Sudah lima
hari saya merasakan nikmatnya berpuasa di bulan Ramadan ini. Soalnya,
tiba-tiba saja saya merasakan semua orang menjadi baik kepada saya. Itu saya
rasakan ketika saya melunasi kredit saya di sebuah bank. Pejabat kepala
bagian kredit bank itu mengatakan kredit saya telah lunas. Tetapi saya ngotot
bertahan bahwa sisa kredit saya masih Rp 5 juta lagi. Jadi belum lunas.
Itulah yang ingin saya lunasi. Ternyata, meski sudah tiga kali saya
mengatakan kredit saya belum lunas, pejabat kepala bagian kredit itu sama
ngototnya dengan saya. Ia tetap berpendapat dan menegaskan, kredit saya telah
lunas. "Jadi tak perlu lagi setoran Rp 5 juta itu," katanya seraya
memperlihatkan kepada saya print out komputer yang membuktikan bahwa kredit
saya memang benar-benar telah lunas.
Lalu saya meninggalkan bank itu
dengan perasaan kecewa. Bersamaan dengan itu saya juga sebenarnya sangat
gembira. Betapa tidak, saya mendapat uang Rp 5 juta. Uang yang seharusnya
lenyap dari tangan saya, tetapi kini malah menjadi milik saya.
Nah, ketika itulah timbul
pemikiran untuk menggunakan uang yang menjadi milik saya itu untuk membeli
rumah cicilan, rumah RSS, rumah sangat sederhana. Kebetulan hingga kini saya
memang belum punya rumah. Kalaupun sekarang saya bisa tenang di rumah yang
lumaya bagus, lengkap dengan garasi, taman dan kolam ikan, itu karena
kebaikan keluarga yang minta saya mengisi secara gratis rumahnya yang kosong
sejak lama.
Saya pun segera berurusan
dengan sebuah perusahaan pengembang RSS. Diluar dugaan direktur perusahaan
pengembang itu dengan sukarela memberikan sebuah rumah RSS kepada saya tanpa
bayar. Ini benar-benar edan. Tidak masuk akal.
Setelah mendengar penjelasan
direktur perusahaan pengembang RSS itu barulah saya paham mengapa saya bisa
mendapat bonus seperti itu. RSS yang jumlahnya ratusan itu dibangun
perusahaan pengembang itu khusus untuk karyawannya. Mencari untung tidak
menjadi tujuan. Kalaupun untung jumlahnya kecil sekali, tidak ada artinya
buat perusahaan pengembang raksasa itu. Perusahaan itu mencari untung hanya
dari rumah-rumah sangat mewah yang dibangunnya.
Rumah-rumah mewah itu sebagian
besar dibeli oleh para pemilik "uang panas" yang sangat banyak
jumlahnya di republik ini. Setelah dibeli, rumah-rumah itu mereka jadikan
"rumah hantu" karena tidak dihuni dan diserahkan penghuninya kepada
"makhluk-makhluk halus" yang merasa bersyukur karena mendapat rumah
gratis.
Nah, karena pengembang masih
memiliki rasa keadilan sosial yang tinggi, dibangunlah rumah-rumah sangat
sederhana, untuk para karyawannya, agar mereka memiliki rumah dan tidak
mengeluarkan biaya transportasi lagi untuk pergi bekerja. Maklumlah, kompleks
RSS yang saya sebutkan itu hanya dua ratus meter jaraknya dari rumah-rumah
mewah yang sebagian besar telah menjadi "rumah hantu". Selain sepi
dan bila malam tampak gelap, rumah-rumah mewah itu dikelilingi rumput liar
yang tumbuh subur di halaman depan, belakang dan samping kiri-kanan.
Lalu mengapa kepada saya
diberikan rumah - walaupun dengan embel-embel sangat sederhana - secara
cuma-cuma? Direktur perusahaan pengembang itu, dengan senyumnya yang menawan
menjawab: "Kebetulan hanya RSS yang diberikan kepada Anda itu yang belum
terjual. Selebihnya telah menjadi milik karyawan kami. Rupanya yang kami
bangun berlebih satu. Karena kami lihat Anda sangat membutuhkan rumah
sedangkan kami tidak tahu kepada siapa akan menjual rumah itu, dengan senang
hati kami memberikan rumah tersebut kepada Anda. Yang penting rumah itu
dihuni orang yang benar-benar sangat membutuhkannya."
Saya kagum pada rasa sosial
Direktur perusahaan pengembang itu. Terbantahlah sinisme saya bahwa kehidupan
modern di kota
besar telah membunuh kepedulian manusia terhadap sesamanya. Buktinya,
Direktur yang baik itu. Dia sadar betul bahwa orang-orang yang hidupnya
sedikit di atas garis kemiskinan seperti saya harus dibantu. Keberpihakannya
juga jelas.
RSS harus dihuni karena memang
banyak yang membutuhkannya. Tetapi rumah-rumah mewah? Silakan saja mau
dijadikan apa, terserah.
* * *
Mungkin ada di antara Anda yang
menganggap saya berlebihan dalam berdusta. Masak dengan uang hanya Rp 5 juta
di zaman seperti sekarang ini masih sanggup mengatakan bahwa saya hidup
sedikit di atas garis kemiskinan? Agar prasangka Anda tidak berkelanjutan
saya berkewajiban memberikan penjelasan.
Tahun lalu, ketika terbongkar
bahwa saya melakukan praktek korupsi kecil-kecilan, saya dipecat dari
pekerjaan saya di sebuah kantor swasta. Saya terperosok dalam kebingungan.
Istri sudah mendesak agar kami keluar dari rumah keluarga dan mengontrak
kamar. Tetapi di dompet saya tak pernah tersimpan sisa gaji. Hasil jerih
payah bulanan saya selalu ludes hanya untuk urusan dapur. Belum lagi anak
saya yang tertua akan melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Pasti
butuh uang yang tidak sedikit. Sementara itu impian saya untuk membuka warung
yang hasilnya bisa melancarkan perekonomian keluarga hanya sebatas mimpi saja
sejak lama. Keinginan berwiraswasta hanya tinggal impian lebih karena saya
kesulitan mencari modal. Saya malu meminjam uang untuk modal dagang kepada
keluarga saya. Saya takut kelak di kemudian hari tidak lancar mencicil lalu
jadi omongan.
Akhirnya saya memberanikan diri
meminjam uang di bank. Untuk itu saya melampirkan data-data palsu pada surat permohonan
mendapatkan kredit.
Setelah menunggu satu minggu
permohonan saya dikabulkan. Jadi terbantah lagi bahwa orang kecil seperti
saya sukar mendapat kredit dari bank.
Terbantah pula bahwa untuk
memperoleh kredit dibutuhkan agunan yang nilainya jauh lebih besar dari
pinjaman.
Juga terbantahkan bahwa untuk
mendapat kredit perlu uang pelicin. Perlu uang sogokan yang tidak kecil untuk
sejumlah pejabat di bank.
Dengan uang itulah saya bisa
berbuat banyak sebagai seorang kepala rumah tangga di rumah saya. Saya bisa
membayar uang kuliah anak saya. Bisa membelikan motor bekas untuk anak saya
kuliah. Bisa membelikan komputer murahan dan sisanya saya gunakan untuk modal
berjualan makanan di kaki lima.
Modal saya tentu akan lebih
besar seandainya anak saya diterima di perguruan tinggi negeri yang
diimpikannya sejak kelas dua SMA.
Tetapi, untuk lulus dari
jaringan UMPTN (ujian masuk perguruan tinggi negeri) kan tidak mudah. Menurut cerita anak saya,
UMPTN itu tidak ubahnya undian berhadiah.
Beralasan sekali kalau sejak
mula saya sangat tidak yakin anak saya - yang kemampuannya sangat pas-pasan
di SMA - bisa menembus dan lulus dari blokade sulitnya masuk UMPTN. Betapa
tidak, jumlah mahasiawa yang diterima total hanya 2.500 orang, tetapi yang
mendaftarkan menjadi calon mahasiswa mencapai 12 ribu orang. "Saya tidak
yakin kamu bisa lulus, Nak. Sulit sekali memasuki perguruan tinggi terkenal
itu..." demikian kata hati saya kepada anak saya suatu hari setelah mendengar
anak saya ikut testing masuk UMPTN.
Dan ternyata benar. Beberapa
hari kemudian dalam daftar pengumuman calon mahasiawa yang lulus, yang dimuat
di beberapa koran terbitan ibukota, nama anak saya tidak tercantum. Anak saya
tidak lulus.
Karena itu anak saya, saya
masukkan ke perguruan tinggi swasta yang tidak terkenal. Pertimbangan saya
memasukkannya ke perguruan tinggi tidak terkenal, terus terang saja, lebih
karena biaya masuknya yang jauh lebih murah ketimbang biaya di perguruan
tinggi yang telah terkenal. Apakah anak saya akan berhasil dan apakah gelar
kesarjanaannya nanti ada artinya untuk mendapatkan pekerjaan, nanti sajalah
dipikirkan.
Berpikir pragmatiskan lebih
baik daripada membayangkan kesulitan yang akan dihadapi.
* * *
Jualan makanan di kaki lima janganlah dianggap
enteng. Pendapatannya dalam sebulan bisa mengalahkan pendapatan sebulan
seorang Direktur Jenderal yang jujur disebuah departemen pemerintah. Karena
itu, cicilan pembayaran kredit saya kepada bank dapat berjalan lancar.
Dan, tahukah Anda, bulan ini
keuntungan bersih saya benar-benar di luar dugaan sehingga saya ingin
lekas-lekas melunasi sisa utang saya kepada bank. Itulah yang ditolak kepala
bagian kredit bank saya ketika saya datang untuk melunasi utang itu.
Selama saya masih tinggal di
RSS yang ukuran bangunannya hanya 21 meter dan luas tanahnya hanya 60 meter
persegi dan saya masih tetap berjualan di kaki lima, apakah saya tidak boleh
menyebut diri saya berada sedikit di atas garis kemiskinan?
Anda benar. Anda tidak salah.
Saya ternyata telah berbohong secara berlebihan. Bukankah saya sendiri yang
mengatakan, pendapatan seorang pedagang kaki lima sebulan bisa melebihi pendapatan
sebulan seorang berpangkat Dirjen yang jujur?
Saya mohon maaf. Sekaligus
ingin mengutarakan pendapat saya bahwa mayoritas Dirjen, bahkan mungkin semua
Dirjen di berbagai departemen yang banyak itu adalah orang-orang jujur.
Kita tidak boleh berprasangka
buruk. Mencurigai boleh-boleh saja, asal kecurigaan itu jangan
disebarluaskan. Tetapi, menuduh terutama sekali menuduh orang tidak jujur
adalah perbuatan yang sangat tercela dan sangat tidak sesuai dengan
kepribadian bangsa.
* * *
Surat yang baru saya terima
membuat saya kebingungan. Bayangkan saja, saya diminta datang ke universitas
tempat anak saya kuliah untuk mengambil semua uang yang telah saya setorkan.
Apa kesalahan anak saya yang
telah menjalani Ospek dengan susah-payah itu? Dengan debaran jantung yang
tidak menentu saya menemui kepala bagian penerimaan mahasiswa baru. Dengan
ramah ia menyambut saya dan memberikan keterangan yang saya perlukan sebelum
saya minta.
"Bapak Rektor menyuruh
saya mengembalikan uang yang telah Bapak setorkan beberapa hari lalu,"
"Mengapa?" saya
bertanya dengan rasa ingin tahu yang menggelegak.
"Ini kebiasaan Pak Rektor.
Setiap tahun ada saja mahasiswa baru yang ketiban rezeki seperti ini.
Jumlahnya memang tidak lebih dari satu orang. Dasar pertimbangannya apa, saya
benar-benar tidak tahu. Pokoknya, Pak Rektor mengambil secara acak sebuah
nama dari daftar mahasiswa baru dan membebaskan mahasiswa itu dari kewajiban
membayar uang kuliah".
Rezeki memang tak perlu
dikejar. Dia akan datang dengan sendirinya kalau memang sudah ditentukan
untuk kita. Tak perlu sikut-sikutan untuk mendapatkan rezeki. Agama manapun
di dunia ini memang melarang praktek seperti itu, sikut-sikutan memburu
rezeki. "Jadi kita pun nggak perlu ikut-ikutan dengan tetangga seberang
rumah yang doyan sikut-sikutan mendapatkan uang," kata saya kepada,
Mimin, istri saya.
* * *
Kejadian membingungkan yang
atang beruntun akhirnya mengantarkan saya kepada pertanyaan yang tidak pernah
dapat saya jawab. Apakah saya masih hidup di bumi atau di planet lain? Apakah
ini suatu keinginan atau sebuah realita? Apakah ini hanya sebuah fiksi yang
hidup dan berkembang di kepala saya atau kejadian, yang benar-benar kongkret?
Cobalah Anda bayangkan. Setelah rezeki-rezeki terdahulu itu kini menyusul
rezeki baru yang juga tidak pernah saya harapkan kedatangannya.
Saya mendapat panggilan dari
bekas kantor saya yang lama. Saya diminta kembali bekerja dengan tawaran gaji
yang lebih baik.
Dalam surat yang dikirimkan kepada saya, dua
kalimat tercetak dengan huruf-huruf tebal. "Korupsi kecil-kecilan Anda
kami anggap tidak ada, karena telah kami maafkan. Korupsi kecil-kecilan adalah
wajar dan sah-sah saja untuk mempertahankan hidup".
"Gila," saya
berteriak. Surat
yang ditandatangani Direktur Utama itu saya baca berulang-ulang. Huruf-huruf
tebal itu masih bertengger dengan gagah di sana. Ini keterlaluan. Saya harus berbuat
sesuatu.
Sebagai orang kota
yang terbiasa dengan gerak cepat malam harinya saya membuat kejutan kepada
banyak orang, umumnya para pelanggan warung makan saya di kaki lima.
Semua pelanggan yang makan di
warung saya, saya minta untuk tidak membayar semua yang telah mereka santap
dan minum. Besoknya, saya juga berbuat begitu. Besoknya lagi demikian juga
setelah modal saya tinggal untuk satu hari jualan lagi, baru
"servis" itu saya hentikan.
Kepada Mimin, istri saya, saya
berbisik: "Kejadian-kejadian gila, harus disambut dan diimbangi dengan
perbuatan sinting."
Mendengar ucaoan itu, istri
saya pun tertawa terbahak-bahak. "Aku setuju, bang... aku setuju
..." ujar Mimin.
Tapi, bagaimana menurut Anda?
Asal tahu saja, saya berkepentingan melakukan semua itu, karena dengan
demikian faktor keseimbangan dapat terpelihara. Tapi apakah benar pandangan
saya itu? ***
|
0 comments:
Post a Comment