Tuesday, 24 June 2014

Arloji Saku



Post:  10/25/2005 Disimak: 141 kali
Cerpen: Ari Setya Ardhi 
Sumber: Riau Pos,  Edisi 10/23/2005 
________________________________________
TIBA-TIBA saja pandanganku menjadi nanar. Pepohonan karet di luar jendela seakan berputaran dengan deras. Wanita tua itu masih tetap berteriak dengan lantang. Sementara tiga orang pasukan pamong praja bersikeras menyeret wanita itu keluar ruang balai desa.
‘’Keadilan harus ditegakkan. Rakyat harus menang,” suara wanita tua itu masih terdengar fasih dan lantang sembari menyebut-sebut berbagai nama kepenguasaan dalam caci-maki yang membaur dengan ludah dan air liur yang muncrat ke mana-mana. Kata-kata penjara menjadi liar berlompatan.
Semakin kencang ia berteriak, kian bersemangat para pamong praja bergaya tentara itu menarik tubuh rentanya, kendati terkesan ringkih namun tetap bertenaga binal itu.
Sementara, di kediaman sebuah sudut kursi kehormatan para wak
il rakyat dalam arena pertemuan itu, aku merasakan bulir keringat berbatu es mengarus di segenap pori wajah. Malah, ketika kubenamkan topi yang kekukenakan, kegemetaran tambah meraja keras pada sekujur ruas jemari dan lutut kaki. Meski aku masih beruntung. Posisi dudukku sedikit terlindung dari pandangan kemurkaan wanita tua itu.
‘’Anastasia…”desahku lirih. Hanya itu.
Lantaran, aku tak lupa. Tak akan bisa lupa. Dan tidak akan pernah bisa melupakan. Walau bias keriput sudah nyaris merata pada sekujur wajahnya, namun berkas keayuan yang dimiliki belum juga lekang dari kenangan.
Terlebih lagi, siluet yang menyambar dari binar-binar berkilau dari dadanya yang menyertakan sebuah kalung bertali sepatu dengan seonggok besi berwujud arloji saku berbentuk hati. Aku tidak akan pernah menepiskan ingatan tentang arloji saku yang berbingkai akar pohon dan saat ini benar-benar nyata melingkar di berkas-berkas kejenjangan leher wanita tua itu. Kerjap-kerjap yang memendar secara perlahan membakar sekujur pandanganku.
Akhirnya, nafasku agak melega. Sosok wanita tua itu lenyap dari ujung pintu ruang pertemuan itu. Namun, lengking suaranya masih terdengar, bahkan terus terngiang nyaring hingga gaungnya menyisakan kebisuan, mengisi penjuru ruang di sebuah pelosokan pedalaman desa terpencil itu.
Suasana masih senyap untuk sejenak.
‘’Jadi apa sudah bisa kita lanjutkan,” tiba-tiba Prawiro ketua komisi yang menjadi pimpinan rombonganku mulai buka suara. Yang lain terkesan hanya berpandangan. Lagi-lagi kesunyian menghantam bilik bambu serta kursi kayu yang tertebar. Angin seakan berhenti berdetak.
‘’Bagaimana Pak Haji?” tanya Prawiro. Matanya dengan tajam langsung menyambar kebimbangan yang masih bertahta pada raut wajahku. Agak gugup, aku terbatuk.
‘’Kita skor dulu,” kataku, kelu. Prawiro terkesan sepakat, karena tanpa banyak pengantar ia langsung mengetokkan palu dengan keras.
‘’Bagaimana pak lurah dan pengurus desa lain?” kejar Prawiro kepada yang hadir. Tak ada sahutan, terkecuali anggukan kepala lurah yang diikuti beberapa yang hadir.
‘’Baik. Kita tunda pertemuan sampai satu jam mendatang,” ujarnya diiringi nafas kelegaan yang membuncah dengan leluasa di bulir-bulir kehormatan kami. Aku sibuk mencari sapu tangan.
***
‘’SUDAHLAH, jangan selalu kau bawa-bawa kegelisahan itu,” ketusku. Anastasia, lengkapnya Anastasia Catih Ardiningsih hanya memandangiku dengan sungut kecurigaan yang begitu kental
‘’Kenapa?” suaranya pelan, wajahnya tertunduk.
‘’Ah, sudah pukul berapa sekarang?” suaraku beralih ceria berupaya merubah suasana. Dengan perlahan, semburat cahaya matanya yang semula terkubur mulai menengadah dengan tambahan senyum tipis diantara lesung pipitnya.
‘’Abang kopral itu selalu macam itu,” kali ini tangannya menggelendot dengan manja. Beberapa helai daun akasia runtuh di hadapan pandangan kami. Dengan berpura menepis pegangan Anastasia, aku bergegas menghenyakkan pantatku ke atas akar pohon beringin yang terjuntai dengan perkasa di belakang kami.
‘’Ya, macam bagaimana lagi. Kau tengok ni, arloji Abang sudah tak bergerak lagi semenjak seminggu ini,” tukasku sembari merogoh kantung dan mengeluarkan arloji saku yang senantiasa kubawa-bawa.
‘’Jadi, kalau tak ada arloji, kita bisa dengan mudah melupakan waktu,” balas Anastasia dengan panorama menggairahkan seraya menyusul duduk bersisian. Tanah merah di hadapan kami masih terbentang basah. Embun di atas helaian rumput terkembang, menggoda kibaran angin. Anak rambut Anastasia tergerai, mempesona.
Aku menelan ludah. Kegairahan itu tak pernah lenyap bersama Anastasia. ‘’Bukan itu, Abang kalau tak ada arloji takut lupa janji,” sahutku terkekeh. Dan kulihat dada Anastasia yang penuh bergerak turun naik diiringi tawa gelinya yang tiada pernah membosankan.
‘’Kalau begitu biar Tasia betulkan, besok setelah Abang Kopral berangkat, Tasia bawa arloji Abang ke toko Wan Suldiah, di pasar,” kata Anastasia setelah tawa kami mereda. Namun, dengan lagak keberatan aku mengeluh.
‘’Tanpa arloji, kapan Abang bisa ingat untuk pulang menemuimu,” ujarku sembari mempersedih lantunan suara. Lagi-lagi Anastasia tertawa lepas. Udara terasa melembut. Tak ada gigil dingin, terkecuali kebersahajaan matahari di sana.
‘’Biar Abang Kopral ingat pulang. Biar Abang kalau lupa waktu selalu ingat Tasia,” guraunya dengan lagi-lagi menyapukan kesempurnaan yang memancar dengan leluasa dari roman wajahnya itu. Paduan senyuman kedua mata dan kerling kedua bibirnya dengan dagu terjuntai itu benar-benar membekukan denyut waktu dalam darahku. Angkasa biru merekah.
Tapi itu 55 tahun lalu.
Esok harinya, kendati berat aku berangkat kembali. Dengan dada gemetar serta kerinduan tak pernah terpecahkan aku meninggalkan Anastasia. Aku menuju perbatasan front gerilya yang menjadi garis pertahanan kompiku. Agresi kedua pecah. Seluruh kota dibumihanguskan.
Sayangnya, ketika pergolakan usai Anastasia menjadi malam, gelap. Aku kehilangan angkasa yang senantiasa mengepung dadaku itu. Anastasia tak lagi berada di kota. Anastasia seakan raib ditelan bumi. Ia lenyap begitu saja. Keluarga dan kerabat juga tak tahu menahu kemana rimba Anastasia.
Demi Allah, itu 55 tahun yang lampau!
***
‘’JADI menurut Pak Haji, kasus ini bagaimana?” mendadak suara Prawiro menghujam kembali alam kesadaranku. Saat itu, kami tinggal 4 orang sesama anggota dewan yang terhormat dan tengah melanjutkan negoisasi pertemuan itu.
‘’Komitmen semula?” balasku dengan ngambang. Sutarjo yang berseberangan dengan dudukku menggernyitkan kening.
‘’Sudah jelas,” balas Prawiro.
‘’Ya, seperti perjanjian kita dengan para pemilik perusahaan itu. Apalagi, perusahaan sawit ini benar-benar merupakan aset dan pemasukan daerah yang sangat besar,” sambung Kurniawan rekan satu fraksi yang bersebelahan denganku.
‘’Oke, hal ini kan sudah kita bicarakan, kita sepakat mengalihkan tanah ulayat ini tanpa ganti rugi,” balas Prawiro separuh berbisik.
‘’Tapi penyelesaiannya aman?” tukas Sutarjo. Mendadak saja aku menatap seringai di wajah Kurniawan bagaikan sebuah keganasan yang tak pernah bisa termaafkan.
‘’Lantas, nasib wanita tua yang menolak menyerahkan rumah dan lahannya itu?” tiba-tiba keberanian menyergap persendianku.
Sorot mata Sutarjo menatapku garang.
‘’Apa maksud Pak Haji? Toh, dia tak punya perlengkapan administrasi. Dia lemah,” ulasnya masih dengan tatapan yang sama.
‘’Anak gadis semata wayangnya telah diperkosa,” pekikku dengan nada bergumam panjang. Kali ini mata ketiga rekan anggota dewan yang terhormat itu tertuju padaku.
‘’Gadis tua?” sungut Kurniawan tanpa ekspresi.
‘’Dua wanita, sama tua sama gila,’ timpal Sutarjo datar. Aku nyaris tersedak. Pijar-pijar arloji saku itu kembali menghantuiku.
Bak ‘eksekutor’, ketiga orang berhadapan meja panjang segi empat itu menatapku dengan pandang iba, namun sorot mata mereka juga tidak ingin berbuat apa-apa.
‘’Kita bukan penegak kebenaran, apalagi hakim dan jaksa. Kita cuma sekedar menghantarkan rekomendasi,” tukas Prawiro dengan tajam.
‘’Kita juga sudah terlanjur berjanji Pak Haji,” timbrung Sutarjo, kali ini agak melunak.
‘’Aku tidak terima!” Mendadak saja aku merasa muak.
Ketiganya, lagi-lagi menatapku dalam sorot ketakjuban yang asing.
‘’Kita bela kemanusiaan, kali ini. Hanya untuk kali ini,” sergahku lagi kendati dengan nada tidak yakin. Aku benar-benar tidak lagi mengenal siapa mereka, termasuk siapa aku?
Suasana sempat hening beberapa hirupan kopi, sebelum Kurniawan menghela nafas agak kasar sembari mengangkat kedua bahu.
‘’Kita voting,” tukas Kurniawan. Aku benar-benar melotot dengan kedua mata terbeliak. Voting jelas aku kalah. Satu suara banding tiga.
‘’Lho, Pak Haji aturannya kan begitu,” cetus Sutarjo.
***
TIDAK selamanya masa lalu harus kembali.
Memang! Apa lagi setelah 55 tahun yang lampau. Barangkali hal itu sangat benar. Terkecuali kalau melarikan diri dari masa lalu, tentu harus didukung beragam alasan yang kuat. Barangkali itu pilihan. Kehidupan sebagai seorang tokoh dan cukup terpandang dengan keluarga yang sudah berakar mapan merupakan alasan lain yang menjadi sikap yang tak mampu terabaikan begitu saja.
Demikian pula dengan pendirianku. Aku memilih mengubur masa lampau. Membiarkan kamboja tumbuh liar tanpa nama-nama batu nisan sepanjang ruang pemakaman itu. Dalam usia senjaku, sungguh kasihan nasib istri, anak-anak, para menantu hingga cucu-cucu kami. Toh, menghadirkan pekuburan itu tidak harus menggali kuburan bagi yang lain.
Yang pasti, sebagai wakil rakyat yang disegani kondisi nama baik dan tentu saja penolakan resiko merupakan sebuah jalan teraman yang saat itu kupikir terbaik.
Maka aku hanya bisa termangu, ketika sepekan kemudian sebuah koran setempat membentangkan headline dengan huruf kapital plus foto menggidikkan; Dua Wanita Renta Tewas Bunuh Diri! Namun, sekujur darahku seakan tersekap dengan jeruji tombak yang melubangi setiap inci pori di tubuhku, saat koran lokal itu dalam sebuah angle-nya juga membeberkan surat wasiat yang ditulis Anastasia. ‘’Bang Kopral, sekalaunya saja Abang masih hidup, tolong kuburkan kami baik-baik. Aisyah adalah anak kita. Maafkan Tasia, kalau Aisyah juga Tasia bawa mengubur dendam dan sakit hati ini. Kalau Bang Kopral sudah mendahului kami, maka maafkan kami yang baru sekarang bisa menyusul Abang...” belum lagi habis seluruh tatanan kalimat yang tertulis itu aku merasa mataku nanar berkunang-kunang. Gadis tua yang jadi korban perkosaan itu Aisyah?
‘’Tidak…!!!” Mendadak semua gelap. Orang-orang berlarian. Nafas dan keringat memburu.
Bruukkkkkk!***
Bohemian Jambi, 23 September
Ari Setya Ardhi adalah sastrawan Jambi yang cukup menonjol saat ini. Karya-karyanya dimuat di berbagai media dan berbagai buku, baik antologi maupun tunggal. Saat ini bekerja sebagai pemimpin perusahaan di Harian Posmetro Jambi. Tinggal di Jambi.

0 comments:

Post a Comment