Tiga kali Ny Laila tak sadarkan
diri. Yang pertama pukul sembilan pagi ketika ia mendapat kabar Mansur,
anaknya, meninggal dunia. Dunia tiba-tiba terasa jadi begitu gelap. Tak
pernah terbayangkan anak keduanya akan pergi begitu cepat. Karena itu, begitu
mendengar kabar duka itu, seluruh persendian tubuhnya terasa lunglai. Ia
seperti kehilangan seluruh darah dan tenaganya.
Ny Laila pingsan untuk kedua
kalinya pukul sebelas siang begitu ia akhirnya tahu orang kasak-kusuk
membicarakan soal penyebab kematian Mansur. Putranya yang baru berusia 18
tahun itu meninggal bukan karena komplikasi penyakit yang selama ini ia
derita dan membuatnya harus dirawat di rumah sakit. Mansur meninggal karena
bunuh diri. Ia dikabarkan melompat dari lantai empat rumah sakit tempatnya
dirawat selama ini. Untuk pertama kalinya Ny Laila berteriak histeris. Ia tak
ingin percaya dengan apa yang ia dengar.
Untuk ketiga kalinya Ny Laila
pingsan setelah jasad Mansur dibawa pulang dari rumah sakit. Ia pingsan
setelah melolong-lolong sambil mendekap tubuh lunglai Mansur. Sisa-sisa darah
masih tampak di beberapa bagian tubuh putranya. Dua petugas kepolisian baru
saja pulang. Keduanya gagal membujuk Mahmud, suaminya, untuk menuntut pihak
rumah sakit yang telah mengabaikan unsur pengamanan bagi para pasien.
Kematian Mansur tak lepas dari lemahnya hal itu. Mahmud tak ingin lagi
direpotkan untuk urusan-urusan seperti itu. Ia ingin menerima kematian
anaknya sebagai suratan takdir. Kecuali kalau tuntutan itu bisa menghidupkan
lagi anaknya.
Kini Ny Laila duduk bersimpuh
di salah satu sudut ruangan tak jauh dari jasad Mansur dibaringkan. Ia merasa
seluruh tubuhnya kian lemah. Tatapan matanya kosong. Ia seperti tak lagi
mendengar orang-orang yang berganti-ganti mendekatinya dan menghiburnya.
Sesekali air matanya meleleh. Matanya sembab. Mahfud, kakak Mansur, duduk
bersimpuh di samping jenazah adiknya sembari tak henti-henti membacakan Surat
Yasin. Suaranya patah-patah. Di sebelahnya, Mahmud, ayahnya, juga membacakan
Surat Yasin. Suaranya terputus-putus dalam isak yang tertahan. Sesekali ia
menyeka air mata. Sesekali ia juga berhenti membaca ayat-ayat suci itu untuk
menerima uluran tangan atau dekapan para tamu yang datang untuk menyatakan
ikut berbelasungkawa.
Di mata Ny Laila terus-menerus
melintas bayangan Mansur yang ceria. Pada usia 16 dua tahun lalu, Mansur
adalah anak yang sangat sehat. Meskipun badannya gemuk, ia adalah anak yang
lincah. Suka bermain sepak bola. Ia juga rajin mengikuti kegiatan remaja
masjid dan aktif sebagai anggota kelompok marawis. Mansur adalah anak yang
disukai teman-temannya karena perangai santunnya. Ia tak pernah menyakiti
perasaan teman-temannya.
Memasuki usia 17, Mansur memang
mulai mengeluhkan tubuh tambunnya. Cinta membuatnya ingin tampil lebih
menarik. Mona, gadis temannya di kelompok remaja masjid yang ditaksirnya,
kata Mansur kepada ibunya, menolak cintanya. Mona ingin punya pacar yang tubuhnya
langsing.
Mengikuti nasihat ibunya,
Mansur kemudian mencoba berpuasa tiap hari Senin dan Kamis. Tetapi, baru
berjalan satu bulan, ia berhenti karena tak tahan godaan. Upaya mengurangi
makan pun tidak berhasil karena Mansur juga tak bisa menahan rasa lapar. Ny
Laila tahu bagaimana Mansur secara sembunyi-sembunyi makan atau jajan.
Ayahnya yang kemudian
menyarankan Mansur meminum minuman suplemen pelangsing tubuh yang banyak
diiklankan dan dijual di toko-toko. Dan, ternyata, hasilnya sangat manjur.
Bobot badan Mansur turun secara menakjubkan karena ia memang seperti
kehilangan nafsu makan. Tetapi, empat bulan kemudian Mansur jatuh sakit.
Dokter yang memeriksa meminta Mansur menjalani rawat inap karena ususnya
mengalami luka serius. Mahmud yang kemudian tak henti menyesali dirinya.
Kenapa ia sendiri yang justru menyarankan anaknya meminum suplemen pelangsing
tubuh itu? Mengapa ia tak membiarkan saja Mansur memiliki tubuh tambun tapi
sehat? Apalagi setelah dua pekan dirawat di rumah sakit, Mansur kemudian jadi
langganan. Ia bolak-balik menjalani perawatan karena penyakitnya kerap kali
kambuh. Yang terakhir, kata dokter, ia mengalami komplikasi. Selain luka di
usus yang kembali kumat, ginjalnya juga terganggu. Karena itu, ia kembali
harus dirawat untuk waktu yang tak jelas sampai kapan.
Lima malam sebelum kematian Mansur,
Mahmud bersimpuh di atas sajadah di kamarnya di tengah malam. Kepada Tuhan ia
panjatkan doa agar putranya segera disembuhkan. Kepada Tuhan pula ia mengadu
bahwa ia tak lagi punya uang untuk membayar biaya-biaya perawatan dan
pengobatan anaknya. Hampir semua benda berharga di rumahnya telah dijualnya.
Ia kini hampir tak memiliki apa-apa lagi.
Empat malam sebelumnya, Ny
Laila membesuk putranya. Dan menginap di rumah sakit. Tengah malam ia terbangun
dan terkesima melihat sesosok wanita berpakaian serba putih berdiri di sudut
ruangan. Sorot mata perempuan berambut panjang itu begitu tajamnya
sampai-sampai mulut Ny Laila ternganga dan napasnya terengah-engah ketakutan.
Keringat dingin mengucur dari sekujur tubuhnya. Sorot mata itu seolah
mengatakan ia tak boleh berada di situ. Sorot mata itu melukiskan betapa
perempuan itu membencinya. Ketika akhirnya bayangan itu lenyap, Ny Laila
merasa tubuhnya panas dingin. Ia tak mampu lagi memejamkan mata sampai pagi
tiba. Sesampainya di rumah, panas dinginnya tak kunjung hilang. Sorot tajam
tatapan mata perempuan misterius itu seolah terus mengikutinya. Karena itu,
ia tak lagi berani membesuk putranya.
Juga kemarin, sehari sebelum
Mansur dikabarkan meninggal dunia. Kata Mahmud, suaminya, Mansur ingin segera
dibawa pulang. Tetapi, sebelum itu, ia ingin sekali ibunya datang membesuk.
Amat merindukan ibunya. Dengan alasan tubuhnya masih lemah, Ny Laila menolak
pergi ke rumah sakit. Sampai kemudian ia mendengar kabar itu dan kini ia cuma
bisa menyesali semuanya.
Ny Laila masih bersimpuh di
tempatnya. Tiba-tiba ia menangis lagi. Ia ingat ucapan seorang guru ngajinya.
Bahwa orang yang meninggal karena bunuh diri, arwahnya tak bisa diterima
Tuhan. Tuhan bahkan memurkai makhluk-Nya yang membunuh dirinya hanya karena
ingin melepaskan diri dari segala belitan persoalan hidup. Duka mendalam
menderanya. Dalam tangis ia berdoa semoga Tuhan mau memaafkan segala
kesalahan anaknya.
Sebagai tetangga, aku datang
melayat sesaat sebelum jenazah Mansur dimandikan. Kuucapkan rasa belasungkawa
mendalam kepada Mahmud yang tampak tegar. Matanya tampak lelah dan marah. Ia
tersenyum getir. Kuucapkan juga rasa belasungkawa kepada Ny Laila. Air
matanya meleleh. Tak ada senyum. Tatapannya kosong. Menembus relung-relung
gelap di antah berantah.
Kusingkap kain penutup wajah
Mansur. Di pipi kirinya ada sisa-sisa darah yang telah mengering. Tetapi, ia
tampak damai. Pejam matanya seperti bocah remaja yang tengah tertidur pulas
sekali. Bahkan bibirnya seperti tengah tersenyum. Jauh dari gambaran-gambaran
menyeramkan yang secara liar melintas dalam benakku. Sebelum pulang, dengan
tulus kuucapkan pula doa. Allahummaghfirlahu warhamhu waafihi wa’fu anhu.
Setelah itu kubacakan Surat Alfatihah. Semoga arwahnya diterima di sisi
Tuhan. Apa pun penyebab kematiannya.
Ocha, putriku, baru saja bangun
dari tidur siangnya ketika aku tiba di rumah. Ada segaris putih di sudut bibirnya tanda
ia ngiler waktu tidur.
”Ayah habis dari mana?” ia
bertanya. Suaranya serak.
”Habis melayat.”
Gadis berusia enam tahun itu
menyibak rambut yang menutupi matanya.
”Melayat Bang Acung?” ia
bertanya lagi.
”Bang Acung? Bukan. Bang
Mansur,” kataku.
”Iya, Yah. Bang Acung itu Bang
Mansur,” istriku menimpali sambil lewat.
”O, gitu. Memangnya kenapa,
Ocha?” aku bertanya melihat ia seperti sangat tertarik.
”Yah, Bang Acung kata orang
mati karena bunuh diri,” gadisku bersila di hadapanku.
”Ocha dengar dari siapa?”
”Kata orang-orang, Yah. Bunuh
diri itu kan
enggak boleh ya, Yah. Tetapi, orang-orang enggak tahu sih. Bang Acung itu
bukan bunuh diri, Yah.”
”Kenapa Ocha bilang begitu?”
”Tadi Ocha mimpi, Yah,”
jawabnya.
Gadis kecilku itu kemudian
menceritakan mimpinya. Katanya, Bang Acung mula-mula sedang tidur di rumah
sakit. Tiba-tiba ia terbangun karena mendengar ada yang memanggil-manggil
namanya. Suaranya datang dari samping kamarnya. Bang Acung lalu membuka
jendela kamarnya. Tak jauh dari tempatnya berdiri, ia melihat seekor cecak.
Kepalanya dua. Lalu Bang Acung mendengar bisikan. Kata suara itu, kalau mau
sembuh dari penyakitnya, Bang Acung harus memakan cecak berkepala dua itu.
Bang Acung, cerita putriku selanjutnya, menyambar cecak itu untuk dimakan.
Saat itulah ia terpeleset dan terpelanting jatuh ke bawah.
”Jadi begitu ceritanya, Yah.
Jadi, Bang Acung itu bukan mati karena bunuh diri. Dia jatuh. Orang-orang
tidak pada tahu sih, Yah. Coba kalau mereka tahu seperti Ocha, orang-orang
pasti tidak akan bilang Bang Acung bunuh diri.”
Aku agak tertegun. Lalu
terbayang wajah damai Mansur. Dengan bibirnya yang seolah tersenyum.
Diam-diam aku pun berharap mimpi putriku tak sekadar bunga tidur.
Tanah
Kusir, Juli 2005
|
0 comments:
Post a Comment