Sunday, 22 June 2014

Musafir Kemarau



Cerpen: Oleh Afri Meldam
Minggu, 14 Mei 2006

Salsabila itu ada di matamu. Biarkan seribu camar memberiku erang. Albatros yang kemudian menukik dalam langkahku. Ada temali. Ada jangkar. Mak, simpanlah catatan harianmu di relung merah senja. Aku akan kembali. Tapi, relakan semua kelabat hadir menuju mimpi. "Mungkin besok kau berteman neon ataupun ranjang kosong. Bukalah jendela, tatap ombak. Maka, akan kau jumpai bayangku di sana."
Aku tak pernah mengering seperti sahara. Karena aku adalah oase abadi yang kapan saja bisa membujuk mata para musafir mereguk dalam terik. "Jangan tatap aku seperti itu. Aku tak tahan melihat Salsabila yang membelah di kerling matamu. Pejamkanlah mata itu untuk sejenak agar langkahku berubah kencana. Tolong padamkan obor yang menari di pinggir matamu."
Di saat reranting musim itu tersentuh ubanmu, maka nyala obor ini bukan lagi untukmu. Banyak degup yang perlu kubakar. "Aku pergi, ya. Bye!"
Sebuah ciuman. Lalu hening mengoyak.

* * *
Walaupun saya adalah seorang ibu tiri, tapi maaf, saya bukanlah iblis ataupun anjing yang pada suatu purnama menjelma bidadari. Serupa angin, saya bukanlah puting beliung. Serupa badai, saya bukanlah tsunami. Serupa bunga, saya bukanlah raflesia. Saya seorang ibu yang akan selalu mempunyai cinta untuk anak-anaknya. Namun, lihatlah sebongkah salju yang lekat di ranjang ini. Melebihi antartika. Salju itulah yang memupuk unggun di mata saya dan semua yang menatap akan terbakar hingga kemudian leleh. Siapa pun akan 'leleh', termasuk kau anakku!
"Lelaki tembaga, aku menunggumu di Taman Eden. Mendekatlah, lelap dalam dekapku. Lelaki Tembaga, apakah kau mempunyai sayap ataukah kau memang seekor pyton? Datanglah, maka akan kuberi kau sepasang sayap yang akan membawamu membubung ke angkasa. Kemarilah, wahai orang yang terbakar. Mari kita berkepak!"
Ia tertawa, lalu mengamit tanganku. "Aku bukanlah seekor pyton seperti yang kau kira. Aku adalah musafir kemarau yang terbakar terik matamu. Ia telah menuntun langkahku ke mari. Aku dahaga. Bolehkah aku meneguk oase ini?"
"Lelaki Tembaga, apakah kau mempunyai kerudung? Tutuplah awan itu, agar mataku benar-benar menghanguskanmu."
"Tolong, yakinkan bahwa aku tidak sedang mendayung mimpi di danau lelapku."
"Kau sedang terjaga, wahai lelaki yang telah terbakar. Bahkan matamu pun kini menyusun ribuan lucifer. Matamu tak redup seperti yang kau koyakkan. Kau telah mengurungku dalam lembah lucifer itu!"
"Aku musafir kemarau yang kehausan. Berilah aku teguk yang tiada tara. Kaukah oase itu?"
"Boleh. Tapi, di matamu ada salsabila yang mengalir!"
Suami saya seorang nahkoda. Berlayar mengiringi deruku yang kian hilang. Asin laut yang kerap saya cerap dari keringatnya, selalu menghujam belati. Dia benci nikotin. Berbulan-bulan ia bertarung di samudera. Di saat itulah rindu saya membuncah. Malam dingin, saya menggigil sendiri. Lampu redup. Saya membuka jendela dan turun ke halaman belakang. Mengitari kolom renang yang airnya ternyata menambah rasa rindu saya padanya. Saya pun kemudian masuk kembali. Mengganti pakaian. Memasang tank top, memoles lipstik dan berjalan ke bawah remang, berusaha mengobati buncah di dada. Namun, ya Tuhan. Tetap saja rindu berloncatan keluar dari tubuh saya serupa kelekatu di bawah lampu, berserakan sepanjang jalan. Saya menangis teriak-teriak. Malam yang kosong pantulkan raung saya menyerupai serigala lapar. Dan, dalam kalut hati, sebuah pertanyaan menyergap: laparkah engkau, wahai wanita?
"Di manakah suaraku?"
Hampir setiap malam, sebuah kereta datang dan berhenti di kamar saya. Tanpa masinis, kereta itu menyedot tubuh saya dan memaksa saya untuk duduk di lokomotif (karena, pergilah menggapai beku: kaulah masinis!). Angin malam menusuk-nusuk tubuh saya, tetapi saya tetap dalam kereta. Menggelinding di atas rel-rel panjang (ke manakah langkahku?) yang menerkam sunyi. Orang-ornag hilang dan lebur matahari. Semua mengering kemarau. (Ke manakah langkahku?). Saya haus! Berilah saya seteguk cawan, kata saya. Tetapi, saya sendiri tidak tahu entah kepada siapa saya meminta. Kepada angin? Tak. Kepada bul-bul? Tak. Kepada anjing? Tak. Tak. Tak. Tak. Tak. Tak. Tak. "Anjing!" Saya memaki-maki sementara kereta terus melaju, mendesing membawa saya. Kelam bertambah malam saja: purnama pecah, gemintang berguguran. Dan, anjing! Angin itu meniup ranum tubuh saya. Kereta berhenti bukan di stasiun, tapi di sebuah savana tundra Antartika. Saya mencari-cari bara api atau puntung atau unggun api, namun tetap tak ada, di gerbong mana pun. Kemudian saya menggapai sweater, tetapi leleh dalam dingin antartika. Begitu dingin.
Wahai, Engkau! Apakah yang berkelabat di mata angan? Saya terbayang kapal Titanic yang dulu tenggelam di sini. Tenggelam bersama cinta Ros dan Jack - seorang pemuda penjudi - yang pada suatu ketika mendapat kesempatan berlayar di sebuah pesiar mewah. Di sana, ia bertemu dengan Ros, yang pada waktu itu telah bertunangan. Namun, cinta tetaplah cinta, walaupun cinta sering diragukan sebagai cinta. Tak jarang, cinta berubah jadi nafsu ataupun kepahitan yang getir. Saya tahu - setidaknya merasa - cinta Jack dan Ros adalah cinta yang benar-benar cinta. Cinta yang pada akhirnya digulung badai. Dan, cinta kami? Apakah cinta kami adalah cinta? Ataukah cinta kami telah mendaki sebuah puncak kepahitan yang retak?
Dan, dingin Antartika tak henti menguyur tubuh saya. Di atas ranjang ini! Kadang, saya terdampar di sebuah gurun yang begitu tandus. Tak ada kurma. Yang ada hanyalah secawan anggur perah yang menghempas di bibir saya. Menanti musafir, saya mencoba tarian salsa. Liuk-liuk dengan secawan anggur. Kemarilah, wahai musafir!
* * *
Sebagai seorang perempuan, saya termasuk perempuan yang beruntung. Walau jejak hidup saya begitu hitam sebelumnya. Rasanya tidak naif apalagi hiperbolis jika saya bertutur demikian. Sebab, pertemuan saya dengan nahkoda itu - beberapa tahun lalu - telah membawa perubahan yang berarti dalam hidup saya. Sekedar pemberitahuan, dulu, saya adalah seekor kupu-kupu penghisap yang menerkam mangsa di hotel-hotel berbintang. Kemudian, saya bertemu dengan nahkoda itu. Ia mengajak saya menikah dan keluar dari kubangan hitam itu. Tiada terlukiskan, alangkah bahagianya saya ketika itu. Bayangkan saja, sebutir sampah selokan dipungut oleh pangeran dan kemudian ditahtakan dalam istana berlian. Istana yang ternyata membuahkan sepi dalam hari-hari saya, di kemudian hari.
"Aku melihat Salsabila itu mengalir di matamu. Izinkan aku berenang di sana. Telah lama aku merindukan sungaimu."
* * *
Kau mempunyai seorang putra, bukan? "Siapa namamu?" Saya adalah dirimu.
"Saya?" Saya ada di nafasmu.
"Ya, kamu!" Kamu adalah degup itu.
"Buat apa?" Buat kita berdua.
"Ah, sekedar perkenalan. Boleh, kan?"
"Buat apa berkenalan kalau hanya 'sekedar'?"
"'Sekedar' tidak selalu 'sekedar', bukan?"
"Ya, mungkin saja."
"Kenapa kau menikah dengan papa?"
"Kami saling mencintai."
"Cinta? Itu saja?"
"Lebih. Dan, kau takkan pernah tahu."
"Kenapa tidak?"
"Kau masih mentah dalam urusan ini"
"Ah, apa bedanya dengan kamu. Apa kau benar-benar tahu, apa itu cinta?"
"Cinta, ya cinta!"
"Tahukah kau siapa yang mempunyai cinta?"
"Semua punya cinta, termasuk kau!"
"Maukah kau jika seandainya cinta itu saya berikan kepadamu?"
"Ah, jangan ngaco ah! Kau kan anakku!"
"Justru itu!"
"Lho?"
"Ya, bukankah cinta itu terbagi sekian juta? Etis, bukan, jika seorang anak mencintai ibunya sendiri?"
"Ya, tapi.." "Mari kita buang kata itu!"
"Ingat, saya istri papa kamu!"
"Istri?
Ia membakar tubuhku.
* * *
Wahai musafir! Singgahlah di oase ini. Kupersilahkan kau mereguk zam-zam. Saya kembali ke sahara dan menari di sana. Di tangan saya, secawan anggur masih tetap menggeliat. Siapakah musafir yang akan terlebih dahulu mereguk anggur ini? Siapa pun boleh meneguk, termasuk kau, wahai anakku!
Alirkan salsabila itu ke mataku.
Kau takkan pernah paham betapa rindu telah menumpahkan riak salsabila yang ada di mata saya kepadanya. Saya hanya melihat segerombolan kelelawar datang mencabik sungai dan memecahnya. Sudah berkali-kali saya mencoba raup kembali, namun tetap berserak. Dan, mata Salsabila itu telah mengalir ke matanya. Tumpah tak tersisa.
Siapakah engkau? Saya adalah engkau dan Engkau adalah saya. Oh, angin datang bersama bul-bul. Oh, getar!
"Jangkar telah ditarik. Secepat mungkin aku harus pergi."
"Tolong petikkan rembulan itu! Aku ingin kau memetikkannya untukku."
"Tidak, aku musti berarak sekarang juga. Bye!"
Sebuah ciuman, lalu hening mengoyak.
Siapakah engkau?
"Wahai Lelaki Tembaga, masihkah kau mempunyai kuda putih dan tali kekang?"
"Sudah berkali-kali saya katakan kepadamu, saya bukan Lelaki Tembaga. Saya adalah musafir kemarau yang terjebak dalam matamu."
"Dan, aku adalah ..."
"Kau adalah aku!"
Aku terbakar dan menggelepar dalam lapar! ***


0 comments:

Post a Comment