Post:
07/17/2007 Disimak: 154 kali
Cerpen: Agus Dermawan T
Sumber: Suara Pembaruan, Edisi 07/15/2007
Rumah itu terletak di pojok jalan yang sunyi.
Sebuah rumah kuno berlantai dua yang dibangun pada zaman Belanda, dengan arsitektur
bergaya Art Nouveau yang menyisakan pesona. Namun sebagus-bagusnya desain
bangunan, temanku berkisah, para penghuni rumah loteng itu dalam setiap
pergantian zaman selalu saja terkena musibah. Lantaran begitu seringnya, ihwal
musibah ini menjadi bahan tutur-tinular bagi orang-orang di sekitarnya.
Aku pernah mendengar memang, konon pada bulan
Agustus tahun 1942, rumah loteng itu yang dihuni lelaki Tionghoa bernama Hong
Bun itu digerebeg seregu serdadu Jepang.
"Kalau saya diusir dari rumah ini, ke mana
saya harus berdiam? Saya hidup sendirian. Saya tak punya keluarga. Saya sudah
tua!" seru Hong Bun.
Para serdadu Jepang tentu tidak peduli dengan apa
yang dikatakannya. Dari luar rumah terdengar ucapan-ucapan yang terdengar kasar
bersilangan. Namun di balik kekerasan, sekali-sekali terdengar kata-kata
serdadu yang menyatakan bahwa rumah itu bagus. Interiornya indah. Lantainya
bersih. Pemiliknya mempunyai selera yang manis, sehingga di dalam rumah banyak
bunga yang tertanam dalam pot, dan di sejumlah meja terpajang ikebana. Meski di
ujung pujian tadi sering menyusul ucapan lain yang menyesakkan. Di antaranya
yang menegaskan bahwa rumah lelaki tua itu akan disita.
Beberapa hari setelah penggerebegan konon rumah
tersebut telah berganti penghuni. Pergantian penghuni ini ditegaskan oleh
sebuah koran Jepang yang memuat berita berjudul : "Hong Boen mengasi
roemahnja oentoek Pengoeasa Asia Timoer Raja". Di dalam berita itu termuat
foto lelaki berusia 73 tahun. Foto Hong Bun. Ia nampak berpakaian piyama. Wajahnya
pasi. Rambut putihnya mendukung keputus-asaan yang terpancar luar biasa.
"Kakekku masih menyimpan koran yang memuat
foto itu. Nih, lihat," temanku menunjukkan selembar koran tua.
Aku takjub. Sambil menunjukkan foto di koran, si
teman berkata, konon, beberapa minggu setelah masuk koran, Hong Bun meninggal
dunia karena serangan jantung. Orang-orang Jepang dengan khidmat memakamkannya.
Bahkan Matzuda san, pimpinan serdadu Jepang di wilayah itu, menaruh satu pot
tanaman hostas, jenis tanaman kesukaan Hong Bun, di sebelah batu nisannya.
Jepang pergi dari Indonesia tahun 1945, penghuni
rumah loteng itu sudah berganti pula. Sahibul hikayat mengisahkan bahwa musibah
kembali datang ke rumah itu untuk kali kedua. Wabah malaria yangbergolak di
tahun 1953 akhirnya masuk pula ke celah-celah pintu. Penduduk kampung di
sekitarnya sering mendengar ada rintihan orang demam di dalam rumah loteng yang
selalu tertutup itu. Siang-siang sampai malam-malam. Berhari-hari,
berminggu-minggu, berbulan-bulan.
"Kakekku selalu mengamati cahaya lampu lewat
ventilasi. Kakek bertutur, apabila lampu itu terus menyala di siang dan malam
hari tanpa jeda, itu pertanda bahwa penghuni rumah telah tiada. Aaa, kakekku
benar kiranya. Pada suatu hari kakek melihat ada beberapa orang mengusung
seorang lelaki tua dengan tandu dari situ. Meski sakitnya lama dan tak terurus,
piyamanya masih kelihatan bersih," kata seorang teman dengan nada
bersungguh-sungguh.
Siapa penghuni selanjutnya, orang tak begitu tahu.
Yang mereka tahu hanyalah kabar bahwa pada tahun 1959 di dalam rumah itu
kembali terjadi keributan. Oleh sejumlah orang dari luar kota penghuni rumah
itu diajak untuk "pulang" ke Tiongkok. Dari luar rumah terdengar
betapa kuatnya penghuni rumah itu menolak.
"Saya sudah jadi orang Indonesia. Saya cinta
Indonesia. Kenapa harus dipaksa hidup di Tiongkok. Saya tidak mau."
Tapi paksaan orang-orang itu sangat kuat.
"Ini semua berkait dengan Peraturan Pemerintah
nomor seratus yang membatasi gerak warga Tionghoa di Indonesia. Sementara,
lihat, pemerintah Tiongkok memberikan tempat bagi kita di sana. Enak 'kan?!
Apalagi Oom cuma hidup sendirian," kata seseorang di dalam.
"Tapi saya tetap tidak mau," kata lelaki
tua itu.
"Tenang saja, Om. Nanti akan ada kapal
Tiongkok yang menjemput kita. Di sana kita diberi tanah luas untuk hidup
bahagia," tegas sejumlah pemaksa.
Beberapa bulan kemudian ada yang mengabarkan bahwa
lelaki tua itu meninggal di Kweilin, Tiongkok, dalam keadaan sangat miskin.
Konon, sejak menginjak tanah Tiongkok ia telah menderita sakit berat.
Penderitaan itu tumbuh dari jiwanya yang shock, lantaran seluruh harta benda
yang ia bawa dari Indonesia diminta paksa oleh para awak kapal ketika dalam
perjalanan di lautan. Bahkan setumpuk piyamanya pun disita, dan ditular dengan
sepotong baju buruh berbahan kasar yang sungguh tak nyaman dikenakan.
Waktu berjalan memadatkan catatan. Siapa kemudian
penghuni baru rumah loteng itu, aku tak pernah sempat bertanya. Sampai akhirnya
datang ke telingaku sebuah konon yang lain. Pada bulan Desember 1965 rumah itu
tiba-tiba digedor-gedor sekelompok orang. Dikatakan
oleh orang-orang tersebut bahwa si penghuni rumah menyembunyikan seorang buron
di atas loteng. Si penghuni rumah tak mengaku, lantaran ia memang merasa tidak
menyembunyikan sesuatu.
"Untuk apa saya yang setua ini bermain api
politik," tukasnya.
Tapi orang-orang itu tetap bersikeras, sambil
menggeledah dan merusak sudut-sudut rumah serta sebagian isinya. Setelah
kehebohan surut, si penghuni rumah konon dibawa ke suatu tempat. Aku tak tahu cerita
selanjutnya. Ada yang melihat pada suatu kali lelaki tua itu bersama puluhan
pesakitan lain digiring massa bersenjata menuju ke pantai yang asing dan tanpa
cakrawala. Dengan piyamanya yang rapi ia pergi dan tak pernah kembali.
*
Barangkali karena bentuknya yang khas dan menyimpan
sejarah masa lalu, rumah loteng itu secara serta merta lantas dijadikan
landmark atau penanda wilayah oleh banyak orang.
Dengan keterkenalannya, rumah loteng itu diam-diam
jadi mitos. Dan dengan para penghuninya yang berkurun tahun tak pernah bergaul
dalam komunitas, rumah loteng diam-diam menyimpan aura yang mengundang aneka
nuansa cerita. Keterkenalan semacam inilah yang menjadikan Ketua RT di
lingkungan itu dari kurun ke kurun memelihara misterinya. Si penghuni rumah sengaja
tidak pernah diusik, tidak pernah disapa, apalagi didata.
Tetapi, percaya atau tidak, kumpulan cerita itu
menyebabkan sejumlah teman menjadi kecut. Bahkan orang- orang di sekitar situ
juga menjadi sedikit gamang. Kegamangan orang-orang sekitar dikhawatirkan
berpengaruh kepada semua orang yang lewat. Untuk menghilangkan rasa kecut
orang-orang sekitar dan orang yang akan lewat, sejumlah teman lantas mendirikan
gardu di seberang rumah itu. Di gardu tentulah sering orang berkumpul, sambil
pandangannya sekali-sekali menyapu pintu loteng
yang tidak pernah terbuka. Atau memandang pintu
utama di lantai bawah yang nyaris tidak pernah kelihatan terkuak. Eh, siapa
tahu si penghuni rumah muncul, dan melambai menyapa?
"Aku tidak tahu siapa yang menghuni rumah itu
sekarang. Tapi setelah peristiwa akhir tahun 1965, konon ada kejadian lain yang
selalu menggoda tidurku," cerita seseorang di gardu itu dengan pantomimik
meyakinkan.
Katanya peristiwa itu dimulai pada tanggal 13 Mei
1998. Pada sepotong pagi buta penghuni rumah itu pergi. Setelah berjalan
tertatih di jalanan yang gerompal aspalnya, ia sampai ke tepian jalan raya. Di
situ
ada yang melihat ia menyetop kendaraan yang menuju
Jakarta. Ia memang sering ke Jakarta, dan memang berangkat pada pagi buta.
Sering pada beberapa jam setelah matahari tenggelam ia baru pulang.
Pada hari itu Jakarta rusuh dan jadi lautan api.
Beratus-ratus rumah dan toko, terutama milik orang-orang Tionghoa, dijarah dan
dibakar. Ribuan kendaraan dijadikan arang. Banyak orang terluka. Banyak orang
terbunuh di tengah kekacauan. Konon, lelaki penghuni rumah itu adalah termasuk
salah satunya. Tapi, bolehkah aku begitu saja percaya?
"Ada kawan yang melihatnya di televisi.
Katanya ia memang mati. Mayatnya ditemukan di jalan Kalimati," kata seorang
teman.
"Sumpah, aku meragukannya," kataku.
Namun keraguanku dipangkas oleh cerita lain. Konon
beberapa minggu setelah kejadian yang jahat dan memilukan itu, pada suatu senja
datang serombongan orang ke rumah lotengnya. Dengan sebuah mobil pick-up mereka
mengangkuti barang-barang.
"Ketika menata benda-benda berharga itu konon
ada seseorang yang berkata : hati-hati, ini benda-benda peninggalannya yang
paling berharga! Nah, kata peninggalannya, bukankah berarti penghuni rumah itu
telah tiada?" sambungnya.
*
Sore itu semilir. Pohon kapuk besar yang berdiri
menaungi gardu terasa sedikit bergoyang. Lalu ratusan buahnya yang sudah
merekah nampak digamit oleh angin, dan ditaburkan ke udara. Kapuk-kapuk itu pun
bertebaran, melayang-layang ringan di angkasa dengan indahnya. Aku membayangkan
salju yang turun, seperti sering kulihat di film-film Amerika. Bahkan temanku
membayangkan dirinya berada di New York, pada suatu malam menjelang Natal 2007
tiba.
"Ada kapas salju yang besar!" aku berseru
sekonyong-konyong. Mataku lalu terus mengikuti ayunan kapuk yang besarnya
segenggaman tangan. Melayang-layang indah, perlahan, bagai perjalanan perahu di
ketenangan laut lepas. Kapuk itu terus berayun dan dengan enteng menuju
kerendahan, untuk kemudian secara lembut mendarat di suatu tempat. Di teras
loteng! Nah, di teras tersebut mataku tertumbuk sesuatu.
"Penghuni rumah itu! Lihat lelaki tua
berpiyama itu. Ia keluar dari pintu lotengnya...," aku berbisik tegang.
"Benar, rambut putihnya!" kata temanku
dengan mulut ternganga.
"Tidak salah. Itu dia!" kata beberapa
teman lain yang ada di gardu.
Dalam suasana diam kami lalu mengamati tingkah laku
lelaki tua itu. Kami melihat langkah tuanya yang tertatih. Kami menyaksikan
tangan rentanya yang bergetar menaruh pot kecil berisi tanaman di pinggiran
teras loteng. Kemudian ia masuk lagi ke rumahnya, dan keluar lagi dengan pot
lain berisi tananam yang berbeda. Kegiatan itu dilakukan berulang kali, sampai
akhirnya tak kurang dari duapuluh pot berisi tanaman daun talas, kuping gajah,
asparagus ia pajang di teras lotengnya itu. Tak ketinggalan tanaman hostas
dengan berbagai jenisnya, dari siebol diana, montana sampai undulata.
Ketika ia tahu bahwa kami semua memperhatikannya,
sebelum masuk kembali ke rumahnya, lelaki tua beruban itu sedetik tersenyum
kepada kami, dengan tangan yang melambaikan tabik.
"Dia Hong Bun. Dia Hong Bun...! Dia yang ada
di foto koran Jepang itu...!" teriakku tertahan.
Sore itu mendadak jadi dingin, lengang dan
membekukan udara. Aku tahu, seluruh isi gardu diam seribu bahasa.***
Jakarta, 1/7/07
0 comments:
Post a Comment