Tuesday, 24 June 2014

Penantian Karmin




Cerpen: Aris Kurniawan 

Sumber: Suara Pembaruan,  Edisi 10/30/2005  Post:  10/31/2005 Disimak: 181 kali

Karmin duduk di tunggul pohon kelapa itu. Malam baru saja rampung. Fajar yang cemerlang telah merobek kelam di ufuk timur. Permukaan lautan bagai cermin raksasa yang bergoyang-goyang. Karmin duduk mencangkung, matanya menatap cakrawala yang telah bertemu dengan lautan di ujung sana. Di kejauhan perahu-perahu tampak timbul tenggelam bagai perahu mainan Karmin dulu.
Perlahan-lahan matahari muncul dengan kemilau cahayanya menyilaukan. Melihat matahari itu Karmin selalu teringat Sumirah yang tengah dinantinya. Sumirah selalu ngomong, "Bila matahri muncul, itu tandanya kamu harus berkemas menjemputku.
" Karmin menggosok matanya, pedih. Pantai makin sunyi. Perahu-perahu tak tampak lagi. siang hari begini para nelayan memang tidak berlayar. Istri-istri mereka menjamur ikan hasil tangkapan. Memilihnya, yang bagus dibawa ke pasar, yang agak jelek mereka jemur dicampur garam untuk dijadikan ikan asin. Angin kering berhembus membawa angin busuk. Tetapi Karmin seakan tidak mencium bau busuk itu. Rambutnya yang ikal, gondrong dan kemerahan karena terbakar matahari, berkibaran dipermainkan angin.
Karmin semalam bermimpi Sumirah akan datang minggu ini. Sumirah berpesan agar ia menunggu di pantai. "Duduklah kamu di tunggul pohon kelapa itu. Aku akan tiba sore nanti. Kubawakan baju, kain sarung untukmu. Juga jam tangan yang kau inginkan itu." Sumirah tampak cantik sekali. Bergaun putih transparan melambai-lambai.
Karmin meninggalkan pondoknya dua hari lalu. Hidup begitu hampa tanpa mengenang Sumirah, tanpa mimpi tentang Sumirah. Untunglah Sumirah memang selalu datang dalam angan-angannya, dalam mimpi-mimpinya. Para tetangganya sudah bosan menegurnya bila melihat Karmin melamun. Kadang-kadang saja mereka menyuruh Karmin mengangkat keranjang, mengupas kelapa.
"Karmin, sampai kapan kamu menunggu Sumirah? Dia mungkin telah berbahagia sekarang dengan suaminya yang baru. Buat apa lagi ditunggu. Si Warni pernah bilang, dia sebenarnya masih mencintai kamu. Coba kamu pikir-pikir, mau terus menunggu Sumirah atau menerima Warni sebagai pengganti. Untuk mengisi hidupmu. Kamu mulai tua. Lihat rambutmu. Lihat keriputmu," ucap seseorang entah siapa. Banyak sekali suara-suara yang mengiang di telinganya. Seperti dibawa angin, mendarat dan berjejalan di telinganya, bahkan kadang langsung ke lubuk hatinya.
"Sumirah, pergilah kamu. Tapi aku tetap menunggumu. Bila jadi TKW itu pilihanmu, aku akan tetap setia padamu. Aku menunggumu sampai kamu kembali."
"Karmin, sebetulnya aku tidak menginginkan perpisahan ini. Tetapi apa boleh buat, kita harus memperbaiki keadaan. Kita harus merubah nasib."
"Kalau kamu kembali dengan membawa uang banyak, aku takut kamu melupakanku. Aku takut. Hanya itu yang membuatku takut. Aku percaya kamu dapat menjaga diri di negeri orang. Aku tahu kamu perempuan yang kuat, pantang menyerah membela kehormatan. Tapi aku ragu apakah kamu kuat untuk tetap setia padaku ketika kamu banyak uang sedangkan aku masih pengangguran."
"Karmin, Karmin, kenapa sih selalu berkata seperti itu. Kan sudah kujelaskan berulang-ulang, cintaku sudah habis untukmu. Kalau aku mau pacar yang kaya, sekarang aku sudah kawin dengan Wakijan, juragan ikan itu. Kamu tahu sendiri bagaimana dia mengejar-ngejar aku. Kamu juga tahu, Lurah Jarot yang menawariku rumah dan motor bila aku mau diperistri olehnya."
Matahari terus merambat naik. Panas mulai menyengat. Angin kering mempermainkan rambut Karmin, baju Karmin yang telah kuning kecokelat-cokelatan karena lama tak ganti-ganti. Sebenarnya Karmin masih memiliki beberapa baju lagi. Namun dia amat menyukai baju itu. Baju pemberian Sumirah ketika perempuan itu mau berangkat ke Saudi Arabia keesokan harinya sebagai kenangan.
"Kalau kamu rindu, kenakanlah baju ini."
Sebagai kenangan pula, Karmin memberikan selendang merah untuk Sumirah.
"Begitu juga kalau kamu rindu, dekaplah selendang ini."
Entah sudah berapa tahun lalu perpisahan yang menggoreskan kesedihan itu. Karmin hanya mampu menunggu dan menunggu. Duduk mencangkung di tunggul pohon kelapa tepi pantai. Setiap ada perahu yang muncul dari balik cakrawala Karmin selalu membayangkan Sumirah muncul melambai-lambaikan tangannya sambil berteriak, "Karmiiiiin aku datang... ini kubawakan jam tangan." Bertahun sudah namun Sumirah tak juga tiba membawakan jam tangan seperti impiannya.
***
Dengan jemari tangannya yang berkuku panjang dan kotor Karmin membelai rambutnya yang mulai gimbal tak terurus. Matanya yang kuyu dan merah tak lelah-lelah menyorot ke seberang lautan. Dulu Karmin memang sering mengatakan pada Sumirah betapa ia ingin memiliki jam tangan itu. Dengan jam tangan orang akan bisa mengatur waktu. Walaupun berada di tengah lautan orang akan tahu kapan waktunya makan, kapan waktunya tidur, kapan waktunya bekerja keras menangkap ikan. Tapi upah yang diterima Karmin selalu habis hari itu juga. Entah kenapa. Rasanya Karmin tidak boros-boros amat. Memang sih dia kadang suka minum-minum kalau punya uang lebih. Namun itu cuma kadang-kadang. Betapa sulitnya hidup ini tanpa disertai mabuk-mabuk. Hidup sudah begini sukar dan menyebalkan, bagaimana bisa orang selalu menghadapinya tanpa diselingi mabuk-mabuk. Wajar saja, bukan? Begitu pikir Karmin.
"Sudahlah Karmin, terima saja cinta Warni. Kalau kamu merasa malu biar nanti aku yang menyampaikan." Entah siapa pula yang pernah menyampaikan kebaikan itu. Karmin tidak ingat. Kadangkala Karmin heran, ternyata masih ada juga orang yang memperhatikan nasibnya. Tetapi benarkan mereka memberi perhatian padanya?
Ah, jangan-jangan justru mereka meledek nasibnya. Rasanya Karmin terlalu hapal dengan tabiat tetangga-tetangganya yang gemar betul meledek dirinya. Karmin tak mengerti mengapa mereka senang bila melihatnya menderita dan seperti tak rela melihat dirinya sedikit saja bahagia. Apa memang begitu sifat makhluk yang bernama tetangga itu?
Karmin bangkit dari duduknya. Melangkah perlahan, mencari tempat teduh di bawah pohon kelapa. Karmin duduk lagi di sana, memeluk lututnya yang ditekuk. Pohon kelapa yang pernah menjadi saksi percintaan Karmin dan Sumirah.
"Karmin, bila aku tak kembali, apakah kamu akan tetap menungguku?"
"Ya. Aku akan tetap menunggumu sampai aku mati."
"Benarkah? Kamu tidak akan berpaling pada Warni?
"Kenapa kamu bertanya seperti itu? Apakah kamu masih meragukan kesungguhanku?"
"Bukan begitu, Karmin. Aku hanya benci pada Warni. Seandainya kita tidak berjodoh karena aku mati di negeri orang misalnya, aku mengizinkan kamu kawin dengan perempuan lain, tapi tidak dengan Warni."
Karmin tidak tahun kenapa Sumirah begitu membeci Warni. Barangkali Warni memang pernah berusaha memisahkan Sumirah darinya. Konon Warni pulalah yang menyebarkan kabar bohong yang menyebutkan Sumirah suka melacur di bawah jembatan. Padahal kalaupun iya, Karmin tidak peduli. Karmin mencintai Sumirah secara total. Bukan cuma tubuhnya.
Karmin tak pernah lupa ucapan itu. Makanya ia tak pernah menggubris Warni yang kadang datang merayunya, bahkan perempuan mana pun. Karmin yakin Sumirah akan kembali seperti yang dikatakan Sumirah sendiri yang selalu datang dalam mimpinya.
"Karmin, Karmin, kamu ini laki-laki. Masa menunggu perempuan sampai tua. Memangnya di dunia ini cuma Sumirah yang perempuan? Kamu ini bodoh atau memang gila toh, Min..." ini kata-kata Simbok. Karmin tahu Simbok tidak bermaksud melemahkan hatinya. Simbok amat menyayangi dirinya. Simbok berkata begitu tentu karena prihatin pada dirinya yang sudah mulai tua namun tetap membujang. Saudara-saudara dan kawan-kawannya memang sudah pada berkeluarga semua. Adiknya malah sudah punya anak dua. Keponakan-keponakan Karmin inilah yang suka menghantarkan makanan buat Karmin di tepi pantai ini. Berganti-ganti mereka mengantarkan makanan, kadang juga selimut. Karmin tidak pernah menegur mereka sama sekali. Begitupun keponakan. Mereka segera berlalu begitu meletakkan makanan dan selimut. Mereka hanya saling berbisik-bisik, "Lihat, paman makin kurus, kasihan."
"Kata ibu paman tidak bisa dikasihani."
"Betapa setia paman pada pacarnya."
"Kata ibu bukan setia tapi bodoh."
"Barangkali pacar paman itu mirip Britney Spears sehingga paman begitu mencintainya."
"Kata ibu pacarnya itu pelacur."
"Heh, ibumu kok usil betul."
Kadang-kadang saja mereka menyampaikan berita dari Simbok yang tak kuat lagi berjalan menjenguknya di tepi pantai ini. Pesan terakhir Simbok yang disampaikan adalah mengenai divonis matinya Sumirah oleh hakim di Arab Saudi gara-gara dituduh membunuh majikan yang mau memperkosanya. Simbok mendengar berita itu dari ibu mereka yang mendengarnya dari siaran televisi.***

Cirebon 2004

0 comments:

Post a Comment