Cerpen: Agus Noor
Sumber: Kompas, Edisi
01/18/2004 Post: 01/20/2004 Disimak: 245
kali
________________________________________
SERINGKALI Andini membayangkan betapa suatu hari ia akan
menjelma burung kolibri, terbang tinggi melintasi pelangi di tengah keranuman
musim semi. Pada saat itulah ia akan merasakan warna-warna bunga menjadi lebih
berkilauan dalam kesunyian, dan cahaya pagi terasa lebih hangat dari sebuah
ciuman yang paling menenteramkan.
SUNGGUH Jos! Aku selalu membayangkan hari yang ajaib itu
datang mengetuk jendela kamarku, bersama kabut dan dingin yang saling berebut
cahaya. Pada saat itulah ketika aku membuka jendela, seketika aku menjelma
burung kolibri…." Andini bicara sembari memandang pada lembah yang
terjamah basah. "Setidaknya aku ingin menjadi merpati."
Josephine yang mendengarnya, hanya tertawa. "Kalau aku
punya keinginan seperti kamu, aku pasti memilih berubah menjadi ular!"
"Kenapa?"
"Biar aku bisa menyelusup masuk ke selangkanganmu. Aku
akan mendekam dalam rahimmu. Atau mendekam dalam kepalamu. Biar aku mengetahui
semua mimpi-mimpimu…."
"Nggak lucu!"
"Yap! Aku memang tidak sedang melucu." Josephine
sedikit mengangkat bahu. "Lagi pula kamu tidak membutuhkan aku untuk
melucu. Kamu membutuhkanku untuk mendengarkanmu berkeluh-kesah soal
perkawinanmu yang membosankan."
"Terima kasih, sudah jadi psikolog gratisan!"
Lalu Andini kembali membuang pandang ke arah perbukitan,
pada hutan cemara yang samar dan meliuk-liuk letih di bawah rerepih gerimis
yang bagaikan bertih-bertih beras putih berhamburan diterbangkan angin. Andini
menyukai tempat ini. Kafe yang menghadirkan sunyi, tetapi tidak menutup diri
karena jendela-jendelanya yang besar dan lebar dibiarkan terbuka sehingga
temaram ruang yang kecoklatan seakan berkarib dengan keluasan perbukitan.
Sesekali ia bisa merasakan angin dan dingin yang ringan seperti belaian. Ia
memilih tempat ini bila ia menginginkan perhatian. Ia memilih tempat ini bila
ingin ketemu dengan Josephine.
"Kupikir, kamu mesti berani jujur terhadap dirimu
sendiri…."
Andini hanya mendesah, terus memandang perbukitan itu pada
cuaca yang sendu, ketika segalanya perlahan-lahan menjelma bentangan kelabu,
dan ia kian merasakan kebosanan itu. Ia sudah mencoba mengatasi, tetapi kian
hari ia kian merasakan betapa perkawinannya semakin membenamkan dirinya dalam
keasingan yang tak kunjung ia pahami. Sering ia tergeragap bangun di malam
hari, berasa kebah disesah gelisah, dengan jerit yang tersekat di kerongkongan.
Betapa ia inginkan pelukan yang membuatnya sedikit merasa nyaman.
"Kupikir kamu benar, mestinya aku tak menikah,"
desah Andini, lebih kepada dirinya sendiri.
Tetapi, entahlah. Ia tak yakin benar, apakah ia salah telah
memutuskan menikah dengan Gunawan. Ketika laki-laki yang sudah dikenalnya sejak
remaja itu melamarnya, ia tak merasa perlu berpikir dua kali untuk menjawab
iya. Ia yakin, pernikahan akan membuat dirinya kian nyaman. Karena ia merasa
memang begitulah hidup yang mesti dilaluinya: masa remaja yang ceria, kuliah,
kerja, dan menikah. Ia selalu membayangkan hidupnya seperti sebuah kisah yang
akan berakhir bahagia, dengan senyum paling lembut ketika kematian menjemput.
Dulu Andini hanya tertawa setiap kali Josephine mengatakan hidupnya terlalu
datar, steril dan licin bagai lantai porselin.
"Dulu aku sudah bilang, perkawinan lebih menyedihkan
dari kematian…," Josephine berkata.
"Itu karena kamu membenci perkawinan?!"
"Jangan salah paham, An," Josephine tertawa
renyah. Seringkali Andini merasa iri dengan Josephine yang bisa dengan riang
memandang setiap persoalan. Bagi Josephine, hidup ini seakan-akan begitu gurih
dan ringan seperti popcorn. "Aku sama sekali tak membenci perkawinan.
Hanya aneh saja. Kupikir, perkawinan itu produk kebudayaan paling dungu yang
pernah dihasilkan manusia. Kamu tahu, bagiku, datang ke pesta perkawinan jauh
lebih menyedihkan daripada menghadiri prosesi kematian. Aku lebih bisa menerima
kematian, karena kematian ialah suatu keniscayaan. Tak perlu kesedihan untuk
sebuah kematian. Ia harus kita terima dengan lapang dada, karena kita memang
tak bisa menghindarinya, karena kematian memang konsekuensi yang mesti
ditanggung manusia. Tapi perkawinan? Bukankah kita bisa menghindarinya?! Kita
selalu punya pilihan untuk tidak menjalani perkawinan. Artinya, kita punya
pilihan yang bebas untuk menentukan apa yang kita pikir lebih baik buat hidup
kita yang hambar dan sebentar. Kalau kita bisa bahagia tanpa perkawinan, lalu
buat apa kita memilih perkawinan? Menyedihkan bukan, seseorang memilih
perkawinan padahal tak ada jaminan hidupnya akan menjadi lebih bahagia setelah
ia menjalani perkawinan? Kau tahu sendiri, Yesus dan Tuhan tidak menikah, dan
mereka bahagia…."
Andini mendelik, tapi Josephine malah terkikik.
"Barangkali kamu perlu kejutan kecil untuk hidupmu yang
membosankan itu. Kamu mesti melakukan sedikit variasi…."
"Bercinta di kamar mandi? Sambil nungging atau berdiri?
Enam sembilan?"
"Tak cuma itu…."
"Lalu apa? Mencoba gimana rasanya gituan ama
kamu?!"
"Sori, meski nggak percaya perkawinan, aku masih
seratus persen doyan laki-laki!"
"Sialan!"
Sejenak saling diam, saling pandang, seakan mencoba saling
mencari kepastian. Di mata Josephine, Andini terlihat begitu lembut dan rapuh,
seperti kabut yang sebentar lagi runtuh. Pada saat-saat seperti ini, Josephine
jadi merasa bersalah karena seringkali ia diam-diam begitu iri pada Andini.
Adakah Andini tahu betapa sesungguhnya ia seringkali ingin menyakitinya? Semasa
kanak-kanak, Josephine selalu ingin Andini bisa merasakan bagaimana sakitnya
dicambuk berkali-kali oleh ayahnya yang pemarah. Tapi Andini menjalani masa
kanak-kanak yang hangat. Juga masa remaja yang penuh pesta. Kemewahan yang
melimpah, kemudian menikah. Semua itulah yang membuat Josephine diam-diam
selalu merasa iri sekaligus juga mengagumi Andini. Ia iri karena selalu merasa
tak bernasib baik seperti Andini, dan ia mengagumi karena selalu membayangkan
betapa senangnya menjadi Andini. Selalu ada keinginan untuk menyakiti dan
melindungi.
"Menurutmu, apakah aku mesti menyelamatkan
perkawinanku?"
"Aku tahu, kamu-dan seluruh keluarga besarmu-tak pernah
memikirkan perceraian sebagai penyelesaian. Tapi kalau kamu memang mesti
menyelamatkan sesuatu, jangan hanya kau selamatkan perkawinanmu, tetapi juga
hidupnya. Gairah dan keinginanmu, mimpi-mimpimu. Jangan buat perkawinanmu jadi
kian menyedihkan."
Tapi, barangkali perkawinanku memang sudah sedemikian
menyedihkan, batin Andini. Hingga aku seringkali membayangkan betapa suatu hari
aku menjelma burung kolibri, terbang tinggi melintasi pelangi di tengah
keranuman musim semi….
DAN kesedihan itu kian ia rasakan, lebih cepat dari yang ia
kira. Sesungguhnya Gunawan tetap punya perhatian, meski tak terlalu berlebihan.
Kecupan-kecupan ringan, tetapi bukan lagi menjadi sesuatu yang tak terduga,
melainkan lebih terasa sebagai kerutinan. Lalu aturan-aturan bahwa seorang
istri semestinya tak kelayapan selepas jam tujuh malam. Sindiran- sindiran yang
menyakitkan. Tak pantas seorang istri keluarga baik-baik berpakaian sexy,
memperlihatkan belahan tetek dan pusernya. Ngapain juga pakai rok mini begitu!
Pertengkaran dan hardikan yang membuatnya merasa terabaikan. Kemudian
percakapan antara mereka lebih banyak memerihkan duka. Duka yang bahkan terasa
di bulu-bulu mata.
Andini jadi merasa beruntung mengenal Josephine, yang selalu
mau mendengar kesedihannya. Bagi Andini, Josephine adalah satu-satunya sahabat
yang mau memahami dirinya. Karena itulah, Andini tak sungkan bercerita. Tak
sungkan mengungkapkan perasaannya ketika kesepian kian menyesakkan, ketika ia
ingin terbang jauh melintasi pelangi, ketika ia merasa betapa dirinya
perlahan-lahan berubah menjadi burung kolibri. "Sungguh, Jos! Aku menjadi
burung kolibri! Itulah hari paling menakjubkan. Begitu ringan,
melayang-layang…."
Josephine tertawa, sebagaimana biasanya, kedengaran renyah
seperti menikmati fried potatoes.
"Kamu nggak percaya?"
"Percaya. Percaya…," Josephine masih menyimpan
tawa, lebih berbinar dan kelihatan bahagia. "Aku percaya kamu lagi jatuh
cinta! Selamat…."
Andini menepis tangan Josephine, tak bisa menyembunyikan
kegugupannya. Sialan! Ia selalu bisa menerka perasaannya.
"Kenapa mesti malu mengakui? Bukankah pernah kubilang,
menyelamatkan hidupmu jauh penting ketimbang menyelamatkan perkawinanmu yang
membosankan…," Josephine menarik kursi, lebih mendekat. "Ayolah,
ceritakan, siapa laki-laki yang telah membuatmu menjadi burung kolibri…."
Andini menatap senja yang bagai menyimpan rahasia. Pada
senja seperti ini pula ia bertemu laki-laki itu. Saat itu senja hampir lengkap,
dan langit begitu halus serupa lakmus. Laki- laki itu muncul seakan-akan
diantar melankoli alun Andrea Bocelli. Tu, per quello che mi dai,
quell’emozione in più, ad ogni tua parola….
Dia ringan seperti nyanyian. Mereka bertatapan, sebentar.
Hanya sebentar. Tapi Andini merasakan sesuatu yang begitu tergetar. Ada yang
sulit diucapkan, tetapi laki-laki itu tampak lebih menakjubkan dalam diam.
Rasanya seperti menikmati puisi, menghayati sunyi yang abadi, suasana tanpa
kata-kata, suasana yang lama hilang dalam igauan dan mimpi-mimpinya. Saat
itulah ia merasakan bulu-bulu sunyi bertumbuhan di sekujur tubuhnya. Bulu-bulu
yang halus dan bersih, putih merepih. Saat itulah Andini mendapati dirinya
telah menjelma menjadi burung kolibri. Dan laki-laki itu menghampiri, tidak
dengan kata-kata, tapi dengan sapaan yang lebih teduh dari nyanyian yang
membuat ruangan terasa rindang, juga lebih terang.
Perché la solitudine, che non sorride mai,
diventa l’abitudine, e non la scelta che tu fai.
Pertemuan demi pertemuan, selalu berulang dan kembali
seperti gema yang panjang. Dan Andini tahu laki-laki itu, seorang penyair yang
menciptakan keajaiban-keajaiban dengan kata-kata. Namanya Adam.
"Kau tahu, Jos…," desah Andini, sedikit menunduk,
mengakhiri cerita. "Pertama kali mendengar namanya, aku merasa berkenalan
dengan awal mula dosa."
"Hmm. Dosa. Aku kira itu akan membuatmu kian lengkap
sebagai manusia."
"Ini rahasia kita…."
Ah, rahasia. Josephine menyandarkan punggugnya ke kursi.
Alangkah banyak rahasia antara kita, batinnya. Adakah kamu ingin tahu rahasia
apa yang aku sembunyikan dari kamu? Biarlah masing-masing kita bahagia dengan
rahasia kita.
"Please, Jos, jangan sampai Gunawan tahu."
Josephine diam, hanya tersenyum-seakan ingin menegaskan: aku
jauh lebih bisa menyimpan rahasia lebih dari yang kamu kira.
"Lakukan, apa yang menurutmu mesti kamu lakukan. Selama
kamu menikmati...," kata Josephine. "Dan kuharap kamu memang
benar-benar menikmatinya. Karena aku tahu, seks itu seperti semangkuk sup.
Begitu kamu merasa enak mencicipinya, kamu akan menghabiskan semangkuk sup itu,
dan ingin menambahnya…."
Keduanya tertawa. Hidup memang terasa gurih dan renyah
bersama Josephine. Senja jadi lebih megah ketika perselingkuhan terasa ringan.
Sentuhan lembut di telinga, kecupan ringan di puting susunya, semuanya terasa
menakjubkan dalam kenangan. Si, adesso ci sei tu, nei sogni e nelle idee,
nell’immaginazione…. Lebih menghanyutkan dari suara Helena yang membuatnya
terlena ketika laki-laki itu mulai memasukinya….
BERSAMA Adam, Andini selalu menjelma burung kolibri. Adam
memahami mimpi-mimpinya, barangkali karena ia seorang penyair. Andini sering
menyaksikan dari jemari Adam berhamburan kata-kata yang meletup pecah di udara
menjadi kupu-kupu. Kadang menjelma kunang-kunang, menjelma burung merpati.
Kata-kata itu pula yang selalu mengubah Andini menjadi burung kolibri, terbang
tinggi melintasi pelangi di tengah keranuman musim semi.
"Setiap bersamamu, aku merasakan saat-saat paling rawan
dan membahagiakan dalam hidupku…," katanya, dengan suara lirih seperti
tengah membaca larik-larik sajak yang melankolis, sambil merentangkan tangan
kanannya, menggapai udara, seakan memetik sesuatu dari kehampaan. Dan, tass,
mendadak tangannya telah menggenggam sebutir apel. Merah. Ranum. Apel yang
tercipta dari keajaiban kata-kata.
Andini melonjak bahagia ketika apel itu melayang-layang di
hadapannya. Kemudian keduanya berdiri berhadapan, saling menyentuhkan tangan.
Ah, betapa dari jarak lebih dekat Andini mendapati tubuh laki-laki itu jauh
lebih berkilat, berkeringat penuh hasrat. Struktur tulangnya tampak begitu
nyata. Dadanya yang tak bidang, samar memperlihatkan garis-garis kosta.
Tangannya pipih, begitu bersih. Terasa lebih menggairahkan ketika bercinta
bukan semata kewajiban dan kerutinan. Andini kian terpesona ketika laki-laki
itu bergerak, pelan, lamban tapi bertenaga, seperti menari….
Lalu Andini rasakan desir yang perlahan-lahan mulai
berpusaran. Ia mendengar desah kabut yang basah, melayah menyentuh permukaan
tanah. Ada kesejukan yang membasah, menggetarkan kerimbunan hijau daun.
Gemercik air. Geletar sayap kupu-kupu yang terbang di kejauhan. Ia dengar
tiupan flute yang lembut, menghamparkan padang rumput, juga harum lumut.
Kemudian alunan piano, mengantarnya ke sebuah danau. Bunyi-bunyi perkusi yang
menghadirkan berbagai imaji, hingga kelopak-kelopak bunga seketika terbuka.
Andini dapat menangkap helai-helai cahaya yang berkeredap bagaikan
lembaran-lembaran kain yang berkibaran pelan membungkus tubuhnya. Ia merasakan
tubuhnya perlahan-lahan terangkat, mengapung di arus waktu. Seakan-akan berada
di keluasan cuaca tak bernama, dengan lengkung langit lembayung bagai payung,
menahan lindap cahaya yang muncul dari punggung gunung. Kadang seperti sebatang
ilalang, tubuhnya melayang-layang melintasi keluasan padang. Namun seketika itu
juga ia merasa berada di tengah telaga yang sejuk dan rimbun oleh gulma. Lalu
ia melintasi kerimbunan pinus, tegak lurus, lembab humus.
Kamar terasa bergetar. Lagu paling merdu, merembes dari
dinding. E sono qui con te, e non ti lascerò, ti chiedo di fermarti qui, e
stare insieme a te…. Dan lilin-lilin merah terangkat ke udara, melayang
berkitaran. Andini mendesah. Merasakan tubuhnya membasah. Ada yang bersikeras
membuncah, gairah yang sebentar lagi pecah! Aahhh….
"Ya, Tuhan…," Andini menggigit bibirnya hingga
berdarah. "Aku orgasme!!"
CIUMAN yang gugup, dan Andini segera menutup pintu,
menghambur ke jalan sambil mencermati kancing dan merapikan kelim gaunnya. Ia
langsung menyetop taksi yang pertama lewat. Bukan saat yang tepat untuk
memilih-milih taksi.
"Cepat, Bang!"
Ya, ia mesti cepat pulang. Sebelum Gunawan sampai di rumah.
Ia mesti mandi. Bau tubuh laki-laki itu terasa lekat di kulitnya. Ia ingin tak
ada tilas, tak ada bekas.
"Bisa lebih cepat?"
"Macet, Bu…."
Andini mendengus. Waktu seakan mengincarnya dengan kutukan.
Sedetik saja terlambat, rumahnya akan berantakan. Keramik-keramik akan
dibanting ke lantai. Dilempar ke arahnya. Lalu makian. Mungkin juga sekian
tamparan. Lalu seluruh keluarganya tahu. Ia akan dipelototi sebagai pesakitan.
Sebagai istri yang tak bisa menjaga perasaan suami. Andini meraih handphone-nya.
Tak ada SMS masuk. Tak ada missed call dari Gunawan. Ia merasa sedikit nyaman.
Ia tak merasa perlu mengarang alasan kenapa tak membalas SMS atau mengangkat
handphone.
Tidak, ia tidak takut kehilangan Gunawan. Karena ia yakin
laki-laki itu pun tak punya keberanian menceraikannya. Ia hanya takut
disalahkan keluarga besarnya. Papa mamanya. Oom dan tantenya. Lagi pula ia
memang tak pernah membayangkan atau punya keinginan menikah dengan laki-laki
itu, dengan Adam, meski ia membuatnya menjadi burung kolibri. Laki-laki itu
memang memahami mimpi-mimpi dan fantasinya. Tapi ia merasa laki-laki itu akan
cepat membosankan dalam sebuah perkawinan. Sepanjang ia tahu, penyair selalu
merepotkan ketika menjadi seorang suami.
Ia dapati rumah yang sunyi. Andini sedikit merasa lega. Ia
berharap Gunawan pulang lebih terlambat. Semakin terlambat semakin ia bisa
menata kerusuhan hatinya. Kini ia hanya perlu mandi agar merasa segar. Tapi
bagaimana kalau tadi Gunawan sudah menelepon rumah? Bertanya pada Bik Jamri,
apakah ia di rumah? Bila Andini menanyakan hal itu kepada Bik Jamri, malah akan
membuat pembantu itu menatapnya curiga. Ia selalu merasa betapa Bik Jamri
selalu memata-matainya. Maklum, Bik Jamri masih kerabat jauh Gunawan yang
dibawa dari desa. Mungkin Gunawan juga sudah menelepon Rahmat, sopir
pribadinya. Ke mana Nyonya pergi? Kenapa tidak kamu anter? Itu hal biasa
dilakukan Gunawan untuk mengecek keberadaannya. Ke mana ia pergi, urusan apa,
dengan siapa.
Sungguh, ia butuh dewa penyelamat! Dan Andini langsung ingat
Josephine. Ia akan menjelaskan kalau tadi ia pergi dengan Josephine. Biarlah
nanti Josephine yang mengarang ke mana mereka pergi hingga ia pulang terlambat.
Segera Andini menghubungi handphone Josephine.
"Jos…."
"Hai…."
"Mengganggu?"
"Nggak. Ada apa…," terdengar suara Josephine yang
pelan dan rendah.
"Aku mau minta tolong. Nanti kalau Gunawan telepon
kamu, bilang kalau tadi seharian aku sama kamu…." Lalu Andini merasa lebih
tenang. Ia percaya Josephine tahu maksudnya. Ia percaya Josephine memahaminya.
"Oke, Jos? Makasih lho…."
Andini meletakkan telepon.
DI kamar hotel yang temaram, Josephine duduk termangu di
tepi tempat tidur. Hampir saja ia tak menguasai perasaannya. Sialan! Ia lupa
mematikan handphone. Keteledoran kecil yang bisa berakibat fatal.
"Dari siapa?"
Josephine menatap laki-laki yang bertanya itu. Tatapannya
mendamba, begitu manja. Seperti kucing anggora. Laki-laki memang seperti kucing
anggora, ia akan selalu nurut dan manja bila kita bisa menaklukkan hatinya.
"Kok diam?"
Josephine bergerak ke tengah ranjang, membiarkan selimut
yang menutupi dadanya melorot.
"Telepon dari siapa?"
"Andini…."
"Apa dia mulai mencurigai kita?"
Josephine tak menjawab. Ia hanya menyurukkan wajahnya ke
dada Gunawan.
Jakarta-Yogyakarta, 2003
"L’abitudine", satu lagu gubahan Pierpaolo
Guerrini dan Giorgio Calabrese, yang dinyanyikan Andrea Bocelli dan Helena
(Lihat album Andrea Bocelli "Cieli di Toscana").
0 comments:
Post a Comment