SAYA ingin bertemu Bapak
Presiden. Ada
kisah yang ingin saya ceritakan. Saya beroleh kabar, beliau adalah pendengar
yang baik. Konon, sewaktu mau jadi presiden, beliau rajin bertandang ke
rumah-rumah penduduk, mendengarkan dengan tekun apa yang menjadi keluh kesah
dan harapan para penduduk yang didatanginya itu. Pernah, suatu hari, beliau
berkunjung ke rumah sederhana milik Pak Mayar, seorang petani renta berusia
85 tahun yang hanya punya sepetak kebun. "Saya datang ke sini untuk
mendengarkan…." Begitu kira-kira, kata beliau kepada Pak Mayar yang
terheran-heran oleh kemunculan beliau yang tiba-tiba. "Ceritakan saja
semuanya… Sampaikan secara terbuka, terus terang, dan tidak usah
takut-takut…."
Di rumah Pak Mayar itulah
beliau kemudian mengadakan pertemuan. Disorot puluhan kamera para wartawan,
beliau mendengarkan semua yang diceritakan dengan sabar, tekun, dan penuh
perhatian.1
Saat ini, amat sulit
menemukan pendengar yang baik. Padahal, sebagai tukang cerita, sudah tentu
saya sangat membutuhkan pendengar. Apalah artinya tukang cerita kalau tak ada
lagi yang mau mendengarkan kisah-kisah yang diceritakannya?
Saya berharap, beliau mau
mendengar cerita saya….
INI cerita tentang Kadosta.
Ia penjual buah duku keliling di kota
kami. Perawakannya sedikit gempal, dengan leher yang bagai melesak ke dalam
pundak-mungkin disebabkan karena ia selalu mengusung keranjang jualannya di
atas kepala. Meski usianya belum terlalu tua, baru sekitar 47 tahunan,
seluruh kepalanya yang terlihat peyot di sana sini nyaris dipenuhi uban. Kepala itu
jadi terlihat lucu ketika ia berjalan keliling menjajakan buah duku-kau
seperti melihat bola voli kempes ditindih keranjang yang berat. Bila musim
duku tiba, kami akan melihat Kadosta seharian berjalan keliling kota. Ia tak pernah
berteriak-teriak ketika menjajakan. Ia hanya berjalan diam. Sementara matanya
yang bulat dan gelap bergerak-gerak pelan. Ia melayani pembeli dengan diam,
terkesan lamban, tetapi sikapnya membuat setiap pembeli merasa kerasan dan
ingin berlama-lama berada di dekatnya. Kediamannya terasa menenteramkan, dan
membuat kami seperti menemukan seseorang yang mau mendengarkan. Dan itulah
yang membuat Kadosta sangat istimewa!
Ada
baiknya kami ceritakan terlebih dahulu perihal kota kami, agar kau bisa mengerti bagaimana
orang seperti Kadosta terasa begitu istimewa. Bila kau datang ke kota kami, segera akan kau rasakan kebisuan dan
keremangan yang panjang, karena segala hal di kota kami terlihat bagaikan bayang-bayang.
Pepohonan, tiang listrik, patung- patung taman, sepeda yang bergerak lamban,
sado dan becak, juga puluhan kucing dan anjing yang berkeliaran di antara
tong-tong sampah di sudut jalan-semuanya tampak tak nyata, seperti bayangan
yang tak bisa kau sentuh wujudnya. Apalagi langit di kota kami selalu tampak redup, seperti kain
satin lusuh kecoklatan yang dibentangkan, halus tapi membosankan.
Kadang-kadang angin menggeremang gamang, seakan ingin menghapus semua
kenangan sepanjang lorong-lorong jalan yang lebuh oleh debu kelabu. Sedang
siluet gedung-gedung tua tampak seperti wajah berjerawat seorang perjaka yang
baru putus cinta. Sementara cahaya selalu memilih bersembunyi di bawah kolong
rumah-rumah panggung dari kayu yang sudah lapuk dan terus-menerus menguap
pengap.
"Seperti ada kebosanan
yang mengendap di kota ini…, seperti ada
sesuatu yang disembunyikan…" kata para pendatang, yang selalu merasa
heran dengan segala kelemban lamban di kota
kami. Segala sesuatunya nyaris tanpa suara. Tanpa percakapan.
Memang, di kota kami yang remang, kami terbiasa
melakukan aktivitas sehari-hari tanpa percakapan. Apabila kami saling
berpapasan di jalan, kami cukup saling melambai atau mengangkat bahu atau
sekadar bersalaman. Sedang di kantor, kami bekerja tanpa percakapan, hanya
saling mengangguk atau menggeleng andaikan ada urusan yang mesti
diselesaikan. Kami bangun, berkumur dan sikat gigi, mandi dan sarapan
pagi-semuanya sedapat mungkin kami lakukan tanpa menimbulkan suara. Bila kami
pergi ke toko kelontong atau berbelanja ke pasar, kami cukup menunjuk apa
yang kami inginkan: cabe, lengkuas, ketumbar, kunyit, biji pala atau merica…,
dan penjual akan segera membungkus apa yang kami inginkan. Seberapa banyak
kunyit atau merica atau biji pala yang kami perlukan, pedagang-pedagang itu
sepertinya sudah mafhum. Para pedagang
selalu memberikan apa yang kami inginkan dalam takaran yang pas, sebagaimana
yang kami butuhkan. Sementara itu, berapa harga setakar ketumbar atau sejumput
jewawut atau segenggam garam, yang membeli pun seperti sudah tahu. Hingga
ketika kami membeli apa pun, kami hanya perlu menyerahkan uang tanpa khawatir
akan kurang dan tak perlu repot menunggu kembalian. Ini tentu menyenangkan,
karena kami jadi tak perlu pusing meributkan kenaikan harga-harga-seperti
yang kami dengar banyak terjadi di kota-kota lain.
Kota kami memang remang, tetapi terasa
tenang….
Tentu saja, pada awalnya, kota kami juga penuh
suara dan nyanyian. Hatta, menurut satu legenda, kota kami pada mulanya merupakan permukaan
danau yang sangat bening-kau dapat melihat kerut di lipatan matamu, bila kau
menjenguk ke permukaan danau itu. Lalu, pada suatu hari, dari dasar danau itu
perlahan-lahan muncul sebuah kota
dengan istana-istana dan kastil-kastil yang terlihat bening berkilauan,
seperti pahatan patung-patung dari balok es. Pohon-pohon cemara dan kelapa,
hamparan rumput, biji-biji palawija, bahkan burung-burung yang terbang
melintas, semuanya seolah-olah terbuat dari tatahan batu onyx yang bening
transparan berkilauan. Dan langitnya serupa lengkung bola kristal kaca-konon,
kau bisa melihat bayangan surga melalui kejernihannya.
Orang-orang yang terpesona
pun segera berdatangan dan menetap. Keindahan kota itu membuat mereka tak bosan-bosan berbincang
dan bercerita. Sepanjang hari mereka bercakap-cakap dan saling bercerita
dengan riang. Seakan- akan setiap orang selalu punya cerita yang ingin
disampaikan kepada yang lainnya. Maka setiap orang pun terus-menerus
bercerita. Seakan- akan cerita yang disampaikannya itu adalah yang paling
penting dan merupakan satu-satunya cerita yang harus didengarkan. Begitulah,
mereka terus saja suka bercakap- cakap dan bercerita tentang capung yang bisa
menembus kaca, kuda sembrani berbulu gading, dan cerita-cerita ajaib lainnya.
Lama-kelamaan, bersamaan
dengan kota yang semakin ramai, mereka lebih banyak cerita dan bicara soal
udara kota yang mulai terasa gerah, jalanan yang rusak berlubang-lubang,
got-got mampet dan jadi sarang nyamuk, bau bacin pengolahan limbah,
pohon-pohon yang ditebang serampangan, bangunan-bangunan liar yang bikin
sesak kota, kakus-kakus yang tak terurus, para opas yang malas, polisi-polisi
yang selalu tak pernah ada saat dibutuhkan, tumpukan kasus di pengadilan,
uang sogokan di bawah meja….
Sudah barang tentu, karena
setiap orang sibuk berkata-kata dan bercerita, makin lama kota kami pun makin
penuh percakapan menjemukan dan menjengkelkan-seperti kawanan sapi malas yang
terus-menerus melenguh-sedangkan jalan-jalan terus saja bertambah parah, kantor-kantor
jadi tambah sumpek, gubeg-gubug liar makin menjalar, istana-istana dan
kastil- kastil indah bening berkilauan yang dulu banyak berdiri di kota kami
perlahan-lahan menguap dan memudar, sementara langit di kota kami tahu-tahu
sudah berubah seperti cermin buram. Kemudian mereka saling bertengkar dan
menyalahkan….
"Saya sudah menceritakan
semua itu, tapi kalian tak mau dengar…."
"Sejak dulu sudah
kukatakan, tapi kamu tetap tak mau mendengar…."
"Sekarang kamu mesti
dengan apa yang akan saya ceritakan…."
"Elu yang mesti
dengar….""
"Kenapa sih kamu enggak
pernah mau dengar?!"
"Dengar dong apa yang
saya katakan!"
Dan mereka terus-menerus
bertengkar karena tak ada yang mau mendengar. Lalu sebagian orang kemudian
memilih untuk diam-bukan diam karena mau mendengar, tetapi diam karena malas
mendengarkan. Sebagian lagi mulai enggan melakukan percakapan, sebab merasa
bosan dikarenakan tak ada seorang pun yang mau mendengarkan. Maka,
pelan-pelan, kota
kami pun mulai kehilangan percakapan. Semuanya memilih diam. Mereka tak lagi
mempercakapkan jalan-jalan yang sudah rusak parah; tak lagi memperbincangkan
bau bacin selokan yang membuat kota
bertambah suram. Kebisuan seperti karung yang membungkus kota kami.
Bahkan, ketika suatu kali
terjadi pembunuhan besar-besaran di kota
kami, semua warga lebih memilih diam. Mereka tak pernah mau mempercakapkan
ribuan warga yang diculik segerombolan berseragam, dibawa ke kebun karet,
kemudian dihabisi dengan serentetan tembakan. Sebagian lagi mati di gantung
atau dibuang ke jurang. Saat itu, di kota
kami, sepertinya ada hantu palasik yang siap mengisap otak setiap orang yang
masih saja suka kasak- kusuk melakukan percakapan. Karena semuanya
diam-tahukah kau, bahkan kucing, anjing dan unggas di kota
kami pun ikut-ikutan membisu ketakutan-maka cerita dan peristiwa itu pun
bagaikan bayangan samar-samar yang makin membuat redup kota kami. Sejak itu segala sesuatu
berlangsung lebih pelan, serupa bisikan dan gunjingan yang dipenuhi
kisah-kisah menyeramkan yang beredar diam-diam. Seperti ada trauma yang
membuat setiap warga memilih untuk terus-terusan diam.
Kami pun menjadi terbiasa
hidup tanpa percakapan. Kami terbiasa diam ketika terjadi banyak kejanggalan.
Kami terbiasa diam dengan segala kerumitan ketika kami mengurus surat-surat
di kantor- kantor jawatan; terbiasa dengan trem yang selalu tabrakan dan
terlambat melulu; terbiasa menerima tanpa percakapan semua peristiwa yang tak
pernah jelas penyelesaiannya. Begitulah, dari tahun ke tahun, kota kami pun makin diam
dan terasa muram. Kini kami terbiasa menyaksikan langit kota kami yang selalu tampak redup, seperti
kain satin lusuh kecoklatan dibentangkan, halus tapi membosankan. Seperti kota yang kehilangan
harapan….
Begitulah, kenapa Kadosta
terasa begitu istimewa. Sebagai penjual duku, tentu saja ia hanya terlihat
berkeliling kota
setiap musim duku tiba. Ia berjalan diam menyusuri lorong-lorong kota. Mereka yang ingin
membeli duku tinggal melambai, dan Kadosta akan mendekat. Dengan tanpa suara
Kadosta akan segera menurunkan keranjang dari kepalanya, duduk bersimpuh,
membungkus duku dan menyerahkannya pada pembeli. Semua berlangsung tanpa
percakapan. Tapi itulah…, begitu menerima sebungkus duku yang diberikan
Kadosta, para pembeli itu seperti enggan beranjak. Para
pembeli itu akan betah berlama- lama memandangi Kadosta yang duduk bersimpuh
menundukkan wajahnya yang dipenuhi bintil-bintil kemerahan. Dan Kadosta akan
terus duduk seperti itu sembari mengusap-usap keringat yang membasahi
lehernya dengan handuk kecil yang sudah kucel, seakan- akan ia tahu bahwa
pembeli itu masih menginginkannya untuk tetap berada di dekatnya. Dan Kadosta
bisa duduk bersimpuh seperti itu berjam-jam, seperti orang yang dengar sabar
mau mendengar. Sungguh, ia seperti memiliki bakat luar biasa untuk jadi
pendengar.
Kami tak pernah mengetahui
secara pasti, kapan persisnya kami menyadari keistimewaan Kadosta itu.
Mungkin sudah lama, tapi kami tak pernah menyadarinya. (Hanya kadang-kadang
saja kami seperti diusik perasaan kehilangan bila tak melihat Kadosta
berjalan keliling kota
berjualan duku. Dan itu selalu terjadi bila sedang tak musim duku). Tapi yang
jelas, lima
bulan sebelum penyelenggaraan pemilu, kami makin menyadari keistimewaan
Kadosta.
Saat itu puluhan orang asing
datang ke kota
kami. Mereka berteriak-teriak dan terus-menerus berbicara tentang apa saja
yang sudah kami lupa karena selama ini kami tak pernah mempercakapkannya.
Sepanjang hari mereka memekikkan yel-yel, menggelar orasi dan pidato,
menghamburkan jutaan kata. Kami sampai gemetaran mendengarnya. Maklumlah,
sudah bertahun-tahun kota
kami tak pernah diusik keriuhan seperti itu. Awalnya kami cukup merasa
senang, menganggap itu sebagai sebuah hiburan setelah sekian lama kami tak
mendengar ocehan. Tetapi, lama-kelamaan kami justru merasa bosan dan
sedih-karena kami kemudian menyadari: betapa mereka semua yang sibuk
berkata-kata memang hanya sibuk dengan apa yang mereka katakana tanpa pernah
ada di antara mereka yang mau mendengar….
Sejarah buruk kota kami seperti akan
menjadi kutukan yang berulang!
Dan saat itulah kami teringat
Kadosta. Kami seperti tercerahkan: betapa istimewanya dia karena punya
kemampuan mendengar yang luar biasa. Kami jadi teringat bagaimana dia duduk
bersimpuh penuh kesabaran, hingga kami yang berada di dekatnya merasa
nyaman-seperti menemukan sesuatu yang selama ini kami rindukan. Kami terkesan
dengan telinga Kadosta yang bergerak-gerak pelan, seakan menyediakan diri
untuk mendengarkan. Kami pun menyukai bentuk telinganya yang agak besar
kecoklatan. Ada
benjolan sebesar biji salak di bagian belakang telinga kirinya. Bukan telinga
yang indah memang. Malah banyak daki kering di seputar liangnya. Tapi kami
menyukai telinga itu, karena selalu membuat kami senang. Telinga itu selalu
membikin kami betah.
Setiap kali berada di dekat
Kadosta, perlahan-lahan kami merasakan ada yang mendesir lembut dalam darah
kami, merayapi saraf- saraf di seputar pipi kami hingga membuat mulut kami
terasa ringan… lalu tanpa sadar mulut kami pun terpulas senyum. Dan pada saat
bersamaan bagaikan ada yang ingin meloncat keluar dari kerongkongan
kami-sesuatu yang selama ini memepat di dada.
Begitulah, mula-mula seulas
senyuman. Lalu geremang yang mengambang, batuk-batuk kecil yang dipaksakan,
kerecap lidah, siulan patah-patah, gumam yang disertai tawa pelan. Lalu
sapaan, "Halo…", "Hai…", "Hmmm…",
"Yap!", "Ahaa…", "Oooo…" yang terdengar makin
lama-makin panjang. Dan kami, tahu-tahu, sudah berbicara setiap kali bertemu
Kadosta,
"Apa kabar…," sapa
Mak Katen.
"Mampirlah sini,
Kadosta…." kata Mbok Mawawi.
"Kemarilah Kadosta, ada
yang ingin saya ceritakan…," ujar Kang Kawurjan.
Kami pun jadi seperti
tersadarkan, betapa kami sesungguhnya punya nama. Pitados, Sakedik, Samanten,
Utawi, Wangsulan, Tumitah, Saweg, Kapisan. Kami semua jadi suka duduk
lama-lama bercerita kepada Kadosta yang dengan sabar dan penuh perhatian
mendengarkan omongan kami. Alangkah nikmatnya bisa menemukan seorang yang mau
mendengarkan…
Seperti ada mukjizat yang
membuat kota
kami menggeliat. Dan beberapa warga pun mulai terlihat senang kumpul-kumpul,
bercakap- cakap.
"Kenapa ya dulu kita tak
bisa begini ceria?" kata Wangsulan.
"Ini pasti karena
Kadosta!" tegas Utawi.
"Saya sudah mengatakan
ini dari dulu! Kamu saja yang enggak dengar!" sergah Kapisan.
"Coba kalau kamu mau
mendengar apa yang saya katakan…," Tumitah berkata tak mau kalah.
"Kenapa aku mesti
mendengar omonganmu, he?! Mestinya kamu yang belajar mendengar!" bentak
Mang Kono.
"Enak aja! Kamu tuh yang
mestinya dengar!"
"Dengar sebentar kenapa,
sih!"
"Kamu yang harus
dengar!!"
'Dengar, kamu yang mesti dengar!”
"Kenapa sih kamu enggak
mau dengar?!"
Upp…, ternyata tak gampang
mau jadi pendengar. Alhasil, kami selalu memerlukan Kadosta untuk jadi
pendengar. Pitados yang marah kepada dinas tata kota karena anaknya terperosok
gorong-gorong melontarkan dampratannya kepada Kadosta. Utawi yang baru putus
cinta meratapkan dukalaranya kepada Kadosta. Sakedik yang jengkel karena tak
bisa merampungkan teka-teki silang meluapkan kejengkelannya kepada Kadosta.
Klilipan dan Pitaya yang sudah lama bermusuhan saling melontarkan makian dan
kegeraman di hadapan Kadosta-hingga keduanya merasa lega, lalu tertawa-tawa
dan pulang berangkulan. Setiap ada persoalan, setiap ada urusan yang harus
dibereskan, kami segera mendatangi Kadosta. Dan dengan cara mendengarkannya
yang luar biasa, ia mampu membuat setiap persoalan atau urusan terasa lebih
mudah diselesaikan….
Karena itulah, di musim
pemilu itu, kami segera menyadari keistimewaan Kadosta. Ketimbang
mendengarkan teriakan dan pidato-pidato yang membosankan, kami lebih memilih
mendatangi Kadosta untuk menyampaikan semua harapan dan keinginan kami. Dan
Kadosta mendengarkan dengan sabar. Caranya tersenyum seperti membuat langit
di kota kami
menjadi lebih cerah. Dan warga kota
pun saling tersenyum, seperti hendak saling meyakinkan, betapa mereka sudah
menemukan apa yang selama ini mereka rindukan: seorang pemimpin yang mau
mendengarkan….
Tak mengherankan, saat pemilu
diumumkan, Kadosta terpilih menjadi pemimpin di kota kami. Kami bahagia karena telah
memilih "seorang yang mau mendengar" sebagai seorang pemimpin.
Sebab, sepanjang yang kami alami, tak pernah kami menjumpai pemimpin yang mau
mendengar. Beda dengan Kadosta. Ia membuat kami tak perlu merasa sungkan bila
kami ingin menceritakan semua persoalan, keinginan dan harapan kami. Bukankah
ia orang yang bisa mendengar!
Tapi karena sekarang Kadosta
menjadi pemimpin, kami harus cukup tahu diri apabila ingin menemui. Kami
mesti mengisi buku tamu terlebih dulu. Lalu dipersilakan menunggu. Karena
dari hari ke hari yang datang kepada Kadosta bertambah banyak, maka kami pun
rela ketika setiap pertemuan dengan Kadosta mesti diatur terlebih dahulu.
Setiap jadwal pertemuan sudah harus ditentukan! Tentu saja, karena kesibukan
Kadosta, setiap pertemuan jadi sangat terbatas. Agar adil dan merata, setiap
yang datang diberi kesempatan secukupnya untuk bercerita. Namun, karena
"secukupnya" tak jelas ukurannya (hingga kadang seseorang bisa
begitu lama bercerita sementara yang lain gelisah menunggu gilirannya) maka
dibuatlah aturan yang lebih tegas: satu jam per orang. Tetapi, menimbang dan
memperhatikan jumlah yang datang dari waktu ke waktu selalu bertambah, maka
lama setiap pertemuan pun mengalami "penyesuaian": setengah jam per
orang… kemudian disesuaikan menjadi 15 menit/orang…, 5 menit/orang…, 1 menit/
orang…, 10 detik/ orang… 5 detik/orang….
Petugas akan memanggil, dan
yang dipanggil bergegas menemui Kadosta, lalu segera mengungkapkan
keinginannya, "Eee, begini, Kadosta… Saya rasa…."
"Stop! Waktu
habis!" teriak petugas mengingatkan, kemudian segera membawa orang itu
keluar ruangan….
Begitulah, sebagian dari kami
kemudian mulai mengeluh, betapa sulitnya kini bila ingin bertemu Kadosta.
Yang lain mengatakan, kalau Kadosta sekarang tak lagi punya waktu untuk
mendengarkan. Di sana-sani terdengar gumam kekecewaan. Tapi siapa yang mau
mendengar? Di kota
kami, hanya Kadosta yang mau mendengar.
Sampai kemudian kasak-kusuk
terjadi: Kadosta sudah sangat kewalahan membagi waktu untuk mendengarkan.
Bahkan kabarnya Kadosta sudah mulai menganggap konyol itu semua. "Bagaimana
saya bisa bekerja kalau sepanjang hari saya hanya mendengarkan omongan dan
cerita kalian?!" teriak Kadosta. Alangkah menakjubkan, itulah kali
pertama kami mendengar Kadosta bersuara.
Sejak itu Kadosta mulai
banyak bicara kepada kami, mengatur dan memberi perintah, agar kami tak
selalu mendatanginya hanya karena perkara-perkara yang menurutnya bisa
diselesaikan kami sendiri. "Banyak yang harus saya kerjakan selain
mendengarkan kalian…," katanya, sebagaimana dikutip koran- koran. Ia pun
memerintahkan "agar seluruh warga kota
mendengarkan apa saja yang dikatakannya", agar semuanya bisa
"berjalan efektif, efisien, terukur. dan terencana…."
Kadosta mulai suka berpidato
dan berbicara. Biasanya, setiap akhir pekan, ia mengumpulkan semua warga
untuk mendengarkannya bicara di atas podium di alun-alun kota. Suaranya mantap dan meyakinkan. Tapi
pada saat seperti itulah, kami seperti menyaksikan gelembung-gelembung busa
yang mendadak pecah di udara….
DEMIKIANLAH, kenapa saya
ingin bertemu Bapak Presiden. Tapi saya tak tahu, bagaimana caranya agar saya
bisa bertemu beliau, dan bisa menyampaikan ini cerita. Membayangkan bagaimana
caranya ketemu beliau saja sudah merupakan kerumitan bagi tukang cerita macam
saya. Yeah, katakanlah saya bisa bertemu beliau, dan punya kesempatan untuk
bercerita….
Tapi apakah beliau mau
mendengar?
Yogyakarta, 2005
Catatan:
¹ Lihat berita Kompas (Kamis, 27 Januari 2005, hal 8),
"Melihat Perubahan dari Beranda Rumah Pak Mayar", yang mengilhami
cerpen ini. Di rumah Pak Mayar itulah, SBY dan rombongan tim suksesnya semasa
Pemilu Presiden mendeklarasikan Koalisi Kerakyatan.
|
0 comments:
Post a Comment