Anton Pavlowich Chekov
Kompas, Minggu, 21 Juli 2002
KERAMAIAN senja. Salju basah yang lebat dengan
malas terbang mengitari nyala lentera yang baru saja dinyalakan, dan
perlahan-lahan hinggap dengan lembut pada atap, punggung kuda, pundak dan topi-topi.
Iona Potapov, sang kusir, telah lama memutih karenanya. Ia bertekuk-sejauh mana
badan makhluk hidup bisa melakukannya- duduk di atas kursi kereta dan tak
bergerak. Tumpukan salju telah menimbuninya. Walaupun demikian pada saat itu
seakan-akan ia tidak menemukan alasan untuk mengibaskan salju dari
dirinya....Kuda betinanya juga memutih dan bergeming. Dengan bentuk-bentuk kaki
yang ceking dan kaku, dia mirip permen jahe. Sang kuda barangkali tenggelam
dalam pikirannya. Kuda mana pun-yang dipisahkan dari weluku, dari
lukisan-lukisan alam nan biru, kemudian terbuang pada jeram yang dipenuhi
dengan nyala api yang mengerikan, gemerisik yang bising dan hiruk-pikuk
manusia-maka mau tak mau akan berpikir.
Iona dan kuda betinanya sudah lama tak beranjak dari
tempat. Mereka hanya keluar dari terminal pada waktu makan siang, dan
selanjutnya tidak. Sesaat, kegelapan malam datang menghampiri kota. Api lentera
yang pucat meredupkan warna-warna cat yang hidup. Kegaduhan jalanan pun mulai
ramai.
"Kusir, ke Viborskaya," terdengar oleh
Iona. "Kusir!"
Iona terkejut. Melalui bulu matanya yang dipenuhi
oleh salju ia melihat seorang opsir tentara memakai mantel berkudung.
"Ke Viborskaya!"-ulang sang opsir.
"Ah, kamu tidur ya? Ke Viborskaya!"
Sebagai tanda setuju Iona menggerakkan tali kekang.
Lapisan salju berhamburan dari punggung kuda. Sang opsir duduk di kursi
penumpang. Iona mendecak, menggelengkan kepala, sedikit bangkit dan seterusnya
seperti kebiasaan para kusir (bukan karena keperluan), ia mencambuk kudanya. Si
kuda betina menggerakkan leher, menyerongkan kakinya yang kaku dan dengan
enggan bergerak dari tempatnya tadi.
"Hai, mau kemana kau, bangsat!" terdengar
oleh Iona teriakan orang-orang yang berlalu lalang di samping dan di depan
dalam kegelapan. "Rupanya setan telah membawamu! Yang benar dong!"
"Kamu tak becus mengendalikan kuda rupanya! Ke
sebelah kanan!" Sang Opsir marah.
Seorang kusir pedati menyumpahi Iona, sedang
seorang pejalan kaki yang bahunya terendus moncong kuda, menatap marah sambil
menyeka salju dari tangannya. Iona duduk gelisah di pojok tempat duduknya
seakan mau jatuh. Ia menyentakkan sikut dan memalingkan mata seolah-olah tidak
mengerti mengapa dan buat apa berada di sana.
"Mereka bajingan!" kata sang Opsir.
"Toh mereka tinggal menghindar bertabrakan dengan keretamu atau mereka
jatuh ke bawah kaki kuda. Mereka tentunya tahu hal itu."
Iona melirik penumpangnya dan menggerakkan
bibirnya... tampaknya dia ingin mengatakan sesuatu, tetapi dari kerongkongnya
tak sepatah katapun keluar, kecuali hanya desisan.
"Ada apa?" tanya sang Opsir.
Iona berpaling dan dengan senyuman yang pahit ia
menegangkan tenggorokannya dan mengerang:
"Anak saya... Anak saya meninggal... minggu
ini."
"Hmmm... mati karena apa?"
Iona memalingkan seluruh tubuhnya pada si penumpang
seraya berkata:
"Siapa yang tahu hal itu! Ia demam.... tiga
hari dirawat di rumah sakit dan kemudian meninggal.... Begitulah Kehendak
Tuhan!"
"Belok goblok!" terdengar dalam
kegelapan. "Kamu linglung, anjing tua? Pakai matamu!"
Iona kembali menjulurkan leher, sedikit bangkit dan
mengibaskan cambuk dengan gemulai dan berat. Beberapa saat kemudian ia menoleh
pada penumpang, tetapi kali ini Sang Opsir memejamkan mata dan tampaknya ia
tidak bersimpati untuk mendengarkan. Setelah menurunkan penumpang di Viborsaya,
Iona berhenti di depan restoran dan lagi-lagi salju yang basah mengecat putih
Iona dan kudanya. Satu jam berlalu, dua jam....
Tiga orang laki-laki, dua di antaranya tinggi dan
kurus, seorang lagi kecil dan bungkuk datang menghampiri dengan suara langkah
yang keras pada trotoar.
"Kusir, ke jembatan Poliskaya!" teriak Si
Bungkuk dengan suara yang geram. "Kami bertiga... dua puluh kopek*!"
Iona menarik cambuk dan memukulkannya pada kuda.
Dua puluh kopek... harga yang tidak seimbang.... Tetapi harga tidak menjadi
masalah... satu rubel**, lima kopek... baginya sama saja... Yang penting ada
penumpang.
Orang-orang muda ini sambil saling dorong dan
menyumpah, naik ke kereta. Ketiganya langsung menjatuhkan diri ke kursi kereta.
Timbul sebuah pertanyaan: siapa dua orang dari mereka yang harus duduk dan
siapa yang harus berdiri? Setelah perang mulut, tingkah polah dan omelan yang
panjang, mereka sampai pada keputusan yaitu: karena yang paling kecil adalah Si
Bungkuk, maka ia lah yang harus berdiri.
"Baik, ayo maju!" Kata Si Bungkuk parau,
sambil mencari posisi yang enak dan menghembuskan napas pada leher Iona.
"Cambuk! A ha... Kawan topi apa ini? Dicari di seluruh Petersburg pun tak
akan ada yang sejelek ini."
"Ha... ha... Ha..." Iona tertawa.
"Ada kok..."
"Ya, ada, ayo cepat! Begini caramu
mengendalikan kuda sepanjang jalan? Hai? Mau kupukul lehermu?"
"Kepalaku sakit..." kata salah seorang
yang jangkung. "Kemarin di rumah Duhmasov, saya dan Vaska minum empat
botol brendi."
"Aku tak mengerti, buat apa kau
berdusta," kata Si Jangkung yang lain dengan marah. "Dia bohong
seperti binatang."
"Demi Tuhan, betul kok...."
"Ya betul, sebetul kutu batuk!"
"He... he... he..." Iona tersenyum lebar.
"Tuan-tuan yang berbahagia!"
"Cuih, demi setan!" Si Bungkuk menyela.
"Kau akan berangkat atau tidak, tua bangka? Begini caramu membawa kereta?
Cambuk kudamu! Demi setan! Kendalikan dengan benar!"
Iona merasakan badan gelisah dan suara parau Si
Bungkuk di balik punggungnya. Dia mendengar pula cacian orang-orang.
Sedikit-demi sedikit kesepian yang membanjiri dadanya reda. Si Bungkuk terus
menyumpah dengan enam tingkat sumpah serapah sampai tak bisa lagi menyumpah dan
batuk. Teman-temannya yang jangkung mulai membicarakan Nadezda Petrovna. Iona
menoleh pada mereka. Setelah menunggu sedikit jeda, ia menoleh lagi dan
berkomat-kamit:
"Anak saya... Anak saya minggu ini...
meninggal".
"Kita semua akan mati," Si Bungkuk
menarik napas, setelah menyeka bibirnya sehabis batuk. "Ayo Cepat!
Tuan-tuan, aku tak tahan lagi merayap seperti ini! Kapan dia akan mengantarkan
kita ke tujuan?"
"Kalau begitu... beri dia sedikit semangat di
lehernya?"
"Tua bangka! Kau dengar itu? Baik! Kan
kusentil lehermu! Pergi ke pesta dengan orang sepertimu, rasanya lebih baik
jalan kaki! Kau dengar, ular kadut? Atau kau tak peduli dengan kata-kata
kami?"
Iona sebenarnya mendengar lebih dari sekadar suara
hantaman di kuduknya.
"Ha... ha... ha..." Iona tertawa.
"Tuan-tuan yang berbahagia... semoga Tuhan memberkati Anda!"
"Kusir, kau telah kawin?" tanya Si
Jangkung.
"Saya? Ha... ha... ha... satu-satunya istri
saya sekarang ada di tanah yang lembab... He... he... he... kuburan! Anak saya
pun meninggal... Hal yang aneh. Kematian memasuki pintu yang salah. Seharusnya
dia menjemputku, eh malah dia datang pada anak saya..."
Dan Iona berpaling untuk menceritakan bagaimana
anaknya meninggal, tetapi pada saat itu Si Bungkuk memberi tanda bahwa 'Puji
Tuhan', akhirnya mereka sampai. Setelah menerima 20 kopek, Iona menatap hampa
pada para tukang pesta itu, yang kemudian menghilang ke balik pintu gerbang
yang gelap.
Kembali Iona menyendiri dan kembali kesepian
menghampirinya. Kesedihan yang beberapa saat lalu mereka muncul lagi dan
membanjiri dadanya dengan kekuatan yang lebih besar. Mata Iona menerawang
dengan sedih dan penuh harap pada kerumunan yang berlalu lalang di kedua sisi
jalan: tak dapatkah ia menemukan satu dari ribuan orang ini yang mau
mendengarkannya? Akan tetapi, gerombolan orang ini berlalu tanpa ada yang
peduli, baik pada dirinya maupun pada kesedihan itu. Kemasygulan hati Iona
tumpah ruah seakan-akan hendak membanjiri dunia, tetapi belum terlihat. Sang
kemalangan sanggup bersembunyi pada sel yang sangat kecil, sehingga pada saat
terang sekalipun tak ada yang mampu melihatnya....
Iona melihat penjaga rumah yang membawa karung, dan
memutuskan untuk bicara dengannya.
"Kawan, jam berapa ini?" tanya Iona.
"Hampir jam sepuluh... Kenapa kau berhenti di
sini? Ayo pergi sana!"
Iona maju beberapa langkah, bertekuk dan menyerah
pada duka lara. Menunjukkan pada orang-orang dia pikir sudah tidak ada gunanya.
Belum juga lima menit berlalu, ia sudah meluruskan badan dan menggelengkan
kepala seolah ia menderita sakit yang parah. Ia mengibaskan pecutnya.... Dan
tak kuasa menahan hal ini lebih lama lagi.
"Kembali ke terminal!" pikirnya.
"Ya, ke terminal."
Dan kuda betina kecilnya seakan-akan mengerti
pikiran Iona, ia mulai berlari kecil. Satu setengah jam kemudian Iona sudah
duduk di dekat perapian besar yang kotor. Di lantai, di atas bangku-bangku
orang-orang mendengkur. Udara pengap dan bau. Iona melihat pada orang-orang
ini. Ia menggaruk-garuk kepala dan menyesal mengapa pulang terlalu cepat....
"Buat dedak saja sudah tak cukup,"
pikirnya. "Itu sebabnya aku sedih. Manusia yang tahu betul bagaimana
seharusnya ia bekerja... yang sanggup mencukupi makanannya, dan makanan
kudanya, selalu hidup lebih tenang."
Di salah satu sudut, seorang kusir muda terbangun,
tenggorokannya mengorok dan ia menjangkau ember air.
"Mau minum?"
"Begitulah."
"Minumlah... demi kesehatanmu.... Anakku..
anakku meninggal minggu ini... kau dengar... di rumah sakit... Begitu
ceritanya!"
Iona menatap untuk melihat efek apa yang
ditimbulkan dari kata-katanya. Tetapi ia tak melihat apa pun. Si pemuda telah
menutupi kepalanya dan kembali tertidur. Sebesar rasa haus pemuda itu, sebesar
itu pula keinginan Iona untuk berbicara. Seminggu akan segera berlalu sejak
kematian anaknya dan dia masih belum dapat membicarakannya dengan siapa pun....
Ia ingin membicarakannya dengan serius, dan tersusun... Iona ingin menceritakan
bagaimana anaknya terjangkit penyakit, bagaimana anaknya menderita, apa yang
dikatakan sebelum anaknya meninggal, bagaimana anaknya meninggal... Iona ingin
memaparkan dengan jelas dan tersusun bagaimana ia harus mendaftarkan penguburan
dan bagaimana ia berlari ke rumah sakit untuk mengambil pakaian mendiang. Ia
masih mempunyai seorang putri, Anisya, di desa... Ya, timbul hasrat untuk
menceritakan hal ini, juga padanya. Sang pendengar akan mengaduh, menarik
napas, meratap. Makanya harus bicara pada seorang wanita. Walaupun mereka
makhluk yang menyedihkan, tetapi mereka selalu meraung sejak dua kata pertama.
"Ah lebih baik melihat kuda," pikir Iona.
"Selalu ada waktu untuk tidur... Kau akan tidur nyenyak, tak ada yang
perlu ditakuti..."
Iona memakai mantelnya dan pergi ke istal tempat
kuda betinanya berdiri. Dia berpikir tentang dedak, jerami, cuaca... Dia tak
mampu berpikir lagi tentang anaknya, ketika sendirian begini. Membicarakannya
dengan seseorang mungkin dia mampu, tetapi memikirkan dan menggambarkan
anaknya.. sungguh sesuatu yang sangat mengerikan....
"Kamu masih makan?" Iona bertanya pada
kuda, sambil menatap matanya yang bercahaya. "Ayo terus kunyah. Sejak kita
tak cukup uang untuk membeli dedak, kita hanya makan jerami. Ya... Aku terlalu
tua untuk jadi kusir... Mestinya anakku lah yang menjadi kusir, kusirmu
sekarang... bukan aku, ... Mestinya dia masih hidup."
Iona terdiam sejenak, kemudian melanjutkan:
"Begitulah... Kuzma Ionitc telah pergi... dia
mengucapkan selamat tinggal padaku. Dia pergi tanpa alasan.... Bayangkan,
seandainya kamu punya anak, dan kamu adalah ibu kandungnya... kemudian anakmu
mati... Kau juga akan sedih bukan?"
Kuda betinanya yang kecil tetap memamah biak,
mendengarkan, dan mengendus tangan sang majikan. Iona terhanyut dan
menceritakan semua itu padanya.
* Diterjemahkan oleh Trisna Gumilar dari bahasa
aslinya, 'Toska'. Diambil dari buku kumpulan cerpen: A.P. Chekov-Raskazy I
Povesty, hal: 56-60. Terbitan: Izdatelstvo Detskaya Literatura, Moskwa, 1964.
0 comments:
Post a Comment