Post: 03/21/2006 Disimak: 5 kali
Cerpen: Aris Kurniawan
Sumber: Lampung post, Edisi 03/19/2006
JALANAN sepi dan basah, kawan.
Tetapi, lampu-lampu jalanan kiranya masih menyala kala itu, sehingga paras
pucat perempuan itu sempat tertangkap meski tidak terlalu jelas lantaran cahaya
lampu terhalang ranting akasia. Hujan sudah selesai, tetapi udara tentu saja
sangat dingin. Tanpa hujan pun udara malam tetap dingin, bukan? Maafkan kalau
aku kelihatan sok tahu, kawan. Kau tentu boleh tak setuju dengan bermacam ungkapan
atau perumpamaan yang kubuat dalam menceritakaan semua ini.
Ia meletakkan bokongnya di bangku
halte dengan cemas yang deras menggerayangi perasaannya. Jemari tangannya yang
lentik terawat meremas-remas sapu tangan basah yang digunakan untuk menyeka wajah
dan rambutnya. Sebuah tas kecil terbuat dari kulit berwarna cokelat talinya
masih nyangkol di bahu, dikempit ketiaknya. Kopor hitam didekap kedua lututnya
yang gemetar. Cahaya temaram menyembunyikan tubuhnya yang menggigil dibungkus
jaket dan kaus hitam ketat. Kecemasan makin deras, sukar dibendung. Ia sering
mengalami kecemasan. Tapi kali ini baru dialami sepanjang hidupnya.
Ia urung membakar sisa rokok yang
tinggal sebatang-batangnya. Dimasukkannya kembali rokok itu ke dalam saku
jaket. Taksi yang diharapkan lewat dan membawanya pergi dari tempat itu tak
juga muncul. Udara dingin terasa semakin menghisap tenaga dan denyut nadinya
serupa terik matahari menghisap embun di pagi hari. Ia meraba dadanya, seakan
mengukur kemampuannya bertahan.
Di langit, bulan direnggut
lapisan awan tebal. Sisa hujan menggenang di jalan berlubang, sesekali berkilau
tersiram cahaya lampu. Tak ada suara angin atau gonggongan anjing. Hanya
sesekali, lamat, suara kersik daun kering yang putus dari tangkainya melayang
tenang sebelum hinggap di badan jalan yang betul-betul lengang seperti kuburan.
Ia mengutuk peristiwa demi
peristiwa yang dialaminya. Bukan hanya rentetan peristiwa yang beberapa jam
lalu dilewatinya. Melainkan terutama peristiwa yang dialami masa kanak dan
remajanya yang singkat dan muram. Ia meremas sapu tangan seakan meremas
kecemasan yang terus menjalar dan menggerogoti lapis demi lapis ketegaran yang
sekian lama dipupuknya. Dengan ragu-ragu dirogohnya saku jaket, mencari-cari
rokok yang tadi tak jadi disulut. Ujung jemarinya menyentuh tembakau yang
terburai dari kertasnya yang koyak karena gesekan dan saku jaket yang lembab.
Dibakarnya batang rokok yang
koyak separo, lantas disedotnya setengah hati. Ia membuang ludah kental yang
terasa pahit di lidahnya. Tenggorokannya bagai terbakar, panas dan perih. Di
telinganya suara nyamuk berdenging, menggigit kulitnya yang halus dan masih
menyisakan harum. Tak ada kunang-kunang, membuat malam sungguh-sungguh kelam.
Pandangannya terus menyorot ke
kanan sampai lehernya pegal; arah dari mana dirinya muncul tersaruk menyeret
kopor. Ketegangan menyerang tubuhnya. Ia merasakan urat-urat lehernya menegang
dan kaku. Taksi yang ditunggunya tak pernah muncul. Jalan itu memang tak
dilintasi taksi apalagi di malam sepi dan dingin sehabis hujan seperti itu. Ia
lupa, bahkan ojek pun tak berani melintas di sana. Baru kali ini ia linglung
dan kehilangan akal apa yang harus diperbuatnya.
Ia mengetatkan dan menaikkan krah
jaketnya, mencoba menghalau dingin. Tapi dingin tak bisa dihalau, ia telah
bersekutu dengan malam dan sepi, mengundang kenangan yang berdiam dalam
ingatannya. Ia serasa mendengar umpatan Papa. Mendengar jeritan mama dan Alen,
kakak sulungnya. Mereka berkelebatan mengurung matanya ke mana pun dibenturkan.
Ia tidak pernah menemukan tempat yang benar-benar mampu menjauhkan ingatannya
dari mereka dan seluruh peristiwa yang membuatnya membenci mereka. Mama dan
papa seingatnya tak pernah bertemu kecuali untuk saling menumpahkan caci maki.
Tak pernah dilihatnya mereka duduk bersama, bercengkerama apalagi secara mesra
mengulurkan tangan untuk dicium saat dirinya berangkat sekolah.
Ia dapat mendengar dengan jelas
suara tangan papa menggampar pipi mama disertai bentakan, lantas lengkingan
Mama yang membuatnya terhenyak malam-malam. Disusul denting gelas dan cangkir
beterbangan menghantam dinding. Kak Alen tak pernah pulang kecuali dalam
keadaan mabuk dan dipeluk seorang perempuan seusia mama. Mereka berdekapan
sepanjang malam dengan pakaian separuh tanggal sambil mendesiskan suara-suara
yang membuatnya mau muntah. Ia sendiri menggigil di balik pintu kamarnya.
Adiknya, Riko, yang menderita autis pulas dalam pelukan Tante Noah di kamar.
Ia tahu, Rikolah yang menjadi
pangkal pertengkaran mereka. Papa menuduh Riko anak hasil perselingkuhan mama
dengan pemuda-pemuda yang suka nongkrong di mal; bukan anak dari benihnya.
Sebaliknya, Mama yakin Papa yang sering keluyuran malam dan bergonta-ganti
pasangan yang menyebabkan Riko terlahir cacat.
Batang rokok terakhir sudah
habis. Puntungnya yang masih mengepulkan asap tanpa sadar diremasnya. Sesaat ia
menjerit dan terperanjat karena panas. Perlahan udara bergerak dari arah
selatan tanpa suara. Wajahnya menegang lagi seperti ada anak-anak yang
menariknya. Suasana makin hening. Gemeretak giginya terdengar nyaring. Ia
melepas tas dari pundaknya kemudian dipeluknya. Meletakkan pipi di atasnya.
Seperti yang dilakukannya saat
hatinya tiba-tiba perih direnggut rindu pada mama.
"Kamu kenapa, Revi?"
tanya teman laki-lakinya melihat ia murung.
"Tidak apa-apa, Roni,"
jawabnya seraya menatap mata laki-laki itu.
"Kamu masih tak mempercayai
aku? Hmm."
"Tidak. Kamu jangan
sentimentil, Roni."
Laki-laki itu pacarnya. Ia tidak
pernah mencintai seseorang seperti ia mencintai laki-laki itu. Laki-laki yang
mula-mula datang ke salonnya, menyerahkan penanganan urusan rambut. Laki-laki
itu ketagihan pijatannya yang enak. Pelayanannya yang serba lembut dan
menyentuh membuatnya berlanggan setiap pekan. Tentu tidak terbatas pada urusan
rambut, melainkan juga perawatan kulit dan wajah. Pria metroseksual, kata
orang-orang. Ia suka menatap lekat-lekat rahangnya yang kukuh, dagunya yang
selalu kebiruan. Ia terpesona pada gaya berbicara dan terutama suaranya yang
basah dan terdengar mendesah. Maka usai dengan urusan rambut, biasanya
laki-laki itu berlama-lama duduk di sana sampai malam larut oleh embun,
mengobrolkan entah apa dengannya.
"Kenapa kamu memilih hidup
seperti ini?" Demikian laki-laki itu pernah bertanya.
"Kenapa?" Perempuan itu
balik bertanya.
"Pengin dengar
ceritanya."
"Buat apa?"
"Namamu bagus."
"Ah."
"Bukan nama pemberian
orangtuamu, kukira."
Obrolan-obrolan serupa itu
berlanjut terus setiap laki-laki itu datang. Berceritalah dia tentang
kebenciannya pada mama, papa, dan Kak Alen, juga rasa iba tak terkira pada
kondisi Riko. Tetapi, terutama pada peristiwa demi peristiwa yang membuatnya
membenci mereka semua.
"Itu yang membuat kamu
memilih begini?"
Perempuan itu tak menjawab. Ia
teringat pada keputusan besarnya: mengkastrasi kelaminnya, merubahnya menjadi
vagina. Ia yakin benar kekeliruan itu harus diluruskan, bukan karena
kebenciannya pada papa, mama dan Kak Alen yang tak pernah mempedulikannya.
Tuhan pun bisa saja melakukan kekeliruan, bukan? Bukankah Tuhan maha bisa?
"Apakah salah."
Laki-laki itu tidak menjawab. Ia
sendiri tak merasa memerlukan jawaban sebagaimana ia juga tidak perlu tahu
sungguhkah Roni mencintainya? Disimpan saja keraguannya itu. Ia berharap Roni
sungguh-sungguh.
"Aku laki-laki, bukankah
kamu perempuan?" ujar laki-laki itu seakan mengerti perasaannya.
"Hmm, aku bahagia. Tapi
tidakkah ini."
Ia menepuk-nepuk telapak
tangannya, membersihkan debu puntung rokok. Menelan ludahnya yang panas bagai
lahar membakar lidah dan tenggorokan. Langit makin pekat. Selembar daun akasia
jatuh tepat di pangkuannya. Seekor kucing tiba-tiba mendekat dan
menyentuh-nyentuhkan tubuh ke kakinya. Di langit lapisan awan tebal tak
menyisakan kerlip gemintang. Kenangan pelariannya dari rumah, mencuri semua
perhiasan mama mendadak membayang lebih jelas. Seperti baru kemarin dia
meninggalkan rumah yang dikutuknya bagai kamp penyiksaan bagi jiwanya.
Dengan percaya diri ia menjual
semua perhiasan mama untuk menyewa ruko dan memulai usaha membuka salon. Ia
adalah seseorang yang ulet, terbukti salon yang dikelolanya tak pernah sepi
pelanggan. Ia tidak perlu menjadi pengamen atau berdiri malam-malam di
perempatan jalan mengadang lelaki dungu yang tersesat; seperti kebanyakan
kawan-kawannya.
Rupanya mama masih hidup, ia
mendengar kabar mama masuk rumah sakit. Perempuan itu tak mengenalinya ketika
ia menjenguknya di rumah sakit. Wajah mama nampak begitu pucat dan renta.
"Siapa kamu?" tanya
Tante Noah yang menjaga mama. Ia merasa tak perlu menjelaskan dirinya pada
siapa pun. Ia hanya berkata supaya mama dijaga, lantas pergi meninggalkan
sekeranjang bunga dan buah-buahan. Sayup-sayup ia mendengar teriakan Tante Noah
memanggilnya, Rava, Rava. Sesunggguhnya ia ingin menghentikan langkah dan
berbalik menemui mereka. Tapi, keberaniannya tiba-tiba menguap entah ke mana.
Ia menelan ludah. Lamat
didengarnya suara roda gerobak bakso yang didorong tergesa. Ia menggeser
duduknya, mengangkat wajah melihat tukang bakso makin mendekat, dan melintas
tanpa menoleh ke arahnya.
Bertahun-tahun ia tak pernah
pulang. Berusaha melupakan mama, papa, Kak Alen, Riko, dan semua impitan
peristiwa masa kanaknya. Namun, sering gagal. Semuanya selalu menguntit
ingatannya. Setahun setelah peristiwa di rumah sakit, ia mendengar kabar mama
meninggal. Kak Alen mengalami stres berkepanjangan, dan Riko dibuang Tante Noah
ke rumah panti anak-anak cacat. Papa entah ke mana.
Ia memejamkan matanya, berusaha
membebaskan diri impitan ingatannya. Tetapi, peristiwa lain yang menyeretnya ke
tempat ini menyerbu kepalanya. Ia telah membunuh Roni dan memotong-motong
mayatnya. Ia tidak tahu segalanya tiba-tiba terjadi seperti takdir yang tak
dapat ditolak. Ia masih sempat bersiul saat melangkah pelan menyusuri karpet
lorong hotel. Demikian pula ketika tiba di salonnya, dan melihat Roni sudah
berdiri di sana sambil berkacak pinggang. "Mulai malam ini, jangan campuri
urusanku, waria haram jadah!" Bentak Roni sebelum berlangsung peristiwa
itu.
Ia menyeret Roni ke kamar, lalu
dibantingnya di sana. Laki-laki itu dengan cepat bangkit menjambak rambutnya,
mencekiknya, menampar kedua pipinya sangat keras, sampai bibirnya pecah. Ia
limbung beberapa saat sebelum tersungkur. Didengarnya Roni memaki-maki dengan
kata-kata kasar dan kotor yang melukai perasaannya. Maka susah payah ia bangun,
kemudian meraih gunting di meja hias dan menusukkannya berkali-kali ke dada
laki-laki itu. Setelah menyeka muncratan darah di mukanya, ia meraih pedang panjang
yang selama ini menjadi hiasan di dinding. Dengan kalap memotong-motong mayat
lelaki itu menjadi beberapa bagian.
Malam sudah melewati separo
perjalanannya. Perempuan itu masih di duduk di bangku halte. Mengutuk
perasaannya sendiri yang begitu sentimentil. Kini ia teringat Santi,
sekretarisnya yang setia dan melaporkan perselingkuhan Roni dengan penari bar
di sebuah hotel. Ia memintanya tidak mengikuti dirinya, "Pergilah, Santi,
jangan ikuti aku. Bawalah uang ini untuk bekal. Pergilah sejauh-jauhnya dari
kota ini. Semoga semuanya akan baik-baik saja. Biar aku pergi menyusuri jalan
ini sendiri. Sebab, aku belum tahu tempat mana yang akan kutuju."
Hatinya bagai teriris melihat
punggung Santi terguncang dan lesap dalam temaram lampu membawa tangisnya yang
mencekam.
Hujan turun lagi. Tiba-tiba ia
merasa dirinya begitu tua, lelah, dan teraniaya. Kepalanya tak kuat lagi
disesaki peristiwa demi peristiwa penuh kepalsuan dan kekerasan. Tak sanggup
lagi membayangkan keluarga bahagia. Menata rambut para pelanggannya yang setia.
Hidupnya terlalu sesak dengan keperihan, tak ada tempat bahkan untuk kisah
cinta yang paling iseng dan sederhana. Maka, tak ada lagi alasan untuk pergi
dari situ. Begitu ia akhirnya memutuskan. Biarlah besok sekawanan polisi
menggiringnya ke penjara. Biarlah penjara menggenapkan takdir suram yang harus
kujalani.
Balai Budaya Tangerang, 23 Juli
2005
0 comments:
Post a Comment