Cerpen An Ismanto
SETIAP pagi Ruben bangun tidur diiringi suara
berderit yang terdengar seperti gerit pintu rusak. Suara itu berasal dari dalam
tubuhnya, dari tulang-tulang uzur yang berjuang keras menuruti keinginan untuk
meninggalkan dipan dan segera memulai hidup. Sejenak ia tertegun, lalu beranjak
turun dari dipan dengan mengerahkan seluruh tenaga, diringi suara deritan yang
kian menjerit. Ketika berhasil berdiri di sisi dipan, sekujur tubuhnya
menggigil dan sempoyongan.
Saat
hendak membuka pintu kamar, Ruben tak bisa menghindar dari tatapan seorang
lelaki tua, seorang kakek, yang terpana kepadanya dari dalam cermin yang
tergantung di pintu. Wajah itu tampak tua sekali. Kanal-kanal tandus menggurat
dahi dan pipi. Helai-helai uban berebutan menyembul di rambut tipis yang
dipotong pendek. Di bawah hidungnya melintang kumis tipis yang juga ubanan.
Ruben memandang benci kepada kakek itu, dan kakek itu balas menatap dengan
kebencian setimpal.
Ruben memaki-maki kakek tua itu dan menyebutnya sebagai tua
bangka yang tak tahu aturan dan suka mengintip urusan pribadi orang lain. Kakek
itu menirukan apa saja yang dilakukan Ruben. Lalu Ruben membuka pintu dengan
kasar dan pergi ke kamar mandi.
Sekembali
dari kamar mandi, ia menghadapi cermin lagi. Kakek itu masih di sana, menatap
dengan tatapan benci. Buru-buru ia kenakan pakaian kerja. Lalu ia menyemir
rambut dan kumis. Tatkala ia kembali menghadapi cermin, kakek tua itu tak
kelihatan lagi. Sebagai ganti, ia mendapati wajah seorang pemuda berahang keras
yang menatap dengan mata lapar. Kumis tipis berwarna hitam melintang di bawah
hidungnya. Ruben tersenyum ramah kepada pemuda itu, dan pemuda itu balas
tersenyum ramah. Lalu Ruben berjalan ke bengkel kayu di depan kamarnya.
Bengkel
kayu itu berdiri di tepi jalan di pinggir kota, bersebelahan dengan beberapa
bengkel kayu lain. Hanya ada satu ruangan di dalam bengkel itu, yaitu ruang
utama berukuran empat kali enam meter yang berdinding papan. Di bagian depan,
ruangan itu terbuka dan berhadapan langsung dengan jalan. Ruangan itu adalah
ruang kerja Ruben sekaligus tempat penyimpanan bahan dan barang-barang pesanan
yang sudah jadi. Sebuah bangku kayu panjang terletak di tengah-tengah ruangan.
Alat-alat pertukangan berserakan di lantai semen, bercampur serbuk-serbuk kayu
dan ceceran pelitur yang menguarkan bau yang tak pernah pergi dari ruangan itu.
Ruben
mendirikan bengkel kayu itu tahun lalu, setelah jenuh dengan hari-hari tanpa
pekerjaan selama empat tahun. Tiga puluh tahun lalu ia adalah pedagang yang
berkeliling ke kampung-kampung menawarkan pakaian anak-anak dan pakaian dalam
wanita kepada ibu-ibu yang merubung dengan gembira karena ditawari
barang-barang bagus berharga murah. Lima tahun kemudian ia sudah memiliki toko.
Di tengah-tengah kesibukan mengembangkan usaha, ia menikah dengan seorang
wanita yang kemudian meninggal dibantai lever sebelum sempat memberinya anak.
Sepeninggal sang istri, ia bekerja lebih giat di tokonya dan berhasil
mendirikan belasan cabang. Setelah dua puluh tahun, ia tinggal menikmati hasil
jerih payah bertahun-tahun tanpa perlu bersusah payah lagi. Tapi pada suatu
pagi ia bangun tidur, menatap cermin, dan mendapati wajah lelaki tua itu.
Ruben
membenci wajah lelaki tua itu. Ia tak mau percaya bahwa wajah di cermin itu adalah
wajahnya karena ia tak pernah merasa bertambah tua. Ia selalu merasa muda dan
penuh semangat. Sejak istrinya meninggal, Ruben sering kelayapan ke
tempat-tempat mesum di tengah kota, dan tak sedikit wanita yang semula ditiduri
dengan bayaran malah memberikan waktu ekstragratis kepadanya. Mereka pasti mau
tidur dengan lelaki matang yang sanggup bercinta semalam suntuk, yang sakunya
gembung dan kumis hitamnya melintang tipis. Tapi keriangan di tempat-tempat
mesum itu tak memadamkan kegelisahan Ruben. Setiap kali menghadapi cermin,
Ruben selalu mendapati wajah lelaki tua itu.
Lalu
ia teringat bahwa sebelum menjadi pedagang pernah belajar menukang pada seorang
tukang kayu. Karena pekerjaan itu kurang menguntungkan, ia beralih menjadi
pedagang. Ketika wajah kakek tua itu makin membikinnya gelisah, ia memutuskan
untuk mencoba lagi teknik-teknik pertukangan yang masih dapat diingat dengan
membuat sebuah almari. Hasilnya tak mengecewakan. Lalu ia memutuskan mendirikan
sebuah bengkel kayu.
Bengkel
kayu itu membuat Ruben tetap muda dan bersemangat. Ruben bekerja dengan tekun
dan penuh semangat seperti seorang pemuda, dan bengkel kayunya menjadi bengkel
kayu terbaik di kota itu. Hanya bengkelnya yang buka sepuluh jam sehari, tujuh
hari seminggu. Hari Minggu pun Ruben tetap membuka bengkel, mengabaikan saran
beberapa tetangganya agar ia beristirahat pada hari Minggu. Toh selalu ada hari
esok. Kenapa ia tidak berpakaian rapi dan mengikuti misa Minggu saja? Bagi
Ruben, mereka tak memahami persoalan. Ia memang percaya bahwa hari esok selalu
ada. Tapi Tuhan tak pernah turut campur dalam kehidupan Ruben, jadi kenapa ia
harus memuja Tuhan? Ia dulu sukses sebagai pedagang pakaian karena kerja
kerasnya. Lagipula Kristus adalah tukang kayu, sama dengan dia sekarang. Jadi,
apa yang istimewa dari Kristus?
Lambat
laun rasa cinta pada bengkelnya tumbuh dalam diri Ruben. Lalu ia memutuskan
tinggal di belakang bengkel kayu itu.
***
Pada
suatu pagi di hari Minggu, Ruben bangun dengan iringan suara berderit yang
biasanya, bertengkar dengan lelaki tua di cermin, mandi, menyemir rambut dan
kumisnya, tersenyum ramah kepada pemuda berahang keras di cermin, dan kemudian
pergi ke bengkel kayunya. Tatkala ia berdiri di depan bengkel, cahaya matahari
pukul tujuh pagi yang hangat menyentuh wajahnya. Pom bensin di seberang jalan
masih sepi. Ada timbunan sampah di dekat pintu keluar pom, menunggu diangkut
truk sampah Dinas Kebersihan. Jalan aspal tampak bersih dan legam. Pada
hari-hari biasa, jalan di depan bengkel itu ramai oleh kendaraan yang melintas
bergegas-gegas. Tapi pada hari Minggu jalan itu lengang.
Sebuah
sedan hitam merambat malas-malasan ke arah luar kota. Seorang perempuan cantik
berkacamata hitam memegang kemudi sambil celingukan. Sedan itu disalib sebuah
Kijang yang meluncur cepat. Dua orang bocah saling lempar boneka dan
meloncat-loncat riang di jok belakang. Setelah kedua mobil itu tak kelihatan,
dua orang gadis berpakaian olahraga berlari-lari kecil dari arah luar kota.
Mereka berlari sangat pelan, hingga seorang pemuda tegap dengan kaki kukuh dan
berotot menyalib mereka. Lalu jalan kembali lengang.
Hari
Minggu memang hari istirahat bagi semua orang. Tetapi tidak bagi Ruben. Tiga
hari lalu seorang ibu tua memesan sebuah almari pakaian dan Ruben berjanji
menyelesaikan pada hari Minggu itu. Setelah truk Dinas Kebersihan mengangkut
sampah di depan pom, Ruben segera mengambil peralatan dan sebentar kemudian
sudah tenggelam dalam pekerjaannya.
Ia
baru bekerja sepuluh atau lima belas menit ketika sebuah sedan hitam berhenti
di depan bengkel. Ruben mendongak. Seorang gadis cantik membuka pintu. Gadis
itu berkacamata hitam dan menjinjing sebuah kantong plastik hitam. Ketika si
gadis melangkah ke dalam bengkel, Ruben meninggalkan pekerjaannya dan mendekati
gadis itu.
"Ada
yang bisa saya bantu?"
"Saya
mau memperbaiki ini," kata gadis itu sambil mengeluarkan sebuah benda dari
kantong plastik. Ia mengangsurkan benda itu kepada Ruben.
Ruben
memperhatikan benda di tangannya. Sebuah patung kayu Pinokio yang tingginya
cuma sejengkal. Seluruh tubuhnya berlapis warna pelitur. Tapi ada yang ganjil
pada Pinokio itu. Hidungnya rompal. Matanya membelalak menatap hidung yang
rompal, seakan-akan terkejut karena kehilangan hidung yang telah membuatnya
terkenal. Tangan kirinya buntung di bagian bahu, hingga cuma punya tangan kanan
yang terentang lebar dan memegang sebuah baling-baling kecil.
"Gampang
kan, Pak? Cuma memperbaiki tangan dan hidungnya kok," kata gadis itu
sambil mengeluarkan potongan tangan dan hidung dari kantong plastik.
Ruben
menggeleng-geleng. Lalu, sambil mengulurkan patung rusak itu kepada si gadis,
ia berkata, "Seharusnya Anda ke tukang pahat kayu."
Tapi
si gadis tak menerima patung itu. "Saya sudah mencari tukang pahat, tapi
tak ada yang buka. Cuma kios Bapak yang buka. Tadi saya lewat sini, tapi kios
Bapak belum buka. Tolonglah, Pak, saya sudah putus asa."
"Saya
tukang kayu, bukan tukang reparasi patung rusak."
Gadis
itu melepas kacamata dan berkata kepada Ruben dengan nada bingung, "Itu
hadiah ulang tahun yang harus saya serahkan pagi ini. Saya sudah berjanji
memberikan hadiah itu setelah acara tiup lilin. Itu hadiah yang
ditunggu-tunggu."
Ruben
terdiam.
"Mungkin
hidungnya bisa diberi lem. Saya coba dulu," kata Ruben. Ia mengambil
potongan tangan dan hidung dari si tangan gadis itu melangkah ke bangku
kerjanya. Ia mengoleskan lem kayu pada pangkal hidung dan merekatkan pada wajah
Pinokio. Lalu, sambil mengoleskan lem kayu pada bahu Pinokio yang buntung,
Ruben melirik gadis itu.
Gadis
itu bersandar di dinding dan bermain-main dengan handphone. Ia mengenakan
kau ketat berwarna putih yang melengkung rendah di bagian dada, memperlihatkan
belahan dada yang membusung gemuk. Bau parfumnya menguar di seluruh penjuru
ruangan, mengalahkan bau kayu dan pelitur. Ia tampak ranum, seperti bunga mawar
muda yang kuncupnya sedang terurai sedikit demi sedikit, menunggu-nunggu
dihinggapi kumbang terbaik. Gadis dari jenis yang bisa membikin laki-laki mana
saja gila, gumam Ruben. Ketika Ruben mengangkat badan Pinokio untuk merekatkan
tangan kiri patung itu, pandangannya terhenti pada belahan dada si gadis. Ia
mendongak. Gadis itu sedang menatapnya. Selama beberapa jenak mereka
bersitatap, lalu gadis itu membalikkan badan dan memandangi pom bensin. Ruben
mempercepat pemasangan tangan kiri Pinokio. Tak sampai lima menit, pekerjaan
itu selesai. Hasilnya mengecewakan. Tangan kiri Pinokio kelihatan pengkor dan
hidungnya patah lagi ketika Ruben menyentilnya.
Ruben
mengangkat bahu. "Maaf," katanya sambil mengangsurkan Pinokio kepada
gadis itu.
Gadis
itu memandang Pinokio di tangannya dengan tatapan sedih. Ia tampak seperti
hendak menangis. Lalu gadis itu berkata dengan suara terbata-bata, "Anak
itu tak pernah kenal ayahnya. Dia cuma menginginkan sebuah patung kayu Pinokio.
Dia melihatnya di rumah salah seorang temannya. Kata temannya itu hadiah ulang
tahun. Dia merengek-rengek kepada saya minta hadiah seperti itu. Dia tak kenal
ayahnya."
Ruben
cuma terdiam ketika mendengarkan cerita gadis itu.
Gadis
itu menangis sesenggukan.
Ruben
mendekati gadis itu dan mengambil Pinokio. "Patung ini sulit diperbaiki
lagi. Mungkin saya bisa membuat yang seperti ini kalau ada waktu lebih."
Gadis
itu mendongakkan kepala. Matanya yang basah berbinar-binar.
"Sungguh?
Berapa jam? Satu jam? Dua jam?"
"Dua
jam mungkin cukup."
Gadis
itu melihat jam tangannya. "Mmm, sekarang pukul delapan tiga lima. Anggap
saja pukul setengah sembilan. Berarti saya kembali ke sini pukul setengah
sebelas. Acara dimulai pukul delapan, terus makan-makan, permainan, tiup lilin.
Tiup lilin mungkin pukul sebelas. Masih ada waktu."
Ruben
mengangguk-angguk. Sesekali matanya hinggap ke belahan dada si gadis.
"Baik.
Saya ke sini lagi pukul setengah sebelas. Sekarang saya harus segera ke
perayaan itu. Saya sudah telat. Terima kasih, Pak. Saya pamit dulu."
Sambil
memegangi Pinokio, Ruben mengantar tamunya ke pintu. Gadis itu berjalan dengan
pinggul bergoyang menggairahkan. Ia meninggalkan bau parfumnya pada setiap
jengkal langkahnya.
Ruben
bertanya, "Anak itu anak siapa?"
Gadis
itu menjawab sambil membuka pintu mobilnya, "Anak saya." Lalu ia
mengangguk dengan sopan kepada Ruben dan menghilang ke dalam mobilnya.
Ruben memandang sedan
itu merambat meninggalkan depan bengkel. Setelah sedan menghilang, ia
memandangi Pinokio berlengan pengkor di tangannya. Tatkala mengurutkan jarinya
pada hidung Pinokio yang patah, mata Ruben berkaca-kaca. Sesaat kemudian ia
menangis sesenggukan.
0 comments:
Post a Comment