AKU suka matanya, seperti langit hampir malam yang dipenuhi
kunang-kunang. Kau akan melihat hamparan kesenduan dalam mata itu. Mata yang
terlalu melankolis untuk seorang laki-laki yang selalu gugup dan tergesa-gesa
ketika berciuman. Tapi sepasang mata itulah yang membuatku jatuh cinta.
Sisa hujan masih terasa dingin di kaca saat aku bertemu dengannya di toko
ikan hias. Aku tengah memandangi ikan-ikan dalam akuarium, ketika sepasang
mata itu muncul dari sebalik kaca -membuatku terkejut. Di antara ikan-ikan
kecil warna-warni, sepasang mata itu bagai mengambang. Sementara
gelembung-gelembung udara dan serakan batu koral, membuat wajahnya seperti
terpahat di air. Ia mengerdip, entah untuk apa. Tapi aku menangkapnya sebagai
semacam isyarat untuk memulai sebuah percakapan.
Ketika akhirnya kami bercakap-cakap sebentar, aku seperti mendengar denting
genta, bergemerincing dalam hatiku.
Barangkali, seperti katamu, aku memang mengidap gangguan jiwa karena terlalu
gampang jatuh cinta.
"Atau jangan-jangan kamu hanya maniak seks yang takut kesepian. Kamu
takut tidur sendirian…"
Kamu mungkin tak percaya, kalau kukatakan betapa semua ini bukan semata-mata
urusan ranjang. Memang, berganti pacar bagiku tak lebih seperti ganti baju:
tinggal pilih mana yang cocok buat ke pesta, mana yang pantas buat makan
malam, mana yang pas buat jalan-jalan, dan mana yang nyaman buat sekadar
menghabiskan malam di ranjang.
"Dan yang ini?"
Seperti kukatakan, aku suka matanya yang selalu mengingatkanku pada langit
hampir malam yang dipenuhi kunang-kunang. Menatap matanya menjadi kehangatan
tersendiri, seperti ketika kamu merasa rindu pada masa kanak-kanakmu yang
paling menentramkan. Itulah yang membuatku betah berada di dekatnya. Aku suka
ketika mendengar ia berbicara. Terdengar seperti lagu pop yang tak terlalu
merdu tetapi dinyanyikan dengan sentimentil…
"Laki-laki yang romantis rupanya!"
Tidak. Ia tak pernah mengucapkan rayuan, yang paling gombal sekali pun, untuk
sekadar membuatku tersenyum. Ia malah cenderung selalu gugup bila aku
bermanja-manja memeluknya. Aku ingat, betapa jari-jari tangannya begitu
gemetar ketika pertama kali menyentuh putingku yang ungu. Ia bercinta nyaris
tanpa suara. Bahkan aku tak mendengar desah apa pun ketika ia orgasme. Kau
tahu, bercinta dengannya seperti menikmati nasi goreng: rasanya standar dan
bisa didapat di mana saja. Tapi -entah kenapa- aku selalu menyukainya.
Mungkin karena aku merasa nyaman saja. Bersamanya aku tidak terobsesi untuk
melakukan bermacam adegan dan posisi. Dan kupikir, kalau memang kepingin yang
aneh-aneh, aku kan
bisa melakukannya dengan pacar-pacarku yang lain.
"Busyet!!"
Mungkinkah, kali ini, aku sungguh-sungguh jatuh cinta?
"Gatal telingaku denger kamu ngomong soal cinta."
Bila aku kangen, bayangannya seperti ketukan ganjil pada pintu saat tengah
malam. Membuatku tergeragap. Lalu kuingat kunang-kunang di matanya, yang
membuatku menyukai kemurungan dan kesenduannya. Dia bukan laki-laki seperti
yang sering kamu lihat di iklan deodoran, yang membuatmu rela melakukan apa
saja untuk sekadar mendapatkan perhatiannya. Sungguh, penampilannya lebih
mirip salesman yang baru saja ditolak masuk rumah, dengan dasi yang selalu
terlihat tak serasi dengan warna sweater-nya yang kelabu. Ada beberapa jerawat di wajahnya yang
coklat. Sedikit berkumis, tipis, tak rapi. Dia agak pendek untuk ukuran
kebayakan laki-laki. Keringatnya meruapkan aroma kamper yang akan membuatmu
teringat pada baju yang menjadi apak karena terlalu lama disimpan.
"Bukan baju yang pantas buat ke pesta, kukira!"
Lebih mirip seperti baju yang ingin selalu kamu sembunyikan dalam lemari.
Bukan karena kamu tak suka, tapi karena kamu tak ingin orang lain tahu kamu
memilikinya. Tapi --entahlah, aku begitu menyukainya.
"Anggap saja ini cinta sejatimu. Ha ha ha. Dan ini kisah cintamu yang
akan jadi dongeng menakjubkan! Ha ha…"
Tidakkah kau tahu, terkadang sebuah kisah cinta bisa saja menakjubkan
meskipun tidak seindah kisah cinta Cinderella dengan Pangeran tampannya.
Sampai saat ini, aku sendiri masih heran, kenapa aku jatuh cinta padanya.
Kadang aku menganggap semua ini tiada lebih dari kisah cinta yang ganjil dan
bermasalah. Tapi, bukankah cinta memang ganjil dan penuh masalah?! Tapi…
Maaf, aku mesti pergi.
"Mau ke mana?"
Kau lihat kunang-kunang itu? Setiap melihat kunang-kunang, aku selalu merasa
dia tengah memikirkanku. Aku mesti ketemu dia.
***
DIA meringkuk dalam selimut, seperti sosis dalam setangkup roti. Bahkan
kemurungan tak juga menguap dari wajahnya ketika ia terlelap. Dari jendela
apartemen lantai sebelas, kota
terlihat gemerlap ditangkup gelap yang pucat. Aku jadi teringat pada cerita
seribu kunang-kunang yang menautkan kesepian dan kenangan. Aku membayangkan
jutaan kunang-kunang muncul dari kegelapan malam dan terbang berhamburan
memenuhi kota…
"Nggak tidur?"
Ia menggeliat, memandangku yang duduk telanjang di sofa. Ia sungkan dan
jengah. Ia masih saja tak terbiasa melihatku telanjang. Kemudian ia bangkit,
meraih celana dan kemeja di sisi ranjang. Membelakangiku, dan tergesa
mengenakan pakaian. Kurasakan kemurungan yang ganjil ketika ia mendekatiku.
Tak ada pelukan untuk saat-saat seperti ini. Tak ada percakapan. Seolah ia
menginginkan semua ini berlangsung tanpa percakapan yang akan menjadi terlalu
sarat kenangan.
Sampai kemudian handphone berbunyi. Ia bangkit menjauh, berbicara setengah
berbisik. Aku hanya memandang keluar jendela.
"Aku mesti pergi…," suaranya pelan dan datar. "Anakku sakit
…"
Bukan sesuatu yang mengagetkan. Tapi aku tetap saja merasakan kemurungan yang
makin membentang, seperti langit yang bertambah memucat di atas kota yang dipenuhi
kunang-kunang. Cahaya perlahan susut dan aus. Desah napas waktu meruapkan
basah pada kaca jendela. Kesunyian tak terpermanai. Dan dingin, seperti dalam
sebuah puisi, tak tercatat pada termometer.
Barangkali, seperti kerap kau katakan, aku memang wanita paling menyedihkan
yang pernah kau kenal. Karena, selalu saja, aku gampang jatuh cinta pada
laki-laki yang sudah beristri…
Jakarta, 2005.
|
0 comments:
Post a Comment