Cerpen: Aris Kurniawan
Sumber: Pikiran Rakyat, Edisi 10/29/2005 Post:
10/31/2005 Disimak: 157 kali
DENDAM yang sekian lama
kupendam-pendam, tak lama lagi agaknya bakal terlunaskan. Aku telah
menyelesaikan halaman terakhir ceritaku. Sungguh perjuangan yang tidak ringan
untuk sampai di halaman terakhir. Harus melewati malam-malam penuh penderitaan.
Akan langsung kutonjok mukanya bila ia mengatakan bahwa aku hanya seorang
tukang jahit; tidak punya ide orisinal dan hanya menjahit cerita-cerita yang
ditulis pengarang lain. Ia harus mengakui tak ada pengarang lain yang pernah
menggarap cerita yang kutulis kali ini. Aku bertekad benar-benar menggampar
mukanya, kalau perlu meludahinya sekalian, bila dia masih berani mengejek
karangan ini. Kurasa tak perlu lagi mempertimbangkan perkawanan kami.
Aku tidak perlu mendatangi warung
kopi itu, mendengarkan ia memberikan ceramah yang isinya hanya mencela. Tidak
ada sedikit pun keinginan memuji kawan seperti tempo hari.
"Ceritamu," dia bilang,
"hanya jahitan 5 cerita karya pengarang lain." Lantas dia menyebutkan
kelima judul karangan yang dimaksud. Kawan-kawan yang lain menyambut dengan
cibiran yang membuatku jengkel setengah mati. Mereka mengangguk-angguk.
"Sebaiknya kamu jadi pengamen sajalah," kata mereka. Seandainya pada
saat itu aku punya pistol pasti sudah kulubangi kepala mereka satu persatu
dengan peluru.
Karakter tokoh Darman, kata dia,
aku ambil dari karakter tokoh Rojak dalam cerita "Raja Kelelawar"
karya Amuradi, pengarang yang disebutnya sebagai kawan dekatnya. Aku hanya
mengganti kebiasaannya ngupil menjadi mengorek tahi kuping. Sedangkan plot aku
ambil dari cerita "Bidadari Buta yang Diperkosa" karya pengarang Banu
Raudali, juga disebutnya sebagai kawan dekatnya. Seperti pada karya-karyaku
yang lain, kata dia, yang kulakukan hanya sedikit memodifikasi supaya agak
beda. Tapi jelas, katanya, plot ceritaku diambil dari cerita "Bidadari
Buta yang Diperkosa". Lantas dia menyebutkan bagian-bagian yang aku
modifikasi. Dia bilang, aku membuang tiga paragraf pada bagian yang
mempertemukan tokoh utama dengan mantan kekasihnya kawin dengan musuhnya.
Tokoh Rojak dalam cerita
"Raja Kelelawar" adalah seorang pria homoseksual. Di sana diceritakan
dialah tokoh superbaik yang mau mengorbankan diri demi rasa aman masyarakat
luas. Dia bertubuh tinggi, berwajah tampan keindoan, dan tentu saja sangat
macho. Satu-satunya perilaku buruk yang dimilikinya adalah ngupil. Bila sedang
ngupil dia bisa lupa diri. Kebiasaan buruk ini dianggap tidak sepadan dengan
pengorbanannya dalam berjuang melindungi rakyat miskin dari cengkraman tuan
tanah, maka orang-orang pun memberi pemakluman yang berlebihan. Mereka sama
sekali tidak tahu perilaku seksualnya yang tidak biasa, alias menyimpang dari
kelaziman. Dalam dialog yang berlangsung dalam batin Rojak disimpulkan,
orang-orang tetap menyayangkannya meski perilaku tersebut tidak merugikan
mereka.
Sementara Darman adalah laki-laki
sehat dengan orientasi seksual yang umum berlaku dalam masyarakat. Dia tidak
begitu peduli pada para tetangga. Kesibukannya menjadi wartawan kriminal
menjadikan dia tidak sempat akrab dengan mereka. Tapi dia punya idealisme yang
menyebabkannya dibenci para pejabat korup. Ia punya waktu luang yang akan
terasa rugi bila dilewatkan tanpa mengorek tahi kuping. Darman punya pacar yang
berprofesi sebagai penari telanjang. Coba kau sebutkan mana karakter Rojak yang
melekat pada karakter Darman? Rojak selalu menyempatkan diri ngupil, bahkan di
saat rapat warga. Darman hanya mengorek tahi kupingnya pada waktu luangnya
saja. Lagi pula pekerjaan Darman jelas, sementara Rojak hanya disebutkan dalam
dua kalimat: Rojak telah menyerahkan catatan semua kegiatannya hari ini pada
atasannya dan Rojak harus segera membaca catatan kegiatan kawan-kawannya di
ruangan berudara dingin.
Untuk latar dan dialog-dialog dia
mengecapku mencuri dari cerita "Rumah Hantu di Ujung Jalan" karya
seorang pengarang yang tinggal di masjid, ngurusi anak-anak kecil ngaji dan
sampai sekarang belum menikah. Pengarang yang bertubuh jangkung dan kurus ini
dibilang gemar masturbasi dekat keranda sebelah tempat wudlu. Sementara ending-nya
aku ambil dari cerita "Petualangan di Dalam Kamar Temaram" karya
Cunong Ariandaka. Dan terakhir dia menuduhku, nama-nama tokoh aku curi begitu
saja dari cerita sebuah sinetron.
"Bidadari Buta yang
Diperkosa" menggunakan plot yang runut dan datar. Ia bergerak melalui
tokoh-tokohnya. Hampir semua riwayat tokoh dipaparkan dengan cara bertele-tele
dan bahasa terlampau lazim dan membosankan. Kau tak akan menemukan kejutan di
sana. Sementara ceritaku penuh kejutan dengan plot yang melompat-lompat, kadang
zigzag, dan penuh liukan tajam tak terduga. Aku banyak menggunakan teknik flash
back yang sepintas tampak ruwet namun tetap dalam struktur yang ketat, dan di
atas semua itu, menawarkan kesegaran yang tak mudah dilupakan. Mengherankan
sekali dia bisa menuding plot ceritaku mengambil dari cerita "Bidadari
Buta yang Diperkosa". Sungguh mulut yang pantas dirobek.
Ceritaku mengambil latar
kehidupan hedonis masyarakat Kota Jakarta antara tahun 1998-2000. Tahun yang
penuh gejolak. Bentrokan antar-pendukung parpol terjadi hampir tiap hari.
Begitu juga unjuk rasa, tiba-tiba menjadi gaya hidup baru masyarakat perkotaan.
Para pedagang gorengan kesulitan mendapatkan minyak dan terigu. Sehingga mereka
harus menggoreng menggunakan malam*) supaya harga gorengan tetap murah. Latar digambarkan
antara lain dalam dialog Darman dengan seorang pelacur jalanan, seperti ini:
"Hai Bung, mencari
siapa?" seru seorang perempuan mengejutkan Darman.
"Nirmala," sahut
Darman.
"Dia sedang ada yang pake.
Dengan saya saja." Perempuan itu merayu.
"Siapa yang pake?"
"Mana saya tahu. Ayolah,
Bung dengan saya. Buat makan besok." Perempuan itu terus merayu dengan
suara dan raut memelas. Darman mendekat.
"Hmm, sudah lama
melacur?"
"Saya masih baru. Sejak
orang-orang membakar kota ini. Dagangan ibu saya bangkrut. Minyak, terigu...
mahal semua."
"Hmm, nih kamu saya kasih
uang saja,
tapi tolong cari tahu siapa siapa
laki-laki yang memake Nirmala...."
"Sorry, saya dibayar bukan
untuk itu."
"Hei, jangan tersinggung.
Okelah, mari kita makan. Di mana warung makan yang bagus? Aku tidak mau kena
kanker gara-gara makan gorengan."
Dialog ini dia bilang tak bukan
merupakan versi lain dialog dua tokoh dalam cerita "Rumah Hantu di Ujung
Jalan" berikut ini.
"Siapa yang kamu cari,
Rangga?" seru Kinarsih.
"Kamu melihat Sinta,
Kinarsih?" sahut Rangga, senang melihat Kinarsih.
"Dia pergi dengan
Yonathan."
"Siapa dia?"
"Pacar Sinta. Dia memang
perempuan yang tidak bisa setia, Rangga."
"Kamu tahu sudah berapa lama
mereka berhubungan?"
"Tentu saja aku tahu.
Sudahlah lupakan saja dia, aku toh tidak keberatan pacaran denganmu. Bahkan
besok kita bisa kawin."
"Hmm, sudah tak tahan ingin
kawin?"
"Aku tak akan menahan-nahan
kalau ingin kawin. Aku bisa melakukan apa saja sejak papa dan mamaku
cerai."
"Hm, nih kamu aku kasih uang
untuk mencari tahu siapa Yonathan."
"Sorry, Rangga, aku nggak
mau dibayar untuk pekerjaan seperti itu."
"Kamu marah, Kinarsih?"
Coba kau simak baik-baik, kedua
dialog di atas jelas sekali berbeda. Antara Darman dengan pelacur tidak saling
mengenal. Sebaliknya, Rangga tampak kenal betul dengan Kinarsih. Kukira dia
memang hanya ingin melampiaskan dendam. Dia kesal gara-gara aku tak memberinya
utangan sehingga dia gagal memenuhi janji mengajak nonton pacarnya. Hal ini
berlanjut pada pemutusan sepihak oleh pacarnya itu. Ditambah lagi kemudian dia
tahu, pacarnya itu diam-diam pernah menginap di kamar kontrakanku.
Kalau bukan motivasi dendam tidak
mungkin dia mengatakan ending ceritaku kuambil dari cerita "Petualangan di
Dalam Kamar Temaram" karya pengarang Cunong Ariandaka. Ending ceritaku
menggantung dan meninggalkan beragam penafsiran bagi pembaca: siapakah yang
membuka pakaian dalam Nirmala? Pada "Petualangan di Dalam Kamar Temaram"
ending-nya tertutup terhadap kemungkinan-kemungkinan lain. Selesai. Meski
memang sama-sama tragik ending: kamar temaram itu menjadi saksi robeknya
keperawanan Artika oleh Samsul, sebelum laki-laki itu secara kejam membakar
tubuh Artika.
Lantas dengan kesombongan yang bikin
perutku mulas dia katakan tiga cerita yang ditulis pengarang kawan dekatnya itu
bersumber dari idenya. Namun mereka mengembangkannya dengan keterampilan bahasa
yang sangat cerdas, ucapnya. Kecerdasan yang sama sekali tak aku miliki,
katanya.
Dari semua itu yang paling
menjengkelkan adalah tuduhan terakhir, bahwa nama-nama tokoh aku curi begitu
saja dari cerita sebuah sinetron. Yang ini sama sekali tanpa bukti. Tapi dengan
begitu meyakinkan dia menyebutkan judul sinetron yang dimaksud. Mereka begitu saja
percaya dengan mulut busuknya. Tampak mata mereka melirikku dengan cara sangat
menghina. Padahal, berani sumpah sebelumnya, aku tidak pernah membaca kelima
cerita yang dia sebutkan. Apalagi menonton sinetron. Jadi, seperti yang sudah
kukatakan, semua tuduhannya semata ingin melampiaskan dendamnya dengan cara
menjatuhkan nama baikku di depan kawan-kawan lain.
Kejadian itu sungguh
meluluhlantakkan semangat hidupku. Dia bilang imajiansiku tidak liar, bahasaku
kurang lancar. Pikiran untuk bunuh diri berkali-kali mendatangi kepalaku. Aku
juga berniat mencari dukun untuk menyantet mereka. Mereka beruntung, sebelum
menemukan dukun itu aku berjumpa dengan seorang pengarang yang mengembalikan
semangat hidupku yang hampir saja kuserahkan pada jarum suntik.
Pengarang cerita-cerita cabul
inilah yang memuji ketangkasanku menulis. Kamu punya bakat besar, katanya bikin
aku melambung. Menurutnya tuduhan-tuduhan dia keliru. Lagi pula, katanya,
jahit-menjahit itu sah-sah saja. Kalimat yang terakhir sebetulnya membuatku sedikit
tak nyaman. Karena sama artinya membenarkan omongan dia. Kami bertemu di
kompleks permakaman. Dia sedang berziarah ke kuburan seorang pengarang yang
juga menulis cerita cerita cabul yang sangat dikaguminya. Cerita-cerita cabul
pengarang inilah yang diakui memberinya ilham dalam menulis cerita-cerita cabul
pula. Dengan bangga ia mengatakan dirinya kini telah mengganti posisinya yang
kokoh sebagai pengarang cerita cabul. Dia mengajakku ke warung indomi rebus
pinggir kompleks permakaman, dan kami ngobrol di sana. Kukira kamu mengenal
nama pengarang ini dengan baik. Aku sudah membaca beberapa novelnya yang kucuri
dari perpustakaan, dan sebagian kubeli di pasar loak dengan uang hasil menjual
novel curian dari perpustakaan itu.
Berbekal semangat yang dipompakan
pengarang cabul ini, aku menulis cerita tentang upaya keras seorang pangeran
dalam mengalihkan arah aliran sungai demi memenuhi permintaan perempuan yang
dicintainya. Cerita ini telah kurevisi untuk kesepuluh kalinya.
Aku lega akhirnya menyelesaikan
revisi halaman terakhir. Inilah halaman menentukan dari berlembar halaman yang
kutulis malam-malam panjang sebelumnya. Halaman yang menjadi pertaruhan. Dia
harus membaca cerita ini. Aku menulis cerita ini dengan riset mendalam, dengan
gagasan orisinal, baik bentuk maupun ide dan pengucapan. Aku yakin setengah
mati ketika membaca ceritaku orang tidak akan ingat cerita dari pengarang
manapun.
Aku sudah membakar ingatanku dari
semua buku-buku cerita yang pernah kubaca. Termasuk cerita yang ada tokoh
Darmannya, dan cerita-cerita yang kutulis sebelumnya. Bahkan juga cerita-cerita
cabul yang disodorkan pengarang cabul yang kutemui di permakaman itu. Cerita
ini kuberi judul "Ada Apa denganmu, Pangeran?" Aku menyisipkan banyak
pesan dalam cerita ini. Antara lain, jangan sembarangan membuang kulit pisang,
jangan suka menganggu orang pacaran, dan sayangilah anjing tetanggamu sebagai
sesama mahkluk ciptaan Tuhan.
Terus terang pesan-pesan tersebut
kudapatkan dari seorang gembel yang saban pagi mengorek-ngorek sisa makanan di
tong sampah rumah makan sebelah rumahku, dan saat malam dia tidur di emper
toserba ujung jalan. Tapi aku tak mau kau tahu dulu ceritaku ini. Aku ingin
membuatmu penasaran menunggu cerita ini diterbitkan. Dan kupikir sekarang
adalah bagaimana cerita ini sampai di tangannya supaya dia ternganga-nganga.***
10 September 2005
*) malam, bahan dasar membuat
lilin
0 comments:
Post a Comment