Sunday, 22 June 2014

Bersama Hujan Ayah Turun Ke Bumi



Kumpulan Cerpen Khas Ranesi

Adi Cahyono

13-11-2006


Kami baru pindah rumah, saat itu. Aku masih ingat, beberapa hari sebelumnya ibu berkata bahwa aku sudah berumur enam tahun. Seperti orang lain yang gembira mengalami pindah rumah baru, kami pun demikian adanya. Meskipun, rumah baru kami malahan tak lebih baik dari rumah kami yang lama. Bahkan rumah yang baru itu sebenarnya tak bisa dikatakan baru, kecuali hanya karena rumah itu baru kami tempati; setelah rumah yang lama kami dihancurkan oleh sebab pemerintah kota kala itu berniat melebarkan pasar yang ada di samping rumah kami yang lama.

Kami baru pindah rumah, saat itu. Rumah kami yang baru tak memiliki dinding bata seperti rumah kami yang lama. Tak memiliki pula atap genting dan pintu serta jendela kayu yang dicat pelitur. Rumah kami yang baru pun tak memiliki ruang keluarga. Rumah kami yang baru hanya terdiri dari ruang tamu sempit, satu kamar tidur, dan dapur kecil yang bersebelahan dengan sebuah ruang kecil penuh kecoa yang untuk kemudian kami sebut kamar mandi.

Kami baru pindah rumah, saat itu. Dan tiba-tiba, kami mulai mengenal rasa benci pada tetangga. Semua itu disebabkan oleh...

"Ibu, kenapa tetangga selalu memutar tv dengan suara keras?"
"Kenapa memang? Kamu terganggu?"
"Ya. Aku tak suka mendengar suara ribut-ribut..."

Ibu terdiam sejenak. Hingga kami secara bersamaan menoleh pintu belakang saat seorang lelaki muda, tetangga kami yang hidup sendirian, masuk melewati dapur kami dan membuka pintu kamar mandi. Setelah lelaki muda itu menutup pintu kamar mandi dari seng dengan hentakan keras, aku bertanya kembali pada ibu:
"Kenapa tetangga kita ikut masuk ke kamar mandi kita?"
"Sssttt!"

Jari telunjuk kanan ibu segera diarahkan ke bibirku. Tapi rupanya terlambat. Kami menoleh ke arah pintu kamar mandi yang terbuka, dan melihat bagaimana angkuhnya wajah tetangga nongol sembari berteriak:
"Bocah dungu! Tak tahukah kau, ini kamar mandiku? Seharusnya kau tanya pada ayahmu di neraka, kenapa kau harus ikut masuk kamar mandi tetanggamu!"

Kami baru pindah rumah, saat itu. Dan merasai angin malam mencubit-cubit kulitku setelah menerobos celah dinding dan pintu serta jendela yang hanya terbuat dari papan kayu yang tampaknya sebentar lagi hancur dimakan rayap.
Seringkali aku bertanya pada ibu, mengapa tak pindah di tempat yang sama baiknya dengan rumah kami yang lama. Namun, ibu selalu hanya menggeleng saja, tanpa mengucap sepatah kata sebagai jawaban. Ibu hanya menggelengkan kepala. Kedua alisnya kemudian naik. Aku tahu, itu tandanya ibu kawatir pertanyaanku menjadi lebih banyak. Ibu menatapku dengan tatapan mata penuh harap. Aku tahu apa yang diharapkan ibu selanjutnya:

"Jangan kamu tanyakan lagi tentang ayahmu. Dia sudah ada di surga, dan kini sedang menunggu kita dengan penuh rindu..."

Begitulah kata ibu sejak usiaku menginjak lima tahun, sejak aku mulai bisa membedakan antara aku dan teman-temanku; antara anak yang bisa bersama ayahnya, dengan anak yang tak bisa bersama ayahnya, antara anak yang memiliki ayah di surga dengan anak yang ayahnya belum menempati surga.
Dan karena ibu adalah satu-satunya orang yang ada bersamaku, maka aku pun tak mau melukai harapannya. Aku tak pernah menanyakan lagi tentang ayah. Aku yakin, karena hanya akulah orang yang bersamanya, maka ibu tak akan menyakiti hatiku dengan berbohong padaku. Dengan begitu, aku tak percaya pada tetanggaku yang seringkali menyumpahi ayahku sebagai penghuni neraka.

Namun, kala itu aku bingung juga tentang surga dan neraka. Yang kutahu adalah surga menjadi tempat bagi orang baik, dan sebaliknya, neraka menjadi tempat bagi orang jahat. Itu pun kelak, setelah kiamat dan semua orang dihitung amalnya selama hidup di dunia. Jadi, aku menjadi bingung ketika ibu berkata bahwa ayah sudah ada di surga, sementara tetanggaku menyumpah bahwa ayahku ada di neraka. Padahal, bukankah dunia belum kiamat?

Tapi, sekali lagi, aku lebih percaya pada ibuku ketimbang pada tetangga yang pemarah itu. Aku lebih tak percaya lagi pada lelaki muda itu, setelah kutahu ia seorang pengangguran yang sering keluyuran malam bersama teman-temannya, mabuk, dan kudengar kabar pula ia dan teman-temannya sering memalak orang yang lewat di ujung gang kami. Jadi, mengapa aku harus percaya pada orang jahat? Tidak. Malahan aku makin benci padanya. Dan ibu, meskipun selalu membalas senyum tipis saat lelaki itu menyumpah, agaknya makin benci padanya tiap hari berganti.

Ketika aku pulang dari sekolahku yang makin jauh saja dari rumah baru kami, aku mendengar tetanggaku itu berteriak pada ibu:
"Coba saja jika kau masih muda, pastilah kau masih mencari mangsa di pinggiran jalan sana! Dasar pelacur!"
Saat itu jam satu siang. Udara menjadi gerah. Mendung tipis melingkupi seluruh angkasa. Aku merasa haus dan capek karena telah berjalan sekitar limaratus meter dengan tergesa-gesa. Aku mendengar teriakan tetanggaku saat kubuka pintu dari papan kayu. Setelah aku masuk lelaki itu sudah berjalan gontai melewati dapur dan masuk rumahnya melalui pintu belakang.

Aku bertanya pada ibu: "Ibu bertengkar dengannya?"
Ibu tersenyum tipis. Lalu katanya, "Kamu dengar apa katanya tadi?"
Aku mengangguk. Aku melihat ibu terkejut.
"Kenapa ia membenci kita sejak pertama kita bertemu dengannya, seolah sebelum ini  kita pernah bermusuhan dengannya?"
"Jangan pedulikan dia." Ibu berbisik tepat di depan telinga kiriku.
"Mengapa ia menyumpahi ibu begitu?" tanyaku ragu.
Dengan cepat ibu menggelengkan kepala keras-keras, sambil mengulurkan jari telunjuk kanannya hingga menempel di bibirku. Lalu dibimbingnya aku ke dapur, mengambil nasi dan tempe sebagai lauknya. Sementara itu, telingaku mendengar suara pesawat tv yang amat keras. Bising.

Sepanjang sore hingga malam, sambil belajar membaca, aku berpikir tentang apa itu pelacur, dan mengapa tetanggaku menyebut ibuku sebagai pelacur. Aku hanya menebak-nebak saja apa itu pelacur. Tapi aku merasa dari sekian tebakanku tak ada yang benar.
Jam delapan aku menutup buku. Dari dapur, sambil mencuci piring ibu menyuruhku tidur. Aku pun beranjak ke kamar tidur. Lalu kudengar seperti ada sesuatu yang menabrak atap seng di atasku. Beberapa detik kemudian dapat kusimpulkan bahwa suara itu adalah titik hujan yang makin lama makin bergemuruh. Mula-mula suara hujan yang jatuh menimpa atap seng beradu dengan suara denting piring, namun kemudian, deru hujan di atas atap seng benar-benar melumat suara apapun di malam itu. Menggetarkan.

Aku tak tahan. Aku takut kala itu. Aku bersembunyi di balik selimut. Dan pelan-pelan, aku menyebut 'ayah'. Teringat kembali dua tahun lalu, ibu bercerita sedikit tentang ayah:
"Seperti juga anak-anak lain, kamu pun memiliki seorang ayah. Namanya Mardi. Ia telah meninggal karena kecelakaan di jalan, saat kamu masih ada di perut ibu."
"Kenapa ibu tak memiliki foto ayah?"
"Apa itu aneh bagimu?"
"Kakak temanku sudah mati, tapi ia memiliki fotonya..."
"Bukannya ibu tak memiliki foto ayahmu. Ibu hanya tak mau kita terkenang padanya. Jadi, ibu tak mau menyimpan foto itu, apalagi memasangnya di dinding."

Suara petir membuyarkan laju pikiranku, dan membuat selimut menutup rapat tubuhku. Maka kuputuskan:
"Apalah artinya aku menyimpan foto ayah, jika tak ada kenangan sedikitpun bersamanya?"
Aku lelah berpikir tentang bagaimana rupa ayah. Jika memang ibu ingin aku melihat bagaimana rupa ayah, sudah tentu ibu akan menempel foto ayah di dinding.
Lamat-lamat mataku menutup, dan antara terjaga dan terlelap kubisikkan sebuah kalimat yang kutujukan untuk ayah:
"Ayah, aku benci tetanggaku..."

                                                          ***

"Bagaimana kabarmu?" tanya Zaal sambil melonggarkan krah bajunya.
"Baik. Sehat."
Zaal adalah pemilik pabrik biskuit tempatku bekerja sebagai staf pemasaran. Dia membangun pabriknya selama empatpuluh tahun. Dia memulai usahanya dari kecil; dari mulai membuat roti kering dan dijajakannya sendiri dengan gerobak kecil yang ditarik sepeda genjot, ketika ia berumur tiga-puluh tahun.
Kini usia Zaal tujuh-puluh tahun, dan ia masih tampak bugar. Mungkin karena lelaki jangkung berdarah Belanda itu masih terus menggenjot sepeda hingga saat ini. Tapi, bukan untuk menjajakan kue-kue keringnya seperti puluhan tahun lalu. Melainkan menggenjot sepeda untuk sampai ke pabriknya yang berjarak dua kilometer dari rumah.

Kebiasaan Zaal yang lain, yang kusuka, adalah mampir di sebuah warung kecil di tiap pagi ketika berangkat ke pabrik. Untuk minum teh hangat, dan ngobrol bersamaku, seperti pagi ini...
"Saya dengar kamu sangat suka melihat hujan."
Aku tergeragap. Pastilah kata-katanya itu dimaksudkan untuk menyindirku. Karena kemarin, di saat jam kerja, aku berjam-jam berdiri di balik kaca jendela kantor mengamati derai hujan. Dan pada saat itu Zaal ternyata sudah lama berdiri di belakangku untuk mengajak berdiskusi perihal pemasaran produk baru milik pabriknya.
"Maaf..."
Potong Zaal. "Aha! Saya tak bermaksud menegurmu. Saya justru ingin tahu bagaimana kamu bisa suka melihat hujan turun, seperti kemarin hari."

Lega juga mendengar Zaal berkata begitu. Kataku kemudian: "Itu ada ceritanya."
"Oh ya?"
"Mulanya, waktu saya bocah, saya paling takut dengan hujan. Lebih-lebih ketika saya dan ibu pindah ke rumah yang atapnya seng. Saya takut dengan suara hujan yang bergemuruh. Tapi, suatu malam, ketika hujan deras saya bermimpi melihat ayah turun bersama hujan..."
Zaal menyela. Tampaknya ia gugup. "Ayah kamu?"
"Ya. Ayah saya turun bersama hujan, dengan golok. Lalu paginya, sebelum saya berangkat sekolah orang-orang ramai menggotong tubuh tetangga saya." Kulihat Zaal makin gugup. Sementara aku makin menggebu bercerita, "Tetangga saya itu telah mati oleh sabetan golok di malam ketika ia mabuk, di malam ketika hujan deras dan saya bermimpi ayah turun bersama hujan membawa golok."
"Memainkan goloknya?"

Zaal tak mampu menutupi kegugupannya. Kuterjemahkan itu sebagai 'betapa Zaal mengikuti ceritaku dengan emosional'.
"Benar. Jadi tak heran tetangga saya itu mati dengan luka sabetan golok. Orang-orang menyebut ia mati di tangan orang tak dikenal. Tapi, bagi saya, dia mati di tangan ayah saya karena..." Aku ragu mengungkapkan rasa benci pada seseorang yang telah mati.
"Karena apa?"
"Karena kami, saya dan ibu, benci pada tetangga yang suka berlaku kasar pada kami. Saya yakin, ayahlah yang membunuhnya, sebagai ungkapan pembelaannya pada kami."
"Ayahmu memang seorang jagoan golok..." Agaknya Zaal mengatakan itu tanpa sengaja.

Zaal menjadi sangat gugup ketika tahu tatapanku jatuh pada matanya.
"Maaf?"
Ia mendesaukan nafas, lalu mulai bertanya. "Hingga kini kamu belum pernah melihat wajah ayahmu?"
"Belum. Bahkan hingga saat-saat terakhirnya, ibu memintaku untuk tidak memikirkan siapa ayah, dan juga masa lalu ibuku."
Zaal membuka tas kulit usangnya. Dan tak berapa lama kemudian mataku disodori foto wajah seorang lelaki dengan kumis lebat.
"Ayah?" Dadaku berdesir. Kutatap Zaal yang berulangkali mengangguk.
"Ayahmu adalah kawanku. Itu menjadi alasan utama segera menerimamu sebagai karyawan di pabrikku. Kami bersahabat. Ia adalah murid kesayangan ayahku di padepokan silat."

Zaal pernah bercerita padaku tentang ayahnya, seorang guru silat yang mengawini seorang 'Noni Belanda' di tahun 30-an. Ibu Zaal adalah salah seorang pelajar Belanda yang dikirim ke Tanah Jawa untuk penelitian kepurbakalaan. Ketika Jepang masuk Tanah Jawa ibu Zaal terpaksa pulang ke Belanda, ketika umur Zaal belum genap sepuluh tahun. Ayah Zaal adalah seorang guru silat terkenal se-Tanah Jawa kala itu; dengan murid-muridnya yang berasal dari pelosok Jawa. Namun, Zaal tak pernah menyinggung sedikit pun, bahwa ayahku termasuk salah seorang murid ayahnya.

Kuamati wajah ayah. Aku melihat mata dan hidungku padanya. "Jadi, benarkah ayah seorang begal, seorang perampok yang tewas oleh goloknya sendiri di malam saat ia beraksi?"
"Yang kutahu, ayahmu sangat mahir memainkan golok saat di padepokan kami. Ketika aku dan ayahmu beranjak remaja, ayahku meninggal. Kami bertemu kembali ketika kami sama-sama beranjak tua. Saat itu ayahmu mengundangku untuk hadir dalam pesta perkawinannya. Ia memberiku fotonya. Ini foto ketika umur ayahmu tepat empat-puluh tahun. Sebelum berpisah, ia meyakinkan padaku, bahwa aku harus menyimpan foto ini hingga saatnya tiba foto ini berpindah tangan. Itulah wasiatnya padaku. Lima hari setelah pesta kubaca dari koran, ayahmu meninggal..."

"Dikeroyok saat merampok?" tanyaku dengan dada terguncang.
"Bukankah kamu telah berjanji pada ibumu, bahwa kamu tak akan lagi memikirkan siapa dan bagaimana masa lalu orang-tuamu?"
Kupejamkan mata. Kubayangkan sebuah sungai panjang yang tiba-tiba alirannya berbalik arah. Ya. Aku menjadi tak yakin bila kelak ayah masuk surga. Tapi hingga saat ini aku tetap yakin, bahwa ayah turun ke bumi bersama hujan... itu benarlah adanya!

( 2006 )

           

Hak cipta Radio Nederland 2006 Disclaimer

0 comments:

Post a Comment