posted by imponk | 10:20:00 AM
Tuesday, April 06, 2004
Cerpen Achmad Munjid
Bunga, sayang...
Kutulis surat ini di sebuah kafe, sesaat setelah
senja melenyap di kaki langit Kota Laut yang tenteram. Tahukah kamu, sejak kita
memutuskan untuk tidak pernah lagi saling bertemu, aku segera berkemas
mengikuti pelayaran panjang yang tak akan kembali ini. Sebuah pengembaraan yang
akan kutempuh sepanjang waktu, menuju Negeri di Balik Bulan. Kota Laut yang tua
dan megah ini adalah tempat persinggahan entah yang keberapa sejak
keberangkatan kami dari Kepulauan Halmahera bertahun silam.
Aku bergabung bersama rombongan yang kira-kira
terdiri dari dua ribu orang, dengan dua kapal yang selalu meluncur gagah
membelah gelombang. Sebagian besar mereka adalah para pengungsi korban
kerusuhan. Sedang beberapa ratus orang lainnya merupakan penumpang khusus yang
datang dari segala penjuru. Yakni, para pengemban tugas nenek moyang
masing-masing yang telah mempersiapkan mereka sejak beberapa generasi sebelum mereka
lahir. Mungkin akulah satu-satunya anggota yang bergabung karena alasan yang
bersifat hampir kebetulan.
Kalau saja matamu yang indah bisa ikut menyaksikan
pemandangan luar biasa menakjubkan malam itu, kau pun tentu akan tak kuasa
menahan hasrat seperti setiap orang di antara kami yang tergabung dalam kudus
ini. Ialah suatu dorongan murni yang demikian teguh untuk segera menembus
lautan waktu. Untuk meninggalkan seluruh nestapa dan derita, dan menyongsong
kehidupan baru di negeri penuh pesona, Negeri di Balik Bulan.
Bungaku sayang, entah setelah berapa jam kami
menunggu dengan perasaan hampir-hampir putus asa, menjelang pagi di awal
milenium itu akhirnya kami pun benar-benar menjadi saksi atas munculnya sebuah
garis lurus berwarna putih keperakan yang kilau-kemilau dan kian membiru di
kedua ujungnya. Itulah suatu wujud yang tak sabar telah kami tunggu-tunggu
dengan jantung kian berdebar. Garis itu mula-mula nampak sebagai cahaya tipis
yang memantul dari wajah bulan yang menyembul dari balik menara mercusuar
Pelabuhan Teluk Malina. Di bawah lengkung langit berwarna kesumba, cahaya itu
turun menembus kabut yang mengambang di atas permukaan laut dan seketika
mengubahnya menjadi taburan aneka partikel mutiara yang tak terhitung
jumlahnya.
Karena efeknya yang sangat lembut pada retina, sama
sekali tak kami sadari bahwa dalam beberapa detik berikutnya garis itu
sebenarnya telah menjadi sapuan sinar teramat tajam yang membuat segenap wujud
di depan kami tampak bahkan lebih nyata dari manifestasinya di siang hari.
Pahatan indah kulit-kulit kerang yang berserakan, buih-buih gelombang yang
pecah berpendaran, terumbu karang tak terperikan. Sungguh, semesta wujud di
sekeliling kami telah menjelma begitu sempurna. Segalanya hadir tanpa bayangan.
Dalam gelimang cahaya seperti itu sampai-sampai hampir kami semua lupa bahwa di
dunia ini memang pernah ada malam.
Ketika itu garis cahaya yang telah menyerap segenap
ketakjuban kami pun telah menjadi sebentuk sabuk permata raksasa yang mendekap
lautan. Di depan kami, kini menjelmalah serupa hologram jalan raya maha licin
dan terang-benderang yang siap menghantarkan manusia ke tempat segala tujuan.
Entah berapa lama setiap pasang mata kami yang menyaksikan kenyataan itu sama
sekali tak kuasa mengerjap, sebelum masing-masing akhirnya menitikkan air mata
bahagia. Seperti yang secara rahasia telah diwariskan turun-temurun di antara
mereka yang hidup menderita, itulah peristiwa penuh kemuliaan yang hanya
terjadi selama beberapa saat saja dalam setiap seribu tahun. Ialah munculnya
Garis Milenia, satu-satunya pedoman mengenai arah bagi mereka yang hendak
berlayar menuju Negeri di Balik Bulan.
Maka, gegap-gempitalah puja-puji dan sorak-sorai
kami mengawali perjalanan panjang itu. Diiringi suara mesin kapal yang menderu
dan bunyi yang terus mendengung panjang saling bersahutan, kafilah kami
bergegas. Kapal kami bertolak ke arah barat, dituntun oleh kemilau garis
mukjizat yang membangkitkan segenap gairah bahagia manusia itu. Setelah
beberapa mil baru kami sadari bahwa ternyata bahkan kami tak sempat lagi
menengok ke belakang untuk sekedar mengucapkan "selamat tinggal" pada
Pelabuhan Teluk Malina, tempat di mana seluruh penderitaan telah kami kubur
untuk selama-lamanya.
Ketika segenap keajaiban yang telah melenyapkan
setiap ingatan dan kata-kata itu akhirnya mendadak berpendar tanpa bekas, tubuh
kami serasa serakan lembaran-lembaran kapas yang baru saja mendarat setelah
melayang-layang mengarungi nun berlapis langit. Untuk beberapa saat, mata kami
hanya bisa lamat-lamat memandangi guratan-guratan kusam berwarna merah di ufuk
timur yang kemudian kami kenali kembali sebagai pertanda terbitnya fajar.
Namun, bersamaan dengan berhembusnya angin pagi yang pertama dan riak ombak
yang memecah menerpa badan kapal, kini hati kami telah sepenuhnya diliputi rasa
damai dan sentosa. Dan tahukah kamu? Yang perlu kami lakukan selanjutnya
tinggallah berlayar dan terus berlayar mengikuti arah peredaran matahari dan
rembulan.
Kami tak akan pernah kurang suatu apa. Seperti
sudah kami buktikan sendiri, setiap kali berlabuh, masyarakat di mana kami
singgah bukan cuma telah mengenali kami. Mereka selalu menjemput kami dengan
segala kebesaran, tepat di bibir pantai tempat kapal kami merapat.
Selamat datang, para musafir agung.
Serangkaian perjamuan sebagai ungkapan penghormatan
paling tulus pun senantiasa terhidang dalam kelimpahan tiada tara selama
persinggahan kami, di mana saja.
Meski telah kutekan-tekan begitu rupa, keheranan
itu sempat terlontar juga.
Kami telah menunggu Anda sejak beratus generasi
yang silam, secara turun-temurun, jawab mereka.
Tepatnya, sejak nenek moyang kami menyambut para
pendahulu Anda sekalian, seribu tahun yang lalu.
Tuhan Yang Agung, puji seseorang di antara kami.
Kehadiran Anda adalah isyarat akan terpeliharanya
kesejahteraan hidup kami dan anak cucu kami selanjutnya. Hanya karena nasib
telah menentukan bahwa kami tidak bisa bergabung dengan Anda, maka kami menahan
diri untuk tidak turut serta. Tapi, ijinkanlah kami mengantar Anda sekalian
dengan sekadar perbekalan yang mungkin diperlukan sampai tempat persinggahan
berikutnya, pinta tetua mereka begitu kami berpamitan. Di atas geladak pun
termuatlah segala yang kami butuhkan untuk masa hingga terbitnya sekian bulan
purnama berikutnya.
Bunga, maka seluruh pengalaman pelayaran mengikuti
garis takdir itu sungguh tak terperikan menakjubkannya.
Kadang terlukis juga dalam anganku, seandainya saja
aku bisa menempuh perjalanan kudus ini bersamamu. Memang, ketika hendak
berangkat, di perbatasan kota ada saja orang-orang yang meneriaki kita sebagai
dua anak manusia yang bebal. Sebagian lagi hanya mengurut dada iba, sementara
yang lain berdoa. Tapi ada juga yang bersorak: Bravo... Go west young happy
couple; just go to where God keep his promise.
Lalu, dari Pelabuhan Teluk Malina itu, kapal kita
pun melaju, menembus langit harapan. Kita berpelukan di ujung haluan,
menyongsong samudera yang menggelora. Bintang-bintang berkedipan setengah
terpejam karena iri dan ikan-ikan pun terpaku di balik karang, mengintip betapa
setiap helaan nafas dan aliran darah kita begitu sempurna menyatu. Meski akan
ada jutaan peristiwa yang mengharu-biru, pelukan kita tak akan pernah melemah,
hingga para malaikat terharu dan Tuhan tak lagi mengijinkan kita tersentuh
bahaya.
Kita akan terus erat berdekapan sebagai sepasang
kekasih yang setiap sel tubuh masing-masing begitu merindukan pasangannya, yang
jiwa masing-masing selalu telanjang, saling merangkum dan memenuhi lainnya.
Cinta adalah hasrat untuk memberi dan kesediaan untuk menerima seutuh-utuhnya,
setulusnya, apa adanya. Dan kekuatan tak terperikan itulah yang telah
mempersatukan kita. Berdua kita pun tak hendak berhenti menghayati penaklukan
puncak-puncak gelombang paling indah yang bisa dialami sepasang cucu Adam dan
Hawa yang saling mendamba.
Maka di suatu fajar yang cerah, ketika kita begitu
tenang saling menatap di bawah keteduhan sebuah kota tempat kita istirah,
lahirlah anak kita yang pertama. Seorang anak yang kelak akan selalu bertanya
dengan mata berbinar dan kita menjawab segalanya dengan penuh suka-cita. Kita
akan menyelimutinya dengan segenap cinta, membimbingnya dengan seluruh harapan
dan menopangnya dengan berlaksa-laksa doa dan airmata. Kita tak henti
memperhatikan setiap langkah kaki dan gerak bibirnya yang mungil.
Mama, Mama, itu apa, Ma? tanyanya padamu.
Oh, itu bunga, sayang, jawabmu. Indah bukan?
Horeee, bunga, bunga. Indaah sekali, Ma....., ia
bersorak riang. Aneka warna kupu-kupu ikut tertawa-tawa ria mengitarinya.
Kelak kamu juga harus memiliki hati yang indah,
seindah hati ibumu, aku membelainya. Dan ia menari dan bergelayutan manja di
pangkuan kita.
Yang itu apa, Pa?
Itulah matahari, sumber kehidupan.
Horee, mataharii..., ia pun menyanyi.
Yang itu?
Itulah bulan, sayang, jawabmu syahdu. Ialah lambang
kesetiaan. Siapa pun yang setia pada prinsip dan keyakinan dirinya, dia akan
mempesona seperti bulan.
Betul, Pa? Bisakah kita ke sana?
Kita bahkan sedang menuju Negeri di Balik Bulan.
Horee, horeee..... Jadi kita akan bertemu para
bidadari yang cantik-cantik itu, Pa? Jadi, kita juga akan memetik harpa para
dewa, Ma? Sungguh?! Engm,... kalau yang itu, apa?
Yang biru membentang dan menggelora itu? Laut,
Sayang. Ia amat dalam. Tapi, kamu harus tahu, masih lebih dalam lagi cinta yang
telah melahirkanmu. Lagi-lagi sepasang tangannya yang mungil itu
ditepuk-tepukkannya gembira. Kini ganti tanganmu yang membelainya.
Tapi, itu siapa, Ma?
Ooh, anakku, itulah orang-orang dan anak-anak yang
malang, Sayang. Orang-orang menyebut mereka kaum gelandangan. Makanya, jadilah
anak yang cerdas, penuhilah hatimu dengan cinta dan kasih sayang, supaya kelak
kamu bisa menolong mereka.
Ya, Mama, matanya berkaca-kaca. Kita pun menciumnya
haru dan mesra, kita berciuman haru dan mesra. Dan dunia pun terkesima. Lalu,
kita melanjutkan perjalanan di bawah naungan langit yang kian luas mengembang.
Sementara kebahagiaan kian penuh mengisi cakrawala.
Betapa pun kini kau tak ada bersamaku. Lagi pula,
tanpa pertengkaran dan perpisahan itu, mustahil pula rasanya kini aku berada di
tengah kafilah para musafir ini. Bungaku, sungguh, sebelum meninggalkan
Pelabuhan Teluk Malina dulu, keadaan seperti ini membuat hatiku demikian pilu.
Bahwa akhirnya kita tak bisa hidup bersama adalah luka yang nyaris tak
tertanggungkan pedihnya. Hanya kekuatan suci cintalah yang telah memberiku
tenaga untuk bertahan dan membiarkan anak panah yang entah telah dibidikkan
oleh tangan siapa terus menghunjam di dadaku. Kuhayati seluruh rasa sakitnya,
tanpa merintih, tanpa mengadu, bahkan kepada Tuhan. Memang, aku tak pernah bisa
berhasil dengan sempurna. Itulah sebabnya, aku terpaksa melukis sebagian
cabikan luka itu dengan darah yang menetes dari sana, kutulis rasa sakitnya
menjadi puisi, dan kusenandungkan rintihan piluku sebagai lagu.
Tapi kini, semua itu telah kutanggalkan di
Pelabuhan Teluk Malina, di Kota Lama, tempat kita bertahun-tahun terus bercumbu
diam-diam tanpa mengenal waktu. Kalau suatu hari kau sempat menemukannya
kembali di suatu galeri milik seorang teman, di toko-toko buku, atau mendengar
pengamen bis kota yang menyanyikan lukaku. Hanya itulah yang bisa kutinggalkan
sebagai kenangan untukmu. Semoga ia pun bisa menjadi hiburan bagi para kekasih
yang mengalami derita sepertiku.
Kini, aku telah tenteram dalam bentangan triliunan
mil perjalanan yang akan terus kutempuh sepanjang waktu, menuju negeri segala
kedamaian, Negeri di Balik Bulan. Beruntung aku masih menyimpan alamat kamu
sehingga aku bisa mengirim surat ini, sebagai bukti bahwa aku tetap
mengenangmu. Memang, pada akhirnya, tak ada lagi yang patut disesali. Juga apa
yang telah terjadi di antara kita.
Meski tak lagi bisa menyentuhmu, dari jauh aku
senantiasa bisa mencium kembali setiap aroma yang dulu kunikmati dari segenap
pori-pori tubuhmu. Bungaku, cinta yang suci memang tetap indah untuk dikenang.
Ia abadi. ***
0 comments:
Post a Comment