Selalu.
Setiap pagi. Setiap Gustaf berangkat kerja dan terjebak rutin kemacetan
perempatan jalan menjelang kantornya, ia selalu melihat bocah itu tengah
bermain-main di kolong jalan layang. Kadang berloncatan, seperti menjolok
sesuatu. Kadang hanya merunduk jongkok memandangi trotoar, seolah ada yang
perlahan tumbuh dari celah conblock.
Karena
kaca mobil yang selalu tertutup rapat, Gustaf tak tak bisa mendengarkan
teriakan-teriakan bocah itu, saat dia mengibaskan kedua tangannya bagai
menghalau sesuatu yang beterbangan. Gustaf hanya melihat mulut bocah itu
seperti berteriak dan tertawa-tawa. Kadang Gustaf ingin menurunkan kaca mobil,
agar ia bisa mendengar apa yang diteriakkan bocah itu. Tapi Gustaf malas
menghadapi puluhan pengemis yang pasti akan menyerbu begitu kaca mobilnya
terbuka.
Maka
Gustaf hanya memandangi bocah itu dari dalam mobilnya yang merayap pelan
dalam kemacetan. Usianya paling 12 tahunan. Rambutnya kusam kecoklatan karena
panas matahari. Selalu bercelana pendek kucel. Berkoreng di lutut kirinya.
Dia tak banyak beda dengan para anak jalanan yang sepertinya dari hari ke
hari makin banyak saja jumlahnya. Hanya saja Gustaf sering merasa ada yang
berbeda dari bocah itu. Dan itu kian Gustaf rasakan setiap kali bersitatap
dengannya. Seperti ada cahaya yang perlahan berkeredapan dalam mata bocah
itu. Sering Gustaf memperlambat laju mobilnya, agar ia bisa berlama-lama menatap
sepasang mata itu.
Memandang
mata itu, Gustaf seperti menjenguk sebuah dunia yang menyegarkan. Hingga ia
merasa segala di sekeliling bocah itu perlahan-lahan berubah. Tiang listrik
dan lampu jalan menjelma menjadi barisan pepohonan rindang. Tak ada keruwetan,
karena jalanan telah menjadi sungai dengan gemericik air di sela bebatuan
hitam. Jembatan penyeberangan di atas sana
menjelma titian bambu yang menghubungkan gedung-gedung yang telah berubah
perbukitan hijau. Dari retakan trotoar perlahan tumbuh bunga mawar, akar
dedaunan hijau merambat melilit tiang lampu dan pagar pembatas jalan, kerakap
tumbuh di dinding penyangga jalan tol. Gustaf terkejut ketika tiba-tiba ia
melihat seekor bangau bertengger di atas kotak pos yang kini tampak seperti
terbuat dari gula-gula. Air yang jernih dan bening mengalir perlahan,
seakan-akan ada mata air yang muncul dari dalam selokan. Kicau burung
terdengar dari pohon jambu berbuah lebat yang bagai dicangkok di tiang
traffic light.
Gustaf
terpesona menyaksikan itu semua. Ia menurunkan kaca mobilnya, menghirup
lembab angin yang berembus lembut dari pegunungan. Tapi pada saat itulah ia
terkejut oleh bising pekikan klakson mobil-mobil di belakangnya. Beberapa
pengendara sepeda motor yang menyalip lewat trotoar melotot ke arahnya.
Seorang polisi lalu lintas bergegas mendekatinya.
Buru-buru
Gustaf menghidupkan mobilnya dan melaju.
Gustaf
jadi selalu terkenang mata bocah itu.
Ia
tak pernah menyangka betapa di dunia ini ada mata yang begitu indah. Sejak
kecil Gustaf suka pada mata. Itu sebabnya ketika kanak-kanak ia menyukai
boneka. Ia menyukai bermacam warna dan bentuk mata boneka-boneka koleksinya.
Ia suka menatapnya berlama-lama. Dan itu rupanya membuat Mama cemas—waktu itu
Mama takut ia akan jadi homoseks seperti Oom Ridwan, yang kata Mama, sewaktu
kanak-kanak juga menyukai boneka—lantas segera membawanya ke psikolog.
Berminggu-minggu mengikuti terapi, ia selalu disuruh menggambar. Dan ia
selalu menggambar mata. Sering ia menggambar mata yang bagai liang hitam.
Sesekali ia menggambar bunga mawar tumbuh dari dalam mata itu; mata dengan
sebilah pisau yang menancap; atau binatang-binatang yang berloncatan dari
dalam mata berwarna hijau toska.
Ia
senang ketika Oma memuji gambar-gambarnya itu. Oma seperti bisa memahami apa
yang ia rasakan. Ia ingat perkataan Oma, saat ia berusia tujuh tahun, ”Mata
itu seperti jendela hati. Kamu bisa menjenguk perasaan seseorang lewat
matanya….” Sejak itu Gustaf suka memandang mata setiap orang yang
dijumpainya. Tapi Papa kerap menghardik, ”Tak sopan menatap mata orang
seperti itu!” Papa menyuruhnya agar selalu menundukkan pandang bila berbicara
dengan seseorang.
Saat
remaja ia tak lagi menyukai boneka, tapi ia suka diam-diam memperhatikan mata
orang-orang yang dijumpainya. Kadang—tanpa sadar_ia sering mendapati dirinya
tengah memandangi mata seseorang cukup lama, hingga orang itu merasa risi dan
cepat-cepat menyingkir. Setiap menatap mata seseorang, Gustaf seperti melihat
bermacam keajaiban yang tak terduga. Kadang ia melihat api berkobar dalam
mata itu. Kadang ia melihat ribuan kelelawar terbang berhamburan. Sering pula
ia melihat lelehan tomat merembes dari sudut mata seseorang yang tengah
dipandanginya. Atau dalam mata itu ada bangkai bayi yang terapung-apung,
pecahan kaca yang menancap di kornea, kawat berduri yang terjulur panjang,
padang gersang ilalang, pusaran kabut kelabu dengan kesedihan dan kesepian
yang menggantung.
Di
mana-mana Gustaf hanya melihat mata yang keruh menanggung beban hidup. Mata
yang penuh kemarahan. Mata yang berkilat licik. Mata yang tertutup jelaga
kebencian. Karena itu, Gustaf jadi begitu terkesan dengan sepasang mata bocah
itu. Rasanya, itulah mata paling indah yang pernah Gustaf tatap. Begitu
bening begitu jernih. Mata yang mungil tapi bagai menyimpan dunia.
Alangkah
menyenangkan bila memiliki mata seperti itu. Mata itu membuat dunia jadi
terlihat berbeda. Barangkali seperti mata burung seriwang yang bisa menangkap
lebih banyak warna. Setiap kali terkenang mata itu, setiap kali itu pula
Gustaf kian ingin memilikinya.
Sembari
menikmati secangkir cappucino di coffee shop sebuah mal, Gustaf memperhatikan
mata orang-orang yang lalu lalang. Mungkin ia akan menemukan mata yang indah,
seperti mata bocah itu. Tapi Gustaf tak menemukan mata seperti itu. Membuat
Gustaf berpikir, bisa jadi mata bocah itu memang satu-satunya mata paling
indah di dunia. Dan ia makin ingin memiliki mata itu. Agar ia bisa memandang
semua yang kini dilihatnya dengan berbeda….
Gustaf
kini bisa mengerti, kenapa bocah itu terlihat selalu berlarian riang—karena
ia tengah berlarian mengejar capung yang hanya bisa dilihat matanya. Bocah
itu sering berloncatan—sebab itu tengah menjoloki buah jambu yang terlihat
begitu segar di matanya. Mata bocah itu pastilah melihat sekawanan burung
gelatik terbang merendah bagai hendak hinggap kepalanya, hingga ia
mengibas-kibaskan tangan menghalau agar burung-burung itu kembali terbang.
Ketika berjongkok, pastilah bocah itu sedang begitu senang memandangi seekor
kumbang tanah yang muncul dari celah conblock. Semua itu hanya mungkin, karena
mata mungil indah bocah itu bisa melihat dunia yang berbeda. Atau karena mata
mungil itu memang menyimpan sebuah dunia.
Tentulah
menyenangkan bila punya mata seperti itu, batin Gustaf. Apa yang kini ia
pandangi akan terlihat beda. Ice cream di tangan anak kecil itu mungkin akan
meleleh menjadi madu. Pita gadis yang digandeng ibunya itu akan menjadi bunga
lilly. Di lengkung selendang sutra yang dikenakan manequin di etalase itu
akan terlihat kepompong mungil yang bergeletaran pelan ketika perlahan-lahan
retak terbuka dan muncul seekor kupu-kupu. Seekor kepik bersayap merah
berbintik hitam tampak merayap di atas meja. Eceng gondok tumbuh di lantai
yang digenangi air bening. Elevator itu menjadi tangga yang menuju rumah
pohon di mana anak-anak berebutan ingin menaikinya. Ada rimpang menjalar di
kaki-kaki kursi, bambu apus tumbuh di dekat pakaian yang dipajang. Cahaya
jadi terlihat seperti sulur-sulur benang berjuntaian….
Betapa
menyenangkan bila ia bisa menyaksikan itu semua karena ia memiliki mata bocah
itu. Bila ia bisa memiliki mata itu, ia akan bisa melihat segalanya dengan
berbeda sekaligus akan memiliki mata paling indah di dunia! Mungkin ia bisa
menemui orang tua bocah itu baik-baik, menawarinya segepok uang agar mereka
mau mendonorkan mata bocah itu buatnya. Atau ia bisa saja merayu bocah itu
dengan sekotak cokelat. Apa pun akan Gustaf lakukan agar ia bisa memiliki
mata itu. Bila perlu ia menculiknya. Terlalu banyak anak jalanan berkeliaran,
dan pastilah tak seorang pun yang peduli bila salah satu dari mereka hilang.
Gustaf
tersenyum. Ia sering mendengar cerita soal operasi ganti mata. Ia tinggal
datang ke Medical Eyes Centre untuk mengganti matanya dengan mata bocah itu!
Gustaf
hanya perlu menghilang sekitar dua bulan untuk menjalani operasi dan perawatan
penggantian matanya. Ia ingin ketika ia muncul kembali, semuanya sudah tampak
sempurna. Tentu lebih menyenangkan bila tak seorang pun tahu kalau aku baru
saja ganti mata, pikirnya. Orang-orang pasti akan terpesona begitu memandangi
matanya. Semua orang akan memujinya memiliki mata paling indah yang bagai
menyimpan dunia.
Pagi
ketika Gustaf berangkat kerja dan terjebak rutin kemacetan perempatan jalan
menjelang kantornya, ia melihat seorang bocah duduk bersimpuh di trotoar
dengan tangan terjulur ke arah jalan. Kedua mata bocah itu kosong buta!
Gustaf hanya memandangi bocah itu. Ia ingin membuka jendela, dan melemparkan
recehan, tapi segera ia urungkan karena merasa percuma.
Ia
melangkah melewati lobby perkantoran dengan langkah penuh kegembiraan ketika melihat
setiap orang memandang ke arahnya. Beberapa orang malah terlihat melotot tak
percaya. Gustaf yakin mereka kagum pada sepasang matanya. Gustaf terkesima
memandang sekelilingnya….
Dengan
gaya anggun Gustaf menuju lift.
Begitu
lift itu tertutup, seorang perempuan yang tadi gemetaran memandangi Gustaf
terlihat menghela napas, sambil berbicara kepada temannya.
”Kamu
lihat mata tadi?”
”Ya.”
”Persis
mata iblis!”
Jakarta,
2006
|
0 comments:
Post a Comment