkan obor yang menari di
pinggir matamu."
Di saat reranting musim itu
tersentuh ubanmu, maka nyala obor ini bukan lagi untukmu. Banyak degup yang
perlu kubakar. "Aku pergi, ya. Bye!"
Sebuah ciuman. Lalu hening
mengoyak.
* * *
Walaupun saya adalah seorang ibu
tiri, tapi maaf, saya bukanlah iblis ataupun anjing yang pada suatu purnama
menjelma bidadari. Serupa angin, saya bukanlah puting beliung. Serupa badai,
saya bukanlah tsunami. Serupa bunga, saya bukanlah raflesia. Saya seorang ibu
yang akan selalu mempunyai cinta untuk anak-anaknya. Namun, lihatlah sebongkah
salju yang lekat di ranjang ini. Melebihi antartika. Salju itulah yang memupuk
unggun di mata saya dan semua yang menatap akan terbakar hingga kemudian leleh.
Siapa pun akan 'leleh', termasuk kau anakku!
"Lelaki tembaga, aku
menunggumu di Taman Eden.
Mendekatlah, lelap dalam dekapku. Lelaki Tembaga, apakah kau mempunyai sayap
ataukah kau memang seekor pyton? Datanglah, maka akan kuberi kau sepasang sayap
yang akan membawamu membubung ke angkasa. Kemarilah, wahai orang yang terbakar.
Mari kita berkepak!"
Ia tertawa, lalu mengamit
tanganku. "Aku bukanlah seekor pyton seperti yang kau kira. Aku adalah
musafir kemarau yang terbakar terik matamu. Ia telah menuntun langkahku ke
mari. Aku dahaga. Bolehkah aku meneguk oase ini?"
"Lelaki Tembaga, apakah kau
mempunyai kerudung? Tutuplah awan itu, agar mataku benar-benar
menghanguskanmu."
"Tolong, yakinkan bahwa aku
tidak sedang mendayung mimpi di danau lelapku."
"Kau sedang terjaga, wahai
lelaki yang telah terbakar. Bahkan matamu pun kini menyusun ribuan lucifer.
Matamu tak redup seperti yang kau koyakkan. Kau telah mengurungku dalam lembah
lucifer itu!"
"Aku musafir kemarau yang
kehausan. Berilah aku teguk yang tiada tara.
Kaukah oase itu?"
"Boleh. Tapi, di matamu ada
salsabila yang mengalir!"
Suami saya seorang nahkoda.
Berlayar mengiringi deruku yang kian hilang. Asin laut yang kerap saya cerap
dari keringatnya, selalu menghujam belati. Dia benci nikotin. Berbulan-bulan ia
bertarung di samudera. Di saat itulah rindu saya membuncah. Malam dingin, saya
menggigil sendiri. Lampu redup. Saya membuka jendela dan turun ke halaman
belakang. Mengitari kolom renang yang airnya ternyata menambah rasa rindu saya
padanya. Saya pun kemudian masuk kembali. Mengganti pakaian. Memasang tank top,
memoles lipstik dan berjalan ke bawah remang, berusaha mengobati buncah di
dada. Namun, ya Tuhan. Tetap saja rindu berloncatan keluar dari tubuh saya
serupa kelekatu di bawah lampu, berserakan sepanjang jalan. Saya menangis teriak-teriak.
Malam yang kosong pantulkan raung saya menyerupai serigala lapar. Dan, dalam
kalut hati, sebuah pertanyaan menyergap: laparkah engkau, wahai wanita?
"Di manakah suaraku?"
Hampir setiap malam, sebuah
kereta datang dan berhenti di kamar saya. Tanpa masinis, kereta itu menyedot
tubuh saya dan memaksa saya untuk duduk di lokomotif (karena, pergilah
menggapai beku: kaulah masinis!). Angin malam menusuk-nusuk tubuh saya, tetapi
saya tetap dalam kereta. Menggelinding di atas rel-rel panjang (ke manakah langkahku?)
yang menerkam sunyi. Orang-ornag hilang dan lebur matahari. Semua mengering
kemarau. (Ke manakah langkahku?). Saya haus! Berilah saya seteguk cawan, kata
saya. Tetapi, saya sendiri tidak tahu entah kepada siapa saya meminta. Kepada
angin? Tak. Kepada bul-bul? Tak. Kepada anjing? Tak. Tak. Tak. Tak. Tak. Tak.
Tak. "Anjing!" Saya memaki-maki sementara kereta terus melaju,
mendesing membawa saya. Kelam bertambah malam saja: purnama pecah, gemintang
berguguran. Dan, anjing! Angin itu meniup ranum tubuh saya. Kereta berhenti
bukan di stasiun, tapi di sebuah savana tundra Antartika. Saya mencari-cari
bara api atau puntung atau unggun api, namun tetap tak ada, di gerbong mana
pun. Kemudian saya menggapai sweater, tetapi leleh dalam dingin antartika. Begitu
dingin.
Wahai, Engkau! Apakah yang
berkelabat di mata angan? Saya terbayang kapal Titanic yang dulu tenggelam di
sini. Tenggelam bersama cinta Ros dan Jack - seorang pemuda penjudi - yang pada
suatu ketika mendapat kesempatan berlayar di sebuah pesiar mewah. Di sana, ia bertemu dengan
Ros, yang pada waktu itu telah bertunangan. Namun, cinta tetaplah cinta,
walaupun cinta sering diragukan sebagai cinta. Tak jarang, cinta berubah jadi
nafsu ataupun kepahitan yang getir. Saya tahu - setidaknya merasa - cinta Jack
dan Ros adalah cinta yang benar-benar cinta. Cinta yang pada akhirnya digulung
badai. Dan, cinta kami? Apakah cinta kami adalah cinta? Ataukah cinta kami
telah mendaki sebuah puncak kepahitan yang retak?
Dan, dingin Antartika tak henti
menguyur tubuh saya. Di atas ranjang ini! Kadang, saya terdampar di sebuah
gurun yang begitu tandus. Tak ada kurma. Yang ada hanyalah secawan anggur perah
yang menghempas di bibir saya. Menanti musafir, saya mencoba tarian salsa.
Liuk-liuk dengan secawan anggur. Kemarilah, wahai musafir!
* * *
Sebagai seorang perempuan, saya
termasuk perempuan yang beruntung. Walau jejak hidup saya begitu hitam
sebelumnya. Rasanya tidak naif apalagi hiperbolis jika saya bertutur demikian.
Sebab, pertemuan saya dengan nahkoda itu - beberapa tahun lalu - telah membawa
perubahan yang berarti dalam hidup saya. Sekedar pemberitahuan, dulu, saya
adalah seekor kupu-kupu penghisap yang menerkam mangsa di hotel-hotel
berbintang. Kemudian, saya bertemu dengan nahkoda itu. Ia mengajak saya menikah
dan keluar dari kubangan hitam itu. Tiada terlukiskan, alangkah bahagianya saya
ketika itu. Bayangkan saja, sebutir sampah selokan dipungut oleh pangeran dan
kemudian ditahtakan dalam istana berlian. Istana yang ternyata membuahkan sepi
dalam hari-hari saya, di kemudian hari.
"Aku melihat Salsabila itu
mengalir di matamu. Izinkan aku berenang di sana. Telah lama aku merindukan
sungaimu."
* * *
Kau mempunyai seorang putra,
bukan? "Siapa namamu?" Saya adalah dirimu.
"Saya?" Saya ada di
nafasmu.
"Ya, kamu!" Kamu adalah
degup itu.
"Buat apa?" Buat kita
berdua.
"Ah, sekedar perkenalan.
Boleh, kan?"
"Buat apa berkenalan kalau
hanya 'sekedar'?"
"'Sekedar' tidak selalu
'sekedar', bukan?"
"Ya, mungkin saja."
"Kenapa kau menikah dengan
papa?"
"Kami saling mencintai."
"Cinta? Itu saja?"
"Lebih. Dan, kau takkan
pernah tahu."
"Kenapa tidak?"
"Kau masih mentah dalam
urusan ini"
"Ah, apa bedanya dengan
kamu. Apa kau benar-benar tahu, apa itu cinta?"
"Cinta, ya cinta!"
"Tahukah kau siapa yang
mempunyai cinta?"
"Semua punya cinta, termasuk
kau!"
"Maukah kau jika seandainya
cinta itu saya berikan kepadamu?"
"Ah, jangan ngaco ah! Kau kan anakku!"
"Justru itu!"
"Lho?"
"Ya, bukankah cinta itu
terbagi sekian juta? Etis, bukan, jika seorang anak mencintai ibunya
sendiri?"
"Ya, tapi.." "Mari
kita buang kata itu!"
"Ingat, saya istri papa
kamu!"
"Istri?
Ia membakar tubuhku.
* * *
Wahai musafir! Singgahlah di oase
ini. Kupersilahkan kau mereguk zam-zam. Saya kembali ke sahara dan menari di sana. Di tangan saya,
secawan anggur masih tetap menggeliat. Siapakah musafir yang akan terlebih
dahulu mereguk anggur ini? Siapa pun boleh meneguk, termasuk kau, wahai anakku!
Alirkan salsabila itu ke mataku.
Kau takkan pernah paham betapa
rindu telah menumpahkan riak salsabila yang ada di mata saya kepadanya. Saya
hanya melihat segerombolan kelelawar datang mencabik sungai dan memecahnya.
Sudah berkali-kali saya mencoba raup kembali, namun tetap berserak. Dan, mata
Salsabila itu telah mengalir ke matanya. Tumpah tak tersisa.
Siapakah engkau? Saya adalah
engkau dan Engkau adalah saya. Oh, angin datang bersama bul-bul. Oh, getar!
"Jangkar telah ditarik.
Secepat mungkin aku harus pergi."
"Tolong petikkan rembulan
itu! Aku ingin kau memetikkannya untukku."
"Tidak, aku musti berarak
sekarang juga. Bye!"
Sebuah ciuman, lalu hening
mengoyak.
Siapakah engkau?
"Wahai Lelaki Tembaga,
masihkah kau mempunyai kuda putih dan tali kekang?"
"Sudah berkali-kali saya
katakan kepadamu, saya bukan Lelaki Tembaga. Saya adalah musafir kemarau yang
terjebak dalam matamu."
"Dan, aku adalah ..."
"Kau adalah aku!"
Aku terbakar dan menggelepar
dalam lapar! ***
0 comments:
Post a Comment