Cerpen: Alimuddin
Sumber: Republika, Edisi 10/30/2005 Post:
11/16/2005 Disimak: 69 kali
________________________________________
Sudah dari dulu niat
sungguh-sungguh itu terbesit di benak Nek Yam -- ingin sekali mengunjungi
Jakarta.
Tak tahu Nek Yam sebabnya apa.
Entah jin apa pula yang telah membisikkan hasrat itu. Yang jelas, keinginan itu
kian menggebu saja tiap malam dan siang bertukar.
Jakarta menurut bayangan Nek Yam
adalah kota yang sangat indah. Seperti yang kerap disaksikannya pada teve si
Syam, tetangga dekat rumahnya -- malam hari penuh terang dengan lampu-lampu
cantik terpajang di sepanjang jalan. Pun gedung-gedung yang tingginya seratus
kali, malah lebih, dari gubuk reotnya.
Berharap sekali Nek Yam dapat
merengkuh indah itu. Ingin kakinya terjejak di tanah Jakarta itu, meski cuma
sekali selama masa hayatnya.
Sayang tapi, niat itu tak pernah
terwujud. Apalagi kini kondisinya sebatang kara setelah ditinggal mati suaminya
tujuh tahun lalu. Angan itu laksana pungguk rindukan bulan. Semasa ada suaminya
pun, angan itu tak sanggup terjelma, apalagi tanpa lelaki itu kini.
Namun, lintas hidup seorang
manusia tak dapat diterka oleh siapa pun. Nek Yam tak pernah menyangka jikalau
hasratnya itu bisa terkabul juga akhirnya. Manakala usianya kian uzur pula.
Kala itu, tanah kelahiran Nek
Yam, Tanoh Seuramoe Mekkah, ditimpa bencana teramat dahsyat. Banyak orang
menyebutnya
'tsunami'.
Tsunami adalah air bah hitam yang
berarus kuat dan mempunyai ombak yang sungguh tinggi. Cerita orang yang sempat
melihat langsung, tinggi ombak itu nyaris sepadan dengan tiga kali tiang
listrik. Mengerikan!
Tsunami itu telah meratakan
sejajar tanah seluruh perumahan di tanah Aceh. Gubuk reot Nek Yam, yang
berlokasi di Alue Naga, tak luput dari terjangan air bah hitam itu. Nek Yan
beruntung meski, saat naas itu datang, kebetulan sosok itu tengah berada di
Tanjung Selamat -- salah satu kawasan yang tak terjamah tsunami. Jika tidak,
mungkin tubuh Nek Yam termasuk salah satu dari ratusan ribu manusia yang telah
dipanggil oleh-Nya dalam tempo sekitar tujuh menit.
Empat hari baru usia bencana itu,
manakala Nek Yam menjejakkan sepasang kakinya kembali ke Alue Naga, ingin
melihat kondisi gubuk mungilnya. Namun hanya hampa yang terbentang luas di
sana. Tanpa satu sisi rumah pun.
Seluruhnya telah dijarah paksa
oleh tsunami.
Terpaku Nek Yam menatap
pemandangan langka itu. Berdiri di manakah dia, tak tahu Nek Yam, sebab halaman
di Alue Naga tak lagi berbatas pagar ataupun lainnya. Pun Nek Yam tak tahu juga
di mana bekas rumahnya dulu. Tampak tersatukan semuanya.
Lama keterpakuan itu menaungi
tiap inci dari tubuh senja Nek Yam. Pikiran itu terbayang panjang. Melamun, tak
sadar hadir sendiri. Desah nafas berat berantrian sesak untuk mengudara.
Baru tersentak Nek Yam tatkala
mampir tepukan halus di pundaknya. Menoleh lekas Nek Yam, ternyata seorang
gadis muda cantik yang telah menepuk pundaknya barusan.
Terjadi percakapan serius di
antara dua wanita yang berbeda generasi itu. Untung Nek Yam mahfum dengan
bicara perempuan yang menggunakan bahasa Indonesia itu, meski wanita senja itu
tak terlalu fasih bercakap dalam bahasa itu.
Dari pembicaraan itu tahulah Nek
Yam, kalau perempuan muda itu bernama Leni Marlina. Non Leni, begitu Nek Yam
menyapa gadis itu, atas suruhan gadis itu sendiri. Tahu juga Nek Yam, bila Non
Leni itu datang dari Jakarta.
Manakala mendengar Jakarta, angan
Nek Yam kembali terbit setelah terselubung banyak hal sebelumnya. Ingin sekali
Nek Yam bersimpuh di hadapan gadis yang sepertinya belum menikah itu, memohon
agar sosok itu membawanya ke Jakarta saat dia pulang ke sana nanti.
Malu tapi Nek Yam untuk melakukan
itu, sebab gadis itu bukanlah apa-apanya. Kenal pun, dalam tempo singkat. Niat
itu akhirnya hanya terbiarkan terkubur jauh di dalam relung hati Nek Yam.
Saat perjumpaan untuk kali kedua
dengan gadis itu, juga di Alue Naga, nurani Nek Yam masih serupa -- sungguh
ingin mengeluarkan unek terpendamnya. Tapi kembali ganjal itu tak sanggup
teterbangkan juga.
Hari ke sembilan setelah tsunami,
pertemuan itu berulang. Lama keduanya berbicara lebar. Gadis itu bertanya
tentang keluarga Nek Yam. Nek Yam agak tersendat menggulir cerita. Dia
mengatakan bahwa dirinya sudah lama hidup sebatang kara. Tanpa suami dan juga
anak.
Perempuan itu tampak terkejut
mendengar penuturan Nek Yam. Juga gadis itu menanyakan, akan kemanakah Nem Yam
setelah rumahnya tak lagi ada. "Mungkin saya akan tinggal di
pengungsian."
Untuk kedua kalinya, gadis muda
itu tampak terkejut mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Nek Yam. Terbisu
sesaat. Entah hal apa yang tengah berkecamuk dalam pikiran gadis itu.
"Ibu mau ikut saya ke
Jakarta?" tak dinyana rangkai kata itu terlontar dari mulut gadis di depan
Nek Yam.
Andaikata masih kuat, maunya Nek
Yam berjingkrak-jingkrak saat kupingnya menangkap bunyi barusan.
"Apa, Non?" takutnya
Nek Yam salah dengar.
"Apa ibu mau ikut saya ke
Jakarta?" tak salah rupanya indera pendengaran Nek Yam.
Tak menunggu ulang untuk ketiga
kalinya, sebuah anggukan cepat dan beriring senyum paling bahagia, terpasang di
kepala Nek Yam.
Nek Yam diajak ke Jakarta!
Berangkatlah Nek Yam dan gadis
muda itu ke Jakarta dengan menggunakan pesawat terbang kelas paling ekslusif.
Luar biasa senangnya Nek Yam bisa berada di dalam tranportasi udara itu. Selama
di perjalanan, tak henti perempuan senja itu berceloteh kegirangan.
Tiba di Jakarta, girang Nek Yam
total sudah -- tak menduga sama sekali bila tanah kota impiannya berada di
bawah sepasang telapak kakinya kini. Seperti sedang bermimpi saja rasanya.
Teriak kagum keras terdengar dari mulut Nek Yam manakala gadis muda itu
menunjuk ke arah bangunan tinggi besar sebagai
rumahnya.
"Rumah Non Leni seperti
istana." Seru itu hanya berbalas senyum pelan dari bibir perempuan muda
itu.
Selama di Jakarta Nek Yam dibawa
jalan-jalan ke mana saja yang Nek Yam mau oleh gadis muda itu. Nek Yam sudah
pergi ke Monas, ternyata Monas jauh lebih cantik dari yang ia tengok di teve.
Juga Nek Yam sudah pergi ke Bundaran HI, banyak sekali mobil di bundaran itu
rupanya. Tak lupa Nek Yam menyempatkan untuk berfoto-foto di tempat-tempat yang
telah dikunjunginya itu.
Pun telah dibeli aneka barang
oleh gadis itu untuk Nek Yam. Beragam baju dan rok yang bagus-bagus dan tentu
saja mahal, telah kuasa dimiliki oleh Nek Yam. Bahkan rok yang sedikit di bawah
lutut, sudah pernah dicoba oleh tubuh wanita itu. Dan, Nek Yam merasa bahwa
dirinya jauh kelihatan awet muda kala memakai rok itu.
Rasa bahagia tak terhingga
merayap di hati renta itu. Waktu tiga bulan telah Nek Yam habiskan di Jakarta.
Tak terasa sedikit pun. Roda waktu seolah berputar cepat sekali. Banyak
pengalaman baru yang sudah didapatkan Nek Yam selama rentang waktu tersebut
berada di kota mimpinya itu. Termaktub salah satunya yang paling berkesan
buatnya, tatkala dia mendapat perhatian yang luar biasa dari orang banyak
begitu tahu kalau dirinya berasal dari Aceh.
Bukan hal yang jarang ketika Nek
Yam bersama Non Leni pergi ke supermarket atau ke tempat lainnya, tubuh Nek Yam
segera dipeluk oleh ibu-ibu yang tak dikenalnya sama sekali. Sebab mereka tahu
kalau Nek Yam berasal dari Serambi Mekkah.
Puas sudah hati Nek Yam. Jakarta,
kota angannya bahkan semenjak dari masa daranya dulu, telah berhasil
ditaklukkan dalam tempo sekarang. Dan, Nek Yam merasa, puasnya cukup sudah,
tiba masa baginya untuk balik kembali ke kampung halamannya. Sebab dari semula,
Nek Yam memang tak pernah berminat untuk menatap di kota itu, hanya sekadar
mengunjungi saja. Tak lebih dari itu.
Diantar oleh gadis muda yang
membawanya dulu, dengan tetap menumpang pesawat terbang kelas paling ekslusif,
Nek Yam bertolak ke tanah kelahirannya.
Sumringah betul nenek tua itu
manakala kakinya terjejak kembali di tanah Aceh yang masih amburadul itu.
Setelah turun dari pesawat, lekas menumpang kenderaan umum, gadis muda itu
mengantar Nek Yam ke camp pengungsian yang berlokasi di Darusallam seperti
permintaan Nek Yam sendiri. Katanya, ada kerabatnya di sana.
Sesampai di camp pengungsian
Darusallam, Nek Yam yang hari itu memakai baju berlengan pendek warna pink,
serta dipadu dengan rok pendek bewarna merah menyala, sontak segera menjadi
pusat perhatian banyak orang. Penampilannya memang mencolok sekali di antara
mereka.
Bisik-bisik menjalar cepat.
Banyak yang kenal dengan Nek Yam nyatanya. Lirih-lirih pelan yang mendengungkan
nama Nek Yam kerap terdengar, meski tak terlalu gamblang.
Mata kabur Nek Yam menatap sosok
tergopoh-gopoh yang teramat di kenalnya menuju ke arahnya.
"Nek Yam, pajan trok?"
wanita paruh baya itu tampak bahagia sekali. Namun saat diperhatikan seksama
penampilan sosok di depannya, senyum yang sudah terekah lepas, tiba-tiba raib
cepat.
"Keujeut meunoe droe
neuh?" desak wanita itu lagi, masih heran. Nek Yam terbisu. Tak sepotong
huruf pun keluar dari mulutnya.
"Peue yang terjadi dengon
droe neuh?" ulang tanya wanita itu lagi.
Kali ini Nek Yam mengeryitkan
kening, simbol bahwa dia tak mengerti apa yang sedang dibicarakan oleh lawan
bicaranya. Nek Yam berlagak tak bisa lagi berbahasa Aceh.
"Bajee droe neuh keujeut
meunoe?" rasa heran perempuan itu belum terjawab setitik pun. Masih
berbalas bisu dari mulut Nek Yam.
"Han jeut lee bahasa Aceh
nyeuh?" agak menerka nada itu.
Nek Yam masih tak menjawab juga.
Dalam hati saja dia mengangguk dan menjawab lontar tanya si Munah.
Ya, sebab saya sudah ke Jakarta.
Banda Aceh, 21 Juni 2005
1. Tanoh Seuramoe Mekkah: Tanah
Serambi Mekkah
2. Keujeut meunoe droe neuh?:
mengapa begini anda?
3. Peue yang terjadi dengon droe
neuh?: apa yang terjadi dengan anda?
4. Bajee droe neuh keujeut
meunoe?: baju anda mengapa begini?
5. Han jeut lee bahasa Aceh
nyeuh?: tidak bisa lagi bahasa Aceh ya?
0 comments:
Post a Comment