Sunday, 22 June 2014

Rumah Raksasa



Cerpen: Abidah El Khalieq 
Post:  08/15/2005 Disimak: 162 kali
Sumber: Kedaulatan Rakyat,  Edisi 08/14/2005 


SAMPAI dimanakah aku? Berapa mil terlewati sejak keberangkatan, dari bukit kerinduan. Aku takut hilang rindu. Rumahku adalah bukit kerinduan dan kendaraanku cinta yang timbul tenggelam. Kadang ia membara seperti api. Magma yang menggeletak dalam perut gunung berapi. Namun adakalanya hanya asap mengepul, seperti asap rokok para penganggur yang sulit tidur.

Tak perlu menggeliat. Tak ada yang luka di antara sobekan menganga. Apa arti sebuah luka? Tubuhku jurang yang menganga. Segala kuman yang membuatmu lari tunggang langgang, segala sakit, nila dan caci-maki. Segala yang kau benci dan tak lagi dibutuhkan.


Tubuhku jurang yang menampung semua dendam. Hitam, dalam dan mengerikan. Seperti neraka menjunam. Dan semua perkosaanmu yang baru saja dipertontonkan, tak menyakiti setitik pun di diriku. Semua penjagalan yang telah kau pamerkan, kau buaskan sebuasnya, kau biadabkan sebinatangnya. Semuanya tak ada yang membuatku sakit, apalagi menggigil ketakutan.

“Bagaimana kalau begini?’’

“Kau boleh pelintir semua dan menariknya satu demi satu. Mengguntingnya sambil terkekeh hingga seluruhnya habis sudah! Ayo! Lakukan saja! Kalau perlu, kau bisa membawa guntingmu ke sini. Sini! Kearah leherku!’’

“Kau mulai gemetar?’’

“Gemetar? Sudah sejak kapan aku tak mengingat kata ‘gemetar’. Ah! Itu lama sekali”.

“Jangan bohong! Aku masih melihat mata yang ketakutan”.

“Ketakutan? Apalagi itu! Adakah yang lebih menakutkan dibanding kehilangan harga diri dan kemanusiaan macam kau ini? Jika aku jadi kau, mestinya aku telah bunuh diri karena malu”.

“Malu? Dan siapa yang kehilangan harga diri dan kemanusiaan, kalau bukan kau, perempuan sial!”

“Dan kau laki-laki yang terhormat, segala puji bagimu yang hanya mampu memperistri perempuan sepertiku. Segala puji bagimu yang telah susah-payah memburu para anjing berkocek tebal untuk meniduri istrinya sendiri, sementara dengan lahapnya kau makan seluruh darah percabulan, dengan takzimnya kau hitung setiap pemasukan sembari terus menerus memaki dan menyumpahiku!’’

Hwaha ha ha... Kau tertawa? Tertawalah. Mungkin dengan tertawa, kebodohan merasa telah menaklukkan dunia. Belum pernah kulihat mahluk sepandir ini. Penjagal yang memproklamirkan diri sebagai dermawan.

‘’Sudah selesai!’’, kau terkekeh, ‘’Sekarang ia botak! Plontos! Hutan kebanggaanmu telah kemarau! Hwaha ha ha.. tak ada lagi yang mau mengunjungi. Kau sudah selesai!’’

‘’Aku baru mulai’’, tekanan suaraku dalam, ‘’Dan kau akan melihat seberapa aku mencuat! Aku akan terus lahir dan kau bakal membusuk di antara topeng-topeng bopengmu yang juga amatlah busuk.’’

Ini malam paling aneh sepanjang hidupku. Malam paling mengerikan sekaligus menjijikkan. Sementara bumi dan udara tafakkur dalam gema takbir malam Hari Raya, kami berdua, aku dan suamiku bersitegang di atas ranjang. Dengan kedua bola mata hampir loncat, ia melucuti pakaianku dan mulai mengikat kedua kakiku di ujung ranjang. Dengan gunting tajam yang baru diasahnya, ia mulai memelintir rambut rahasiaku, menariknya kuat dan mengguntinginya setiap bagian.

Terus saja ia nerocos, menyumpah dan memaki. Semuanya dilakukan sebagai hadiah bagiku, karena aku baru saja menerima bingkisan dari masa laluku, masa lelaki yang benar-benar mencintaiku dan berpisah denganku karena aku diculik oleh mahluk beringas yang kini terkekeh-kekeh diranjangku. Bingkisan Hari Raya itu bukan sesuatu yang istimewa, hanya parcel biasa yang berisi kosmetik dengan secarik kata memori. Tetapi bagi laki-laki ini, semuanya adalah bingkisan pengkhianatan. Sementara setiap hari, ia menjual harga dirinya ke mana-mana, kepada setiap toko anjing yang bersedia menjilati bangkai.

Sejak peristiwa itu, aku merasa asing. Seperti hidup dalam penjara para tetangga, saudara dan handai taulan, juga orang banyak di kampung, sahabat dan kenalan-kenalan. Kutarik masa laluku dari denyut kota dan negri yang malang ini. Negeri yang mengerikan dari tatapan mata raksasa bertubuh gemuk besar, atau yang kurus kerempeng, berkepala lonjong dan bundar, bermuka segilima, berwajah mirip para menteri, berlenggang-lenggok seperti para legislator, berdandan menyerupai kalangan eksekutif bahkan ada yang berpidato menyaingi presiden, gubernur bank dan walikota.

Apa yang kuharap dari negeri menderita ini? Setiap hari datang sepasang mata sayu, menghiba dengan merendahkan tangan untuk sejumlah hadiah. Dari jam ke jam, dari waktu ke waktu. Mereka bergilir mendatangi rumahku. Berbondong-bondong mengetuk daun pintu rumahku dan menyenandungkan koor sama benar, koor dari nada paling sumbang yang dapat didengar.

Sebuah koor dari kelompok yang kolaps. Kelompok yang koma dalam hidup, kelompok yang kalah dan tak melihat sinar apapun di depannya. Sebab seluruhnya, baik masa lalu atau masa depan, semuanya adalah milik mereka yang menang, para raksasa dan keturunannya, kerabat dan sejawatnya, sahabat dan pendukungnya.

Telah dirampoknya hidup dari kehidupan normal orang-orang, anak-anak, laki-laki dan perempuan. Bencana alam dan perang hanyalah alasan, kambing hitam paling mudah diperjual-belikan, disetiap orasi dan konverensi. Nyatanya mereka tetap menghuni barak penuh kuman, dengan perut buncit dan demam berdarah yang terus meninggi pada anak-anak, bayi-bayi mencret dan mata sayu para ibu, lalu mata garang dan amarah yang mendekati putus harapan.

O negeri yang malang! Inikah rumahku yang telah kaubangunkan. Rumah untuk siapa. Tak bisa kuberharap memperoleh kenyamanan darimu. Agaknya, jika ingin, aku pun bisa membunuh para raksasa. ***


Dibuka dalam 0.0003 detik.
© 2002-2005. Sriti.com
Kontak: info@sriti.com

0 comments:

Post a Comment