Cerpen: Aliva Yasmin
Sumber: Republika, Edisi 12/04/2005 Post: 12/06/2005 Disimak: 128 kali
Gaduh suara roda gerobak sapi
yang melintas di jalan bebatuan sudah menghilang di balik tikungan ketika Liana
membuka pintu rumah. Segerombolan bocah dekil berlarian sambil memperebutkan
sesuatu. Dari kejauhan Minah melenggang dengan bakul jamu yang bertengger di
punggungnya sambil sesekali membetulkan letak selendang batik coklat lusuh yang
melintas di pundaknya. Gelungan rambutnya menempel hampir di ujung kepalanya.
Minah, gadis hitam manis berwajah bundar seperti bulan, menjadi salah satu
hiasan pagi sebuah desa di pinggiran propinsi Lampung.
Seperti biasa Minah selalu
menawari Liana, "Jamunya Bu?" Dan seperti biasanya pula Liana selalu
menjawabnya dengan gelengan kepala. Hanya dengan isyarat itu saja sudah cukup
baginya untuk mengerti bahwa Liana tidak menghendaki jamunya. Disibaknya
alang-alang setinggi pinggang yang hampir menghalangi langkahnya. Di depan
Puskesmas tampak seekor anjing kampung mengendus rumput-rumput liar yang tumbuh
tak terawat. Kebanyakan ibu-ibu yang tinggal sederetan dengan puskesmas itu
adalah pelanggan tetapnya, kecuali Liana, istri dokter Gunawan yang tinggal di
rumah dinas dokter PTT yang terletak tepat di seberang Puskesmas.
Liana memang bukan perempuan konsumen
jamu. Kehidupan masa kecilnya di kota besar telah menjauhkannya dari tradisi
minum jamu. Liana tak suka jamu karena satu alasan klise, pahit! Meskipun
sebetulnya di dalam hati ia tak pernah meragukan khasiat jamu bagi kesehatan
tubuh.
Penolakan Liana tidak pernah
membuat Minah jera untuk selalu menawarkan jamunya kembali pada Liana setiap
pagi. Hanya Liana saja yang kian hari kian merasa tak nyaman hatinya setiap
kali ia harus menolak jamu Minah. Kadangkala jika Liana kebetulan melihat Minah
dari kejauhan sedang berjalan menuju ke arah rumahnya, ia segera bergegas masuk
demi untuk menghindari perasaan tak nyaman apabila harus menolaknya. Tanpa
disadarinya, penawaran dan penolakan yang terjadi setiap pagi itu telah
menjalin seutas tali tipis yang menautkan hati Liana pada sang penjual jamu.
Ada sehelai getaran halus yang menciptakan sebentuk perasaan bersalah yang aneh
mengendap di hatinya setiap kali ia harus menolak tawaran gadis itu.
Jika pada suatu pagi tiba-tiba
Liana tidak lagi menghindar dan tak lagi menggelengkan kepala, itu karena luruh
hatinya oleh sang gadis tukang jamu itu. Lambaian tangan Liana pada pagi hari
yang aneh itu merupakan suatu tanda kemenangan bagi Minah yang telah mampu
mengalahkan Liana hingga akhirnya ia mau membeli jamunya. Liana sendiri tak
begitu yakin pada motivasinya untuk membeli jamu, ia hanya berpikir untuk
membeli jamu itu. Perkara ia akan meminumnya atau tidak biarlah menjadi urusan
nanti. Pokoknya ia harus membeli jamu itu, supaya bulu-bulu halus yang bergetar
di hatinya setiap kali ia menolak tawaran Minah tak perlu lagi merisaukannya.
"Di mana belajar bikin jamu,
Mbak?" tanya Liana.
"Embah saya transmigran dari
Wonogiri, Bu."
Minah menuang ramuan pertamanya
ke dalam gelas.
"Keluarga saya sudah
turun-temurun jualan jamu."
Ramuan dari botol-botol
berikutnya dicampurkannya lagi.
"Dulu waktu embah saya masih
muda dia yang jualan jamu. Tapi itu dulu
sebelum punggungnya kena rematik.
Sekarang embah sudah nggak kuat lagi." Gelas kedua mulai diisi.
"Sekarang ibu saya yang
bikin jamu, saya dan adik saya yang jualan."
Dua gelas jamu sudah selesai
diramu.
"Berapa, Mbak?" kata
Liana seraya membuka dompetnya.
"Tiga ratus, Bu!" Liana
tidak mempercayai pendengarannya.
"Berapa?"
Gadis itu tersenyum malu
mengulangi jawabannya, "Tiga ratus, Bu."
Sejak saat itu secara tidak resmi
Liana telah terdaftar sebagai pelanggan tetap penjual jamu yang manis itu.
Setiap hari dibelinya jamu si Minah tanpa pernah punya keinginan untuk
meminumnya. Pernah beberapa kali ia terpaksa mencoba menenggak cairan kental
berwarna hijau tua kecoklatan itu. Setiap tegukan ditelannya secepat yang bisa
ia lakukan, meskipun harus berakhir dengan seringai jelek di wajahnya, diiringi
bulu kuduk merinding yang membuatnya menggeliat bagai cacing kepanasan.
Pada beberapa hari pertama Liana
masih bisa memaksakan diri untuk meminum cairan yang mengerikan itu. Tapi lama
kelamaan setiap pagi nasib kedua gelas jamu itu akhirnya lebih sering berakhir
di lubang wastafel! Bukan di dalam perut Liana. Tapi hal itu tak pernah
membuatnya berpikir untuk mengundurkan diri dari kelompok pelanggan jamu si
Minah. Baginya berhenti menjadi pelanggan Minah lebih berat untuk dilakukan
daripada sekadar membuang dua gelas jamu setiap hari. Tentu saja Minah tak
boleh tahu akan apa yang ia lakukan terhadap jamunya.
Liana tak pernah berniat membeli
jamu. Ia hanya ingin membeli persahabatan dari pemilik wajah bundar dengan
sanggul mungil di ujung kepala. Ia hanya ingin membeli senyum kemenangan Minah
setiap kali ia melambaikan tangan memanggilnya. Namun tiga keping koin seratus
perak selalu menggelinding di dalam pikirannya. Sulit dimengerti oleh Liana,
mengapa uang sebesar tiga ratus rupiah untuk dua gelas jamu begitu berharga
untuk diperjuangkan oleh Minah. Di rumah Liana koin seratusan bagai tak ada
nilainya. Biasanya koin seratusan hanya akan menggelinding ke bawah kolong
lemari dan bakalan lama berada di situ sampai berdebu. Atau dibiarkan
tergeletak begitu saja di atas meja, tanpa ada seorangpun yang berniat untuk
menyingkirkannya, menyimpannya apalagi mencurinya. Kadang-kadang koin-koin
kembalian sisa belanjaan hanya tersangkut di kantong plastik bekas belanjaan
sebelum akhirnya ikut terbuang ke dalam tong sampah.
Semasa tinggal di Jakarta, koin
seratusan itu biasanya diberikan secara cuma-cuma pada polisi cepe'an di setiap
perempatan jalan, atau pada pengemis-pengemis, bencong-bencong dan
pengamen-pengamen cilik di setiap pemberhentian lampu merah. Tapi Minah, gadis
hitam manis si penjual jamu itu, memperjuangkan koin-koin itu dengan cara yang
sangat terhormat. Tidak! Bagi Liana tiga ratus rupiah tak sepadan dengan jamu
Minah. Tak sepadan dengan ribuan langkah-langkah Minah di setiap pagi, dari
gubuknya menyusuri pinggiran desa menyelinap di antara celah-celah sinar
matahari pagi menuju pusat desa, menjanjikan khasiat yang bakal diperoleh dari
minuman yang dijajakannya. Entah berapa koin yang dianggap Liana sepadan dengan
jamu Minah.
Kini Liana rajin mengumpulkan
koin-koin yang disiapkannya untuk membayar jamu Minah. Ia sudi
membungkuk-bungkuk di depan setiap kolong lemari untuk memungut koin yang
menggelinding ke situ. Ini untuk membayar jamu Minah. Koin-koin yang tergeletak
di atas meja segera disimpannya untuk membayar jamu Minah. Koin kembalian sisa belanjaan
yang masih tersangkut dalam kantong plastik segera diamankannya untuk Minah!
Untuk Minah! Koin-koin itu dikumpulkannya untuk Minah.
Daun-daun dari pohon gugur
bersama hari-hari, bersama bulan-bulan. Tidak biasanya selama beberapa hari
Liana tak pernah melihat Minah. Tidak lewat di depan rumahnya, tidak juga
ditemuinya di pasar atau di pusat desa. Sudah lebih dari dua minggu. Kemana si
Minah?
Sinar matahari mulai redup. Suara
adzan Ashar sayup-sayup terdengar dari kejauhan. Setelah layanan kesehatan di
Puskesmas tutup, seperti biasanya dokter Gunawan segera membuka praktek umum di
rumahnya. Sore itu pasien belum banyak yang datang ketika Liana meninggalkan
rumah untuk membeli beberapa kebutuhan dapur di warung di pusat desa.
Hanya sebuah kebetulan belaka,
Liana sedang berjalan kembali ke rumahnya ketika ia berpapasan dengan Minah
yang berjalan beberapa meter dari arah tempat praktek suaminya. Wajah bundar
itu terlihat pucat, gulungan kecil di ujung kepala dilepas. "Dari mana,
Minah?" sapa Liana.
"Habis berobat sama Pak
dokter, Bu," jawab Minah lesu, disusul batuk-batuk berat yang panjang.
"Kamu sakit? Pantes lama
nggak kelihatan."
Terbesit perasaan tak nyaman di
dalam hati Liana. Penasaran ia bergegas mempercepat jalan pulang. Suaminya
masih sibuk dengan pasiennya ketika ia tiba di rumah.
Bau alkohol dari ruang praktek
samar memenuhi ruangan. Terdengar suara pintu yang baru saja ditutup oleh
pasien terakhir sore itu. "Tadi ada pasien Aminah yang berobat?"
Tanya Liana segera setelah suaminya keluar dari ruang kerjanya.
"Iya!" jawab suaminya
singkat.
"Dia bayar berapa?"
Napas Liana memburu.
"Seperti yang lainnya, dua
puluh ribu."
Terbayang selembar uang dua puluh
ribuan, udara naik ke kerongkongan. "Dia tukang jamu langgananku, harusnya
jangan ditarik bayaran."
Dibereskannya kotak-kotak obat di
atas meja.
"Wah! Aku nggak tahu!
Biasanya dia selalu datang ke Puskesmas kalau mengantar ibu atau adiknya yang
lagi sakit. Baru kali ini dia sendiri yang datang berobat. Ada banyak pasien
bernama Aminah. Mana mungkin aku tahu kalau dia si Minah tukang jamu. Seminggu
yang lalu dia sudah datang ke Puskesmas, tapi batuknya memang parah. Infeksi
saluran napasnya bertambah berat! Obat-obatan dari Puskesmas yang aku berikan
seminggu lalu sudah habis. Dia butuh obat-obatan yang lebih bagus dari
obat-obatan Puskesmas. Makanya sore ini dia datang ke sini, bukan ke Puskesmas.
Maaf ya, aku betul-betul nggak tahu kalau dia tukang jamu langgananmu."
Kata demi kata meluncur bagai
panah menusuk ulu hati Liana. Terlanjur. Andai saja ia tidak pergi ke warung
sore itu, tentu ia akan mengenali Minah yang datang berobat ke rumahnya. Tentu
ia akan meminta suaminya untuk menolak pembayaran si Minah. Tapi terlambat!
Selembar uang dua puluh ribu yang terbayang di kepala Liana adalah dua ratus
keping koin seratus perak yang berada dalam genggaman tangan Minah.
Bagaimana mungkin tiga keping
koin seratusan yang selalu dikumpulkannya untuk Minah dari hari ke hari, dalam
waktu-waktu yang gugur bersama daun-daun, itu kini tiba-tiba telah kembali lagi
masuk ke dompetnya. Keping-keping koin seratusan bergemericing di kepala Liana,
memekakkan gendang telinganya. Ditutupnya kedua kupingnya. Gemerincing
koin-koin seratus rupiah berdesing bagai peluru menembus jantungnya. Sesak di
dadanya tak terkatakan.
Langit mulai memerah.
Gerobak-gerobak sapi telah kembali ke kandangnya. Di luar masih terdengar gelak
tawa anak-anak bermain riang. Sore itu, ketika suaminya bertanya mengapa matanya
sembab, ia hanya menjawab habis mengiris-iris bawang merah.
0 comments:
Post a Comment