Post: 10/25/2005 Disimak: 141 kali
Cerpen: Ari Setya Ardhi
Sumber: Riau Pos, Edisi 10/23/2005
________________________________________
TIBA-TIBA saja pandanganku
menjadi nanar. Pepohonan karet di luar jendela seakan berputaran dengan deras.
Wanita tua itu masih tetap berteriak dengan lantang. Sementara tiga orang
pasukan pamong praja bersikeras menyeret wanita itu keluar ruang balai desa.
‘’Keadilan harus ditegakkan.
Rakyat harus menang,” suara wanita tua itu masih terdengar fasih dan lantang
sembari menyebut-sebut berbagai nama kepenguasaan dalam caci-maki yang membaur
dengan ludah dan air liur yang muncrat ke mana-mana. Kata-kata penjara menjadi
liar berlompatan.
Semakin kencang ia berteriak,
kian bersemangat para pamong praja bergaya tentara itu menarik tubuh rentanya,
kendati terkesan ringkih namun tetap bertenaga binal itu.
Sementara, di kediaman sebuah
sudut kursi kehormatan para wak
il rakyat dalam arena pertemuan itu, aku
merasakan bulir keringat berbatu es mengarus di segenap pori wajah. Malah,
ketika kubenamkan topi yang kekukenakan, kegemetaran tambah meraja keras pada
sekujur ruas jemari dan lutut kaki. Meski aku masih beruntung. Posisi dudukku
sedikit terlindung dari pandangan kemurkaan wanita tua itu.
‘’Anastasia…”desahku lirih. Hanya
itu.
Lantaran, aku tak lupa. Tak akan
bisa lupa. Dan tidak akan pernah bisa melupakan. Walau bias keriput sudah
nyaris merata pada sekujur wajahnya, namun berkas keayuan yang dimiliki belum
juga lekang dari kenangan.
Terlebih lagi, siluet yang
menyambar dari binar-binar berkilau dari dadanya yang menyertakan sebuah kalung
bertali sepatu dengan seonggok besi berwujud arloji saku berbentuk hati. Aku
tidak akan pernah menepiskan ingatan tentang arloji saku yang berbingkai akar
pohon dan saat ini benar-benar nyata melingkar di berkas-berkas kejenjangan
leher wanita tua itu. Kerjap-kerjap yang memendar secara perlahan membakar
sekujur pandanganku.
Akhirnya, nafasku agak melega.
Sosok wanita tua itu lenyap dari ujung pintu ruang pertemuan itu. Namun,
lengking suaranya masih terdengar, bahkan terus terngiang nyaring hingga
gaungnya menyisakan kebisuan, mengisi penjuru ruang di sebuah pelosokan
pedalaman desa terpencil itu.
Suasana masih senyap untuk
sejenak.
‘’Jadi apa sudah bisa kita
lanjutkan,” tiba-tiba Prawiro ketua komisi yang menjadi pimpinan rombonganku
mulai buka suara. Yang lain terkesan hanya berpandangan. Lagi-lagi kesunyian
menghantam bilik bambu serta kursi kayu yang tertebar. Angin seakan berhenti
berdetak.
‘’Bagaimana Pak Haji?” tanya
Prawiro. Matanya dengan tajam langsung menyambar kebimbangan yang masih
bertahta pada raut wajahku. Agak gugup, aku terbatuk.
‘’Kita skor dulu,” kataku, kelu.
Prawiro terkesan sepakat, karena tanpa banyak pengantar ia langsung mengetokkan
palu dengan keras.
‘’Bagaimana pak lurah dan
pengurus desa lain?” kejar Prawiro kepada yang hadir. Tak ada sahutan,
terkecuali anggukan kepala lurah yang diikuti beberapa yang hadir.
‘’Baik. Kita tunda pertemuan
sampai satu jam mendatang,” ujarnya diiringi nafas kelegaan yang membuncah
dengan leluasa di bulir-bulir kehormatan kami. Aku sibuk mencari sapu tangan.
***
‘’SUDAHLAH, jangan selalu kau
bawa-bawa kegelisahan itu,” ketusku. Anastasia, lengkapnya Anastasia Catih
Ardiningsih hanya memandangiku dengan sungut kecurigaan yang begitu kental
‘’Kenapa?” suaranya pelan,
wajahnya tertunduk.
‘’Ah, sudah pukul berapa
sekarang?” suaraku beralih ceria berupaya merubah suasana. Dengan perlahan,
semburat cahaya matanya yang semula terkubur mulai menengadah dengan tambahan
senyum tipis diantara lesung pipitnya.
‘’Abang kopral itu selalu macam
itu,” kali ini tangannya menggelendot dengan manja. Beberapa helai daun akasia
runtuh di hadapan pandangan kami. Dengan berpura menepis pegangan Anastasia, aku
bergegas menghenyakkan pantatku ke atas akar pohon beringin yang terjuntai
dengan perkasa di belakang kami.
‘’Ya, macam bagaimana lagi. Kau
tengok ni, arloji Abang sudah tak bergerak lagi semenjak seminggu ini,” tukasku
sembari merogoh kantung dan mengeluarkan arloji saku yang senantiasa
kubawa-bawa.
‘’Jadi, kalau tak ada arloji,
kita bisa dengan mudah melupakan waktu,” balas Anastasia dengan panorama
menggairahkan seraya menyusul duduk bersisian. Tanah merah di hadapan kami
masih terbentang basah. Embun di atas helaian rumput terkembang, menggoda
kibaran angin. Anak rambut Anastasia tergerai, mempesona.
Aku menelan ludah. Kegairahan itu
tak pernah lenyap bersama Anastasia. ‘’Bukan itu, Abang kalau tak ada arloji
takut lupa janji,” sahutku terkekeh. Dan kulihat dada Anastasia yang penuh
bergerak turun naik diiringi tawa gelinya yang tiada pernah membosankan.
‘’Kalau begitu biar Tasia
betulkan, besok setelah Abang Kopral berangkat, Tasia bawa arloji Abang ke toko
Wan Suldiah, di pasar,” kata Anastasia setelah tawa kami mereda. Namun, dengan
lagak keberatan aku mengeluh.
‘’Tanpa arloji, kapan Abang bisa
ingat untuk pulang menemuimu,” ujarku sembari mempersedih lantunan suara.
Lagi-lagi Anastasia tertawa lepas. Udara terasa melembut. Tak ada gigil dingin,
terkecuali kebersahajaan matahari di sana.
‘’Biar Abang Kopral ingat pulang.
Biar Abang kalau lupa waktu selalu ingat Tasia,” guraunya dengan lagi-lagi
menyapukan kesempurnaan yang memancar dengan leluasa dari roman wajahnya itu.
Paduan senyuman kedua mata dan kerling kedua bibirnya dengan dagu terjuntai itu
benar-benar membekukan denyut waktu dalam darahku. Angkasa biru merekah.
Tapi itu 55 tahun lalu.
Esok harinya, kendati berat aku
berangkat kembali. Dengan dada gemetar serta kerinduan tak pernah terpecahkan
aku meninggalkan Anastasia. Aku menuju perbatasan front gerilya yang menjadi
garis pertahanan kompiku. Agresi kedua pecah. Seluruh kota dibumihanguskan.
Sayangnya, ketika pergolakan usai
Anastasia menjadi malam, gelap. Aku kehilangan angkasa yang senantiasa
mengepung dadaku itu. Anastasia tak lagi berada di kota. Anastasia seakan raib
ditelan bumi. Ia lenyap begitu saja. Keluarga dan kerabat juga tak tahu menahu
kemana rimba Anastasia.
Demi Allah, itu 55 tahun yang
lampau!
***
‘’JADI menurut Pak Haji, kasus
ini bagaimana?” mendadak suara Prawiro menghujam kembali alam kesadaranku. Saat
itu, kami tinggal 4 orang sesama anggota dewan yang terhormat dan tengah
melanjutkan negoisasi pertemuan itu.
‘’Komitmen semula?” balasku
dengan ngambang. Sutarjo yang berseberangan dengan dudukku menggernyitkan
kening.
‘’Sudah jelas,” balas Prawiro.
‘’Ya, seperti perjanjian kita
dengan para pemilik perusahaan itu. Apalagi, perusahaan sawit ini benar-benar
merupakan aset dan pemasukan daerah yang sangat besar,” sambung Kurniawan rekan
satu fraksi yang bersebelahan denganku.
‘’Oke, hal ini kan sudah kita
bicarakan, kita sepakat mengalihkan tanah ulayat ini tanpa ganti rugi,” balas
Prawiro separuh berbisik.
‘’Tapi penyelesaiannya aman?”
tukas Sutarjo. Mendadak saja aku menatap seringai di wajah Kurniawan bagaikan
sebuah keganasan yang tak pernah bisa termaafkan.
‘’Lantas, nasib wanita tua yang
menolak menyerahkan rumah dan lahannya itu?” tiba-tiba keberanian menyergap
persendianku.
Sorot mata Sutarjo menatapku garang.
‘’Apa maksud Pak Haji? Toh, dia
tak punya perlengkapan administrasi. Dia lemah,” ulasnya masih dengan tatapan
yang sama.
‘’Anak gadis semata wayangnya
telah diperkosa,” pekikku dengan nada bergumam panjang. Kali ini mata ketiga
rekan anggota dewan yang terhormat itu tertuju padaku.
‘’Gadis tua?” sungut Kurniawan
tanpa ekspresi.
‘’Dua wanita, sama tua sama
gila,’ timpal Sutarjo datar. Aku nyaris tersedak. Pijar-pijar arloji saku itu
kembali menghantuiku.
Bak ‘eksekutor’, ketiga orang
berhadapan meja panjang segi empat itu menatapku dengan pandang iba, namun
sorot mata mereka juga tidak ingin berbuat apa-apa.
‘’Kita bukan penegak kebenaran,
apalagi hakim dan jaksa. Kita cuma sekedar menghantarkan rekomendasi,” tukas
Prawiro dengan tajam.
‘’Kita juga sudah terlanjur
berjanji Pak Haji,” timbrung Sutarjo, kali ini agak melunak.
‘’Aku tidak terima!” Mendadak
saja aku merasa muak.
Ketiganya, lagi-lagi menatapku
dalam sorot ketakjuban yang asing.
‘’Kita bela kemanusiaan, kali
ini. Hanya untuk kali ini,” sergahku lagi kendati dengan nada tidak yakin. Aku
benar-benar tidak lagi mengenal siapa mereka, termasuk siapa aku?
Suasana sempat hening beberapa
hirupan kopi, sebelum Kurniawan menghela nafas agak kasar sembari mengangkat
kedua bahu.
‘’Kita voting,” tukas Kurniawan.
Aku benar-benar melotot dengan kedua mata terbeliak. Voting jelas aku kalah.
Satu suara banding tiga.
‘’Lho, Pak Haji aturannya kan
begitu,” cetus Sutarjo.
***
TIDAK selamanya masa lalu harus
kembali.
Memang! Apa lagi setelah 55 tahun
yang lampau. Barangkali hal itu sangat benar. Terkecuali kalau melarikan diri
dari masa lalu, tentu harus didukung beragam alasan yang kuat. Barangkali itu
pilihan. Kehidupan sebagai seorang tokoh dan cukup terpandang dengan keluarga
yang sudah berakar mapan merupakan alasan lain yang menjadi sikap yang tak
mampu terabaikan begitu saja.
Demikian pula dengan pendirianku.
Aku memilih mengubur masa lampau. Membiarkan kamboja tumbuh liar tanpa
nama-nama batu nisan sepanjang ruang pemakaman itu. Dalam usia senjaku, sungguh
kasihan nasib istri, anak-anak, para menantu hingga cucu-cucu kami. Toh,
menghadirkan pekuburan itu tidak harus menggali kuburan bagi yang lain.
Yang pasti, sebagai wakil rakyat
yang disegani kondisi nama baik dan tentu saja penolakan resiko merupakan
sebuah jalan teraman yang saat itu kupikir terbaik.
Maka aku hanya bisa termangu,
ketika sepekan kemudian sebuah koran setempat membentangkan headline dengan
huruf kapital plus foto menggidikkan; Dua Wanita Renta Tewas Bunuh Diri! Namun,
sekujur darahku seakan tersekap dengan jeruji tombak yang melubangi setiap inci
pori di tubuhku, saat koran lokal itu dalam sebuah angle-nya juga membeberkan
surat wasiat yang ditulis Anastasia. ‘’Bang Kopral, sekalaunya saja Abang masih
hidup, tolong kuburkan kami baik-baik. Aisyah adalah anak kita. Maafkan Tasia,
kalau Aisyah juga Tasia bawa mengubur dendam dan sakit hati ini. Kalau Bang
Kopral sudah mendahului kami, maka maafkan kami yang baru sekarang bisa
menyusul Abang...” belum lagi habis seluruh tatanan kalimat yang tertulis itu
aku merasa mataku nanar berkunang-kunang. Gadis tua yang jadi korban perkosaan
itu Aisyah?
‘’Tidak…!!!” Mendadak semua
gelap. Orang-orang berlarian. Nafas dan keringat memburu.
Bruukkkkkk!***
Bohemian Jambi, 23 September
Ari Setya Ardhi adalah sastrawan
Jambi yang cukup menonjol saat ini. Karya-karyanya dimuat di berbagai media dan
berbagai buku, baik antologi maupun tunggal. Saat ini bekerja sebagai pemimpin
perusahaan di Harian Posmetro Jambi. Tinggal di Jambi.
0 comments:
Post a Comment