Cerpen Ahmad Syam
MIRNA memasukkan
foto berukuran postcard ke dalam amplop. Foto seorang pria muda, Reza.
Tampangnya tidak begitu ganteng, tetapi dan wajahnya yang bersih menunjukkan
pnia itu cukup waktu merawat diri. Jika memperhatikan pakaian yang
dikenakannya, kemeja dan celana bermerk plus dasi, pastilah dia cukup bermodal.
Setelah menutup rapat amplop dengan lem, Mirna menuliskan alamat kepada siapa
foto itu ditujukan, alamat ibunya di kampung. Dengan sedikit penjelasan dalam surat pengantar tentang
pria itu, ibunya sudah bisa menangkap pesan Mirna. Sebuah pesan? Ah, sebenarnya
lebih pantas disebut sebagai pertanyaan! Boleh dikata, secara berkala Mirna
berkirim foto ke ibunya dalam tiga tahun terakhir. Aktivitas yang berlangsung rutin
sejak dia bergelar sarjana hingga bekerja di sebuah perusahaan tekstil di Makassar. Ibunyalah yang meminta. Ibunya pula yang tiada
henti menanyakan ke Mirna kapan pulang kampung memperkenalkan calon
pendampingnya.
Sebenannya
soal mendapat pria pujaan bukan hal sulit bagi Mirna. Modal wajah ayu membuat
dia mudah menaklukkan hati pria. Apalagi dia tergolong pribadi yang pandai
berkomunikasi. Tidak heran jika Mirna memiliki banyak teman, baik wanita maupun
pnia. Sumber masalah justru datang dan ibunya. Dari sekian banyak pria yang
pernah diajukan Mirna, tak satupun berkenan di hati sang ibu. Padahal, pria
tersebut boleh dikata bukan pria sembarangan, setidaknya dalam penilaian Mirna.
Dua
bulan lalu Mirna berkenalan dengan pria perlente dalam suatu resepsi pernikahan
seorang kawannya. Agus, demikian nama pria itu, mengaku bekerja di pabrik semen
di kota yang
sama. Umurnya sudah kepala tiga. Usia yang dianggap matang memasuki kehidupan
keluarga. Dari segala segi, Agus nyaris sempurna. Wajah ganteng dan bekerja di
perusahaan besar dengan posisi kepala divisi, tentu penghasilannya tinggi.
Belum 1agi fasilitas perusahaan untuknya. Rumah, mobil, hingga biaya berobat
gratis.
“Apa
kamu yakin Agus pilihan yang tepat ?” Tanya ibunya yang selalu datang menemui
Mirna begitu mendapat kiriman foto.
“Ibu
kan sudah membaca surat yang Mirna kirim tempo hari. Aku kira
semua tentang Agus telah jelas,”’ ujar Mirna.
“Iya,
ibu tahu yang kamu maksud. Hanya saja ibu belum benar-benar yakin si Agus itu
sosok yang pas untukmu, Nak!”
“Percayalah,
Bu! Memang kami belum lama berkenalan. Tetapi kami merasa sudah bisa saling
memahami.”
“Ah,
kamu terlalu menggampangkan urusan berumah tangga, Mirna! Mana mungkin
kenalannya baru seumur jagung bisa langsung saling memahami. Lha, yang pacaran
bertahun tahun saja sulit mewujudkan hal demikian!”
“Tetapi
aku dan Agus menemukan banyak kecocokan di antara kami, Bu!”
“Mir,
ibu juga pernah muda seperti kamu. Pernah merasakan masa-masa jatuh cinta.
Begitu indahnya jatuh cinta sehingga seluruh yang tertangkap pandangan mata
tidak ubahnya taman penuh warna-warni bunga. Cinta memberi semangat tetapi
sekaligus candu yang membius kesadaran kita, Mir!” urai ibunya.
“Bu,
Mirna butuh kepercayaan bukan definisi cinta semacam itu. Bukankah aku sudah
cukup dewasa untuk jatuh cinta dengan definisi aku sendiri, Bu!”
“Tidak
Mirna! Ibu lebih percaya pada keyakinan ibu. Lebih baik kamu mencari lagi calon
pendamping lain. Lagi lagi ibu tidak menemukan kreteria yang ibu harapkan dari
Agus!” tandas ibunya.
Pembicaraan
tentang calon pendamping antara dia dengan ibunya selalu berakhir demikian.
Kesimpulan selalu diputuskan ibu Mirna. Kesimpulan yang menyesakkan dada Mirna.
Mengaduk-aduk perasaan dan pikirannya. Membuat hatinya gundah. Dia tidak
mengerti keinginan ibunya dan dia tidak cukup berani bertindak sendiri. Mirna
tenggelam dalam kebingungan benlarut-larut. Penolakan terhadap Agus semakin
memperkeruh batin Mirna. Dan sekian banyak teman pria yang pernah dia sodorkan
untuk mendapat persetujuan ibunya, tidak satupun memenuhi kriteria sang ibu.
Kriteria yang bagi Mirna sulit dimengerti. Agus merupakan calon suami pilihan
Mirna yang kandas alias tidak lulus kretenia ibunya. Sebelumnya, berderet
nama-nama seperti Rizal, Mahdi, Agung Aris, dan banyak lagi yang lainnya.
Mereka semua dari latar belakang yang berbeda. Dari anak juragan kaya, putra
pejabat, hingga aktivis mahasiswa yang kini mengabdi sebagai dosen di
almamaternya.
Bahkan,
Mirna pernah menyodonkan kepada ibunya seonang pemuda alim, Busrah namanya. Dia
tidak mengenal istilah pacaran: Makanya begitu berkenalan dengan Mirna, dia
langsung hendak menemui ibu Mirna untuk melamar. Mirna melarangnya karena harus
mengikuti prosedur ibu Mirna. Foto Busrah akan dikirim terlebih dahulu untuk
memberi kesempatan kepada ibu Mirna membaca perangainya dari foto.
Terhadap
Busrah, Mirna menaruh harapan besar. Dia tahu ibunya senang pemuda alim. Itu
karena ibu Mirna masih kuat memegang tradisi Bugis-Makassar yang taat agama.
Bagi masyarakat Bugis-Makassar, suatu berkah bila mendapat menantu rajin
shalat, tidak main judi, serta menjauhkan diri dari minuman keras. Dia ingat
satu kejadian yang pernah mengisi udara pembicaraan orang sekampungnya. Suatu
waktu datang seorang pemuda saleh di tengah suasana masyarakat kampung yang mulai
kehilangan semangat spiritualnya. Bersorban, berjubah, dan jenggot tipis
bergelantungan di dagunya. Menurut orang-orang yang paham soal
kelompok-kelompok dalam Islam, pemuda itu dari kelompok yang selalu bepergian
ke berbagai tempat untuk menyebarkan agama. Nah, kehadirannya itu disambut suka
cita. Bahkan para orangtua berharap menjadikannya menantu.
“Mirna,
ibu memang suka pada pemuda alim. Ibu senang kamu memperkenalkan Busnah ke ibu.
Pengetahuan agamanya akan menjadi cahaya bagi rumah tangganya kelak,” kata ibu
Mirna.
“Apakah
ini benarti Ibu menerima Busrah sebagai calon pendamping hidup aku?”
“Tunggu
dulu, Mm! Ibu kan
belum selesai. Menurut Ibu, Busrah memiliki keunggulan, selain kekurangan, dari
teman-teman pria kamu yang lain. Ibu senang karena menurut cerita kamu dalam surat dia taat
menjalankan agama. Namun ibu lagi-lagi terpaksa harus menolaknya. Ibu tidak
mendapatkan padanya kreteria yang ibu tetapkan sejak semula!” jelas ibu Mirna.
Sebenannya,
pangkal ketidakberanian Mirna berbeda pendapat dengan ibunya disebabkan rasa hormatnya
yang tinggi. Sebagai anak pertama dia merasa harus menjadi contoh bagi keempat
adiknya, termasuk dalam memilih pasangan hidup. Kalau dirinya berani melawan
ibu, tentu adik-adiknya akan ikut.
Sudah
seminggu ini Mirna menunggu ibunya di rumah kost. Biasanya tidak lebih dari seminggu
sejak dia mengirimkan foto teman prianya, sang ibu akan datang. Foto Reza yang
dia kirim pasti sudah sampai. Pak Pos sudah hapal alamat ibunya. Bahkan saking
seringnya mengantar surat
Mirna untuk ibunya, Pak Pos juga mengetahui isi amplop itu. Pak Pos kerap
bencanda mengatakan amplop yang dibawanya adalah surat penting. Jadi tidak boleh terlambat
atau salah alamat.
Tetapi
ada apa gerangan sehingga ibunya tak kunjung datang? Dalam penantian, Mirna diliput
perasaan cemas. Sekian pikiran berkelabat di kepalanya. Ada harapan jika ketidakdatangan ibunya pertanda
luluhnya sebuah hati dan bersedia mengalah.
Dalam
kegalauan itu, Mirna masih berusaha sabar. Sikap sabar merupakan satu-satunya
cara menghadapi ibunya. Kalau tidak, sudah sejak.dulu dia stres lalu gila. Dia
mencoba mengalihkan pikirannya pada prasangka baik. Satu minggu penantian Mirna
berlalu. Ibunya tidak kunjung datang. Akhirnya, karena tidak kuasa menahan rasa
penasaran yang berkecamuk lalu dia memutuskan untuk menemui ibunya di kampung.
- Tidak biasanya seorang Mirna pulang kampung di luar perayaan Lebaran.
Kesibukan dengan pekerjaan di kantor lebih membuatnya betah di kota. Selain itu, dia juga menghindari
omongan orang-orang sekampung. Tetapi kali ini dia mesti cuek dengan segala
macam omongan mereka.
Lagi
pula, menurut dia, bukan dirinya yang harus disalahkan dalam kasus ini
melainkan ibunya. Kreteria ibunya bagi Mirna sulit diterima. Kreteria yang
merupakan hasil imajinasi dan obsesi ibunya itu bertentangan dengan pendapat
Mirna. Sekitar pukul sebelas siang Mirna tiba di rumah ibunya.
“Aduh,
tumben nih anak ibu pulang!” sambut ibunya.
“Ah,
ibu seperti tidak paham saja kepulangan aku. Justru aku yang perlu heran sama
ibu karena tidak mengunjungiku,” ujar Mirna.
“Oh,
jadi karena itu kamu yang pulang. Kalau begitu ibu minta maaf deh! Asal kamu
tahu saja, sebenarnya ibu kasihan juga sama kamu, Nak! Barangkali selama ini ibu
telah membuat kamu merasa terbebani. Tetapi soal calon suami kamu kelak ibu
tidak akan mundur dari kreteria semula. Dalam hal ini ibu merasa sangat penting
bersikap tegas sama kamu!” papar ibu Mirna.
Mendengar
kata tegas, Mirna juga langsung teringat tekadnya pulang kampung. Bahwa dia
akan mengambil sikap tegas. Walau tak berarti melawan ibunya. Ketegasan bagi
Mirna hanyalah upaya keluar dari masalah yang tidak berujung. Mengurai lingkaran
setan yang selama ini melilitnya.
“Berarti
ibu juga tidak menerima kehadiran Reza yang fotonya aku kirim dua minggu yang lalu?’
tanya Mirna pelan.
“Mirna,
ibu itu heran sama kamu. Dari sekian banyak teman pria kamu itu kenapa tidak
satu pun yang masuk kreteria ibu. Apa memang kamu sengaja?”
“Maksud
Ibu?”
“Dari
foto dan keterangan mengenai teman pria kamu itu, ibu tidak mendapati pria
seperti sosok mendiang ayah kamu!” jelas ibunya.
“Bu,
sebenarnya aku perlu mempertegas sekarang! Ibu jangan terlalü memaksakan
kreteria bahwa calon pendamping hidupku menyerupai karakter ayah! Dalam hal ini
ibu perlu memahami yang akan menikah bukan ibu, tetapi aku! Mirna, Bu!”
Makassar, 2O05.
Ahmad
Syam, lahir di Jakarta
l4Agustus 1973. Alumnus Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Hasanuddin.
Cerpennya dimuat di The Jakarta
Post, Harlan Fajar, dan Pedoman Rakyat. Sekarang tinggai di Australia.
0 comments:
Post a Comment