Sumber: Suara Pembaruan, Edisi 10/30/2005 Post:
10/31/2005 Disimak: 181 kali
Karmin duduk di tunggul pohon
kelapa itu. Malam baru saja rampung. Fajar yang cemerlang telah merobek kelam
di ufuk timur. Permukaan lautan bagai cermin raksasa yang bergoyang-goyang.
Karmin duduk mencangkung, matanya menatap cakrawala yang telah bertemu dengan
lautan di ujung sana. Di kejauhan perahu-perahu tampak timbul tenggelam bagai
perahu mainan Karmin dulu.
Perlahan-lahan matahari muncul
dengan kemilau cahayanya menyilaukan. Melihat matahari itu Karmin selalu teringat
Sumirah yang tengah dinantinya. Sumirah selalu ngomong, "Bila matahri
muncul, itu tandanya kamu harus berkemas menjemputku.
" Karmin menggosok
matanya, pedih. Pantai makin sunyi. Perahu-perahu tak tampak lagi. siang hari
begini para nelayan memang tidak berlayar. Istri-istri mereka menjamur ikan
hasil tangkapan. Memilihnya, yang bagus dibawa ke pasar, yang agak jelek mereka
jemur dicampur garam untuk dijadikan ikan asin. Angin kering berhembus membawa
angin busuk. Tetapi Karmin seakan tidak mencium bau busuk itu. Rambutnya yang
ikal, gondrong dan kemerahan karena terbakar matahari, berkibaran dipermainkan
angin.
Karmin semalam bermimpi Sumirah
akan datang minggu ini. Sumirah berpesan agar ia menunggu di pantai.
"Duduklah kamu di tunggul pohon kelapa itu. Aku akan tiba sore nanti.
Kubawakan baju, kain sarung untukmu. Juga jam tangan yang kau inginkan
itu." Sumirah tampak cantik sekali. Bergaun putih transparan
melambai-lambai.
Karmin meninggalkan pondoknya dua
hari lalu. Hidup begitu hampa tanpa mengenang Sumirah, tanpa mimpi tentang
Sumirah. Untunglah Sumirah memang selalu datang dalam angan-angannya, dalam
mimpi-mimpinya. Para tetangganya sudah bosan menegurnya bila melihat Karmin
melamun. Kadang-kadang saja mereka menyuruh Karmin mengangkat keranjang,
mengupas kelapa.
"Karmin, sampai kapan kamu
menunggu Sumirah? Dia mungkin telah berbahagia sekarang dengan suaminya yang
baru. Buat apa lagi ditunggu. Si Warni pernah bilang, dia sebenarnya masih
mencintai kamu. Coba kamu pikir-pikir, mau terus menunggu Sumirah atau menerima
Warni sebagai pengganti. Untuk mengisi hidupmu. Kamu mulai tua. Lihat rambutmu.
Lihat keriputmu," ucap seseorang entah siapa. Banyak sekali suara-suara
yang mengiang di telinganya. Seperti dibawa angin, mendarat dan berjejalan di
telinganya, bahkan kadang langsung ke lubuk hatinya.
"Sumirah, pergilah kamu.
Tapi aku tetap menunggumu. Bila jadi TKW itu pilihanmu, aku akan tetap setia
padamu. Aku menunggumu sampai kamu kembali."
"Karmin, sebetulnya aku
tidak menginginkan perpisahan ini. Tetapi apa boleh buat, kita harus
memperbaiki keadaan. Kita harus merubah nasib."
"Kalau kamu kembali dengan
membawa uang banyak, aku takut kamu melupakanku. Aku takut. Hanya itu yang
membuatku takut. Aku percaya kamu dapat menjaga diri di negeri orang. Aku tahu
kamu perempuan yang kuat, pantang menyerah membela kehormatan. Tapi aku ragu
apakah kamu kuat untuk tetap setia padaku ketika kamu banyak uang sedangkan aku
masih pengangguran."
"Karmin, Karmin, kenapa sih
selalu berkata seperti itu. Kan sudah kujelaskan berulang-ulang, cintaku sudah
habis untukmu. Kalau aku mau pacar yang kaya, sekarang aku sudah kawin dengan
Wakijan, juragan ikan itu. Kamu tahu sendiri bagaimana dia mengejar-ngejar aku.
Kamu juga tahu, Lurah Jarot yang menawariku rumah dan motor bila aku mau
diperistri olehnya."
Matahari terus merambat naik.
Panas mulai menyengat. Angin kering mempermainkan rambut Karmin, baju Karmin
yang telah kuning kecokelat-cokelatan karena lama tak ganti-ganti. Sebenarnya
Karmin masih memiliki beberapa baju lagi. Namun dia amat menyukai baju itu.
Baju pemberian Sumirah ketika perempuan itu mau berangkat ke Saudi Arabia
keesokan harinya sebagai kenangan.
"Kalau kamu rindu,
kenakanlah baju ini."
Sebagai kenangan pula, Karmin
memberikan selendang merah untuk Sumirah.
"Begitu juga kalau kamu
rindu, dekaplah selendang ini."
Entah sudah berapa tahun lalu
perpisahan yang menggoreskan kesedihan itu. Karmin hanya mampu menunggu dan
menunggu. Duduk mencangkung di tunggul pohon kelapa tepi pantai. Setiap ada
perahu yang muncul dari balik cakrawala Karmin selalu membayangkan Sumirah
muncul melambai-lambaikan tangannya sambil berteriak, "Karmiiiiin aku
datang... ini kubawakan jam tangan." Bertahun sudah namun Sumirah tak juga
tiba membawakan jam tangan seperti impiannya.
***
Dengan jemari tangannya yang
berkuku panjang dan kotor Karmin membelai rambutnya yang mulai gimbal tak
terurus. Matanya yang kuyu dan merah tak lelah-lelah menyorot ke seberang
lautan. Dulu Karmin memang sering mengatakan pada Sumirah betapa ia ingin
memiliki jam tangan itu. Dengan jam tangan orang akan bisa mengatur waktu.
Walaupun berada di tengah lautan orang akan tahu kapan waktunya makan, kapan
waktunya tidur, kapan waktunya bekerja keras menangkap ikan. Tapi upah yang
diterima Karmin selalu habis hari itu juga. Entah kenapa. Rasanya Karmin tidak
boros-boros amat. Memang sih dia kadang suka minum-minum kalau punya uang
lebih. Namun itu cuma kadang-kadang. Betapa sulitnya hidup ini tanpa disertai
mabuk-mabuk. Hidup sudah begini sukar dan menyebalkan, bagaimana bisa orang
selalu menghadapinya tanpa diselingi mabuk-mabuk. Wajar saja, bukan? Begitu
pikir Karmin.
"Sudahlah Karmin, terima
saja cinta Warni. Kalau kamu merasa malu biar nanti aku yang
menyampaikan." Entah siapa pula yang pernah menyampaikan kebaikan itu.
Karmin tidak ingat. Kadangkala Karmin heran, ternyata masih ada juga orang yang
memperhatikan nasibnya. Tetapi benarkan mereka memberi perhatian padanya?
Ah, jangan-jangan justru mereka
meledek nasibnya. Rasanya Karmin terlalu hapal dengan tabiat tetangga-tetangganya
yang gemar betul meledek dirinya. Karmin tak mengerti mengapa mereka senang
bila melihatnya menderita dan seperti tak rela melihat dirinya sedikit saja
bahagia. Apa memang begitu sifat makhluk yang bernama tetangga itu?
Karmin bangkit dari duduknya.
Melangkah perlahan, mencari tempat teduh di bawah pohon kelapa. Karmin duduk
lagi di sana, memeluk lututnya yang ditekuk. Pohon kelapa yang pernah menjadi
saksi percintaan Karmin dan Sumirah.
"Karmin, bila aku tak
kembali, apakah kamu akan tetap menungguku?"
"Ya. Aku akan tetap
menunggumu sampai aku mati."
"Benarkah? Kamu tidak akan
berpaling pada Warni?
"Kenapa kamu bertanya
seperti itu? Apakah kamu masih meragukan kesungguhanku?"
"Bukan begitu, Karmin. Aku
hanya benci pada Warni. Seandainya kita tidak berjodoh karena aku mati di
negeri orang misalnya, aku mengizinkan kamu kawin dengan perempuan lain, tapi
tidak dengan Warni."
Karmin tidak tahun kenapa Sumirah
begitu membeci Warni. Barangkali Warni memang pernah berusaha memisahkan
Sumirah darinya. Konon Warni pulalah yang menyebarkan kabar bohong yang
menyebutkan Sumirah suka melacur di bawah jembatan. Padahal kalaupun iya,
Karmin tidak peduli. Karmin mencintai Sumirah secara total. Bukan cuma
tubuhnya.
Karmin tak pernah lupa ucapan
itu. Makanya ia tak pernah menggubris Warni yang kadang datang merayunya,
bahkan perempuan mana pun. Karmin yakin Sumirah akan kembali seperti yang
dikatakan Sumirah sendiri yang selalu datang dalam mimpinya.
"Karmin, Karmin, kamu ini
laki-laki. Masa menunggu perempuan sampai tua. Memangnya di dunia ini cuma
Sumirah yang perempuan? Kamu ini bodoh atau memang gila toh, Min..." ini
kata-kata Simbok. Karmin tahu Simbok tidak bermaksud melemahkan hatinya. Simbok
amat menyayangi dirinya. Simbok berkata begitu tentu karena prihatin pada
dirinya yang sudah mulai tua namun tetap membujang. Saudara-saudara dan
kawan-kawannya memang sudah pada berkeluarga semua. Adiknya malah sudah punya
anak dua. Keponakan-keponakan Karmin inilah yang suka menghantarkan makanan
buat Karmin di tepi pantai ini. Berganti-ganti mereka mengantarkan makanan,
kadang juga selimut. Karmin tidak pernah menegur mereka sama sekali. Begitupun
keponakan. Mereka segera berlalu begitu meletakkan makanan dan selimut. Mereka
hanya saling berbisik-bisik, "Lihat, paman makin kurus, kasihan."
"Kata ibu paman tidak bisa
dikasihani."
"Betapa setia paman pada
pacarnya."
"Kata ibu bukan setia tapi
bodoh."
"Barangkali pacar paman itu
mirip Britney Spears sehingga paman begitu mencintainya."
"Kata ibu pacarnya itu
pelacur."
"Heh, ibumu kok usil
betul."
Kadang-kadang saja mereka
menyampaikan berita dari Simbok yang tak kuat lagi berjalan menjenguknya di
tepi pantai ini. Pesan terakhir Simbok yang disampaikan adalah mengenai divonis
matinya Sumirah oleh hakim di Arab Saudi gara-gara dituduh membunuh majikan
yang mau memperkosanya. Simbok mendengar berita itu dari ibu mereka yang
mendengarnya dari siaran televisi.***
Cirebon 2004
0 comments:
Post a Comment