Tuesday, 24 June 2014

Tukang Kayu dan Pinokio


 

Cerpen An Ismanto
 
SETIAP pagi Ruben bangun tidur diiringi suara berderit yang terdengar seperti gerit pintu rusak. Suara itu berasal dari dalam tubuhnya, dari tulang-tulang uzur yang berjuang keras menuruti keinginan untuk meninggalkan dipan dan segera memulai hidup. Sejenak ia tertegun, lalu beranjak turun dari dipan dengan mengerahkan seluruh tenaga, diringi suara deritan yang kian menjerit. Ketika berhasil berdiri di sisi dipan, sekujur tubuhnya menggigil dan sempoyongan.
Saat hendak membuka pintu kamar, Ruben tak bisa menghindar dari tatapan seorang lelaki tua, seorang kakek, yang terpana kepadanya dari dalam cermin yang tergantung di pintu. Wajah itu tampak tua sekali. Kanal-kanal tandus menggurat dahi dan pipi. Helai-helai uban berebutan menyembul di rambut tipis yang dipotong pendek. Di bawah hidungnya melintang kumis tipis yang juga ubanan. Ruben memandang benci kepada kakek itu, dan kakek itu balas menatap dengan kebencian setimpal.
Ruben memaki-maki kakek tua itu dan menyebutnya sebagai tua bangka yang tak tahu aturan dan suka mengintip urusan pribadi orang lain. Kakek itu menirukan apa saja yang dilakukan Ruben. Lalu Ruben membuka pintu dengan kasar dan pergi ke kamar mandi.
Sekembali dari kamar mandi, ia menghadapi cermin lagi. Kakek itu masih di sana, menatap dengan tatapan benci. Buru-buru ia kenakan pakaian kerja. Lalu ia menyemir rambut dan kumis. Tatkala ia kembali menghadapi cermin, kakek tua itu tak kelihatan lagi. Sebagai ganti, ia mendapati wajah seorang pemuda berahang keras yang menatap dengan mata lapar. Kumis tipis berwarna hitam melintang di bawah hidungnya. Ruben tersenyum ramah kepada pemuda itu, dan pemuda itu balas tersenyum ramah. Lalu Ruben berjalan ke bengkel kayu di depan kamarnya.
Bengkel kayu itu berdiri di tepi jalan di pinggir kota, bersebelahan dengan beberapa bengkel kayu lain. Hanya ada satu ruangan di dalam bengkel itu, yaitu ruang utama berukuran empat kali enam meter yang berdinding papan. Di bagian depan, ruangan itu terbuka dan berhadapan langsung dengan jalan. Ruangan itu adalah ruang kerja Ruben sekaligus tempat penyimpanan bahan dan barang-barang pesanan yang sudah jadi. Sebuah bangku kayu panjang terletak di tengah-tengah ruangan. Alat-alat pertukangan berserakan di lantai semen, bercampur serbuk-serbuk kayu dan ceceran pelitur yang menguarkan bau yang tak pernah pergi dari ruangan itu.
Ruben mendirikan bengkel kayu itu tahun lalu, setelah jenuh dengan hari-hari tanpa pekerjaan selama empat tahun. Tiga puluh tahun lalu ia adalah pedagang yang berkeliling ke kampung-kampung menawarkan pakaian anak-anak dan pakaian dalam wanita kepada ibu-ibu yang merubung dengan gembira karena ditawari barang-barang bagus berharga murah. Lima tahun kemudian ia sudah memiliki toko. Di tengah-tengah kesibukan mengembangkan usaha, ia menikah dengan seorang wanita yang kemudian meninggal dibantai lever sebelum sempat memberinya anak. Sepeninggal sang istri, ia bekerja lebih giat di tokonya dan berhasil mendirikan belasan cabang. Setelah dua puluh tahun, ia tinggal menikmati hasil jerih payah bertahun-tahun tanpa perlu bersusah payah lagi. Tapi pada suatu pagi ia bangun tidur, menatap cermin, dan mendapati wajah lelaki tua itu.
Ruben membenci wajah lelaki tua itu. Ia tak mau percaya bahwa wajah di cermin itu adalah wajahnya karena ia tak pernah merasa bertambah tua. Ia selalu merasa muda dan penuh semangat. Sejak istrinya meninggal, Ruben sering kelayapan ke tempat-tempat mesum di tengah kota, dan tak sedikit wanita yang semula ditiduri dengan bayaran malah memberikan waktu ekstragratis kepadanya. Mereka pasti mau tidur dengan lelaki matang yang sanggup bercinta semalam suntuk, yang sakunya gembung dan kumis hitamnya melintang tipis. Tapi keriangan di tempat-tempat mesum itu tak memadamkan kegelisahan Ruben. Setiap kali menghadapi cermin, Ruben selalu mendapati wajah lelaki tua itu.
Lalu ia teringat bahwa sebelum menjadi pedagang pernah belajar menukang pada seorang tukang kayu. Karena pekerjaan itu kurang menguntungkan, ia beralih menjadi pedagang. Ketika wajah kakek tua itu makin membikinnya gelisah, ia memutuskan untuk mencoba lagi teknik-teknik pertukangan yang masih dapat diingat dengan membuat sebuah almari. Hasilnya tak mengecewakan. Lalu ia memutuskan mendirikan sebuah bengkel kayu.
Bengkel kayu itu membuat Ruben tetap muda dan bersemangat. Ruben bekerja dengan tekun dan penuh semangat seperti seorang pemuda, dan bengkel kayunya menjadi bengkel kayu terbaik di kota itu. Hanya bengkelnya yang buka sepuluh jam sehari, tujuh hari seminggu. Hari Minggu pun Ruben tetap membuka bengkel, mengabaikan saran beberapa tetangganya agar ia beristirahat pada hari Minggu. Toh selalu ada hari esok. Kenapa ia tidak berpakaian rapi dan mengikuti misa Minggu saja? Bagi Ruben, mereka tak memahami persoalan. Ia memang percaya bahwa hari esok selalu ada. Tapi Tuhan tak pernah turut campur dalam kehidupan Ruben, jadi kenapa ia harus memuja Tuhan? Ia dulu sukses sebagai pedagang pakaian karena kerja kerasnya. Lagipula Kristus adalah tukang kayu, sama dengan dia sekarang. Jadi, apa yang istimewa dari Kristus?
Lambat laun rasa cinta pada bengkelnya tumbuh dalam diri Ruben. Lalu ia memutuskan tinggal di belakang bengkel kayu itu.
***
Pada suatu pagi di hari Minggu, Ruben bangun dengan iringan suara berderit yang biasanya, bertengkar dengan lelaki tua di cermin, mandi, menyemir rambut dan kumisnya, tersenyum ramah kepada pemuda berahang keras di cermin, dan kemudian pergi ke bengkel kayunya. Tatkala ia berdiri di depan bengkel, cahaya matahari pukul tujuh pagi yang hangat menyentuh wajahnya. Pom bensin di seberang jalan masih sepi. Ada timbunan sampah di dekat pintu keluar pom, menunggu diangkut truk sampah Dinas Kebersihan. Jalan aspal tampak bersih dan legam. Pada hari-hari biasa, jalan di depan bengkel itu ramai oleh kendaraan yang melintas bergegas-gegas. Tapi pada hari Minggu jalan itu lengang.
Sebuah sedan hitam merambat malas-malasan ke arah luar kota. Seorang perempuan cantik berkacamata hitam memegang kemudi sambil celingukan. Sedan itu disalib sebuah Kijang yang meluncur cepat. Dua orang bocah saling lempar boneka dan meloncat-loncat riang di jok belakang. Setelah kedua mobil itu tak kelihatan, dua orang gadis berpakaian olahraga berlari-lari kecil dari arah luar kota. Mereka berlari sangat pelan, hingga seorang pemuda tegap dengan kaki kukuh dan berotot menyalib mereka. Lalu jalan kembali lengang.
Hari Minggu memang hari istirahat bagi semua orang. Tetapi tidak bagi Ruben. Tiga hari lalu seorang ibu tua memesan sebuah almari pakaian dan Ruben berjanji menyelesaikan pada hari Minggu itu. Setelah truk Dinas Kebersihan mengangkut sampah di depan pom, Ruben segera mengambil peralatan dan sebentar kemudian sudah tenggelam dalam pekerjaannya.
Ia baru bekerja sepuluh atau lima belas menit ketika sebuah sedan hitam berhenti di depan bengkel. Ruben mendongak. Seorang gadis cantik membuka pintu. Gadis itu berkacamata hitam dan menjinjing sebuah kantong plastik hitam. Ketika si gadis melangkah ke dalam bengkel, Ruben meninggalkan pekerjaannya dan mendekati gadis itu.
"Ada yang bisa saya bantu?"
"Saya mau memperbaiki ini," kata gadis itu sambil mengeluarkan sebuah benda dari kantong plastik. Ia mengangsurkan benda itu kepada Ruben.
Ruben memperhatikan benda di tangannya. Sebuah patung kayu Pinokio yang tingginya cuma sejengkal. Seluruh tubuhnya berlapis warna pelitur. Tapi ada yang ganjil pada Pinokio itu. Hidungnya rompal. Matanya membelalak menatap hidung yang rompal, seakan-akan terkejut karena kehilangan hidung yang telah membuatnya terkenal. Tangan kirinya buntung di bagian bahu, hingga cuma punya tangan kanan yang terentang lebar dan memegang sebuah baling-baling kecil.
"Gampang kan, Pak? Cuma memperbaiki tangan dan hidungnya kok," kata gadis itu sambil mengeluarkan potongan tangan dan hidung dari kantong plastik.
Ruben menggeleng-geleng. Lalu, sambil mengulurkan patung rusak itu kepada si gadis, ia berkata, "Seharusnya Anda ke tukang pahat kayu."
Tapi si gadis tak menerima patung itu. "Saya sudah mencari tukang pahat, tapi tak ada yang buka. Cuma kios Bapak yang buka. Tadi saya lewat sini, tapi kios Bapak belum buka. Tolonglah, Pak, saya sudah putus asa."
"Saya tukang kayu, bukan tukang reparasi patung rusak."
Gadis itu melepas kacamata dan berkata kepada Ruben dengan nada bingung, "Itu hadiah ulang tahun yang harus saya serahkan pagi ini. Saya sudah berjanji memberikan hadiah itu setelah acara tiup lilin. Itu hadiah yang ditunggu-tunggu."
Ruben terdiam.
"Mungkin hidungnya bisa diberi lem. Saya coba dulu," kata Ruben. Ia mengambil potongan tangan dan hidung dari si tangan gadis itu melangkah ke bangku kerjanya. Ia mengoleskan lem kayu pada pangkal hidung dan merekatkan pada wajah Pinokio. Lalu, sambil mengoleskan lem kayu pada bahu Pinokio yang buntung, Ruben melirik gadis itu.
Gadis itu bersandar di dinding dan bermain-main dengan handphone. Ia mengenakan kau ketat berwarna putih yang melengkung rendah di bagian dada, memperlihatkan belahan dada yang membusung gemuk. Bau parfumnya menguar di seluruh penjuru ruangan, mengalahkan bau kayu dan pelitur. Ia tampak ranum, seperti bunga mawar muda yang kuncupnya sedang terurai sedikit demi sedikit, menunggu-nunggu dihinggapi kumbang terbaik. Gadis dari jenis yang bisa membikin laki-laki mana saja gila, gumam Ruben. Ketika Ruben mengangkat badan Pinokio untuk merekatkan tangan kiri patung itu, pandangannya terhenti pada belahan dada si gadis. Ia mendongak. Gadis itu sedang menatapnya. Selama beberapa jenak mereka bersitatap, lalu gadis itu membalikkan badan dan memandangi pom bensin. Ruben mempercepat pemasangan tangan kiri Pinokio. Tak sampai lima menit, pekerjaan itu selesai. Hasilnya mengecewakan. Tangan kiri Pinokio kelihatan pengkor dan hidungnya patah lagi ketika Ruben menyentilnya.
Ruben mengangkat bahu. "Maaf," katanya sambil mengangsurkan Pinokio kepada gadis itu.
Gadis itu memandang Pinokio di tangannya dengan tatapan sedih. Ia tampak seperti hendak menangis. Lalu gadis itu berkata dengan suara terbata-bata, "Anak itu tak pernah kenal ayahnya. Dia cuma menginginkan sebuah patung kayu Pinokio. Dia melihatnya di rumah salah seorang temannya. Kata temannya itu hadiah ulang tahun. Dia merengek-rengek kepada saya minta hadiah seperti itu. Dia tak kenal ayahnya."
Ruben cuma terdiam ketika mendengarkan cerita gadis itu.
Gadis itu menangis sesenggukan.
Ruben mendekati gadis itu dan mengambil Pinokio. "Patung ini sulit diperbaiki lagi. Mungkin saya bisa membuat yang seperti ini kalau ada waktu lebih."
Gadis itu mendongakkan kepala. Matanya yang basah berbinar-binar.
"Sungguh? Berapa jam? Satu jam? Dua jam?"
"Dua jam mungkin cukup."
Gadis itu melihat jam tangannya. "Mmm, sekarang pukul delapan tiga lima. Anggap saja pukul setengah sembilan. Berarti saya kembali ke sini pukul setengah sebelas. Acara dimulai pukul delapan, terus makan-makan, permainan, tiup lilin. Tiup lilin mungkin pukul sebelas. Masih ada waktu."
Ruben mengangguk-angguk. Sesekali matanya hinggap ke belahan dada si gadis.
"Baik. Saya ke sini lagi pukul setengah sebelas. Sekarang saya harus segera ke perayaan itu. Saya sudah telat. Terima kasih, Pak. Saya pamit dulu."
Sambil memegangi Pinokio, Ruben mengantar tamunya ke pintu. Gadis itu berjalan dengan pinggul bergoyang menggairahkan. Ia meninggalkan bau parfumnya pada setiap jengkal langkahnya.
Ruben bertanya, "Anak itu anak siapa?"
Gadis itu menjawab sambil membuka pintu mobilnya, "Anak saya." Lalu ia mengangguk dengan sopan kepada Ruben dan menghilang ke dalam mobilnya.
Ruben memandang sedan itu merambat meninggalkan depan bengkel. Setelah sedan menghilang, ia memandangi Pinokio berlengan pengkor di tangannya. Tatkala mengurutkan jarinya pada hidung Pinokio yang patah, mata Ruben berkaca-kaca. Sesaat kemudian ia menangis sesenggukan.

0 comments:

Post a Comment