Adi Cahyono
13-03-2006
Cerpen Khas Ranesi
Sumber : www.renasi.nl
Radio Nederland
Wereldomroep
Ketika lelaki itu menuju handuk bel pintu berbunyi thuit-thuit. Lelaki itu mengernyitkan dahi, berpikir:
"Orang macam apa yang tak sungkan bertamu sepagi ini?"
Lelaki dengan hidung pesek itu memencet beberapa kali dahinya sebelum ke luar dari kamar. Ia merasa perlu jengkel ketika didengarnya kembali bunyi bel.
"Tak sabaran sekali!"
Sambil membetulkan krah baju lelaki berkulit 'sawo terlalu matang' itu mempercepat langkah, menuju pintu depan. Tali tepian gorden yang menutup pintu kaca dan jendela masih rapi terikat pada tiap tiang gorden. Lelaki yang sampai detik ini belum menikah itu Cuma bisa melihat bayang-bayang tubuh si tamu.
"Kelihatannya seorang perempuan…" Begitu yang terlintas dalam kepalanya, sebelum tangan kirinya memutar anak kunci pintu.
"Selamat pagi, Pak Peter." Si tamu mengucapkan nama si tuan rumah dengan mantap, seolah ia sudah yakin betul bahwa ia tak salah orang.
Peter tertegun. Ia tak salah. Sama sekali tak salah. Yang dilihatnya adalah seorang perempuan dengan kulit kuning langsat berparas cantik; bukan nenek-nenek dengan pipi keriput berbibir lembek. Yang bertamu bukanlah lelaki kekar bertato dengan wajah sangar, dan sedang salah ketok pintu karena masih mabok, melainkan seorang perempuan yang gemar tersenyum. Bahkan sebelum wajah si tuan rumah tertangkap oleh matanya penuh-penuh, perempuan itu telah menyunggingkan bibir.
Seketika itu, si tuan rumah merasa perlu membuang rasa jengkelnya.
"Semoga kedatangan saya pagi-pagi begini tak mengganggu Anda…"
"Tentu saja, tak mengganggu. Tapi, apa keperluan Anda hingga harus bertamu pada saya, dan sepagi ini pula?"
Si tuan rumah memperhatikan apa yang dibawa si tamu: sebuah guci besar berwarna coklat tua dengan belang-belang merah karena pembakaran yang tak sempurna. Sebuah guci tanah liat yang dibuat seadanya dan tampak tergesa-gesa.
Si tamu berdehem agar lelaki di depannya menyudahi perhatiannya pada guci.
"Memang aneh, tiba-tiba Pak Peter mendapat guci ini."
"Eh, ya. Lantas maksud Anda datang ke sini membawa guci ini?" tanya si tuan rumah pada perempuan berkaca-mata coklat terang itu.
"Emm..." Tiba-tiba, perempuan itu merasa susah untuk memulai cerita.
"Oh, mari silahkan masuk. Maaf, lupa mempersilahkan Anda melewati pintu rumah saya…"
Si tuan rumah merampungkan senyum tersipunya saat si tamu menolak.
"Saya terburu-buru," jawabnya membohong. Yang terjadi sebenarnya adalah perempuan itu tak tahu darimana harus menceritakan maksud kedatangannya membawa guci tanah liat yang jauh dari kesan indah itu. "Saya akan memberi petunjuk tentang guci ini lewat surat, esok hari."
"Saya hanya tanya maksud kedatangan Anda, bukan tanya tentang guci ini…"
Perempuan itu tersenyum, lalu menjawab: "Saya hanya ingin mengantar guci ini sampai pada Anda. Bukankah benar Anda ini Pak Peter?"
Lelaki itu terkekeh. "Saya lebih suka bila Anda memanggil saya 'Piet'. Tapi, rasanya tidak mungkin Anda ini seorang kurir. Jika memang Anda kurir, nampaknya Anda kurir yang paling rajin bekerja."
Setelah berdehem sebentar, perempuan itu menjawab: "Memang bukan kurir, tapi… itulah yang mesti saya kerjakan, untuk Anda. Dan untuk guci penting ini."
"Saya makin bingung saja. Anda katakan ini guci penting? Dari siapa?"
"Anda tak akan bingung setelah mendapat petunjuk tentang guci ini."
"Katakanlah…"
"Tentu saja. Tapi, lewat surat."
"Esok hari?"
Perempuan itu mengangguk cepat. "Permisi." Lantas betisnya yang indah segera bergerak, membawanya pergi menjauh dari si tuan rumah yang terus saja melongo.
Tak seperti pagi sebelumnya, lelaki itu kini tak lagi tertarik pada sinar matahari pagi yang jatuh di lantai teras setelah menerobos dedaunan palem depan pagar. Matanya terus mengamati guci di depan kakinya. Setelah menengok kanan-kiri, ia pun mengangkat guci yang tingginya menyamai lututnya.
Ergg...
Ternyata berat juga guci itu. Seolah ada sesuatu yang bersarang dalam guci. Sesampainya di ruang tamu, lelaki itu baru mendapat jawaban:
"Yah... ternyata ini bukanlah sembarang guci. Tutup guci ini menyatu dengan badan guci." Setelah mengetuk beberapa kali badan guci dengan jari-jari tangannya, lelaki itu bertambah yakin, "Tak ada rongga udara dalam guci ini. Jelas, barang ini tak bisa disebut guci. Aku hanya bisa menyebutnya sebagai patung berbentuk guci." Setelah menyandarkan punggung pada sofa lelaki itu teringat pada si pengantar guci. "Kenapa harus besok perempuan itu menjelaskan tentang maksud kedatangannya membawa guci ini padaku? Lagipula, mengapa ia mesti menjelaskannya dengan surat?"
Dentang jam dinding di ruang tengah mengacaukan aliran deras tanda tanya dalam kepalanya. Sudah saatnya Peter mengenakan seragam dan bergegas menunggu bis yang akan membawanya ke sebuah restoran tempatnya bekerja lima tahun terakhir ini.
"Semoga guci itu berisi harta karun yang bisa membuatku pergi dari pekerjaanku ini!" Begitu ia berharap.
Lelaki itu mematut diri di depan cermin. Sedikit cemberut, kecewa karena gurat keriput di bawah matanya makin dalam saja tiap ia bercermin. "Tigapuluh tahun umurku, dan belum ada tanda-tanda bertemu dengan seseorang yang benar-benar kusukai 'luar-dalam'."
Setelah semua kancing baju seragam kerjanya terpasang pada tempatnya, lelaki itu mengepalkan tinjunya dan berbisik: "Tak perlu mengasihani diri sendiri! Aku akan segera mendapatkannya!" Sebelum benar beranjak dari cermin, ia mendesah. "Rasanya, jika perempuan pengantar guci tadi mau sama aku, aku pun juga mau. Lantas kami menikah, dan mencari pekerjaan lain. Tentu saja, semua itu bisa terjadi jika guci itu berisi emas!"
Peter tersenyum tipis. Setidaknya, masih ada harapan buatnya.
***
Sepanjang hari, di restoran tempatnya bekerja sebagai pelayan pengantar sajian, lelaki itu kepalanya tak bisa beralih dari guci yang kini ada di pojok ruang tamu rumahnya. Sosok perempuan pengantar guci itu pun terus saja mengisi pikirannya.
"Misterius! Sangat misterius!" pekiknya dalam hati.
"Piet! Meja nomor empat; gulai otak sapi, selada dan saus pedas, dua piring nasi, dan teh botol dingin." Di belakang meja kasir, sambil memencet kalkulator, Jaksen menunjuk nampan besar dari kayu yang telah terisi sajian.
Tanpa menjawab, Peter menuju meja juru masak untuk mengambil nampan. Dengan sigap pelayan itu mengantar sajian hingga ke meja nomor empat. Di meja nomor empat, dua orang perempuan berdarah Cina mengamati Peter, tampak penasaran pada si pelayan.
"Anda keturunan Eropa?" tanya seorang diantaranya.
Selama menjadi pelayan restoran, baru kali ini Peter mendapat pertanyaan menyangkut dirinya. Ia tidak siap menjawab. Ia hanya bisa balik menatap dua pengunjung restoran dengan sikap yang sulit diungkapkan.
"Eh, kenapa Anda tanyakan itu?"
"Mata dan rambut kamu Eropa, tapi..."
"Kulit dan hidung pesek saya ini?" Peter sengaja segera menyahut, berkelakar.
Dua pengunjung restoran itu cuma bisa tertawa, saling pandang satu sama lain.
"Maaf kalau pertanyaan kami kurang berkenan. Kami hanya penasaran."
"Tak mengapa. Soal rambut saya ini... mungkin juga saya punya darah Belanda." jawab lelaki itu kemudian, dengan perasaan gelisah.
"Mungkin?"
"Begitulah. Saya tak tahu persis. Sejak bayi saya ada di panti asuhan. Dari pengasuh panti saya tahu nama saya. Tapi, saya tak tahu lebih lengkap tentang diri saya, karena pengasuh panti meninggal sejak saya masih kanak-kanak. Dan rupanya, hanya dia yang tahu siapa diri saya sebelum menghuni panti asuhan."
"Saya ikut prihatin..."
"Terimakasih. Eh, permisi, saya harus bekerja kembali."
"Silahkan. Maaf telah mengganggu."
***
Peter melangkah gontai. Ia hempaskan pantatnya ke kursi rotan di teras. Matanya terpejam, kuat-kuat. Ia berpikir. Ia merasakan hari-hari terlewatkan dengan amat membosankan. Lima tahun sudah ia bekerja sebagai pengantar menu pesanan ke meja pengunjung restoran. Sudah setahun ini ia merasa bosan mondar-mandir dari meja satu ke meja lainnya. Belakangan ini, kesuntukan lebih menguasai wajahya, ketimbang keceriaan.
"Hidupku tak ubahnya nampan sajian restoran; mondar-mandir tapi hanya berkutat dalam kurungan, selalu terisi dan berganti tapi tak pernah ada yang baru. Dan celakanya, aku tak pernah tahu apa yang kuinginkan."
Peter menancapkan mata pada langit-langit teras. Ia ingat dengan apa ia membeli rumah dengan kamar-kamar sempit yang kini melindunginya dari angin malam. Peter tak bisa melupakan bagaimana ia dulu selama empat tahun makan hanya sekali dalam sehari agar dapat mencicil rumah yang kini ditempatinya.
Peter menghempaskan nafas lega. Kini ia bisa makan seperti halnya orang lain. Meskipun makan malam tetaplah sama; sebuah kardus gratis berisi makan dari restoran yang selalu sama tiap kali ia buka.
Lelaki itu memutar kunci, dan pintu pun terbuka. Seketika itu ia melihat guci di pojok ruang tamu. Ia mengingat bagaimana perempuan pengantar guci itu mengatakan bahwa ia akan menceritakan perihal guci melalui surat, besok hari.
Peter berdiam sejenak di depan guci. Dalam kepalanya mengalir apa saja yang akan dikerjakan malam ini: makan nasi berlauk potongan ayam goreng, lalu mandi, dan tidur pulas sebagai akhir dari kehidupannya hari ini.
Peter melenggang ke dapur, menaruh kardus makan di meja, dan berkata pada dirinya sendiri:
"Sangat misterius. Semoga perempuan yang bertamu tadi pagi berkata benar, besok ia berkirim surat."
***
Ketika Peter tengah melebarkan selimut, pesawat telpon di ruang tengah berdering.
"Halo. Siapa?"
"Saya... yang tadi pagi bertamu..." Seorang perempuan menjawab dari seberang
"Yang mengantar guci itu?"
"Ya."
"Dari mana Anda tahu nomor telpon saya?"
"Saya tahu nomor Anda dari teman kerja Anda. Baru saja saya telpon restoran tempat Anda bekerja..."
"Saya pulang lebih awal dari biasanya," sahut Peter. "Restoran sudah sepi."
Hening. Peter menunggu sejenak, kemudian didengarnya perempuan itu berkata:
"Saya ingin memastikan apakah Pak Peter sudah membaca surat yang saya taruh di meja teras tadi siang."
Rasa kantuk yang menyerang mata Peter segera lenyap.
"Surat?"
"Ya. Saya taruh di meja teras."
"Rasanya... saya tak melihat apa-apa di meja teras. Saya tadi duduk sebentar di teras."
"Mungkin jatuh..."
"Ya... mungkin juga dihembus angin. Tapi kalau pun terbang tak akan jauh dari teras. Segera saya cari."
"Baik. Rasanya sudah saatnya saya menutup telpon."
"Terimakasih."
Telpon ditutup. Peter menyesal lupa menanyakan nama perempuan itu. Namun, lelaki yang tengah berjingkat keluar kamar tidur itu segera menghibur hati; siapa tahu perempuan itu memperkenalkan dirinya dalam surat.
Setelah celingukan beberapa saat, Peter menemukan surat yang dimaksud perempuan itu dipojok pagar. Kertas putih tipis itu sudah basah oleh embun malam. Dengan tak sabaran jari-jari Peter membuka lipatan kertas surat, dan terperangahlah ia tatkala di bawah sinar lampu merkuri pinggir jalan, ia hanya membaca sebaris kalimat: Tolong pecahkan guci itu!
Peter bergegas masuk rumah. Ia merasa dipermainkan. Ia tatap guci jelek coklat tua yang menghuni pojok rumahnya. Ia hampiri guci itu dan oleh sebab rasa jengkelnya yang memuncak Peter menendang guci hingga benda itu bergoyang dan sebagian kulit guci terkelupas.
Peter menata emosinya kembali. Kemudian...
"Ah, siapa tahu perempuan itu sungguh-sungguh ingin menunjukkan bahwa guci ini berisi harta karun. Aku harus memecahkannya, malam ini juga!"
Peter mengeraskan suara pesawat tv 'hitam-putih' yang sedang menyiarkan saluran TVRI, supaya tetangga tak mendengar dari rumahnya terdengar benturan palu dan benda keras lainnya.
***
Pagi-pagi sekali Peter mengetuk pintu panti asuhan tempatnya dulu diasuh selama hampir lima belas tahun. Ia menemui Mak Rubi. Mak Rubi adalah satu-satunya pengasuh panti setelah kawannya, Mak Lanjar, meninggal.
Dengan masih memegang lempengan timah yang ia temukan bersama tulang dan tengkorak dalam guci, Peter mendengarkan sebuah cerita getir dari mulut Mak Rubi.
"Mulanya, ayahmu adalah tawanan kami selama setengah tahun. Pada saat itu, Mbak Lanjar dan aku yang mengawasi para tahanan. Rupanya, selama setengah tahun itu Mbak Lanjar dan ayahmu saling jatuh hati.
"Setelah kembali ke negerinya sebelum pendudukan Jepang, ayahmu kembali ke Indonesia tahun 'empat-sembilan' bersama dengan NICA. Tapi bukan untuk merampas kembali kemerdekaan Indonesia. Ayahmu sengaja menggabungkan dirinya dalam NICA agar bertemu kembali dengan ibumu, Mbak Lanjar. Setelah pendaratan NICA ia langsung kabur dari pasukannya. Ia segera menyusup ke kelompok gerilya kami. Ia memilih menjadi pengkhianat di mata pasukan NICA demi cintanya pada Mbak Lanjar."
"Pejuang kita menerima dia sepenuhnya?"
"Tentunya tidak semudah itu. Pejuang kita tak percaya begitu saja dengan segala sumpah ayahmu kala itu. Tapi karena Mbak Lanjar seorang pejuang juga, maka pejuang kita memberinya perlindungan di sebuah gua buatan di hutan daerah Ngawi hingga ayahmu terkena malaria dan mati dalam gua, sendirian, sambil menggenggam lempeng timah dan sebuah paku. Saat itu Mbak Lanjar merasa tengah hamil muda. Ternyata itu benar kamu yang dikandungnya."
"Bagaimana tulang-tulang ayahku bisa ada dalam guci itu?"
"Karena tak mungkin jasad ayahmu bisa diterima di tanah Indonesia dan juga di Belanda, maka ia dikubur di dalam gua. Bertahun-tahun kemudian, Mbak Lanjar dan beberapa kawan pejuang menggali kembali kuburan ayahmu dan mengumpulkan tulang-tulangnya, termasuk lempeng timah pahatannya dalam sebuah guci. Lantas guci itu disimpan oleh seorang kawan yang kala itu paling muda. Aku lupa namanya. Setelah itu, ketika kamu berumur dua tahun, aku dan Mbak Lanjar membangun panti asuhan ini. Dan kamu kami akui sebagai anak yatim-piatu pertama yang kami asuh. Tentunya kamu paham bagaimana tanggapan orang-orang saat itu jika mengetahui kamu punya ayah seorang Belanda."
Peter mengangguk. "Lalu siapa perempuan yang mengantar guci itu?"
"Aku tak tahu, mungkin anak dari kawan seperjuangan kami yang paling muda itu. Setelah kejadian itu kami berpencar dan tak ada kabar. Kami dengar ada yang ke Kalimantan, ke Flores, malahan ada yang ke negeri-negeri Eropa, termasuk Belanda."
"Kenapa ibu dan Mak Rubi harus memendam rapat-rapat cerita ini?"
"Itulah yang diinginkan oleh Ayahmu, dan juga ibumu, Mbak Lanjar. Lagipula, aku yakin suatu saat cerita tentang dirimu akan terkuak juga jika sudah saatnya terkuak, entah dengan cara apa..."
"Benar, Mak. Dan saat inilah, saat cerita tentang diriku terkuak. Aku harus menemukan perempuan itu, Mak."
"Ya. Jika dia bisa menemukanmu, tentu tak mustahil dirimu menemukannya."
Peter menatap lempengan timah dalam genggamannya. Lempengan yang tergores oleh ujung paku itu ia baca perlahan:
"Anakku bernama Peter..."
Dan, meneteslah airmata kerinduan seorang lelaki bernama lengkap Peter Vander Mollen.
( Gubug Seni Blora, Januari '06)
0 comments:
Post a Comment