Cerpen: Agus Noor
Sumber: Jawa Pos,
Edisi 08/06/2006 Post: 08/09/2006
Disimak: 153 kali
________________________________________
SAYA mendapat beberapa kiriman kartu pos dari Agus Noor.
Pada setiap kartu pos yang dikirimnya, ia menuliskan cerita -tepatnya potongan-potongan
cerita- tentang Maiya. Berikut inilah cerita yang ditulisnya pada kartu
pos-kartu pos itu:
Kartu Pos Pertama & Kedua
MAIYA terpesona melihat kemilau kalung manik-manik itu. Tak
pernah Maiya melihat untaian kalung seindah itu. Pastilah dibuat oleh pengrajin
yang teliti dan rapi. Ada juga anting-anting, bros dan gelang. Maiya menyangka
semua perhiasan itu terbuat dari berlian.
"Ini bukan berlian, Nyonya," jelas perempuan itu.
"Ini manik-manik airmata…"
Maiya memandangi perempuan yang duduk bersimpuh di
hadapannya. Mungkin usianya sekitar 35 tahunan. Kulitnya kecoklatan. Bedak
tipis sedikit memulas kelelahan di wajahnya. Memakai rok terusan
kembang-kembang, terlihat kucel, dan malu-malu. Saat tadi muncul menenteng tas
abu-abu, dan tak beralas kaki, Maiya menyangka perempuan itu hendak minta
sumbangan.
"Sungguh, Nyonya. Ini butir-butir airmata yang
mengeras. Kami menyebutnya biji-biji airmata. Seperti butiran beras kering
berjatuhan dari kelopak mata…"
Perempuan itu pun terus bercerita, membuat Maiya makin
terpesona.
Kartu Pos Ketiga, Empat & Lima
SAAT Maiya datang ke arisan memakai kalung manik-manik itu,
semua terbelalak memuji penampilannya yang chic. Maiya melirik ke arah Andien
yang muncul menenteng tas koleksi terbaru Hermés -tapi tak seorang pun
memujinya. Semua perhatian tersedot kalung manik-manik yang dikenakan Maiya.
Membuat Mulan yang memakai bustier dan rok flouncy Louis Vuitton hanya
bersandar iri menyaksikan Maiya jadi pusat perhatian. Dengan penuh gaya Maiya
bercerita soal kalung manik-manik yang dikenakannya. Dan semua berdecak mendengarnya.
"Begitulah yang dikatakan perempuan itu pada saya. Manik-manik ini berasal
dari airmata."
"Jadi itu manik-manik airmata?" tanya Mulan,
terdengar sinis. "Jangan-jangan airmata buaya, ha ha…"
Andien ikut tertawa. Yang lain terus menyimak cerita Maiya.
"Lihat saja bentuknya, persis airmata yang menetes.
Begitu halus. Bening. Berkilauan... Lebih indah kan ketimbang yang bermerek?
Lagi pula gue emang nggak brand minded, kok!" Lalu Maiya melirik Mulan
yang beringsut mengambil cocktail.
Dari jauh Andien dan Mulan memandangi Maiya.
"Ngapain juga mereka mau dengerin ceritanya yang nggak
masuk akal itu," cibir Mulan.
"Dia cuma cari perhatian," ujar Andien. "Gue
tahu kok, dia nggak bahagia. Sudah nggak lagi dapat perhatian. Dani mulai
selingkuh..."
Mulan hanya mendengus.
Kartu Pos Keenam
DANI hanya tertawa ketika Maiya memperlihatkan kalung
manik-manik itu.
"Di Tanah Abang juga banyak," komentarnya pendek,
sambil mematut diri di depan kaca, menyemprotkan parfum. Baru dua jam Dani
balik ke rumah, kini hendak keluar lagi.
"Ini beda. Lihat deh…"
"Sorry, aku mesti pergi." Lembut Dani mencium
kening Maiya. Maiya ingin menahan. Ingin bercerita, betapa sejak ia punya
kalung itu ia selalu mendengar suara tangis yang entah dari mana datangnya.
Suara tangis yang bagai merembes dari dalam mimpinya. Tangis yang selalu
didengarnya setiap malam, saat ia tidur sendirian. Maiya ingin menceritakan itu
semua, tapi Dani sudah tergesa keluar menutup pintu kamar.
Kartu Pos Ketujuh
MOBIL meluncur pelan di bawah gemerlap malam.
"Tadi gue iri ama Maiya. Dia pakai kalung manik-manik.
Bagus banget. Katanya terbuat dari airmata."
"Ha ha."
"Kamu beliin, ya?"
"Nggak."
"Beli di mana?"
"Aku nggak beliin!"
"Kok aku nggak dibeliin?"
"Masa kamu nggak percaya. Aku bener-bener nggak
beliin!"
Mulan diam, memandang jalanan yang bermandi cahaya.
Segalanya terlihat berkilauan. Kota seperti akuarium raksasa yang digenangi
cahaya. Dan ia seperti mengapung kesepian di dalamnya.
"Apa Maiya ngerasa soal kita, ya?"
Dani hanya diam, melirik Mulan yang bersandar di sampingnya.
Sementara mobil terus meluncur pelan di bawah gemerlap malam.
Kartu Pos Kedelapan, Sembilan, Sepuluh & Sebelas
SUARA tangis itu mengalir menggenangi mimpinya. Dari segala
penjuru, airmata mengalir membanjir menenggelamkan kota. Maiya seperti berada
di kota bawah laut. Mobil-mobil menjelma terumbu karang. Orang-orang terlihat
seperti ganggang. Suara tangis terus merembes dari gedung-gedung yang penuh
lumut. Suara tangis itu juga menjelma gelembung-gelembung air yang keluar dari
selokan yang mampet. Maiya menyelam bagai putri duyung dalam dongeng. Ia
melihat suaminya terapung seperti gabus. Ia melihat kedua anak kembarnya
menjelma ubur-ubur. Airmata telah menenggelamkan kota!
Dan di puncak Monas yang telah tenggelam dalam linangan
airmata, Maiya melihat seorang penyair berdiri membaca puisi. "Tanah
airmata tanah tumpah dukaku. Mata air airmata kami. Airmata tanah air kami… Di
sinilah kami berdiri, menyanyikan airmata kami… Kemana pun melangkah, kalian
pijak airmata kami… Kalian sudah terkepung, takkan bisa mengelak, takkan bisa
ke mana pergi. Menyerahlah pada kedalaman airmata kami..."1 Suaranya
perlahan meleleh dan mencair, menjelma gelombang airmata.
Saat tergeragap bangun, Maiya mendapati tubuhnya kebah.
Suara tangis yang mengapung itu masih didengarnya. Maiya mengira itu tangis
anaknya. Tapi ia mendapati Faizi dan Fauzi tertidur tenang di kamarnya. Tangis
itu merembes dari balik dinding dan menggenangi ruangan. Maiya tercekat ketika
memandangi kotak perhiasan di atas meja, di mana ia menyimpan kalung
manik-maniknya. Tangis itu datang dari kotak perhiasan itu, seperti muncul dari
gramafon tua.
Gemetar tak percaya, Maiya kembali naik ke tempat tidurnya.
Lalu menyadari, tak ada Dani di ranjang. Perlahan ia mulai terisak.
Kartu Pos Keduabelas, Tigabelas & Empatbelas
"HAMPIR setiap malam aku mendengar tangis itu,"
Maiya bercerita sambil bersandar ke pundak Andien. "Mungkin itu memang
airmata purba yang berabad-abad terpendam dan menjadi fosil. Menjadi batu
granit. Lalu mereka membikinnya jadi kalung manik-manik."
Andien tersenyum, kemudian mengecup bibir Maiya pelan.
Berciuman dengan Maiya seperti menikmati mayonnaise yang lembut dan gurih.
Andien memandangi wajah Maiya yang mengingatkannya pada roti tawar yang diolesi
mentega. Bertahun-tahun diam-diam menjalin hubungan dengan Maiya membuat Andien
mengerti, saat ini Maiya membutuhkannya untuk menjadi seorang pendengar. Aroma
chamomile yang menguar dalam kamar membuat Maiya perlahan lebih rileks. Andien
tahu, Maiya belakangan makin terlihat rapuh. Mungkin karena perkawinannya
dengan Dani yang sedang bermasalah, tapi berusaha ditutup-tutupi. Dan soal
kalung manik-manik yang selalu dikatakannya terbuat dari airmata itu hanya
kompensasi untuk menutupi kegelisahannya.
"Apa kamu juga nggak percaya?" Maiya menggeliat,
menatap Andien.
"Mungkin itu memang manik-manik airmata. Kenapa tak kau
buktikan saja sendiri? Kamu bisa cari alamat perempuan itu."
Maiya mendekatkan kalung manik-manik itu ke telinga Andien,
"Dengerin, deh…"
Andien merinding, ketika ada dingin yang mendesir, dan ia
seperti mendengar isak tangis keluar dari kalung manik-manik yang berkilauan
itu.
Kartu Pos Kelimabelas & Enambelas
INI perjalanan paling aneh, seperti mencari alamat yang tak
ada dalam peta. Jalanan yang becek penuh lubang membuat mobil tak bisa masuk ke
perkampungan itu. Bau kayu busuk dan tai kerbau membuat perut mual. Seseorang
menunjuk arah yang ditanyakan Maiya dan Andien. Rumah itu reyot nyaris ambruk.
Seperti semua rumah di perkampungan ini. Atap-atap rumbia yang melorot terlihat
kelabu tertutup debu. Maiya meyakinkan diri, betapa ia tidak memasuki ruang dan
waktu yang salah.
Sungguh, Maiya tak pernah menyangka bahwa ada tempat
sebegini kumuh dan terbelakang. Ini dunia yang tak pernah ia lihat dalam
majalah-majalah life style yang selalu dibacanya.
"Kita masih di Indonesia, kan?"
Andien nyaris tertawa mendengar perkataan Maiya. Tapi ia
langsung menutup mulut ketika puluhan anak-anak kurus kumuh berperut buncit
memandanginya dengan tatapan nanar.
Kartu Pos Ketujuhbelas, Delapanbelas & Sembilanbelas
MAIYA dan Andien duduk di bale-bale, mendengarkan laki-laki
tua itu bercerita. Maiya segera tahu, laki-laki itu adalah yang dituakan di
kampung ini.
"Kalian lihat sendiri anak-anak di sini. Kurus karena
busung lapar. Bayi-bayi lahir sekarat. Ibu-ibu tak lagi bisa menyusui. Susu
mereka kering. Kelaparan mengeringkan semua yang kami miliki. Mengeringkan
airmata kami. Sudah lama kami tak bisa lagi memangis. Buat apa menangis? Tak
akan ada yang mendengar tangisan kami. Bahkan begitu lahir, bayi-bayi di sini
tak lagi menangis. Kami terbiasa menyimpan tangis kami. Membiarkan tangis itu
mengeras dalam kepahitan hidup kami. Mungkin karena itulah, perlahan-lahan
tangisan kami mengristal jadi butiran airmata. Dan pada saat-saat kami menjadi
begitu sedih, butir-butir airmata yang mengeras itu berjatuhan begitu saja dari
kelopak mata kami." Laki-laki tua itu menarik nafas pelan. "Kalian
lihat sendiri…"
Maiya melihat ke pojok yang ditunjuk laki-laki tua itu. Di
atas dipan tergolek bocah berperut busung. Tangan dan kakinya kurus pengkor.
Mulutnya perot. Tulang-tulang iga bertonjolan. Matanya kering. Dan Maiya
terpana ketika menyaksikan dari sepasang mata bocah itu keluar berbutir
airmata. Seperti biji-biji jagung yang berjatuhan dari sudut kelopaknya yang bengkak.
"Begitulah, kami mengumpulkan butian-butiran airmata
kami. Kemudian kami menguntainya jadi bermacam kerajinan dan perhiasan. Dengan
menjual manik-manik airmata itu kami bisa bertahan hidup."
Andien meremas tangan Maiya yang terdiam memandangi
butir-butir airmata yang terus keluar dalam kelopak mata bocah itu. Terdengar
bunyi kletik… kletik… ketika butir-butir airmata itu berjatuhan ke dalam baskom
yang menampungnya.
Kartu Pos Keduapuluh
MALAM itu Maiya sendirian dalam kamar. Sudah dua hari Dani
tak pulang. Rasanya ia ingin menangis. Tapi ia hanya berbaring gelisah di
ranjang. Sesekali ia melirik ke meja riasnya, di mana tergeletak kalung
manik-manik airmata itu. Ia kini mengerti, mengapa setiap malam ia mendengar
suara tangis yang bagai menggenangi kamar. Setiap butir manik-manik airmata itu
memang menyimpan tangisan yang ingin didengarkan.
Alangkah lega bila bisa menangis, desah Maiya sembari
memejam mendengarkan lagu yang mengalun pelan dari stereo set yang ia putar
berulang-ulang. Menangislah bila harus menangis...2 Sudah berapa lamakah ia tak
lagi menangis? Mungkinkah bila ia terus menahan tangis, airmatanya juga akan
membeku menjadi manik-manik airmata?
Kartu Pos Terakhir
KETIKA Maiya tertidur, ia merasakan ada bebutiran airmata
perlahan jatuh bergulir dari pelupuk matanya yang membengkak…
***
TIGA bulan setelah menerima kartu pos terakhir, saya
mendapat kiriman paket. Isinya kalung manik-manik yang begitu indah. Pada
secarik kertas, Agus Noor menulis: Ini kalung manik-manik airmata Maiya.
Saya meremas surat itu, dan membuangnya. Saya pikir, setelah
bercerai dengan Maiya, saya tak akan diganggu hal-hal konyol macam ini.
Benarkah ini manik-manik airmata Maiya? Saya pandangi kalung manik-manik itu.
Memang bentuknya seperti butiran airmata yang mengeras.
Mulan muncul dari dalam kamar, dan melihat kalung
manik-manik yang tengah saya pandangi.
"Apa tuh, Dan?"
"Ehmm..." Saya tersenyum, memeluk pinggang Mulan.
"Ini aku beliin kalung buat kamu." ***
Jakarta, 2006
1 Dikutuip dari puisi "Tanah Airmata", karya
Sutardji Calzoum Bachri
2 Lagu "Airmata", album Cintailah Cinta Dewa
0 comments:
Post a Comment