Kumpulan Cerpen Khas
Ranesi
Adi Cahyono
13-11-2006
Kami baru pindah rumah, saat itu.
Aku masih ingat, beberapa hari sebelumnya ibu berkata bahwa aku sudah berumur
enam tahun. Seperti orang lain yang gembira mengalami pindah rumah baru, kami
pun demikian adanya. Meskipun, rumah baru kami malahan tak lebih baik dari
rumah kami yang lama. Bahkan rumah yang baru itu sebenarnya tak bisa dikatakan
baru, kecuali hanya karena rumah itu baru kami tempati; setelah rumah yang lama
kami dihancurkan oleh sebab pemerintah kota
kala itu berniat melebarkan pasar yang ada di samping rumah kami yang lama.
Kami baru pindah rumah, saat itu.
Rumah kami yang baru tak memiliki dinding bata seperti rumah kami yang lama.
Tak memiliki pula atap genting dan pintu serta jendela kayu yang dicat pelitur.
Rumah kami yang baru pun tak memiliki ruang keluarga. Rumah kami yang baru
hanya terdiri dari ruang tamu sempit, satu kamar tidur, dan dapur kecil yang
bersebelahan dengan sebuah ruang kecil penuh kecoa yang untuk kemudian kami
sebut kamar mandi.
Kami baru pindah rumah, saat itu.
Dan tiba-tiba, kami mulai mengenal rasa benci pada tetangga. Semua itu
disebabkan oleh...
"Ibu, kenapa tetangga selalu
memutar tv dengan suara keras?"
"Kenapa memang? Kamu terganggu?"
"Ya. Aku tak suka mendengar
suara ribut-ribut..."
Ibu terdiam sejenak. Hingga kami
secara bersamaan menoleh pintu belakang saat seorang lelaki muda, tetangga kami
yang hidup sendirian, masuk melewati dapur kami dan membuka pintu kamar mandi.
Setelah lelaki muda itu menutup pintu kamar mandi dari seng dengan hentakan
keras, aku bertanya kembali pada ibu:
"Kenapa tetangga kita ikut
masuk ke kamar mandi kita?"
"Sssttt!"
Jari telunjuk kanan ibu segera
diarahkan ke bibirku. Tapi rupanya terlambat. Kami menoleh ke arah pintu kamar
mandi yang terbuka, dan melihat bagaimana angkuhnya wajah tetangga nongol
sembari berteriak:
"Bocah dungu! Tak tahukah
kau, ini kamar mandiku? Seharusnya kau tanya pada ayahmu di neraka, kenapa kau
harus ikut masuk kamar mandi tetanggamu!"
Kami baru pindah rumah, saat itu.
Dan merasai angin malam mencubit-cubit kulitku setelah menerobos celah dinding
dan pintu serta jendela yang hanya terbuat dari papan kayu yang tampaknya
sebentar lagi hancur dimakan rayap.
Seringkali aku bertanya pada ibu,
mengapa tak pindah di tempat yang sama baiknya dengan rumah kami yang lama.
Namun, ibu selalu hanya menggeleng saja, tanpa mengucap sepatah kata sebagai
jawaban. Ibu hanya menggelengkan kepala. Kedua alisnya kemudian naik. Aku tahu,
itu tandanya ibu kawatir pertanyaanku menjadi lebih banyak. Ibu menatapku
dengan tatapan mata penuh harap. Aku tahu apa yang diharapkan ibu selanjutnya:
"Jangan kamu tanyakan lagi
tentang ayahmu. Dia sudah ada di surga, dan kini sedang menunggu kita dengan
penuh rindu..."
Begitulah kata ibu sejak usiaku
menginjak lima
tahun, sejak aku mulai bisa membedakan antara aku dan teman-temanku; antara
anak yang bisa bersama ayahnya, dengan anak yang tak bisa bersama ayahnya,
antara anak yang memiliki ayah di surga dengan anak yang ayahnya belum
menempati surga.
Dan karena ibu adalah
satu-satunya orang yang ada bersamaku, maka aku pun tak mau melukai harapannya.
Aku tak pernah menanyakan lagi tentang ayah. Aku yakin, karena hanya akulah
orang yang bersamanya, maka ibu tak akan menyakiti hatiku dengan berbohong
padaku. Dengan begitu, aku tak percaya pada tetanggaku yang seringkali
menyumpahi ayahku sebagai penghuni neraka.
Namun, kala itu aku bingung juga
tentang surga dan neraka. Yang kutahu adalah surga menjadi tempat bagi orang
baik, dan sebaliknya, neraka menjadi tempat bagi orang jahat. Itu pun kelak,
setelah kiamat dan semua orang dihitung amalnya selama hidup di dunia. Jadi,
aku menjadi bingung ketika ibu berkata bahwa ayah sudah ada di surga, sementara
tetanggaku menyumpah bahwa ayahku ada di neraka. Padahal, bukankah dunia belum
kiamat?
Tapi, sekali lagi, aku lebih
percaya pada ibuku ketimbang pada tetangga yang pemarah itu. Aku lebih tak
percaya lagi pada lelaki muda itu, setelah kutahu ia seorang pengangguran yang
sering keluyuran malam bersama teman-temannya, mabuk, dan kudengar kabar pula
ia dan teman-temannya sering memalak orang yang lewat di ujung gang kami. Jadi,
mengapa aku harus percaya pada orang jahat? Tidak. Malahan aku makin benci
padanya. Dan ibu, meskipun selalu membalas senyum tipis saat lelaki itu
menyumpah, agaknya makin benci padanya tiap hari berganti.
Ketika aku pulang dari sekolahku
yang makin jauh saja dari rumah baru kami, aku mendengar tetanggaku itu
berteriak pada ibu:
"Coba saja jika kau masih
muda, pastilah kau masih mencari mangsa di pinggiran jalan sana! Dasar pelacur!"
Saat itu jam satu siang. Udara
menjadi gerah. Mendung tipis melingkupi seluruh angkasa. Aku merasa haus dan
capek karena telah berjalan sekitar limaratus meter dengan tergesa-gesa. Aku
mendengar teriakan tetanggaku saat kubuka pintu dari papan kayu. Setelah aku
masuk lelaki itu sudah berjalan gontai melewati dapur dan masuk rumahnya
melalui pintu belakang.
Aku bertanya pada ibu: "Ibu
bertengkar dengannya?"
Ibu tersenyum tipis. Lalu
katanya, "Kamu dengar apa katanya tadi?"
Aku mengangguk. Aku melihat ibu
terkejut.
"Kenapa ia membenci kita
sejak pertama kita bertemu dengannya, seolah sebelum ini kita pernah bermusuhan dengannya?"
"Jangan pedulikan dia."
Ibu berbisik tepat di depan telinga kiriku.
"Mengapa ia menyumpahi ibu
begitu?" tanyaku ragu.
Dengan cepat ibu menggelengkan
kepala keras-keras, sambil mengulurkan jari telunjuk kanannya hingga menempel
di bibirku. Lalu dibimbingnya aku ke dapur, mengambil nasi dan tempe sebagai lauknya. Sementara itu,
telingaku mendengar suara pesawat tv yang amat keras. Bising.
Sepanjang sore hingga malam,
sambil belajar membaca, aku berpikir tentang apa itu pelacur, dan mengapa
tetanggaku menyebut ibuku sebagai pelacur. Aku hanya menebak-nebak saja apa itu
pelacur. Tapi aku merasa dari sekian tebakanku tak ada yang benar.
Jam delapan aku menutup buku.
Dari dapur, sambil mencuci piring ibu menyuruhku tidur. Aku pun beranjak ke
kamar tidur. Lalu kudengar seperti ada sesuatu yang menabrak atap seng di
atasku. Beberapa detik kemudian dapat kusimpulkan bahwa suara itu adalah titik
hujan yang makin lama makin bergemuruh. Mula-mula suara hujan yang jatuh
menimpa atap seng beradu dengan suara denting piring, namun kemudian, deru
hujan di atas atap seng benar-benar melumat suara apapun di malam itu.
Menggetarkan.
Aku tak tahan. Aku takut kala
itu. Aku bersembunyi di balik selimut. Dan pelan-pelan, aku menyebut 'ayah'.
Teringat kembali dua tahun lalu, ibu bercerita sedikit tentang ayah:
"Seperti juga anak-anak
lain, kamu pun memiliki seorang ayah. Namanya Mardi. Ia telah meninggal karena
kecelakaan di jalan, saat kamu masih ada di perut ibu."
"Kenapa ibu tak memiliki
foto ayah?"
"Apa itu aneh bagimu?"
"Kakak temanku sudah mati,
tapi ia memiliki fotonya..."
"Bukannya ibu tak memiliki
foto ayahmu. Ibu hanya tak mau kita terkenang padanya. Jadi, ibu tak mau
menyimpan foto itu, apalagi memasangnya di dinding."
Suara petir membuyarkan laju
pikiranku, dan membuat selimut menutup rapat tubuhku. Maka kuputuskan:
"Apalah artinya aku
menyimpan foto ayah, jika tak ada kenangan sedikitpun bersamanya?"
Aku lelah berpikir tentang
bagaimana rupa ayah. Jika memang ibu ingin aku melihat bagaimana rupa ayah,
sudah tentu ibu akan menempel foto ayah di dinding.
Lamat-lamat mataku menutup, dan
antara terjaga dan terlelap kubisikkan sebuah kalimat yang kutujukan untuk
ayah:
"Ayah, aku benci
tetanggaku..."
***
"Bagaimana kabarmu?"
tanya Zaal sambil melonggarkan krah bajunya.
"Baik. Sehat."
Zaal adalah pemilik pabrik
biskuit tempatku bekerja sebagai staf pemasaran. Dia membangun pabriknya selama
empatpuluh tahun. Dia memulai usahanya dari kecil; dari mulai membuat roti
kering dan dijajakannya sendiri dengan gerobak kecil yang ditarik sepeda
genjot, ketika ia berumur tiga-puluh tahun.
Kini usia Zaal tujuh-puluh tahun,
dan ia masih tampak bugar. Mungkin karena lelaki jangkung berdarah Belanda itu
masih terus menggenjot sepeda hingga saat ini. Tapi, bukan untuk menjajakan kue-kue
keringnya seperti puluhan tahun lalu. Melainkan menggenjot sepeda untuk sampai
ke pabriknya yang berjarak dua kilometer dari rumah.
Kebiasaan Zaal yang lain, yang
kusuka, adalah mampir di sebuah warung kecil di tiap pagi ketika berangkat ke
pabrik. Untuk minum teh hangat, dan ngobrol bersamaku, seperti pagi ini...
"Saya dengar kamu sangat
suka melihat hujan."
Aku tergeragap. Pastilah
kata-katanya itu dimaksudkan untuk menyindirku. Karena kemarin, di saat jam
kerja, aku berjam-jam berdiri di balik kaca jendela kantor mengamati derai
hujan. Dan pada saat itu Zaal ternyata sudah lama berdiri di belakangku untuk
mengajak berdiskusi perihal pemasaran produk baru milik pabriknya.
"Maaf..."
Potong Zaal. "Aha! Saya tak
bermaksud menegurmu. Saya justru ingin tahu bagaimana kamu bisa suka melihat
hujan turun, seperti kemarin hari."
Lega juga mendengar Zaal berkata
begitu. Kataku kemudian: "Itu ada ceritanya."
"Oh ya?"
"Mulanya, waktu saya bocah,
saya paling takut dengan hujan. Lebih-lebih ketika saya dan ibu pindah ke rumah
yang atapnya seng. Saya takut dengan suara hujan yang bergemuruh. Tapi, suatu
malam, ketika hujan deras saya bermimpi melihat ayah turun bersama
hujan..."
Zaal menyela. Tampaknya ia gugup.
"Ayah kamu?"
"Ya. Ayah saya turun bersama
hujan, dengan golok. Lalu paginya, sebelum saya berangkat sekolah orang-orang
ramai menggotong tubuh tetangga saya." Kulihat Zaal makin gugup. Sementara
aku makin menggebu bercerita, "Tetangga saya itu telah mati oleh sabetan
golok di malam ketika ia mabuk, di malam ketika hujan deras dan saya bermimpi
ayah turun bersama hujan membawa golok."
"Memainkan goloknya?"
Zaal tak mampu menutupi
kegugupannya. Kuterjemahkan itu sebagai 'betapa Zaal mengikuti ceritaku dengan
emosional'.
"Benar. Jadi tak heran
tetangga saya itu mati dengan luka sabetan golok. Orang-orang menyebut ia mati
di tangan orang tak dikenal. Tapi, bagi saya, dia mati di tangan ayah saya
karena..." Aku ragu mengungkapkan rasa benci pada seseorang yang telah
mati.
"Karena apa?"
"Karena kami, saya dan ibu,
benci pada tetangga yang suka berlaku kasar pada kami. Saya yakin, ayahlah yang
membunuhnya, sebagai ungkapan pembelaannya pada kami."
"Ayahmu memang seorang
jagoan golok..." Agaknya Zaal mengatakan itu tanpa sengaja.
Zaal menjadi sangat gugup ketika
tahu tatapanku jatuh pada matanya.
"Maaf?"
Ia mendesaukan nafas, lalu mulai
bertanya. "Hingga kini kamu belum pernah melihat wajah ayahmu?"
"Belum. Bahkan hingga
saat-saat terakhirnya, ibu memintaku untuk tidak memikirkan siapa ayah, dan
juga masa lalu ibuku."
Zaal membuka tas kulit usangnya.
Dan tak berapa lama kemudian mataku disodori foto wajah seorang lelaki dengan
kumis lebat.
"Ayah?" Dadaku
berdesir. Kutatap Zaal yang berulangkali mengangguk.
"Ayahmu adalah kawanku. Itu
menjadi alasan utama segera menerimamu sebagai karyawan di pabrikku. Kami
bersahabat. Ia adalah murid kesayangan ayahku di padepokan silat."
Zaal pernah bercerita padaku
tentang ayahnya, seorang guru silat yang mengawini seorang 'Noni Belanda' di
tahun 30-an. Ibu Zaal adalah salah seorang pelajar Belanda yang dikirim ke
Tanah Jawa untuk penelitian kepurbakalaan. Ketika Jepang masuk Tanah Jawa ibu
Zaal terpaksa pulang ke Belanda, ketika umur Zaal belum genap sepuluh tahun.
Ayah Zaal adalah seorang guru silat terkenal se-Tanah Jawa kala itu; dengan
murid-muridnya yang berasal dari pelosok Jawa. Namun, Zaal tak pernah
menyinggung sedikit pun, bahwa ayahku termasuk salah seorang murid ayahnya.
Kuamati wajah ayah. Aku melihat
mata dan hidungku padanya. "Jadi, benarkah ayah seorang begal, seorang
perampok yang tewas oleh goloknya sendiri di malam saat ia beraksi?"
"Yang kutahu, ayahmu sangat
mahir memainkan golok saat di padepokan kami. Ketika aku dan ayahmu beranjak
remaja, ayahku meninggal. Kami bertemu kembali ketika kami sama-sama beranjak tua.
Saat itu ayahmu mengundangku untuk hadir dalam pesta perkawinannya. Ia
memberiku fotonya. Ini foto ketika umur ayahmu tepat empat-puluh tahun. Sebelum
berpisah, ia meyakinkan padaku, bahwa aku harus menyimpan foto ini hingga
saatnya tiba foto ini berpindah tangan. Itulah wasiatnya padaku. Lima hari setelah pesta
kubaca dari koran, ayahmu meninggal..."
"Dikeroyok saat
merampok?" tanyaku dengan dada terguncang.
"Bukankah kamu telah
berjanji pada ibumu, bahwa kamu tak akan lagi memikirkan siapa dan bagaimana
masa lalu orang-tuamu?"
Kupejamkan mata. Kubayangkan
sebuah sungai panjang yang tiba-tiba alirannya berbalik arah. Ya. Aku menjadi
tak yakin bila kelak ayah masuk surga. Tapi hingga saat ini aku tetap yakin,
bahwa ayah turun ke bumi bersama hujan... itu benarlah adanya!
( 2006 )
Hak cipta Radio Nederland 2006
Disclaimer
0 comments:
Post a Comment