Cerpen: Aris Kurniawan
Sumber: Suara Karya, Edisi 02/05/2006 Post: 02/06/2006 Disimak: 107 kali
Sumirah memasukkan beberapa
potong pakaian yang dianggapnya masih bagus ke dalam tas, bersama lipstik,
sisir, jepit rambut, cermin kecil, handbody dan sebuah tetris yang ia beli
untuk adiknya. Kalung emas pemberian Tuan dan uang gaji tiga bulan ia simpan
dalam dompet yang diselipkan di kantong celana.
Ia merasa tak perlu membawa serta
jam weker mungil berbentuk gajah berwarna merah jambu yang dibelikan Nyonya.
Jam weker yang setiap subuh berdering membangunkanya. Sumirah sebetulnya
menyukai bentuknya yang lucu. Tapi benci jika ingat bunyinya yang sangat
nyaring membuat jantungnya berdebar keras seperti mau pecah. Sumirah pernah
hampir membantingnya seandainya tak ingat Nyonya yang menyetelnya demikian.
Nyonya memang keterlaluan. Padahal tanpa dibunyikan pun Sumirah bisa bangun
tepat waktu. Sejenak ia meraba perutnya, ia merasakan ada yang bergerak-gerak
di sana.
Lampu ruang tengah sudah
dipadamkan, begitu pun lampu dapur dan ruang tamu. Tinggal lampu teras dan
lampu taman yang dibiarkan menyala. Kamar Tuan dan Nyonya tampak remang. Tak
terdengar lagi percakapan mereka. Mereka tentu sudah pulas, pikir Sumirah.
Sementara kamar Den Riko gelap sejak kemarin. Dua malam ini ia memang tak
pulang. Katanya ke puncak bersama kawan-kawannya. Sumirah melihat jarum jam
mencolok angka satu. Sumirah berjingkat pelan-pelan, ia menjinjing sandalnya
supaya kakinya tidak menimbulkan suara. Sangat hati-hati Sumirah memasukkan dan
memutar anak kunci. Namun terdengar juga suara derik yang membuatnya sedikit
panik. Sumirah teringat lagi omongan Tuan, "Kamu gugurkan saja
Sumirah." Sumirah tak berani menatap muka Tuan, ia hanya mengusap
perutnya. Nyonya yang ada di situ ikut bicara, "Kandunganmu bisa bikin
masalah. Besok biar saya antar cari bidan." Sumirah merasakan dadanya
serasa dihantam lonjoran besi.
"Tak ada jalan lain. Masih
baik kami tak mengusirmu." sambung Nyonya seraya keluar dari kamar Sumirah
yang sempit dekat dapur.
Pedih sekali Sumirah mendengar
itu semua. Ingin rasanya ia menampar mulut Tuan dan Nyonya, kalau perlu
merobeknya sekalian. Tapi yang terjadi hanya lelehan air mata yang melunturkan
bedak tipis di wajahnya.
"Apa kata orang nanti.
Bisa-bisa Tuan yang dituduh menghamilimu." Kalimat Nyonya yang terakhir
ini membuat tubuhnya seperti didorong dan terempas ke sungai berarus deras.
Sumirah merasakan tubuhnya bergetar hebat menahan kebencian. Sumirah tak ingin
menggugurkan kandungannya. Sumirah merasa begitu menyayangi calon bayi yang
kini meringkuk dalam rahimnya meski ia memang tidak bisa memastikan berasal
dari benih siapa ia berasal: Tuan atau Den Riko. Tapi Sumirah tak berani
mengatakan pada Nyonya. Sebab Sumirah yakin Nyonya sebenarnya tahu belaka.
Mereka semua memang terkutuk.
Sepintas ia melirik wajah Tuan yang
tampak dingin dengan rahang yang kukuh dan cambang dan kumis yang jarang
dipotong. Sumirah teringat betapa wajah itu pada suatu malam yang sunyi
mengendus-endus di atas tubuhnya kala Sumirah tengah lelap sehingga ia
tergeragap dan menjerit. Namun suaranya segera lenyap dibekap tangan Tuan yang
hitam dan kekar. Selebihnya Sumirah menyerahkan tubuhnya seraya menangis. Tuan
membisikkan rayuan sekaligus ancaman. Malam itu hanyalah awal dari malam-malam
berikutnya yang menyedihkan. Itulah malam ke lima belas Sumirah bekerja di
rumah Tuan dan Nyonya. Sumirah tak menduga nasibnya akan sedemikian buruk.
"Tuan, saya takut
Nyonya."
"Kamu jangan khawatir,
Sumirah, Nyonya tidak akan pernah peduli."
"Bagaimana kalau nanti
saya."
"Nanti kita kawin. Saya
belikan rumah,"
Bukan hanya Tuan memang yang
sering mendatanginya malam-malam, Den Riko pernah pula tiba-tiba mendekapnya
dengan mulut bau minuman. Bahkan dua orang kawan kuliahnya mendapat pula
giliran. Peristiwa yang sulit dihapus dari ingatan Sumirah. Malam itu Den Riko
pulang bersama dua orang kawannya dalam keadaan kelaparan setelah hampir
seminggu kemping di gunung.
Mereka minta Sumirah menyiapkan
makan, membuatkan kopi. Sumirah tersuruk-suruk memberesi ransel besar berisi
pakaian kotor yang dilempar begitu saja ke tengah ruangan begitu ia membukakan
pintu. Dengan tangkas Sumirah mengerjakan semua perintah. Tapi Den Riko
menahannya manakala Sumirah berbalik hendak masuk kamar. "Sumirah, jangan
masuk kamar dulu. Duduklah di situ temani kita nonton, ada film bagus. Aku bawa
durian.
Kamu suka kan?" Sumirah tak
kuasa menolak. Malam itu Tuan dan Nyonya memang sudah dua hari ke luar kota.
Tanpa semangat Sumirah membelah durian. Kulitnya yang tajam melukai telapak
tangan Sumirah yang licin berkeringat, tapi ia telan saja rasa perih itu.
Sumirah memakan durian tanpa nafsu bersama mereka sambil nonton tivi. Tapi
kemudian tivi dimatikan dan diganti memutar vcd. Sumirah terkejut dan jijik
melihat film yang diputar. Belum pernah Sumirah melihat film yang membuat
tubuhnya bergetar.
Ia hendak beranjak, tapi
pundaknya direnggut Den Riko. Sumirah tak kuasa meronta, bahkan juga menangis!
Terbayang wajah Emak dan Bapak dan adiknya. Menyesal ia kenapa nekat pergi dari
rumah. Meskipun Bapak dan Emak hanya buruh di pabrik tempe, namun mereka tidak
pernah mengizinkan apalagi menyuruhnya bekerja jadi pembantu.
"Kamu sekolah saja, Sumirah.
Kami siap kerja keras asal kamu mau sungguh-sunguh belajar." kata Bapak
ketika Sumirah mengutarakan niatnya pergi ke kota. "kerja apa dengan
Ijazah SMP, paling jadi pembantu."
Kedua orang tua Sumirah
menginginkan Sumirah terus sekolah setinggi-tingginya supaya jadi orang pintar.
Jadi dokter, atau jadi pengacara biar cepat kaya. Bapak Sumirah meskipun cuma
buruh pabrik tempe, ia suka membaca koran dan nonton berita sehingga pikirannya
sedikit maju dibanding kawan-kawannya yang tahunya cuma bikin tempe. Paling
banter mereka hanya kenal David Beckham dan Inul Daratista. Bapak Sumirah
memang beda. Ia sangat mengagumi para pengacara. Mereka sangat pandai bicara tak
peduli salah dan penuh dusta, pikir Bapak Sumirah, dengan itulah mereka bisa
jadi kaya raya.
Tapi Sumirah ngotot, "Kalau
bapak bisa membelikan motor, Sumirah mau sekolah. Teman-teman ke sekolah pada
pake motor semua. Mana bisa beli motor kalau Bapak kerjanya cuma
nggiles-nggiles* kedelai. Sudahlah kalau Emak tidak mau bekerja ke Saudi, biar
Sumirah saja yang bekerja," Tekad Sumirah waktu itu ingin mengumpulkan
uang untuk ongkos ke Saudi. Jadi pembantu di Saudi kata orang-orang gajinya
besar bisa untuk beli motor bahkan sawah dan rumah. Bisa beli lipstik dan pergi
ke salon seperti di sinetron-sinetron yang rajin ditontonnya.
"Sumirah, Sumirah, kamu ini
gimana sih, disuruh sekolah malah mau jadi pembantu. Kamu pikir dengan naik
motor ke sekolah bisa menggaet anak direktur bank naksir sama kamu? Dasar anak
tak tahu diurus. Ya sudah, terserah kamu. Semoga kamu tak menyesal."
Malam terus merambat. Ia
bersyukur suara derik anak kunci itu tak menimbulkan suara terlalu berisik.
Pelan-pelan Sumirah menekan tangkai pintu, mendorongnya hati-hati, lantas
melangkah keluar. Pintu ditutupkan kembali. Lampu teras yang redup memantulkan
bayangan tubuh Sumirah memanjang di lantai. Sekarang Sumirah tinggal membuka
pintu pagar. Sumirah tidak ingin membuang-buang waktu, ia harus segera keluar
dari rumah Tuan. Meski gajinya selama tiga bulan terakhir belum ia terima.
Sumirah bertekat memilih menyelamatkan kandungannya.
Sumirah berketetapan hati untuk
melahirkan dan merawat bayi yang terus tumbuh dalam perutnya. Meski tidak tahu
hendak pergi ke mana. Rasanya tidak mungkin pulang ke Emak dan Bapak dengan
perut bengkak tanpa suami seperti ini. Sumirah tak bisa membayangkan bagaimana
nanti perasaan mereka. Orang tua mana yang tidak sedih mendapati anaknya
diperlakukan seperti itu. Sumirah masih mematung di teras, omongan Bapak dan
Emak terngiang lagi, "Kalau kamu mau mengubah nasib, kamu harus pintar,
harus sekolah. Bukan jadi babu."
Sumirah berpikir barangkali ia
akan menemui Sukron, penjual rokok di perempatan dekat pasar. Sukron sering
menggodanya jika Sumirah belanja. Tapi apa mau laki-laki itu menerima dirinya
dalam keadaan hamil seperti ini. Apalagi selama ini Sumirah tak pernah meladeni
sapaannya dan sok jual mahal belaga seperti Nyonya. Terdengar suara mobil
berhenti di depan pintu pagar. Sumirah tercekat, jangan-jangan Den Riko bersama
kawan-kawannya pulang. Bisa-bisa bukan saja niatnya gagal, tapi bakal mereka
perkosa lagi. Sumirah memepetkan tubuhnya ke tembok seraya menahan perasaannya.
Syukurlah ternyata bukan, taksi itu melesat kembali setelah menurunkan
penumpang yang rupanya tetangga sebelah yang baru pulang dari klub. Sumirah
merasa lega. Ia menunggu tetangga itu masuk ke rumahnya dan mentup pintu pagar.
Setelah dirasa aman, buru-buru Sumirah memanjat pintu pagar. Sayang, barangkali
karena Sumirah terlalu terburu dan baru sekali itu memanjat pagar, mungkin juga
karena pagarnya licin oleh embun sehingga kakinya terpeleset; sementara kedua
tangannya juga tak mampu menahan beban tubuhnya, maka berdebamlah Sumirah
jatuh.***
0 comments:
Post a Comment