Cerpen Adek Alwi
Dimuat di Suara
Pembaruan 02/03/2008 Telah Disimak 462
kali
Yang menarik dari kakekku cara
dia menyambut pagi. Meski kulitnya hitam, gigi banyak yang copot juga hitam
akibat rokok, tubuh tinggi, besar, suara pun besar, namun wajahnya tidak pernah
keruh apalagi menyeramkan di pagi hari. Berseri terus. Padahal, pisang goreng
dan kopinya pun belum tersedia. Nenek masih repot di dapur.
"Mengapa muka Kakek selalu
berseri?" tanyaku sekali waktu.
"Karena menghormati
matahari!"
Kulihat ke luar. Matahari
menjalari pohon, daun, halaman, masuk ke beranda menjilat tubuhku dan tubuh
kakek. Kakek terkekeh. Mukanya berseri, mata berbinar. Badanku hangat segar.
"Mengapa matahari Kakek
hormati?"
"Karena menghormati
Tuhan." Ditatapnya aku lantas turun ke halaman. Dekat pintu kandang dia
menengok. "Bagaimana, ikut menghormati matahari?"
"Sst, jangan dengar! Kakek
suka aneh!" abangku mendesis berkelumun sarung bergelung macam ular di
kursi. Mata, kening, kepalanya saja terlihat. Kampung kami dingin, di kaki
gunung. Abang benci dingin. "Gigiku gemeletuk!" katanya tiap diajak
melihat nenek-kakek. "Mata sulit terbuka di kampung!" Di rumah kami
di kota ia pun bagai ular, menggerutu disuruh mandi pagi-pagi. "Lagi tidur
disuruh mandi!" Tempo-tempo diciprati ayah mukanya dengan air dan ia
terbirit-birit ke belakang.
Melihat aku terpana kakek
terbahak-bahak. Dan seketika aku dengar ayamnya berkotek, kambingnya mengembik.
Nenek pun berucap di dapur: "Kakek kalian itu... ketawa tidak ditahan-tahan.
Seperti guruh!"
Kakek terus tertawa. Hahaha!
Ayamnya terus berkotek. Kambing mengembik. Ia buka kandang dan ayam berhamburan
dari kolong rumah. Kakek terkekeh menebar padi. Ayam berebut. Loncat ke tangan,
turun, berkotek, berkeliaran mengais makan di parak. Bulunya berkilau disinari
matahari: merah, putih, hitam, cokelat, kurik. Jengger mereka tambah merah,
segar.
"Ayo!" Kakek melambai,
melangkah ke samping rumah.
"Jangan mau!" desis
abangku. "Pasti disuruh memberi makan kambing!"
Mendengar itu aku malah
tertarik. Siapa tahu boleh menunggang kambing bak koboi naik kuda. "Dungu!
Tolol!" abang tak lagi mendesis. Aku bergegas ke halaman belakang.
Kakek telanjang dada di
belakang. Bajunya tergantung di pohon jambu, tubuh berkilau-peluh. Kambing-kambingnya
mengembik, berdesak berebut daun singkong, daun jagung, kulit pisang, yang
diaduk-aduk kakek. "Tambah kencingmu juga boleh," jawabnya saat
kutanya. "Kencinglah!"
Aku melongo. Tak mengerti, malu,
geli. "Kencing saja!" Nah. Kupancurkan di menu kambing. Eh,
kambing-kambing kian lahap bak diberi penyedap. Kakek tertawa melihatku
keheranan. Kambingnya mendongak, mengembik menyahut. Tiba-tiba, aku pun ingin
tertawa. Gelak-gelak. "Hahaha!" Di dapur nenek berseru heran-kaget.
Aku terus ketawa. Satu-dua kambing mengembik menyahut, melihat ke arahku, tapi
tidak kudengar ayam berkotek dalam parak atau di halaman depan.
"Buka baju! Buka
bajumu!"
"Untuk apa?"
"Biar tubuhmu dicium
matahari. Lekas, buka bajumu!"
Kubuka baju. Matahari pagi
menjilat bahu, punggung, dada, muka, kepalaku. Sedapnya! Aku tertawa.
"Hahaha!" Kakek juga. "Hahaha!" Lalu dia sodorkan parang,
satu dia pegang. "Ayo, kita siangi parak! Siapa tahu ada pisang bisa kau
tebang. Bisa kau menebang pisang?"
"Aku ingin menunggang
bandot."
"Ha? Baik. Racaklah!"
Kakek terbahak-bahak.
Kudekati kambing jantan besar.
Dia curiga, siap menyeruduk. Kakek terkekeh menyemangati. "Pegang
tanduknya! Putar tubuh, ayun ke punggungnya!" Tak mudah. Kambing
menggeliat, meronta, dan kami bergulat. Kuat sekali dia. Juga bau. Aku kian
bernafsu menundukkan. Berkali-kali aku terjerembab. Dada, muka, perutku,
cemang-cemong dilumur tanah dan keringat. Napas sengal-sengal. Kakek terus
menyemangati. Matahari juga. Tambah hangat mencium wajah dan tubuhku.
Akhirnya, berhasil kunaiki
kambing itu. Kujepit perutnya dengan lutut sampai mengembik-embik, tapi tetap
tak mau lari. Aku dan kakek tertawa lagi. "Hahaha!"
"Kakek! Kopi Kakek!"
Kakak perempuanku muncul di pintu dapur, terbelalak melihatku di punggung
bandot. Muka dan tubuhku kumuh, berpeluh, bau.
"Letakkan di situ, Gadis.
Siapa yang bikin?"
"Aku!"
"Oh, hebat! Buat satu lagi,
ya!"
"Untuk siapa?"
"Adikmu. Kami mau menyiangi
parak!"
Bangganya aku. Sampai-sampai
peganganku lepas dan tubuh terhempas nyaris diinjak bandot. Kakakku terkikik.
"Hihihi!" Begitu pula aku dan kakek.
*
TAPI, ayah ibuku itu tak betah
lama di rumah kami di kota. Mukanya juga tak berseri. Padahal kugulungkan dia
rokok, agar senang dan betah. Rokoknya daun enau, tembakaunya hitam berserat
kasar. Kugulung sepuluh buah, kuikat dengan karet, aku taruh di selapah rokok.
"Tinggal ambil kalau Kakek mau merokok!"
"Terima kasih."
Wajahnya biasa saja, tidak berseri seperti di kampung.
Sekali, ketika dia termangu
pagi-pagi di beranda dikawani pisang goreng dan kopi usai berbincang dengan
ayah-ibu dan menyebut mau pulang, kutanya: "Mengapa Kakek tak betah di
sini? Kenapa muka Kakek tak berseri di rumahku?"
"Karena tak bisa
menghormati matahari," ujarnya. "Jangan-jangan nanti malah jadi ular!"
Dia lirik abangku yang bergelung di kursi.
"Di sini kan ada matahari!
Ada pagi!" protesku jengkel, juga sedih.
Ia tatap mataku, lalu wajahnya
perlahan berseri. "Kau suka ayam?" tanyanya.
"Suka. Apalagi gulai ayam
campur nanas muda buatan nenek!"
"Kita buat kandangnya di
belakang?" katanya tersenyum.
"Ayo!" aku gembira.
Tertawa-tawa kami pun ke pekarangan belakang. Sempat kudengar nenek berucap
pada kakak di dapur, "Lihat kakekmu, diajaknya adikmu ke parak! Cucu
hendak sekolah, diajak ke parak!" Suara nenek lalu berubah lembut-sabar
mengajar kakak memasak.
Pulang sekolah kulihat kandang
itu di halaman belakang. Juga tiga ekor ayam. Seekor jantan, dua betina; dibeli
kakek saat aku sekolah. "Keluarkan dari kandang dan beri makan sebelum
sekolah. Petang giring ke kandang," katanya.
"Beres," kubilang.
"Kusuruh juga mereka berkotek bila aku tertawa!"
Ketika ia datang lagi dibawanya
bibit cengkeh dan kulit-manis. Kami tanam di belakang, pagi-pagi, saat matahari
menjalari pohon dan daun. Saat ia pulang aku sibuk dengan ayam, cengkeh,
kulit-manis. Saat kakek datang lagi mukanya berseri melihat ayamku beranak,
cengkeh, kulit-manisku makin besar. "Seperti kau!" katanya tertawa
menepuk bahuku.
Sementara itu abangku tak suka
lagi bergelung pagi-pagi. Usai shalat Subuh ia lari-lari dengan kawannya
seantero kota. Mereka mau masuk akademi militer tamat SMA. Abang kelas tiga.
Umurnya enam tahun di atasku, empat tahun di atas kakakku. Badannya tinggi
besar seperti kakek. Bila ayamku masuk rumah disepaknya terkeok-keok. Aku
marah. Apalagi, habis lari ia curi telurku. Ditelan mentah-mentah. Kulitnya
berserakan depan kandang. Oh. Ibu saja beli! Uangnya aku tabung. Ayah pun
berniat beli cengkeh dan kulit-manisku nanti buat kedai rempah beliau.
"Tapi, aku tak mau di bawah harga pasar!" kataku.
"Boleh. Asal kau petik
cengkeh dan kuliti kulit-manis itu sendiri."
Wah. Memetik menjemur cengkeh
tak sulit. Panen kulit-manis? "Di bawahnya bolehlah," aku mengalah.
Ayah senyum, menyalamiku. "Berniaga tidak boleh kaku," ujarnya.
"Eh, mana abangmu?"
tanya kakek pagi-pagi, waktu dia berkunjung pula.
"Lari-lari. Dia mau jadi
tentara. Sekarang lari pagi melulu, seperti kuda!"
"O, bagus itu."
"Bagus apa! Pacarnya ikut
lari-lari!"
Mungkin kakek tahu aku kesal
karena telurku raib. "Kau juga hebat!" katanya. "Ayo, kita lihat
ayam, cengkeh dan kulit-manismu. Sebesar apa sekarang."
"Kakek belum mengopi."
"Nanti diantar kakakmu dua
gelas!"
Kakak perempuanku waktu itu
sudah SMP. Rajin, cantik, pandai masak seperti nenek. Kulitnya pun langsat
persis nenek. Kalau nenek lengah ia ikut memberi makan ayam, kambing,
berkeliaran dalam parak. Mukanya berkilau dicium matahari. Pipinya merah
seperti tomat. Kakek tertawa senang. "Bagus, Gadis! Kau akan tumbuh
sehat-cantik seperti nenek dan ibumu. Rebus pisang itu, ya. Kita makan nanti
sama-sama!" Kakakku tersenyum, mengangguk, membiarkan pipinya terus dicium
matahari.
"Ayo!" ajak kakek
lagi. Dan kuikuti dia ke pekarangan belakang.
*
AKU sudah selesai kuliah dan
kerja di Ibu Kota ketika kakek wafat. Aku tidak pulang. "Nanti saja cuti,
ziarah," kata ayah di telegram.
Abangku juga tak pulang. Tugas
di Timur Tengah, sebagai komandan pasukan perdamaian. Hanya kakak melepas
kepergian kakek. "Beliau pergi di pagi hari, ketika matahari naik,"
tulis kakak dalam surat. "Muka kakek berseri-seri. Aku ingat saat kita
kecil. Ketika kau menunggang kambing, saat kau dan kakek tertawa-tawa menyambut
pagi, mengurus ayam, kulit-manis, cengkehmu. Wajah kakek persis itu saat berangkat
menemui Sang Pencipta yang sangat dia hormati."
Aku terharu, dan sepanjang
hidupku aku ziarahi beliau. Pagi-pagi, sebelum ke kantor aku masuki kebun dan
kurawat bunga dan pohonan yang ada di situ. Kubiarkan tubuh dijilat matahari.
Ketika pensiunku tiba kupilih tinggal di luar kota, kuisi hariku dengan
berkebun dan beternak ayam.
Bila cucu-cucuku datang kuajak
mereka ke kandang ayam dan kebun cengkeh. Istriku mantan model itu kadang
mengomel. "Kakekmu itu... cucu mau liburan diajak mengurus ayam!" Ia
terpekik melihat cucunya telanjang dada. "Sini!" Beberapa cucu
mendekat. Lainnya tertawa-tawa. "Tenang, Nek!" Dan terus berkeliaran
dalam kebun dicium matahari. "Kami menyambut pagi bersama Kakek!"
Kadang kakak perempuanku
berkunjung dan cucunya pun kubawa ke kandang ayam dan kebun cengkeh. Kakak
tersenyum. Matanya nanap menatap tubuhku dijilat matahari. "Suamimu
itu...," katanya bergetar kepada istriku.
Abangku jenderal purnawirawan
bintang-dua juga kerap datang. Pagi-pagi dia bangun, berjalan-jalan dengan istrinya
yang tetap cantik bak di SMA. Tapi mereka tak kuat lagi lari-lari. Maklumlah.
Dan suatu pagi, usai
jalan-jalan, abang terpana di luar kebun menatapku. Lalu berteriak, "Hei!
Aku melihat kakek di situ. Itu, di sebelah kanan kau!"
"Ya!" kubalas berteriak.
"Aku selalu bersama kakek!" Aku terbahak-bahak dan ayam-ayamku
berkotek. Bulu-bulunya berkilau disinari matahari seperti tubuhku yang
berpeluh. Tiba-tiba abangku ikut terbahak-bahak lalu kulihat dia menjejak
tanah, masuk ke dalam kebun. ***
0 comments:
Post a Comment