Cerita Aris Kurniawan
TUESDAY, AUGUST 30, 2005
Jalanan sepi dan basah, kawan.
Tetapi, lampu-lampu jalanan kiranya masih menyala kala itu, sehingga paras
pucat perempuan itu sempat tertangkap meski tidak terlalu jelas lantaran cahaya
lampu terhalang ranting akasia. Hujan sudah selesai, tetapi udara tentu saja
sangat dingin. Tanpa hujan pun udara malam tetap dingin, bukan? Maafkan kalau
aku kelihatan sok tahu, kawan. Kau tentu boleh tak setuju dengan bermacam
ungkapan atau perumpamaan yang kubuat dalam menceritakan semua ini.
Ia meletakkan bokongnya di bangku
halte dengan cemas yang deras menggerayangi perasaannya. Jemari tangannya yang
lentik terawat meremas-remas sapu tangan basah yang digunakan untuk menyeka
wajah dan rambutnya. Sebuah tas kecil terbuat dari kulit berwarna coklat
talinya masih nyangkol di bahu, dikempit ketiaknya. Kopor hitam didekap kedua
lututnya yang gemetar. Cahaya temaram menyembunyikan tubuhnya yang menggigil
dibungkus jaket dan kaus hitam ketat. Kecemasan makin deras, sukar dibendung.
Ia sering mengalami kecemasan. Tapi kali ini baru dialami sepanjang hidupnya.
Ia urung membakar sisa rokok yang
tinggal sebatang-batangnya. Dimasukkannya kembali rokok itu ke dalam saku
jaket. Taksi yang diharapkan lewat dan membawanya pergi dari tempat itu tak
juga muncul. Udara dingin terasa semakin menghisap tenaga dan denyut nadinya
serupa terik matahari menghisap embun di pagi hari. Ia meraba dadanya, seakan
mengukur kemampuannya bertahan.
Di langit bulan direnggut lapisan
awan tebal. Sisa hujan menggenang di jalan berlubang, sesekali berkilau
tersiram cahaya lampu. Tak ada suara angin atau gonggongan anjing. Hanya sesekali,
lamat, suara kersik daun kering yang putus dari tangkainya melayang tenang
sebelum hinggap di badan jalan yang betul-betul lengang seperti kuburan.
Ia mengutuk peristiwa demi
peristiwa yang dialaminya. Bukan hanya rentetan peristiwa yang beberapa jam
lalu dilewatinya. Melainkan terutama peristiwa yang dialami masa kanak dan
remajanya yang singkat dan muram. Ia meremas sapu tangan seakan meremas
kecemasan yang terus menjalar dan menggerogoti lapis demi lapis ketegaran yang
sekian lama dipupuknya. Dengan ragu-ragu dirogohnya saku jaket, mencari-cari
rokok yang tadi tak jadi disulut. Ujung jemarinya menyentuh tembakau yang
terburai dari kertasnya yang koyak karena gesekan dan saku jaket yang lembab.
Dibakarnya batang rokok yang
koyak separuh, lantas disedotnya setengah hati. Ia membuang ludah yang terasa
pahit di lidahnya. Tenggorokannya bagai terbakar, panas dan perih. Di
telinganya suara nyamuk berdenging, menggigit kulitnya yang halus dan masih
menyisakan harum. Tak ada kunang-kunang, membuat malam sungguh-sungguh kelam.
Pandangannya terus menyorot ke
kanan sampai lehernya pegal; arah dari mana dirinya muncul tersaruk menyeret
kopor. Ketegangan menyerang tubuhnya. Ia merasakan urat-urat lehernya menegang
dan kaku. Taksi yang ditunggunya tak pernah muncul. Jalan itu memang tak
dilintasi taksi apalagi di malam sepi dan dingin sehabis hujan seperti itu. Ia
lupa, bahkan ojek pun tak berani melintas di sana. Baru kali ini ia linglung
dan kehilangan akal apa yang harus diperbuatnya.
Ia mengetatkan dan menaikkan
kerah jaketnya mencoba menghalau dingin. Tapi dingin tak bisa dihalau, ia telah
bersekutu dengan malam dan sepi, mengundang kenangan yang berdiam dalam
ingatannya. Ia serasa mendengar umpatan papa. Mendengar jeritan mama dan Ning,
kakak sulungnya. Mereka berkelebatan mengurung matanya ke mana pun dibenturkan.
Ia tidak pernah menemukan tempat yang benar-benar mampu menjauhkan ingatannya
dari mereka dan seluruh peristiwa yang membuatnya membenci mereka. Mama dan
papa seingatnya tak pernah bertemu kecuali untuk saling menumpahkan caci maki.
Tak pernah dilihatnya mereka duduk bersama, bercengkerama, apalagi secara mesra
mengulurkan tangan untuk dicium saat dirinya berangkat sekolah.
Ia dapat mendengar dengan jelas
suara tangan papa menggampar pipi mama disertai bentakan, lantas lengkingan
mama yang membuatnya terhenyak malam-malam. Disusul denting gelas dan cangkir
beterbangan menghantam dinding. Kakak Ning tak pernah pulang kecuali dalam
keadaan mabuk dan dipeluk seorang perempuan seusia mama. Mereka berdekapan
sepanjang malam dengan pakaian separuh tanggal sambil mendesiskan suara-suara
yang membuatnya mau muntah. Ia sendiri menggigil di balik pintu kamarnya.
Adiknya, Riko, yang menderita autis pulas dalam pelukan tante Noah di kamar.
Ia tahu, Rikolah yang menjadi
pangkal pertengkaran mereka. Papa menuduh Riko anak hasil perselingkuhan mama
dengan pemuda-pemuda yang suka nongkrong di mall; bukan anak dari benihnya.
Sebaliknya, mama yakin papa yang sering keluyuran malam dan bergonta-ganti
pasangan yang menyebabkan Riko terlahir cacat.
Batang rokok terakhir sudah
habis. Puntungnya yang masih mengepulkan asap tanpa sadar diremasnya. Sesaat ia
menjerit dan terperanjat karena panas. Perlahan udara bergerak dari arah
selatan tanpa suara. Wajahnya menegang lagi seperti ada anak-anak yang
menariknya. Suasana makin hening. Gemeretak giginya terdengar nyaring. Ia
melepas tas dari pundaknya kemudian dipeluknya. Meletakkan pipi di atasnya.
Seperti yang dilakukannya saat
hatinya tiba-tiba perih direnggut rindu pada mama.
"Kamu kenapa, Revi?"
tanya teman laki-lakinya melihat ia murung.
"Tidak apa-apa, Roni,"
jawabnya seraya menatap mata laki-laki itu.
"Kamu masih tak mempercayai
aku? Hmm."
"Tidak. Kamu jangan
sentimentil, Roni."
Mereka sudah cukup lama
berhubungan. Ia tidak pernah mencintai seseorang seperti ia mencintai laki-laki
itu. Laki-laki yang mula-mula menyerahkan penanganan urusan rambutnya.
Laki-laki itu ketagihan pijatannya yang enak. Pelayanannya yang serba lembut
dan menyentuh membuatnya berlangganan setiap pekan. Tentu tidak terbatas pada
urusan rambut, melainkan juga perawatan kulit dan wajah. Pria metroseksual,
kata orang-orang. Ia suka menatap lekat-lekat rahangnya yang kukuh, dagunya
yang selalu kebiruan. Ia terpesona pada gaya bicara dan terutama suaranya yang
basah dan terdengar mendesah. Maka usai dengan urusan rambut, biasanya
laki-laki itu berlama-lama duduk di sana sampai malam larut oleh embun,
mengobrolkan entah apa dengannya.
"Kenapa kamu memilih hidup
seperti ini?" demikian laki-laki itu pernah bertanya.
"Kenapa?" perempuan itu
balik bertanya.
"Pengin dengar
ceritanya."
"Buat apa?"
"Namamu bagus."
"Ah."
"Bukan nama pemberian orang
tuamu, kukira."
Obrolan-obrolan serupa berlanjut
terus setiap laki-laki itu datang. Berceritalah dia tentang kebenciannya pada
mama, papa, dan Kak Ning, juga rasa iba terkira pada kondisi Riko. Tetapi
terutama pada peristiwa demi peristiwa yang membuatnya membenci mereka semua.
"Itu yang membuat kamu
memilih begini?"
Perempuan itu tak menjawab. Ia
teringat pada keputusan besarnya: mengkastrasi kelaminnya, mengubahnya menjadi
vagina. Ia yakin benar kekeliruan itu harus diluruskan, bukan karena
kebenciannya pada papa, mama dan Kak Ning yang entah sudah mati atau masih
gentayangan entah di mana.
"Apakah salah."
Laki-laki itu tidak menjawab. Ia
sendiri tak merasa memerlukan jawaban sebagimana ia juga tidak perlu tahu
sungguhkah Roni mencintainya? Disimpan saja keraguannya itu. Ia berharap Roni
sungguh-sungguh.
"Aku laki-laki, bukankah
kamu perempuan?" ujar laki-laki itu seakan mengerti perasaannya.
"Hmm, aku gembira. Tapi
tidakkah ini …"
Ia menepuk-nepuk telapak
tangannya, membersihkan debu puntung rokok. Menelan ludahnya yang panas bagai
lahar membakar lidah dan tenggorokan. Langit makin pekat. Selembar daun akasia
jatuh tepat di pangkuannya. Seekor kucing tiba-tiba mendekat dan
menyentuh-nyentuhkan tubuh ke kakinya. Di langit lapisan awan tebal tak
menyisakan kerlip gemintang. Kenangan pelariannya dari rumah dengan mencuri
semua perhiasan mama mendadak membayang lebih jelas. Seperti baru kemarin dia
meninggalkan rumah yang dikutuknya bagai kamp penyiksaan bagi jiwanya.
Dengan percaya diri ia menjual
semua perhiasan mama untuk menyewa ruko dan memulai usaha membuka salon. Ia
adalah seorang yang ulet, terbukti salon yang dikelolanya tak pernah sepi
pelanggan. Ia tidak perlu menjadi pengamen atau berdiri malam-malam di
perempatan jalan menunggu mangsa; seperti kebanyakan kawan-kawannya.
Rupanya mama masih hidup, ia
mendengar kabar mama masuk rumah sakit. Perempuan itu tak mengenalinya ketika
ia menjenguknya di rumah sakit. Wajah mama nampak begitu pucat dan renta.
"Siapa kamu?" tanya
tante Noah yang menjaga mama. Ia tak merasa perlu menjelaskan dirinya. Ia hanya
berkata supaya mama dijaga, lantas pergi meninggalkan sekeranjang bunga dan
buah-buahan. Sayup-sayup ia mendengar teriakan tante Noah memanggilnya,
"Rava, Rava…" Sesunggguhnya ia ingin menghentikan langkah dan
berbalik menemui mereka. Tapi keberaniannya tiba-tiba menguap entah ke mana.
Ia menelan ludah. Lamat
didengarnya suara roda gerobak bakso yang didorong tergesa. Ia menggeser
duduknya, mengangkat wajah melihat tukang bakso makin mendekat, dan melintas
tanpa menoleh ke arahnya.
Bertahun-tahun ia tak pernah
pulang. Berusaha melupakan mama, papa, Kak Ning , Riko dan semua impitan
peristiwa masa kanaknya. Namun sering gagal. Semuanya selalu menguntit
ingatannya. Setahun setelah peristiwa di rumah sakit, ia mendengar kabar mama
meninggal. Kak Ning mengalami stres berkepanjangan, dan Riko dibuang tante Noah
ke rumah panti anak-anak cacat. Papa entah ke mana.
Ia memejamkan matanya, berusaha
membebaskan diri impitan ingatannya. Tetapi peristiwa lain yang menyeretnya ke
tempat ini menyerbu kepalanya. Ia mendengar kabar perselingkuhan Roni dengan
penari bar. Santi, karyawan setianya yang mengatakan kabar itu. Ia mendatangi
hotel tempat mereka kencan. Setelah berdebat cukup alot, dengan berbelit
resepsionis hotel itu memberi tahu nomor kamar mereka. Perasaannya berdebar
kencang saat memijit tombol lift.
Di kamar yang dituju ia hanya
mendapati seorang perempuan. Beberapa lama terjadi perang mulut. Ia sempat
menampar perempuan itu. Ia ingin menuntaskan kegeramannya dengan melempar
perempuan itu melalui jendela. Tapi itu tak dilakukannya, ia masih bisa menahan
diri. Sebelum membanting pintu, ia mengakhiri pertengkaran dengan meletakkan
mata belati yang berkilat di dada perempuan itu sambil membisikkan ancaman,
"Lupakan Roni, atau ujung belati ini merobek jantungmu."
Ia melangkah pelan menyusuri
karpet lorong hotel, berusaha tidak menimbulkan suara. Tiba di salonnya, ia
melihat Roni sudah berdiri di sana sambil berkacak pinggang.
"Mulai malam ini, jangan
campuri urusanku, waria haram jadah!"
Peristiwa berikutnya berlangsung
begitu cepat. Ia menyeret laki-laki itu ke kamar, lalu dibantingnya di sana.
Laki-laki itu dengan cepat bangkit menjambak rambutnya, mencekiknya, menampar
kedua pipinya sangat keras, sampai bibirnya pecah. Ia limbung beberapa saat,
kemudian meraih gunting di meja hias dan menusukkannya berkali-kali ke dada
laki-laki itu. Setelah menyeka muncratan darah di mukanya, ia meraih pedang
panjang yang selama ini menjadi hiasan di dinding. Dengan kalap memotong-motong
mayat lelaki itu menjadi beberapa bagian.
Malam sudah melewati separuh
perjalanannya. Perempuan itu masih di duduk di bangku halte. Mengutuk
perasaannya sendiri yang begitu sentimentil. Kini ia teringat Santi. Ia
memintanya tidak mengikuti dirinya. "Pergilah, Santi, jangan ikuti aku.
Bawalah uang ini untuk bekal. Pergilah sejauh-jauhnya dari kota ini. Semoga
semuanya akan baik-baik saja. Biar aku pergi menyusuri jalan ini sendiri. Sebab
aku belum tahu tempat mana yang akan kutuju."
Hatinya bagai teriris melihat
punggung karyawan setianya itu pergi membawa tangisnya yang mencekam.
Hujan turun lagi. Tiba-tiba ia
merasa dirinya begitu tua, lelah dan teraniaya. Kepalanya tak kuat lagi
disesaki peristiwa demi peristiwa penuh kepalsuan. Tak sanggup lagi
membayangkan keluarga bahagia. Menata rambut para pelanggannya yang setia.
Hidupnya terlalu sesak dengan keperihan, tak ada tempat bahkan untuk kisah
cinta yang paling iseng dan sederhana. Maka tak ada lagi alasan untuk pergi
dari situ. Begitu ia akhirnya memutuskan. Biarlah besok sekawanan polisi
menggiringnya ke penjara.***
Balai Budaya Tangerang, 7 Juli
2005.
0 comments:
Post a Comment