Tuesday, 24 June 2014

Catatan Seorang Pelacur

Cerpen: Akidah Gauzillah 

Sumber: Republika,  Edisi 02/05/2006 Post:  02/06/2006 Disimak: 217 kali

Sejak kau pergi, kekasih, bunga-bunga berguguran dari tangkainya. Aku menemui pagi di serambi kedukaan, melihat daun berserakan di tanah retak. Kabut dingin menyelusup ke dalam pintu. Dan aku lihat matahari perlahan-lahan ingin kembali tertidur. Kuturunkan kain yang menyelimuti tubuh, mencari-cari udara di antara serpihan gersang. Tapi tak ada yang terdengar. Bahkan suara hatiku sendiri.

Sedikit demi sedikit, kerapuhan merayap menjelajahi nuansa. Tak ada kata yang terbendung, ketika aku mencoba memadukan luka, rindu, dan kebebasan. Sangat bias salah satu rasa itu pergi, lalu kembali. Berputar-putar. Bertukar tempat.


Kadang-kadang, yang tinggal di dalam dada adalah sepotong wajahmu yang tergores dendam. Lembut, aku menusuk-nusuknya dengan rindu yang telah menjelma ranting kering. Kutelusuri setiap indera, berharap ada denyut yang tersisa kemudian sampai ke kisi konsentrasimu. Ada aku di sini, bisikku di permukaanmu. Ada cinta yang menggenang, seperti sungai darah dari sedimen-sedimen kesedihan yang mencair.

Dan, akhirnya, pertama kali aku memberhentikan sebuah wajah, sepasang mata yang liar dan napas yang berhembuskan hasrat, di jalan yang coba aku hadapi. Aku tertegun melihat diriku sendiri. Berharap-harap cemas, tubuh dan jiwa ini masih seirama. Senada. Dalam pelukan yang hangat dan menggigil. Sebab tidak mudah membaginya, dengan segumpal perih yang sederhana.

Apa pun aku tahu, bukan ini yang diinginkan pikiran dan kebebasan. Setiap detak jantung, setiap desah napas, setiap denyut nadi, dan semua yang berhubungan dengan logika dan nurani, menolaknya. Hanya sebuah ketidakmengertian yang mampu menjawabnya, menyambutnya. Dan hanya sedikit kegilaan, atas nama apa pun, yang membawanya mengembara.

Aku mencoba merasakannya perlahan-lahan. Ketika setiap lembar pakaian kulepaskan di kamar mandi, lalu dengan sehelai handuk kecil penutup kemaluan aku menemuinya. Membiarkan matanya menyelusuri dadaku, hingga akhirnya debar itu datang. Menggelayuti akar-akar gantung kenekatanku. Dan, aku mulai takut. Berenang dalam kegamangan. Aku berharap mata itu berganti matamu. Aku ingin bayanganmu melekat padanya. Namun, kesadaranku menepisnya. Aku teringat apa yang sedang harus aku lakukan. Seiring dengan itu, getar-getar keraguan kian mengencang, meresap ke pori-poriku dan jauh merasuk ke dalam jantung, serta menggentarkan paru-paruku.

Aku mendekat, namun mulai sesak. Ketika hampir mencapai pangkuannya, aku merasa tidak lagi memiliki tubuh ini. Aku jatuh, tanpa mengenali perasaanku, dan hanya tinggal mengetahui tubuhku terbetot tangan-tangan asing. Langit-langit ruang, temperatur AC, tirai yang diam, lampu-lampu padam, semua berputar mengelilingi dua tubuh yang mencoba bertemu. Tidak ada yang berpagut kecuali asing itu sendiri. Mereka berupaya meninggalkan atribut jiwa. Magnet-magnet organ yang mencari pertautan rasa dan permainan. Jeritan-jeritan dari naluri yang bergesek. Dan kesakitan yang mencapai pangkal-pangkal terminal rasa.

Tangan-tangan mungil itu berjatuhan ke samping, ke sisi bawah tempat tidur. Menggantung pasrah dan kelelahan. Aku mengurai garis-garis air mata di bentangan tak karuan, kehangatan yang mengalir pada rasa pengenalan bahwa itu adalah bagian-bagian tubuhku yang tersentuh tubuh lain selain tubuhmu. Dan menyadari hal itu, mengenang yang barusan terjadi, dadaku sesak oleh ledakan-ledakan emosi yang tak boleh melompat dari ranah fisik ini.

Hanya jiwaku berayun-ayun menghentak sebagian tubuh, sebegitu sulitnya melewati batas-batas pagar kenyataan yang membelenggu pemberontakan. Garis frontal telah terpasang di depan selongsong ketidakmengertian ego, sementara buncahan-buncahan pembelaan diri mengibarkan kepasrahan dan ketidakberdayaan yang bergerak. Aku meronta di antara keduanya, seperti seekor duyung melewati perbatasan laut dan darat di musim matahari menunggu cinta.

Luka ini menutup dan terbuka berganti-ganti. Setiap keliaran nafsu berjajar di muka hati, aku memaksa diri menjadi anggur minuman itu sendiri. Merah anggun dan membara. Membakar jiwaku yang berdesingan dalam kesadaran mencapai luluh lantak dalam ketidaktahuan yang dibiuskan ke tiap daya staminanya. Ingatan-ingatan tentang kesempurnaan rasa padamu berguguran, tak lagi diiringi air mata remaja. Dan bibir-bibirku mulai bergincu terhiasi tawa, menyanyi, sekedar menyanyi di hadapan cermin yang menampakkan visualisasi tubuh yang takkan kau kenali lagi bila bertemu di penghujung waktu tak terkira.

Dada ini telah mekar melebihi mawar, dengan puting-putingnya yang padat mengencang dan membusur di antara gua-gua menganga. Senyum malu-malu itu telah lama pergi dari barisan karakter yang kau kira abadi, melengkingkan nyanyian-nyanyian mesum yang biasa kau nikmati dari bibir-bibir selain bibir ini. Datanglah kemari dan akan kau lihat, sepasang kaki putih yang selalu terbuka dan tiada jeritan penghalang yang dulu membuat kau bersumpah atas nama Tuhan untuk tidak memasukinya. Kita tidak akan lagi menyebut nama itu, karena yang transenden tinggal segala kepekaan dari kemurnian cinta dan rindu. Di gurun juga pada oasenya, kau bahkan takkan menemukan lagi secara konkret, atau mungkin juga sekedar tingkatan abstraksi.

Pada akhirnya aku tahu, dan mengerti, apa yang terjadi seputar transendental kebebasan itu berpuluh-puluh ribu abad yang lalu, dalam gelora relijius bersama, sensualitas dari bunga-bunga perawan yang dikuak secara massal atas nama Tuhan dan kenikmatan, sekarang pun menjadi substansi yang melebihi morfin di setiap sel-sel pikiranku, membebaskan substansi lain yang mengandung namamu.

Tangis dan keperihan yang mengalir di setiap adukan peristiwa, putus sambung, membeku mencair, meledak menghampar dan secara alamiah menemui titik evolusinya sebagai lautan baru yang setiap orang tak menginginkannya sebagai teori terpercaya di dunia kesadaran. Apakah aku telah berlari dari realitas kesadaranku, jiwa-jiwa ini berlayar di lautan yang telah terbentuk itu, mengembara mencari penyatuannya-yang kau, Tuhan, dan aku, mungkin tak mengenali sebagai sesuatu yang dimiliki.

Ia akan terhempas keras. Ia, Tuhan, dan mungkin juga nuranimu (bila kau masih merasakan eksistensi nurani), kalian menggeliat dalam tangisan seperti tinta-tinta secara tertata merangkai gelombang perasaan dan logika yang bermetamorfosa. Mengapa, mengapa? Kau akan bertanya, seperti semula aku bertanya. Mengapa mesti berada di rangkaian ini-mungkin Tuhan pun akan melihat kembali ke dalam catatannya, namun suratan-suratan itu telah putih kosong terhapus air mata. Takkan ada lagi yang tertinggal kecuali yang tertera di kehidupan itu sendiri, di roda-roda yang berputar melewati gelap dan terang, atau diam seperti matahari diam-diam mengintip bulan.

Pesonaku tak terbayar kebebasan itu sendiri, tapi setidaknya aku tahu jejak-jejak langkah yang tak tertempuh rasa kemanusiaan di dalam cadar-cadar penghormatan cahaya. Wajahku segelap cadar hitam, melindungi keabadian tertinggi rasa asing yang tak ingin menjamahnya atas nama cinta dan kebersamaan surgawi. Jiwaku terlelap dalam kedamaian yang tersembunyi pada sampah-sampah di setiap sela kebusukan, debu-debu di balik kain, dan sobekan-sobekan kecil penderitaan bersalah. Sedikit saja aku menggeliat, angin menghampar yang ada sebagaimana apa adanya-dunia dan orang-orang di balik kesalehannya.

Di sinilah di antara percik-percik cahaya, aku kadang-kadang terbangun sebagai gelap yang berlekuk, memberi panorama keindahan pada terang yang membentang dan menunggu warna-warni noda keabadian. Tak seabadi sejarah yang selalu berulang tahun. Silih bergantinya diri ini, takkan terhapus kenangan mereka yang menatapnya.

0 comments:

Post a Comment