Tuesday, 24 June 2014

Keping-keping Seratus Perak



Cerpen: Aliva Yasmin 

Sumber: Republika,  Edisi 12/04/2005 Post:  12/06/2005 Disimak: 128 kali


Gaduh suara roda gerobak sapi yang melintas di jalan bebatuan sudah menghilang di balik tikungan ketika Liana membuka pintu rumah. Segerombolan bocah dekil berlarian sambil memperebutkan sesuatu. Dari kejauhan Minah melenggang dengan bakul jamu yang bertengger di punggungnya sambil sesekali membetulkan letak selendang batik coklat lusuh yang melintas di pundaknya. Gelungan rambutnya menempel hampir di ujung kepalanya. Minah, gadis hitam manis berwajah bundar seperti bulan, menjadi salah satu hiasan pagi sebuah desa di pinggiran propinsi Lampung.

Seperti biasa Minah selalu menawari Liana, "Jamunya Bu?" Dan seperti biasanya pula Liana selalu menjawabnya dengan gelengan kepala. Hanya dengan isyarat itu saja sudah cukup baginya untuk mengerti bahwa Liana tidak menghendaki jamunya. Disibaknya alang-alang setinggi pinggang yang hampir menghalangi langkahnya. Di depan Puskesmas tampak seekor anjing kampung mengendus rumput-rumput liar yang tumbuh tak terawat. Kebanyakan ibu-ibu yang tinggal sederetan dengan puskesmas itu adalah pelanggan tetapnya, kecuali Liana, istri dokter Gunawan yang tinggal di rumah dinas dokter PTT yang terletak tepat di seberang Puskesmas.
Liana memang bukan perempuan konsumen jamu. Kehidupan masa kecilnya di kota besar telah menjauhkannya dari tradisi minum jamu. Liana tak suka jamu karena satu alasan klise, pahit! Meskipun sebetulnya di dalam hati ia tak pernah meragukan khasiat jamu bagi kesehatan tubuh.
Penolakan Liana tidak pernah membuat Minah jera untuk selalu menawarkan jamunya kembali pada Liana setiap pagi. Hanya Liana saja yang kian hari kian merasa tak nyaman hatinya setiap kali ia harus menolak jamu Minah. Kadangkala jika Liana kebetulan melihat Minah dari kejauhan sedang berjalan menuju ke arah rumahnya, ia segera bergegas masuk demi untuk menghindari perasaan tak nyaman apabila harus menolaknya. Tanpa disadarinya, penawaran dan penolakan yang terjadi setiap pagi itu telah menjalin seutas tali tipis yang menautkan hati Liana pada sang penjual jamu. Ada sehelai getaran halus yang menciptakan sebentuk perasaan bersalah yang aneh mengendap di hatinya setiap kali ia harus menolak tawaran gadis itu.
Jika pada suatu pagi tiba-tiba Liana tidak lagi menghindar dan tak lagi menggelengkan kepala, itu karena luruh hatinya oleh sang gadis tukang jamu itu. Lambaian tangan Liana pada pagi hari yang aneh itu merupakan suatu tanda kemenangan bagi Minah yang telah mampu mengalahkan Liana hingga akhirnya ia mau membeli jamunya. Liana sendiri tak begitu yakin pada motivasinya untuk membeli jamu, ia hanya berpikir untuk membeli jamu itu. Perkara ia akan meminumnya atau tidak biarlah menjadi urusan nanti. Pokoknya ia harus membeli jamu itu, supaya bulu-bulu halus yang bergetar di hatinya setiap kali ia menolak tawaran Minah tak perlu lagi merisaukannya.
"Di mana belajar bikin jamu, Mbak?" tanya Liana.
"Embah saya transmigran dari Wonogiri, Bu."
Minah menuang ramuan pertamanya ke dalam gelas.
"Keluarga saya sudah turun-temurun jualan jamu."
Ramuan dari botol-botol berikutnya dicampurkannya lagi.
"Dulu waktu embah saya masih muda dia yang jualan jamu. Tapi itu dulu
sebelum punggungnya kena rematik. Sekarang embah sudah nggak kuat lagi." Gelas kedua mulai diisi.
"Sekarang ibu saya yang bikin jamu, saya dan adik saya yang jualan."
Dua gelas jamu sudah selesai diramu.
"Berapa, Mbak?" kata Liana seraya membuka dompetnya.
"Tiga ratus, Bu!" Liana tidak mempercayai pendengarannya.
"Berapa?"
Gadis itu tersenyum malu mengulangi jawabannya, "Tiga ratus, Bu."
Sejak saat itu secara tidak resmi Liana telah terdaftar sebagai pelanggan tetap penjual jamu yang manis itu. Setiap hari dibelinya jamu si Minah tanpa pernah punya keinginan untuk meminumnya. Pernah beberapa kali ia terpaksa mencoba menenggak cairan kental berwarna hijau tua kecoklatan itu. Setiap tegukan ditelannya secepat yang bisa ia lakukan, meskipun harus berakhir dengan seringai jelek di wajahnya, diiringi bulu kuduk merinding yang membuatnya menggeliat bagai cacing kepanasan.
Pada beberapa hari pertama Liana masih bisa memaksakan diri untuk meminum cairan yang mengerikan itu. Tapi lama kelamaan setiap pagi nasib kedua gelas jamu itu akhirnya lebih sering berakhir di lubang wastafel! Bukan di dalam perut Liana. Tapi hal itu tak pernah membuatnya berpikir untuk mengundurkan diri dari kelompok pelanggan jamu si Minah. Baginya berhenti menjadi pelanggan Minah lebih berat untuk dilakukan daripada sekadar membuang dua gelas jamu setiap hari. Tentu saja Minah tak boleh tahu akan apa yang ia lakukan terhadap jamunya.
Liana tak pernah berniat membeli jamu. Ia hanya ingin membeli persahabatan dari pemilik wajah bundar dengan sanggul mungil di ujung kepala. Ia hanya ingin membeli senyum kemenangan Minah setiap kali ia melambaikan tangan memanggilnya. Namun tiga keping koin seratus perak selalu menggelinding di dalam pikirannya. Sulit dimengerti oleh Liana, mengapa uang sebesar tiga ratus rupiah untuk dua gelas jamu begitu berharga untuk diperjuangkan oleh Minah. Di rumah Liana koin seratusan bagai tak ada nilainya. Biasanya koin seratusan hanya akan menggelinding ke bawah kolong lemari dan bakalan lama berada di situ sampai berdebu. Atau dibiarkan tergeletak begitu saja di atas meja, tanpa ada seorangpun yang berniat untuk menyingkirkannya, menyimpannya apalagi mencurinya. Kadang-kadang koin-koin kembalian sisa belanjaan hanya tersangkut di kantong plastik bekas belanjaan sebelum akhirnya ikut terbuang ke dalam tong sampah.
Semasa tinggal di Jakarta, koin seratusan itu biasanya diberikan secara cuma-cuma pada polisi cepe'an di setiap perempatan jalan, atau pada pengemis-pengemis, bencong-bencong dan pengamen-pengamen cilik di setiap pemberhentian lampu merah. Tapi Minah, gadis hitam manis si penjual jamu itu, memperjuangkan koin-koin itu dengan cara yang sangat terhormat. Tidak! Bagi Liana tiga ratus rupiah tak sepadan dengan jamu Minah. Tak sepadan dengan ribuan langkah-langkah Minah di setiap pagi, dari gubuknya menyusuri pinggiran desa menyelinap di antara celah-celah sinar matahari pagi menuju pusat desa, menjanjikan khasiat yang bakal diperoleh dari minuman yang dijajakannya. Entah berapa koin yang dianggap Liana sepadan dengan jamu Minah.
Kini Liana rajin mengumpulkan koin-koin yang disiapkannya untuk membayar jamu Minah. Ia sudi membungkuk-bungkuk di depan setiap kolong lemari untuk memungut koin yang menggelinding ke situ. Ini untuk membayar jamu Minah. Koin-koin yang tergeletak di atas meja segera disimpannya untuk membayar jamu Minah. Koin kembalian sisa belanjaan yang masih tersangkut dalam kantong plastik segera diamankannya untuk Minah! Untuk Minah! Koin-koin itu dikumpulkannya untuk Minah.
Daun-daun dari pohon gugur bersama hari-hari, bersama bulan-bulan. Tidak biasanya selama beberapa hari Liana tak pernah melihat Minah. Tidak lewat di depan rumahnya, tidak juga ditemuinya di pasar atau di pusat desa. Sudah lebih dari dua minggu. Kemana si Minah?
Sinar matahari mulai redup. Suara adzan Ashar sayup-sayup terdengar dari kejauhan. Setelah layanan kesehatan di Puskesmas tutup, seperti biasanya dokter Gunawan segera membuka praktek umum di rumahnya. Sore itu pasien belum banyak yang datang ketika Liana meninggalkan rumah untuk membeli beberapa kebutuhan dapur di warung di pusat desa.
Hanya sebuah kebetulan belaka, Liana sedang berjalan kembali ke rumahnya ketika ia berpapasan dengan Minah yang berjalan beberapa meter dari arah tempat praktek suaminya. Wajah bundar itu terlihat pucat, gulungan kecil di ujung kepala dilepas. "Dari mana, Minah?" sapa Liana.
"Habis berobat sama Pak dokter, Bu," jawab Minah lesu, disusul batuk-batuk berat yang panjang.
"Kamu sakit? Pantes lama nggak kelihatan."
Terbesit perasaan tak nyaman di dalam hati Liana. Penasaran ia bergegas mempercepat jalan pulang. Suaminya masih sibuk dengan pasiennya ketika ia tiba di rumah.
Bau alkohol dari ruang praktek samar memenuhi ruangan. Terdengar suara pintu yang baru saja ditutup oleh pasien terakhir sore itu. "Tadi ada pasien Aminah yang berobat?" Tanya Liana segera setelah suaminya keluar dari ruang kerjanya.
"Iya!" jawab suaminya singkat.
"Dia bayar berapa?" Napas Liana memburu.
"Seperti yang lainnya, dua puluh ribu."
Terbayang selembar uang dua puluh ribuan, udara naik ke kerongkongan. "Dia tukang jamu langgananku, harusnya jangan ditarik bayaran."
Dibereskannya kotak-kotak obat di atas meja.
"Wah! Aku nggak tahu! Biasanya dia selalu datang ke Puskesmas kalau mengantar ibu atau adiknya yang lagi sakit. Baru kali ini dia sendiri yang datang berobat. Ada banyak pasien bernama Aminah. Mana mungkin aku tahu kalau dia si Minah tukang jamu. Seminggu yang lalu dia sudah datang ke Puskesmas, tapi batuknya memang parah. Infeksi saluran napasnya bertambah berat! Obat-obatan dari Puskesmas yang aku berikan seminggu lalu sudah habis. Dia butuh obat-obatan yang lebih bagus dari obat-obatan Puskesmas. Makanya sore ini dia datang ke sini, bukan ke Puskesmas. Maaf ya, aku betul-betul nggak tahu kalau dia tukang jamu langgananmu."
Kata demi kata meluncur bagai panah menusuk ulu hati Liana. Terlanjur. Andai saja ia tidak pergi ke warung sore itu, tentu ia akan mengenali Minah yang datang berobat ke rumahnya. Tentu ia akan meminta suaminya untuk menolak pembayaran si Minah. Tapi terlambat! Selembar uang dua puluh ribu yang terbayang di kepala Liana adalah dua ratus keping koin seratus perak yang berada dalam genggaman tangan Minah.
Bagaimana mungkin tiga keping koin seratusan yang selalu dikumpulkannya untuk Minah dari hari ke hari, dalam waktu-waktu yang gugur bersama daun-daun, itu kini tiba-tiba telah kembali lagi masuk ke dompetnya. Keping-keping koin seratusan bergemericing di kepala Liana, memekakkan gendang telinganya. Ditutupnya kedua kupingnya. Gemerincing koin-koin seratus rupiah berdesing bagai peluru menembus jantungnya. Sesak di dadanya tak terkatakan.
Langit mulai memerah. Gerobak-gerobak sapi telah kembali ke kandangnya. Di luar masih terdengar gelak tawa anak-anak bermain riang. Sore itu, ketika suaminya bertanya mengapa matanya sembab, ia hanya menjawab habis mengiris-iris bawang merah.

0 comments:

Post a Comment