Cerpen: Akidah Gauzillah
Sumber: Republika, Edisi 02/05/2006 Post: 02/06/2006 Disimak: 217 kali
Sejak kau pergi, kekasih,
bunga-bunga berguguran dari tangkainya. Aku menemui pagi di serambi kedukaan,
melihat daun berserakan di tanah retak. Kabut dingin menyelusup ke dalam pintu.
Dan aku lihat matahari perlahan-lahan ingin kembali tertidur. Kuturunkan kain
yang menyelimuti tubuh, mencari-cari udara di antara serpihan gersang. Tapi tak
ada yang terdengar. Bahkan suara hatiku sendiri.
Sedikit demi sedikit, kerapuhan
merayap menjelajahi nuansa. Tak ada kata yang terbendung, ketika aku mencoba
memadukan luka, rindu, dan kebebasan. Sangat bias salah satu rasa itu pergi,
lalu kembali. Berputar-putar. Bertukar tempat.
Kadang-kadang, yang tinggal di
dalam dada adalah sepotong wajahmu yang tergores dendam. Lembut, aku
menusuk-nusuknya dengan rindu yang telah menjelma ranting kering. Kutelusuri
setiap indera, berharap ada denyut yang tersisa kemudian sampai ke kisi
konsentrasimu. Ada aku di sini, bisikku di permukaanmu. Ada cinta yang
menggenang, seperti sungai darah dari sedimen-sedimen kesedihan yang mencair.
Dan, akhirnya, pertama kali aku
memberhentikan sebuah wajah, sepasang mata yang liar dan napas yang
berhembuskan hasrat, di jalan yang coba aku hadapi. Aku tertegun melihat diriku
sendiri. Berharap-harap cemas, tubuh dan jiwa ini masih seirama. Senada. Dalam
pelukan yang hangat dan menggigil. Sebab tidak mudah membaginya, dengan
segumpal perih yang sederhana.
Apa pun aku tahu, bukan ini yang
diinginkan pikiran dan kebebasan. Setiap detak jantung, setiap desah napas,
setiap denyut nadi, dan semua yang berhubungan dengan logika dan nurani,
menolaknya. Hanya sebuah ketidakmengertian yang mampu menjawabnya,
menyambutnya. Dan hanya sedikit kegilaan, atas nama apa pun, yang membawanya
mengembara.
Aku mencoba merasakannya
perlahan-lahan. Ketika setiap lembar pakaian kulepaskan di kamar mandi, lalu
dengan sehelai handuk kecil penutup kemaluan aku menemuinya. Membiarkan matanya
menyelusuri dadaku, hingga akhirnya debar itu datang. Menggelayuti akar-akar
gantung kenekatanku. Dan, aku mulai takut. Berenang dalam kegamangan. Aku
berharap mata itu berganti matamu. Aku ingin bayanganmu melekat padanya. Namun,
kesadaranku menepisnya. Aku teringat apa yang sedang harus aku lakukan. Seiring
dengan itu, getar-getar keraguan kian mengencang, meresap ke pori-poriku dan
jauh merasuk ke dalam jantung, serta menggentarkan paru-paruku.
Aku mendekat, namun mulai sesak.
Ketika hampir mencapai pangkuannya, aku merasa tidak lagi memiliki tubuh ini.
Aku jatuh, tanpa mengenali perasaanku, dan hanya tinggal mengetahui tubuhku
terbetot tangan-tangan asing. Langit-langit ruang, temperatur AC, tirai yang
diam, lampu-lampu padam, semua berputar mengelilingi dua tubuh yang mencoba
bertemu. Tidak ada yang berpagut kecuali asing itu sendiri. Mereka berupaya
meninggalkan atribut jiwa. Magnet-magnet organ yang mencari pertautan rasa dan
permainan. Jeritan-jeritan dari naluri yang bergesek. Dan kesakitan yang
mencapai pangkal-pangkal terminal rasa.
Tangan-tangan mungil itu
berjatuhan ke samping, ke sisi bawah tempat tidur. Menggantung pasrah dan
kelelahan. Aku mengurai garis-garis air mata di bentangan tak karuan,
kehangatan yang mengalir pada rasa pengenalan bahwa itu adalah bagian-bagian
tubuhku yang tersentuh tubuh lain selain tubuhmu. Dan menyadari hal itu,
mengenang yang barusan terjadi, dadaku sesak oleh ledakan-ledakan emosi yang
tak boleh melompat dari ranah fisik ini.
Hanya jiwaku berayun-ayun
menghentak sebagian tubuh, sebegitu sulitnya melewati batas-batas pagar
kenyataan yang membelenggu pemberontakan. Garis frontal telah terpasang di
depan selongsong ketidakmengertian ego, sementara buncahan-buncahan pembelaan
diri mengibarkan kepasrahan dan ketidakberdayaan yang bergerak. Aku meronta di
antara keduanya, seperti seekor duyung melewati perbatasan laut dan darat di
musim matahari menunggu cinta.
Luka ini menutup dan terbuka
berganti-ganti. Setiap keliaran nafsu berjajar di muka hati, aku memaksa diri
menjadi anggur minuman itu sendiri. Merah anggun dan membara. Membakar jiwaku
yang berdesingan dalam kesadaran mencapai luluh lantak dalam ketidaktahuan yang
dibiuskan ke tiap daya staminanya. Ingatan-ingatan tentang kesempurnaan rasa
padamu berguguran, tak lagi diiringi air mata remaja. Dan bibir-bibirku mulai
bergincu terhiasi tawa, menyanyi, sekedar menyanyi di hadapan cermin yang
menampakkan visualisasi tubuh yang takkan kau kenali lagi bila bertemu di
penghujung waktu tak terkira.
Dada ini telah mekar melebihi
mawar, dengan puting-putingnya yang padat mengencang dan membusur di antara
gua-gua menganga. Senyum malu-malu itu telah lama pergi dari barisan karakter
yang kau kira abadi, melengkingkan nyanyian-nyanyian mesum yang biasa kau
nikmati dari bibir-bibir selain bibir ini. Datanglah kemari dan akan kau lihat,
sepasang kaki putih yang selalu terbuka dan tiada jeritan penghalang yang dulu
membuat kau bersumpah atas nama Tuhan untuk tidak memasukinya. Kita tidak akan
lagi menyebut nama itu, karena yang transenden tinggal segala kepekaan dari
kemurnian cinta dan rindu. Di gurun juga pada oasenya, kau bahkan takkan
menemukan lagi secara konkret, atau mungkin juga sekedar tingkatan abstraksi.
Pada akhirnya aku tahu, dan
mengerti, apa yang terjadi seputar transendental kebebasan itu berpuluh-puluh
ribu abad yang lalu, dalam gelora relijius bersama, sensualitas dari
bunga-bunga perawan yang dikuak secara massal atas nama Tuhan dan kenikmatan,
sekarang pun menjadi substansi yang melebihi morfin di setiap sel-sel
pikiranku, membebaskan substansi lain yang mengandung namamu.
Tangis dan keperihan yang
mengalir di setiap adukan peristiwa, putus sambung, membeku mencair, meledak
menghampar dan secara alamiah menemui titik evolusinya sebagai lautan baru yang
setiap orang tak menginginkannya sebagai teori terpercaya di dunia kesadaran.
Apakah aku telah berlari dari realitas kesadaranku, jiwa-jiwa ini berlayar di
lautan yang telah terbentuk itu, mengembara mencari penyatuannya-yang kau,
Tuhan, dan aku, mungkin tak mengenali sebagai sesuatu yang dimiliki.
Ia akan terhempas keras. Ia,
Tuhan, dan mungkin juga nuranimu (bila kau masih merasakan eksistensi nurani),
kalian menggeliat dalam tangisan seperti tinta-tinta secara tertata merangkai
gelombang perasaan dan logika yang bermetamorfosa. Mengapa, mengapa? Kau akan
bertanya, seperti semula aku bertanya. Mengapa mesti berada di rangkaian
ini-mungkin Tuhan pun akan melihat kembali ke dalam catatannya, namun
suratan-suratan itu telah putih kosong terhapus air mata. Takkan ada lagi yang
tertinggal kecuali yang tertera di kehidupan itu sendiri, di roda-roda yang
berputar melewati gelap dan terang, atau diam seperti matahari diam-diam
mengintip bulan.
Pesonaku tak terbayar kebebasan
itu sendiri, tapi setidaknya aku tahu jejak-jejak langkah yang tak tertempuh
rasa kemanusiaan di dalam cadar-cadar penghormatan cahaya. Wajahku segelap
cadar hitam, melindungi keabadian tertinggi rasa asing yang tak ingin
menjamahnya atas nama cinta dan kebersamaan surgawi. Jiwaku terlelap dalam
kedamaian yang tersembunyi pada sampah-sampah di setiap sela kebusukan,
debu-debu di balik kain, dan sobekan-sobekan kecil penderitaan bersalah.
Sedikit saja aku menggeliat, angin menghampar yang ada sebagaimana apa
adanya-dunia dan orang-orang di balik kesalehannya.
Di sinilah di antara
percik-percik cahaya, aku kadang-kadang terbangun sebagai gelap yang berlekuk,
memberi panorama keindahan pada terang yang membentang dan menunggu warna-warni
noda keabadian. Tak seabadi sejarah yang selalu berulang tahun. Silih
bergantinya diri ini, takkan terhapus kenangan mereka yang menatapnya.
0 comments:
Post a Comment