Tuesday, 24 June 2014

IBU DAN ANAK



Cerpen Ahmad Syam

MIRNA memasukkan foto berukuran postcard ke dalam amplop. Foto seorang pria muda, Reza. Tampangnya tidak begitu ganteng, tetapi dan wajahnya yang bersih menunjukkan pnia itu cukup waktu merawat diri. Jika memperhatikan pakaian yang dikenakannya, kemeja dan celana bermerk plus dasi, pastilah dia cukup bermodal. Setelah menutup rapat amplop dengan lem, Mirna menuliskan alamat kepada siapa foto itu ditujukan, alamat ibunya di kampung. Dengan sedikit penjelasan dalam surat pengantar tentang pria itu, ibunya sudah bisa menangkap pesan Mirna. Sebuah pesan? Ah, sebenarnya lebih pantas disebut sebagai pertanyaan! Boleh dikata, secara berkala Mirna berkirim foto ke ibunya dalam tiga tahun terakhir. Aktivitas yang berlangsung rutin sejak dia bergelar sarjana hingga bekerja di sebuah perusahaan tekstil di Makassar. Ibunyalah yang meminta. Ibunya pula yang tiada henti menanyakan ke Mirna kapan pulang kampung memperkenalkan calon pendampingnya.

Sebenannya soal mendapat pria pujaan bukan hal sulit bagi Mirna. Modal wajah ayu membuat dia mudah menaklukkan hati pria. Apalagi dia tergolong pribadi yang pandai berkomunikasi. Tidak heran jika Mirna memiliki banyak teman, baik wanita maupun pnia. Sumber masalah justru datang dan ibunya. Dari sekian banyak pria yang pernah diajukan Mirna, tak satupun berkenan di hati sang ibu. Padahal, pria tersebut boleh dikata bukan pria sembarangan, setidaknya dalam penilaian Mirna.
Dua bulan lalu Mirna berkenalan dengan pria perlente dalam suatu resepsi pernikahan seorang kawannya. Agus, demikian nama pria itu, mengaku bekerja di pabrik semen di kota yang sama. Umurnya sudah kepala tiga. Usia yang dianggap matang memasuki kehidupan keluarga. Dari segala segi, Agus nyaris sempurna. Wajah ganteng dan bekerja di perusahaan besar dengan posisi kepala divisi, tentu penghasilannya tinggi. Belum 1agi fasilitas perusahaan untuknya. Rumah, mobil, hingga biaya berobat gratis.
“Apa kamu yakin Agus pilihan yang tepat ?” Tanya ibunya yang selalu datang menemui Mirna begitu mendapat kiriman foto.
“Ibu kan sudah membaca surat yang Mirna kirim tempo hari. Aku kira semua tentang Agus telah jelas,”’ ujar Mirna.
“Iya, ibu tahu yang kamu maksud. Hanya saja ibu belum benar-benar yakin si Agus itu sosok yang pas untukmu, Nak!”
“Percayalah, Bu! Memang kami belum lama berkenalan. Tetapi kami merasa sudah bisa saling memahami.”
“Ah, kamu terlalu menggampangkan urusan berumah tangga, Mirna! Mana mungkin kenalannya baru seumur jagung bisa langsung saling memahami. Lha, yang pacaran bertahun tahun saja sulit mewujudkan hal demikian!”
“Tetapi aku dan Agus menemukan banyak kecocokan di antara kami, Bu!”
“Mir, ibu juga pernah muda seperti kamu. Pernah merasakan masa-masa jatuh cinta. Begitu indahnya jatuh cinta sehingga seluruh yang tertangkap pandangan mata tidak ubahnya taman penuh warna-warni bunga. Cinta memberi semangat tetapi sekaligus candu yang membius kesadaran kita, Mir!” urai ibunya.
“Bu, Mirna butuh kepercayaan bukan definisi cinta semacam itu. Bukankah aku sudah cukup dewasa untuk jatuh cinta dengan definisi aku sendiri, Bu!”
“Tidak Mirna! Ibu lebih percaya pada keyakinan ibu. Lebih baik kamu mencari lagi calon pendamping lain. Lagi lagi ibu tidak menemukan kreteria yang ibu harapkan dari Agus!” tandas ibunya.
Pembicaraan tentang calon pendamping antara dia dengan ibunya selalu berakhir demikian. Kesimpulan selalu diputuskan ibu Mirna. Kesimpulan yang menyesakkan dada Mirna. Mengaduk-aduk perasaan dan pikirannya. Membuat hatinya gundah. Dia tidak mengerti keinginan ibunya dan dia tidak cukup berani bertindak sendiri. Mirna tenggelam dalam kebingungan benlarut-larut. Penolakan terhadap Agus semakin memperkeruh batin Mirna. Dan sekian banyak teman pria yang pernah dia sodorkan untuk mendapat persetujuan ibunya, tidak satupun memenuhi kriteria sang ibu. Kriteria yang bagi Mirna sulit dimengerti. Agus merupakan calon suami pilihan Mirna yang kandas alias tidak lulus kretenia ibunya. Sebelumnya, berderet nama-nama seperti Rizal, Mahdi, Agung Aris, dan banyak lagi yang lainnya. Mereka semua dari latar belakang yang berbeda. Dari anak juragan kaya, putra pejabat, hingga aktivis mahasiswa yang kini mengabdi sebagai dosen di almamaternya.
Bahkan, Mirna pernah menyodonkan kepada ibunya seonang pemuda alim, Busrah namanya. Dia tidak mengenal istilah pacaran: Makanya begitu berkenalan dengan Mirna, dia langsung hendak menemui ibu Mirna untuk melamar. Mirna melarangnya karena harus mengikuti prosedur ibu Mirna. Foto Busrah akan dikirim terlebih dahulu untuk memberi kesempatan kepada ibu Mirna membaca perangainya dari foto.
Terhadap Busrah, Mirna menaruh harapan besar. Dia tahu ibunya senang pemuda alim. Itu karena ibu Mirna masih kuat memegang tradisi Bugis-Makassar yang taat agama. Bagi masyarakat Bugis-Makassar, suatu berkah bila mendapat menantu rajin shalat, tidak main judi, serta menjauhkan diri dari minuman keras. Dia ingat satu kejadian yang pernah mengisi udara pembicaraan orang sekampungnya. Suatu waktu datang seorang pemuda saleh di tengah suasana masyarakat kampung yang mulai kehilangan semangat spiritualnya. Bersorban, berjubah, dan jenggot tipis bergelantungan di dagunya. Menurut orang-orang yang paham soal kelompok-kelompok dalam Islam, pemuda itu dari kelompok yang selalu bepergian ke berbagai tempat untuk menyebarkan agama. Nah, kehadirannya itu disambut suka cita. Bahkan para orangtua berharap menjadikannya menantu.
“Mirna, ibu memang suka pada pemuda alim. Ibu senang kamu memperkenalkan Busnah ke ibu. Pengetahuan agamanya akan menjadi cahaya bagi rumah tangganya kelak,” kata ibu Mirna.
“Apakah ini benarti Ibu menerima Busrah sebagai calon pendamping hidup aku?”
“Tunggu dulu, Mm! Ibu kan belum selesai. Menurut Ibu, Busrah memiliki keunggulan, selain kekurangan, dari teman-teman pria kamu yang lain. Ibu senang karena menurut cerita kamu dalam surat dia taat menjalankan agama. Namun ibu lagi-lagi terpaksa harus menolaknya. Ibu tidak mendapatkan padanya kreteria yang ibu tetapkan sejak semula!” jelas ibu Mirna.
Sebenannya, pangkal ketidakberanian Mirna berbeda pendapat dengan ibunya disebabkan rasa hormatnya yang tinggi. Sebagai anak pertama dia merasa harus menjadi contoh bagi keempat adiknya, termasuk dalam memilih pasangan hidup. Kalau dirinya berani melawan ibu, tentu adik-adiknya akan ikut.
Sudah seminggu ini Mirna menunggu ibunya di rumah kost. Biasanya tidak lebih dari seminggu sejak dia mengirimkan foto teman prianya, sang ibu akan datang. Foto Reza yang dia kirim pasti sudah sampai. Pak Pos sudah hapal alamat ibunya. Bahkan saking seringnya mengantar surat Mirna untuk ibunya, Pak Pos juga mengetahui isi amplop itu. Pak Pos kerap bencanda mengatakan amplop yang dibawanya adalah surat penting. Jadi tidak boleh terlambat atau salah alamat.
Tetapi ada apa gerangan sehingga ibunya tak kunjung datang? Dalam penantian, Mirna diliput perasaan cemas. Sekian pikiran berkelabat di kepalanya. Ada harapan jika ketidakdatangan ibunya pertanda luluhnya sebuah hati dan bersedia mengalah.
Dalam kegalauan itu, Mirna masih berusaha sabar. Sikap sabar merupakan satu-satunya cara menghadapi ibunya. Kalau tidak, sudah sejak.dulu dia stres lalu gila. Dia mencoba mengalihkan pikirannya pada prasangka baik. Satu minggu penantian Mirna berlalu. Ibunya tidak kunjung datang. Akhirnya, karena tidak kuasa menahan rasa penasaran yang berkecamuk lalu dia memutuskan untuk menemui ibunya di kampung. - Tidak biasanya seorang Mirna pulang kampung di luar perayaan Lebaran. Kesibukan dengan pekerjaan di kantor lebih membuatnya betah di kota. Selain itu, dia juga menghindari omongan orang-orang sekampung. Tetapi kali ini dia mesti cuek dengan segala macam omongan mereka.
Lagi pula, menurut dia, bukan dirinya yang harus disalahkan dalam kasus ini melainkan ibunya. Kreteria ibunya bagi Mirna sulit diterima. Kreteria yang merupakan hasil imajinasi dan obsesi ibunya itu bertentangan dengan pendapat Mirna. Sekitar pukul sebelas siang Mirna tiba di rumah ibunya.
“Aduh, tumben nih anak ibu pulang!” sambut ibunya.
“Ah, ibu seperti tidak paham saja kepulangan aku. Justru aku yang perlu heran sama ibu karena tidak mengunjungiku,” ujar Mirna.
“Oh, jadi karena itu kamu yang pulang. Kalau begitu ibu minta maaf deh! Asal kamu tahu saja, sebenarnya ibu kasihan juga sama kamu, Nak! Barangkali selama ini ibu telah membuat kamu merasa terbebani. Tetapi soal calon suami kamu kelak ibu tidak akan mundur dari kreteria semula. Dalam hal ini ibu merasa sangat penting bersikap tegas sama kamu!” papar ibu Mirna.
Mendengar kata tegas, Mirna juga langsung teringat tekadnya pulang kampung. Bahwa dia akan mengambil sikap tegas. Walau tak berarti melawan ibunya. Ketegasan bagi Mirna hanyalah upaya keluar dari masalah yang tidak berujung. Mengurai lingkaran setan yang selama ini melilitnya.
“Berarti ibu juga tidak menerima kehadiran Reza yang fotonya aku kirim dua minggu yang lalu?’ tanya Mirna pelan.
“Mirna, ibu itu heran sama kamu. Dari sekian banyak teman pria kamu itu kenapa tidak satu pun yang masuk kreteria ibu. Apa memang kamu sengaja?”
“Maksud Ibu?”
“Dari foto dan keterangan mengenai teman pria kamu itu, ibu tidak mendapati pria seperti sosok mendiang ayah kamu!” jelas ibunya.
“Bu, sebenarnya aku perlu mempertegas sekarang! Ibu jangan terlalü memaksakan kreteria bahwa calon pendamping hidupku menyerupai karakter ayah! Dalam hal ini ibu perlu memahami yang akan menikah bukan ibu, tetapi aku! Mirna, Bu!”
Makassar, 2O05.

Ahmad Syam, lahir di Jakarta l4Agustus 1973. Alumnus Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Hasanuddin. Cerpennya dimuat di The Jakarta Post, Harlan Fajar, dan Pedoman Rakyat. Sekarang tinggai di Australia.

0 comments:

Post a Comment