Cerpen
: Adrian Faletehan
Aku tidak tahu, sejak kapan gubuk kardus itu berdiri
di sana.
Menempel dinding pabrik yang kulewati setiap kali berangkat kerja. Aku juga
tidak tahu siapa nama laki-laki gelandangan yang menghuninya. Aku tidak punya
cukup waktu dan kepentingan untuk mengetahui identitas dan asal-usulnya.
Tapi, setiap kali aku merasa perlu –tidak tiap hari,
tentu—menoleh dari atas motorku yang melaju, mataku selalu membentur matanya.
Sedetik, paling lama. Tidak lebih. Dan, pasti tidak mungkin bagiku untuk
membaca apa yang tersembunyi di balik bola matanya. Mungkin dia sakit. Atau
lapar. Atau apapun hal tidak enak yang biasa dirasakan kaum gelandangan.
Dulu, satpam pabrik itu pernah mengusirnya dan
membakar gubuk kardus yang bertulis macam-macam merek itu. Beberapa hari
sesudahnya, dia tidak terlihat. Dia pasti ketakutan, pikirku. Ketakutan alamiah
orang miskin terhadap orang kaya atau alat-alat yang biasa dipakai orang
berduit melindungi kekayaannya; satpam itu, contohnya.
Eh, setelah beberapa hari menghilang, kulihat
gelandangan itu kembali ada di sana.
Lengkap dengan gubuk kardusnya, tepat menempel di bagian dinding yang dulu
juga. Sejak itu, aku sesekali melambatkan laju motorku untuk sekadar memastikan
apakah satpam pabrik sudah mengusirnya lagi atau belum. Tapi, tetap saja tidak
terlintas di pikiranku untuk tahu lebih banyak dari itu.
***
Orang-orang sudah beranjak meninggalkan pekuburan
umum. Tinggal aku, sendirian. Termangu-mangu memegangi kayu nisan –kayu sengon,
bukan jati atau mahoni— Tadinya kayu nisan ini sudah ditanam. Aku cabut kembali
karena di atasnya baru ada penanda waktu meninggalnya si mati.
Ingin benar aku terakan identitas dan tanggal lahir si
mati, atau setidaknya nama kecilnya. Tapi aku tidak tahu. Samasekali. Entah
dari mana aku bisa mendapatkan informasi itu. Aku tidak sempat menanyakannya
kepada si mati; aku menabraknya sampai tewas, tadi pagi.
Dia nyelonong begitu saja saat aku melintas. Di
belakangnya, sekilas kulihat api menyala dari sebuah gubuk kardus di dinding
pabrik dan seorang berseragam satpam dengan obor di tangan.
Gelap turun, kayu nisan itu belum juga aku tanam. Di
bawah sana,
gelandangan itu pasti sudah bertemu malaikat.
Jl. Kaliurang, 7 Juli 2004
(sambil menahan nyeri punggung)
0 comments:
Post a Comment