MONDAY, JULY 18, 2005
Cerpen
Amien Wangsitalaja
Petikan sampe mulai mendenting-denting. Kanjet nyelama sakai
dimulailah sudah. Dan kembali aku menyukai lagi keberadaanku di sini. Tarian
itu menyambutku lagi. Dan seperti dulu, aku selalu akan menunggu dengan hati
berdenyar datangnya kanjet manyam tali, karena tarian itu memiliki kekuatan
tertentu untuk mengaduk-aduk rasa, seolah melemparkan tali pengikat kepadaku
untuk aku selalu berada di bawah pengaruh gendamnya sehingga tak bisa keluar
dari mencintai tempat ini.
Aku merasakan kenikmatan itu, kenikmatan diikat oleh sesuatu
yang samar-samar tapi terasa, agaknya, sungguh-sungguh eksotik. Aku bahkan
mengangankan suatu saat diriku betul-betul dilempari selendang oleh satu dari
para penari itu sehingga aku bisa merasakan aroma keringatnya dari dekat. Tapi,
ini bukan ronggeng, dan tentu saja karenanya di sini tak ada konsep nibakake
sampur. Ah, sayang.
Jangan-jangan, aku sebetulnya memang ingin, suatu ketika,
berkenalan dengan satu dari para penari itu. Kami akan duduk diam berdua sambil
masing-masing mencoba meraih pesona. Atau, bercengkerama di lantai ulin.
Kuharap ia akan membubuhkan buluh perindu ke gelas minumku.
Betul, rupanya aku menyukai kota ini. Kukira Samarinda
hanyalah kota yang kumuh. Di banyak tempatnya terlalu berdebu, di banyak tempat
yang lain terlalu banyak digenangi air yang baunya busuk menyengat. Tapi,
kutatap secara samar-samar warna eksotika. Betul.
Sebagaimana aku membayangkan dapat mencicip bau keringat
penari itu atau merasakan aroma napasnya yang tidak memburu, aku memang
menyukai sesuatu yang eksotik. Penari itu. Kota ini. Sedang kamu, Naf? Aku
sering tersiksa sendiri jika sampai sekarang aku masih saja gagal menemukan
eksotika itu. Kamu.
Saat itu, enam bulan lalu, aku masih saja kesulitan mencari
kemungkinan-kemungkinan eksotik yang muncul dari auramu, ketika kamu dengan
ringan meniupkan kata-kata yang membuatku tersentak.
"Berpisah akan memungkinkan kita lebih mahir marajut
angan dan kemungkinan-kemungkinan!"
"Naf...?!"
"Percayalah, aku mendukung sepenuhnya rasa jijikmu
terhadap instansi tempatmu bekerja, lembaga riset itu."
"Naf...?!"
Kamu selalu pintar mengalihkan persoalan. Waktu itu aku
memang sedang jijik dengan kota ini. Bukan kota ini yang salah, tapi aku
tiba-tiba merasa muak tinggal di dalamnya.
Aku mungkin tidak akan pernah menginjakkan kaki di kota ini
jika bukan karena aku diterima bekerja di sebuah lembaga riset milik negara,
yang bergerak di bidang penelitian bahasa. Aku sendiri seorang penikmat sastra
dan budaya. Ketika beroleh berita akan ditempatkan di wilayah timur Borneo,
hatiku terlonjak. Aku telah mendengar di wilayah itu terdapat beragam sikap dan
hasil kebudayaan yang masing-masingnya didukung oleh komunitas etnis tertentu
dengan eksotikanya tersendiri.
Langsung kubayangkan asyiknya tantangan untuk menyelami
wilayah etnis ini. Aku akan bergumul dengan pekerjaan yang menuntut pelibatan
diri yang tinggi. Ya. Kuakui, aku terobsesi dengan grounded research. Aku akan
menikmati keasyikan tinggal bersama komunitas Kenyah, Tunjung, Kutai, Berusu,
Benuaq, atau yang lainnya dan belajar hidup bersama mereka sambil menyerap inspirasi
kultural maupun estetik untuk kemudian mencoba merumuskan apa yang bisa
kutemukan dari pergaulan dengan mereka itu. Aku menyukai pedalaman dan
eksotika. Selain itu, aku pastilah juga tidak akan lupa meneliti masyarakat
Banjar yang banyak diam di perkotaan. Amboi.
Kekecewaan demi kekecewaan mulai menghampiriku.
Bagaimanapun, aku kembali tersadarkan bahwa diriku sedang berada di sebuah
lembaga milik negara, aku pegawai negara, orang bilang PNS. Dan meskipun
lembaga yang kutempati ini bergerak di bidang riset dan keilmuan, tetaplah ia
instansi negara. Dan instansi negara, kamu tahu, selalu saja banyak memiliki
catatan reputasi moral yang tidak mengasyikkan. Aku harus mulai mengerti,
seilmiah apa pun nama lembaga ini, praktik-praktik korupsi, pungli, dan
manipulasi akan banyak terjadi.
"Dana untuk penelitian mandiri kalian memang dua juta
empat ratus ribu rupiah, yang harus kalian tanda-tangani di kuitansi nanti.
Tapi, harap kalian bisa memahami jika uang yang nanti diterima oleh kalian
hanya maksimum separonya. Kantor mengambil sekian rupiah dari dana itu untuk
membayar penilai proposal dan membayar konsultan. Selain itu, kantor juga akan
memungut biaya pengetikan laporan...."
Padahal, aku tahu, pos pemotongan dana untuk penilaian
proposal, pengonsultasian, maupun pengetikan laporan itu sama sekali tidak ada
dasar hukumnya. Itu semata retorika pejabat melakukan eufemisme terhadap
praktik pungli. Pada intinya, birokrasi ingin mengambil uang pungutan dan
supaya tidak terkesan liar maka dibuatlah pos-pos penarikan dengan istilah yang
sepintas lalu terlihat rasional. Aku sempat menanyakan ke kawan-kawan di
lembaga riset sejenis di kota lain dan mereka menjawab di tempat mereka tidak
ada pos pemotongan untuk biaya penilaian proposal, sementara untuk menghadirkan
konsultan juga tidak diwajibkan.
"Percayalah, aku mendukung sepenuhnya rasa jijikmu
terhadap instansi tempatmu bekerja, lembaga riset itu."
"Naf...?!"
Rupanya kamu pintar membaca emosiku. Dan kamu tampak lebih
dewasa hari itu, sebagaimana aku bisa merasakannya dari napasmu yang tidak
memburu. Saat itu, aku sedang belajar meraba dan merasakan
kemungkinan-kemungkinan eksotik yang muncul dari auramu. Tapi....
Barangkali, memang aku jijik dengan instansiku: lembaga
riset, lembaga ilmiah, tapi suasananya sama sekali tidak ilmiah. Tepatnya,
diksi-diksi ilmiah seringkali dipakai hanya sebagai tudung dari yang sebenarnya
hanyalah semata "proyek penghabisan anggaran negara". Peneliti murni
yang bekerja untuk motivasi ilmiah justru akan banyak menderita sakit hati di
sini.
"Kantor ini tidak membutuhkan orang yang pandai, tapi
kantor ini membutuhkan orang yang sopan!"
Itulah statemen paling menjijikkan yang tak mungkin
kulupakan. Kamu boleh tersenyum nyinyir jika statemen semacam itu keluar dari
seseorang yang mengendalikan sebuah lembaga riset. Saat itu aku memang dibenci
oleh atasanku karena dianggap tidak berdisiplin. Disiplin, dalam pemaknaannya
yang verbalistik-lipstik, kamu tahu, adalah salah satu kata kunci yang sering
dipakai oleh birokrasi Orde Baru untuk membekukan akal sehat dan mematikan
apresiasi intelektual. Dan itu masih berlaku di sini.
Bagiku, sebagai peneliti aku harus banyak menggali
pengetahuan dan inspirasi dari lingkungan dan masyarakat yang akan diteliti.
Peneliti juga harus terlibat dengan wacana yang tengah berkembang di
masyarakat. Artinya, peneliti harus menggelandang dan banyak bertandang.
Peneliti harus berinteraksi dengan objek yang ditelitinya. Itulah kedisiplinan
dan tanggung-jawab seorang peneliti, menurutku. Disiplin bagi seorang peneliti
tentu berbeda dengan disiplin bagi pegawai administrasi.
"Ini bukan tawaran. Peraturan mengharuskan kalian untuk
memenuhi 38 jam masuk kerja untuk setiap bulan. Jadi setiap pukul 7.30 pagi
kalian harus ikut apel pagi dan baru pulang setelah pukul 16.00."
Kamu juga tahu, di kantorku tidak ada buku-buku referensi
kecuali buku-bukuku sendiri. Komputer juga cuma satu. Kamu jangan tertawa
mengejek dulu, ini kenyataan. Kamu mungkin heran ke mana larinya uang proyek
senilai sekian M itu. Jangan heran, pengadaan fasilitas komputer dan buku
referensi, yang sebetulnya teramat primer bagi seorang peneliti, bukanlah yang
diutamakan di sini. Begitulah, dan ini memang lembaga riset. Dan disiplin bagi
peneliti di lembaga riset adalah apel pagi dengan memakai seragam rapi, duduk
bengong di ruangan sampai sore (bagi yang perempuan sambil sesekali memperbaiki
dandanan dan menebalkan ulang warna lipstik yang hilang), pulang, ke mal
sebentar, tidur, bangun pagi-pagi, apel pagi, bengong lagi.... Sekali-kali jangan
sok berdiskusi yang ilmiah, itu tidak sopan di mata atasan.
Kamu pasti marah kalau aku dibilang bukan orang yang suka
kedisiplinan, karena kamu tahu sendiri, aku lebih sering cerewet mengingatkanmu
untuk segera sembahyang atau segera menyelesaikan membaca sebuah novel. Yah,
rasanya aku sangat sering beropini di depanmu, kedisiplinan adalah penegakan
komitmen keilmuan dan pengabdian pada rakyat, penegakan nilai moral,
penjunjungan hukum, penanaman kejujuran dan keadilan, bla bla bla.... Tapi,
kenaifan-kenaifan memang selalu sering terjadi, Naf. Peneliti yang dianggap
berdisiplin ternyata adalah peneliti yang rajin ikut apel pagi, meski ia tidak
memiliki komitmen pada dunia keilmuan, meski orientasi yang ada di kepalanya
hanyalah bagaimana bisa menghabiskan anggaran dana rutin atau dana proyek.
Bukankah seorang intelektual harusnya lebih mengejar peran
sebagai moral oracle, orang bijak penjaga moral? Opinimu waktu itu. Aku tak
membalahmu. Dan kau mengumpat bahwa banyak dari mereka yang bergerak di dunia
intelektual tergelincir menjadi tak lebih dari servant of power, budak-budak
kekuasaan. Nah, kau pintar, Naf. Dan kepintaranmu makin mendorongku untuk muyak
dengan semua ini.
Akhirnya, aku memang mulai jengah dengan kota ini. Apalagi
hubunganku denganmu selalu saja belum bisa seasyik yang kubayangkan. Aku
mengangankan penari itu. Eksotika. Aku menginginkan ada yang membubuhkan buluh
perindu di gelas minumku. Tapi, kamu telah dengan lancang nyelonong mencuri
hatiku. Naf...
Betapa akrabnya canda kita setiap menaiki taksi kuning itu.
Dan kamu selalu senang mengantarku ke lamin Pampang, menengok tarian. Betapa
akrabnya diam kita setiap prosesi tarian bermula dari nyelama sakai. Aku suka
penari-penari itu, tapi candamu menjebakku. Setiap pulang dari lamin kamu
selalu memastikanku untuk meneruskan keakraban itu di rumahmu. Kita berdiskusi
banyak hal. Dan napasmu tidak memburu. Tapi, aku sering khawatir setiap aku
belajar mencari-cari warna eksotik dari inner beauty-mu. Aku mengangankan
penari-penari itu. Betapa tidak asyiknya aroma kota dari bau mandimu, meski
ketika berdiskusi banyak hal aku selalu bisa mencicipi asyiknya napasmu yang
tidak memburu.
Kamu mengasyikkan justru ketika kamu terlalu cepat
memutuskan.
"Berpisah akan memungkinkan kita lebih mahir marajut
angan dan kemungkinan-kemungkinan!"
"Naf...?!"
Aku memang jengah dengan kota ini hanya karena rasa muakku
setelah idealismeku sebagai peneliti dibunuh justru oleh lembaga kepenelitian
tempatku bekerja di kota ini. Etika ilmiah dibunuh oleh instansi yang
mengatasnamakan lembaga ilmiah. Aku memang risih bergaul dengan para pemuja
"proyek" yang mencampakkan intelektualitas. Aku mungkin memang harus
melupakan dulu kota ini. Tapi, apakah harus aku melupakan kecerdasan yang
selalu meriah yang kuasyiki dari napasmu yang tidak memburu itu? Naf...?
Petikan sampe telah lama berhenti. Pengunjung juga sudah
beranjak, sebagian keluar lamin, sebagian menuju sisi kiri lamin dan mulai
menawar-nawar aksesori ataupun ramuan-ramuan a la Kenyah yang dijajakan di
lantai lamin. Aku mulai beranjak. Aku sebetulnya masih ingin berlama mencuri
cium aroma keringat penari-penari itu, tapi kamu sudah akan menunggu di taman
di tepi sungai, sore ini. Mahakam.... Naf....
Aku juga heran, kenapa kamu hari ini tidak mau menyambutku
dengan menemaniku mengulang memori ini. Menengok penari-penari. Padahal, sudah
enam bulan kita tidak pernah bersama-sama melakukannya sejak aku harus
memutuskan meninggalkan kota ini dan menyembunyikan alamatku di pulau seberang.
Aku masih meninggalkan nomor ponselmu. Dan aku betul terlonjak ketika dua hari
lalu kau menghubungi nomorku, meminta bertemu.
Mulanya aku agak ragu untuk kembali menginjak kota ini. Rasa
kecewa dengan instansiku dulu, dengan ketidakintelektualan birokrasinya, masih
kusimpan. Tapi, aku memang diam-diam selalu digelisahkan rindu. Kecerdasanmu.
Napasmu yang tidak memburu. Dan, o, barangkali kita masih akan berbalah soal
keringat penari-penari itu, juga buluh perindu.
Aku telah mencapai taman di tepian sungai ini setelah harus
berganti taksi tiga kali. Seperti anak kecil, aku berlari-lari kecil menyusuri
wajah-wajah yang sedang bersantai. Pastilah kamu, Naf, akan kujumpa lagi. Dan
memang aku tidak sulit untuk menandaimu. Kira-kira sepuluh kaki di sebelah kiri
kulihat kamu duduk menyendiri.
Aku mengumpat dalam hati karena rupanya kamu selalu saja
memulai pertemuan dengan canda. Ya, pastilah kamu bercanda dengan
menyembunyikan kejutan hadiah di sebalik jubahmu itu. Teramat besar rupanya
volume hadiah yang akan kamu kejutkan untukku itu sehingga seolah kamu sedang
mendekap sebuah bantal kecil di perutmu. Ayo, keluarkan, Naf, kutebak itu
boneka penari atau....
Akan tetapi, senyummu menampakkan canda yang serius. Dan aku
betul-betul terkejut.
"Naf...?!"
"Ya, penari kecilmu."
"Naf...?!"
"Ya, tujuh bulan."
"Naf...?!"
Aku tidak sempat membalah kenapa kamu tidak mengatakannya
sejak enam bulan lalu. Aku terpaku dalam sugun. Sekali ini aku telah
benar-benar bisa meraba dan merasakan kemungkinan-kemungkinan eksotik yang
muncul dari auramu. Keringatmu melebihi keringat para penari itu, melebihi
buluh perindu. Napasmu juga tidak memburu. Aku terjebak dalam eksotisme yang
akut. Kukira aku telah begitu saja melupakan kekesalanku atas penolakanmu siang
tadi untuk menemaniku menengok nyelama sakai dan mencuri bau keringat para
penari.
"Aku akan mempersembahkan nyelama sakai dan manyam tali
sekaligus, khas untukmu sore nanti. Kita bertemu saja di taman itu. Ingat,
jangan dulu datang ke rumah. Tarian penyambutanku itu lebih nyaman kauasyiki di
taman. Nanti sore, pukul lima, jangan terlambat."
"Naf...."
Samarinda, 2005
0 comments:
Post a Comment