Tuesday, 24 June 2014

Pada Sebuah Trem


Cerpen: Aminullah HA.Noor


Post:  01/12/2006 Disimak: 61 kali
Sumber: Suara Karya,  Edisi 01/08/2006
________________________________________
Trem penuh sesak dengan orang, keranjang-keranjang, tong-tong kosong dan berisi, kambing dan ayam. Hari panas dan orang dan binatang keringatan. Trem bau keringat dan teras. Ambang jendela penuh dengan air ludah dan air sirih, kemerah-merahan seperti buah tomat.
Dalam trem susah bernapas. Tapi orang merokok juga, menghilang bau keringat dan terasi. Seorang perempuan muda, Belanda Indo, mengambil sapu tangannya, kecil sebagai daun pembungkus lemper, dihirupnya udara di sapu tangannya, lalu katanya, "Siapa lagi yang membawa terasi ke atas trem, ini kan kelas satu."

Seorang-orang Tionghoa, gemuk seperti Churchill, merasa tersinggung dan berkata dengan marah kepada nona Belanda Indo itu, "Jangan banyak omong. Sekarang kemakmuran bersama, bukan Belanda."
Orang Tionghoa itu membungkuk, mengambil dari keranjang sayurannya sebuah bungkusan dan katanya, sambil melihatkan bungkusan itu kepada nona Belanda Indo itu, "Ini dia terasi, mau apa"?
Seorang perempuan tua, bungkuk dan kurus, bajunya berlubang seperti disengaja melubangkannya, seperti renda seperai, dimarahi kondektur, "Ini kelas satu, mengapa di sini. Ayu ke belakang. Kalau tidak, bayar lagi."
Perempuan tua itu beriba-iba, meminta supaya ia dibolehkan di kelas satu saja, "Terlalu sempit di sana, Tuan. Saya tak bisa."
"Ya, kalau tak bisa, bayar lagi."
Lambat-lambat perempuan tua itu pergi ke kelas dua. Tiba di sana ia melihat dengan marah kepada kondektur dan katanya, "Ah, berlagak betul. Sedikit saja dikasi Nippon kekuasaan sudah begitu. Sama orang tua berani. Tapi coba kalau orang Nippon, membungkuk-bungkuk. Bah!"
Seorang laki-laki, kuat dan tak memakai baju, berdiri dan katanya kepada perempuan tua itu, "Jangan banyak bicara. Duduk!"
Di sebuah tempat perhentian, trem berhenti. Orang berdesak-desakan, pekikan tukang jual karcis kedengaran. "Yang turun dulu. Ayo cepat!"
Orang-orang berasa lega sebentar. Tapi sebentar lagi trem penuh sesak kembali. Dari bawah kedengaran suara seorang Nippon.
"Kasi jaran (1). Bagero (2)".
Orang-orang tambah berdesak, memberi jalan kepada orang Nippon itu.
Seorang anak muda, melihat kepada Nippon itu dengan muka masam dan katanya lambat-lambat, "Orang kelas satu dan orang kelas dua disamakannya saja, seperti binatang saja diperlakukannya." Tapi waktu orang Nippon itu berdiri di dekatnya, ia diam dan melihat ke tempat lain. Orang Nippon itu bergayut pada kulit di atas trem dan lengan bajunya yang pendek itu keluar bau terasi. Pemuda itu mengambil sapu tangannya dan dilekapkannya ke hidungnya.
Di tengah jalan trem berhenti. Orang tercengang-cengang. Pikir mereka tentu ada kerusakan atau ada kecelakaan. Semua orang melihat ke luar. Di tengah-tengah rel kelihatan tiga orang Nippon berdiri menahan trem. Kondektur takut dan untuk keselamatan kepalanya diperhentikannya trem.
Ketiga orang Nippon itu naik. Tangan orang gores-gores kena pangkal pedangnya. Mereka berdiri dan ketawa, terawa kemenangan.
Trem jalan lagi berciut-ciut seperti bunyi kerekan. Pada pengkolan orang-orang terhereng. Seorang perempuan muda tiba di atas pangkuan seorang anak muda. Seperti biasa, anak muda itu memeluk pinggang si gadis dan ditolongnya berdiri kembali. Tapi tempatnya tak diberikannya kepada gadis itu.
Bau keringat tak tertahan-tahan lagi. Setiap orang mengeluh.
Ah, teringat kepada masa silam, kata seorang orang Indonesia, bajunya bagus dan bersih. Sebentar-bentar dipukulnya lengan bajunya, menghilangkah debu.
Orang-orang tak menjawab perkataan orang Indonesia itu. Seperti perkataan itu sudah biasa saja. Di sebuah perhentian trem lagi, naik seorang pemuda dan seorang gadis. Muka mereka merah, karena kepanasan. Tapi mereka tertawa dan berkata dalam bahasa Belanda, kata yang laki-laki, "Hm, enak betul di sini. Seperti pasar ayam."
Yang perempuan tertawa, diambilnya sapu tangannya, dilekapkannya di hidungnya yang mancung seperti hidung Yahudi. Katanyam, "Lebih baik daripada jalan kaki."
Yang laki memberengut, "Hm, pukul berapa hari."
Orang perempuan mengangkat tangan kirinya, hendak melihat hari. Tangan kanannya mengingsut lengan kebayanya, tetapi lengan kebayanya tidak bergerak. Dilihat.. arlojinya sudah menonjol keluar dari sebuah lubang di lengan kebayanya itu. Kemalu-maluan katanya,
"Pukul setengah dua."
Kondektur berjalan di muka perempuan tua itu di kelas dua.
"Karcis yang baru, karcis yang baru."
Perempuan itu melihat saja kepala kondektur. Di belakang kondektur bibirnya ditariknya ke kanan seperti monyet, dan katanya, "Lihat monyet itu."
Orang banyak heran melihat ke bibir orang tua itu.
Tiba di Harmoni trem berhenti pula. Dari kota ke Harmoni lamanya dua puluh menit.
Seorang-orang Indonesia, pakai destar Jawa dan sepatu Inggris melihat dengan marah ke arlojinya dan dengan suara nyaring seperti gersik daun kelapa yang sudah tua, katanya, "Bah, dulu hanya empat belas menit. Tak ada yang teratur sekarang ini."
Pada tukang jual karcis katanya, "Bang, mengapa tak diatur orang banyak di trem. Apa itu macam. Apa sekarang tidak ada aturan lagi. Itu, orang berdiri di atas tangga itu, larangan. Nanti jatuh."
Keheran-heranan tukang jual karcis itu melihat kepada orang Indonesia itu dan mengejek diputarnya badannya dan ditiupnya peluit-peluitnya. Berapa orang berpekik, "Hai nanti dulu. Mau turun."
Trem yang sudah berjalan ini, tertegun berhenti lagi. Berdesak kembali. Masih banyak orang yang hendak turun.
Orang Indonesia yang berdestar Jawa dan bersepatu Inggris itu melompat ke arah tukang karcis, ditariknya bajunya, "Engkau apa? Berbuat sekehendak hatimu. Lihat dulu orang baju, baru bunyikan peluit."
Tukang karcis itu bertambah heran. Dalam hatinya, "Siapa orang ini?"
Ia membalikkan badannya pula, tapi tak mengejek lagi, ketakutan rupanya. Sangkanya:
Barangkali anggota Chou Sangiin.(3) Trem berjalan lagi. Orang tak begitu banyak. Sudah banyak yang dapat tempat duduk.
Di tengah-tengah tak berapa orang yang berdiri lagi.
Di kelas satu tak seorang jua orang Nippon. Perempuan gemuk berkata, sambil menyeka keringat dari lehernya, pendek seperti orang Nippon, "Euh, kalau tak terpaksa kuharamkan naik trem. Mobilku diambilnya. Belum dibayar. Bilang saja hendak merampas, lebih baik."
Orang laki-laki yang di sebelahnya, berkata, "Nyonya, siapa yang mengambil mobil?"
"Siapa lagi?"
Orang tertawa dan maklum.
"Sabarkan saja hati. Nantu tentu datang hari gilang gemilang."
Suara itu keluar dari sebuah mulut, berkeringat seperti mulut orang.
"Apa?... Sabar? Kalau tak sabar sudah lama aku masuk rumah sakit gila, seperti..."
Perempuan gemuk itu tak mau meneruskan perkataannya. Mengeluh katanya, "Jaman susah sekarang. Tahun dua puluh dulu susah juga, tapi tak sesusah sekarang."
Seorang laki-laki celananya pendek dan kotor, mendekati perempuan muda itu, lambat-lambat katanya, "Jangan bicara begitu. Nanti menyesal."
Dekat Pasar Baru trem berhenti di muka gedung komedi. Orang banyak naik dan turun.
Beberapa orang naik dari jendela. Seorang-orang Nippon naik pula dari jendela.
Seorang-orang Indonesia di atas trem berkata kepada orang Nippon itu. "Hai, engkau apa? Naik dari jendela. Tak tahu aturan."
Orang Nippon itu mengeluarkan beberapa perkataan Indonesia, patah seperti pengkolan jalan. Orang Indonesia itu merah mukanya. Baru ia tahu yang ditegurnya tadi, orang Nippon. Tapi ia malu kepada orang banyak. Diberanikannya saja hatinya, dan katanya, "Itu tidak bagus. Naik dari jendela."
Orang Nippon itu naik juga.
Tiba di atas trem, ia marah-marah kepada orang Indonesia itu,"Kerja di manakah? Kenapa beranai rarang-rarang Nipponka?"
Orang Indonesia itu tak mau kalah, tapi dalam hatinya ia kecut seperti cita Nippon kena air. Katanya, "Tuan kerja di mana? Saya kerja di Naimubu."
Mereka bertengkaran mulut. Tapi Nippon itu tak mau meletakkan tangannya, sebab dekat itu ada kenpei.
Kenpei itu berdiri, berkata dalam bahasa Nippon dengan orang Nippon preman itu. Rupanya kenpei itu marah. Dengan suara manis, katanya kepada orang Indonesia itu,
"Dia sudah saya marahi. Memang dia salah."
Orang Indonesia itu merasa senang, mendapat kemenangan yang gilang gemilang.***

2 comments:

  1. Pak Aminullah HA.Noor yth,

    Anda menjiplak (memplagiat) cerpen Idrus yang berjudul "Kota-Harmoni".

    Salam,
    Linda

    ReplyDelete
  2. Benar ini karya jiplakan, dari sebuah cerpen klasik terkenal lagi, "Kota-Harmoni" karangan Idrus, kan ini sudah ada di buku Dari Ave Marya ke Jalan Lain ke Roma.

    ReplyDelete