18 December 2005 (Read 532 times)
"Tempat untuk berbahagia itu di sini. Waktu
untuk berbahagia itu kini. Cara untuk berbahagia ialah dengan membuat orang
lain berbahagia."
— Robert G. Ingersoll
Sebuah bangungan menterang, Istana para pembesar
kerajaan yang penuh dengan perabotan dan hiasan-hiasan, dilapisi permadani
tebal. Di ujung permadani terletak sebuah kursi besar tempat Jahoti duduk
dengan gagah, dikelilingi dayang-dayang. Di belakangnya salah seorang dayang
duduk sambil menggerak-gerakkan kipas besar, sedangkan di depannya Auni berdiri
penuh hormat. Para pelayan lalu-lalang mengantarkan jamuan. Di sebelah depan
berderet kursi saling berhadapan di sisi permadani. Para punggawa dan pembesar
kerajaan duduk dengan sopan. Beberapa orang masih tampak berdiri menunggu titah
raja. "Duduk!" perintah Jahoti. Perlahan-lahan Auni beringsut lalu
duduk di kursi paling depan. Para pembesar dengan hati-hati melangkah mundur
dan kemudian duduk di kursi yang sudah disediakan.
"Hari ini kita akan membicarakan tentang
petani itu," titah raja. "Siapa Aknom ini hingga berani menentangku,
sedang Aku adalah raja negri ini, tangan kanan Fir'aun yang agung."
Dia terdiam sesaat sambil memandang wajah para
pembesar satu persatu dengan senyumannya yang garang. Kemudian dia kembali
melanjutkan, "Aku tidak kuatir dengan kejadian ini. Namun aku takut akan
sering terulang. Aku tidak pernah mendengar sepanjang hidupku manusia hina dina
mengangkat wajahnya di depan tuan-tuannya. Tidak di Ahnasia, dan tidak pernah
juga di wilayah lain. Apakah ini suatu tanda atau peringatan? Aku tidak tahu,
tapi lebih hati-hati jika kita segera mengambil langkah-langkah."
"Tuanku, dia hanya seekor kecoak. Seorang
hamba dari ribuan hamba-hambamu. Tidak usah kamu pikirkan. Biarkan dia
berteriak-teriak di dalam gua yang gelap gulita dan meraung-raung seperti
manusia diserang demam. Besok dia juga akan putus asa, lalu terjatuh kelelahan
atau tidur pulas. Orang-orang kemudian akan melupakannya," sahut Auni
angkat bicara.
Beberapa orang pembesar wilayah yang jauh telah
tiba. Mereka datang dari negri seberang, karena titah raja untuk segera
menghadiri pertemuan. Pertemuan penting yang tidak bisa ditunda-tunda. Jumlah
yang terlambat ini sekitar 15 orang. Mereka menyampaikan alasan kepada Jahoti
tentang keterlambatan mereka; karena rakyat di wilayahnya menghalang-halangi
sehingga mereka harus berangkat dengan sembunyi-sembunyi. Mereka ketakutan
Fir'aun akan murka, karena ini adalah titah raja. Lebih baik segera menghadiri
pertemuan daripada mendengar pengaduan tentang hama-hama dan kelaparan.
Penyakit, kelaparan, dan hama-hama bisa segera diatasi, tapi murka Fir'aun
siapa yang bisa melawan. Jahoti tersenyum bangga.
"Selamat datang di istana Jahoti,
tuan-tuan!" sambut Auni.
Dia menepuk tangannya dan tidak lama kemudian para
pelayan datang mengantarkan gelas-gelas minuman.
"Saya tidak menyangka, bagaimana mungkin
Tuanku tidak bisa menghalau kecoak-kecoak itu? Hanya satu orang petani, mencuri
ketenangan harimu dan bersemayam dalam pikiranmu saat tidur dan bangun. Apa
yang akan Tuanku lakukan, seandainya mereka sepuluh orang?" kata Tata
mulai angkat bicara.
"Tuanku justru telah mengambil kebijakan yang
bagus. Dia mengundang kita untuk membicarakan bersama. Musyawarah adalah
kemestian, jika kita ingin mendapatkan strategi jitu. Karena, pendapat satu
orang tidak lepas dari kelemahan," sahut Yaya.
Jahoti tersenyum lalu berkata, "Orang-orang
mengatakan, Jahoti adalah manusia adil dan bijaksana. Dia tidak menjadikan pangkat
dan jabatan sebagai alat kezhaliman. Justru dengan pertemuan Dewan, dia
mengeluarkan kebijakan untuk wilayah, hingga wilayah yang jauh di sana."
"Oh kalau ini sudah maklum. Bahkan
pembesar-pembesar negri jauh pun tidak akan berani menolak datang. Demi
pertemuan penting mencapai kemaslahatan. Dengan harapan Tuanku dan para
pembesar bisa mendapatkan keputusan menghadapi banyak tuntutan dan
penentangan," sahut Yaya.
Auti masuk dengan tergesa-gesa. Napasnya
tersengal-sengal seperti orang yang baru terlepas dari kejaran anjing.
"Tuanku dan tuan-tuan sekalian. Maafkan
keterlambatan saya. Di tengah perjalanan saya menjumpai peristiwa yang sangat
mengejutkan. Anjing-anjing menyalak dengan ganas dan menakutkan seakan-akan
kita adalah orang-orang bodoh yang melarikan diri dari tanggung jawab. Bukankah
kita adalah manusia-manusia pilihan? Dilantik oleh Fir'aun sebagai pembesar
untuk mewakili rakyat di wilayah kita masing-masing. Bukankah kita ini
orang-orang yang pintar dan sangat berpengalaman? Kenapa justru membuat kita
terkejut dan takut apa yang sekarang sedang ramai di kalangan rakyat banyak
hingga keruh malam-malam kita dan seperti tidur di atas bara?"
"Aku ini, anakku, orang tua yang sudah
melewati tahun-tahunnya. Aku persembahkan hidupku hingga akar pohon-pohon
menancap kokoh. Dan aku sandarkan pucuk yang lembut hingga tidak terbang ditiup
angin. Atau bagaimana dahan-dahan itu tidak bergoyang, atau ada tangan yang
mengguncang. Aku takuti burung-burung dari buah yang sudah matang, dan aku
tidak pernah kikir dengan pengorbanan. Berapa banyak penderitaan yang aku
hadapi dan aku sudah lelah. Berapa banyak penghargaan yang aku dapatkan. Kami
dari putra-putra generasi pertama, orang-orang yang telah membangun singgasana
kerajaan. Kami wariskan kepada kalian kebesaran ini, dengan keringat dan susah
payah. Kami persembahkan dengan pengorbanan yang pahit, istana-istana yang
berjejer di lembah-lembah. Sumber kehidupan dari kemurahan silsilah tuhan, para
Fir'aun. Kekuasaan istana membentang lebar dan panjang ke semua penjuru bumi.
Istana yang mempunyai kekuatan lahir dan batin, menurunkan atau meninggikan,
dan memberi atau menghalangi. Istana yang penuh dengan kuasa, bahkan penentu
takdir-takdir. Maka bagaimana mungkin aku tidak terkejut, atau cemas, atau
dirundung kesedihan," tukas Yaya dengan suara lirih menjelaskan panjang
lebar.
"Aku sendiri, tidak ada yang mengubahku.
Hatiku masih bergelora dengan keagungan. Dua tanganku masih kokoh. Dan jiwaku
penuh kelembutan," sahut Tata sambil tertawa.
"Memang siapa di antara kita yang gemetar
sendi-sendi tulangnya, Tata? Apakah singgasana ini dibangun oleh
pengecut?" tanya Jahoti garang.
"Tidak.. tidak. Kalian lebih perkasa dari batu
karang. Semua harap tenang," sergah Yaya
"Akan tetapi aku harus tetap membuka mata
seperti ular. Mengukur setiap langkahku di atas tali terbentang. Tidak mungkin
aku berdiam di bawah naungan pohon rindang dan santai telentang. Dan menyerah
pada hembusan angin sungai. Punggungku harus tetap bersandar di dinding. Selalu
siaga agar tidak menyesal kemudian hari. Atau kekuatan lain meruntuhkanku. Atau
apakah demam tidak menular? Dan semua berlalu sampai wabah baru
mengancam," sahut Jahoti dengan tegas.
"Baiklah, sekarang mari kita kemukakan
pikiran-pikiran. Dan kita pilih solusi yang baik," kata Tata. Auni, Tangan
Kanan Jahoti, permisi angkat bicara dengan penuh sopan.
"Ribuan pemuda sudah berhimpun untuk menentang
kita. Mereka telah menyalakan API pembangkangan di setiap sendi tulang.
Sehingga membakar dada orang-orang, lalu mengeluarkan kilat-kilat menakutkan
seperti desiran angin setan."
"Pikiranku kuno sudah membatu. Masaku telah
berlalu hingga gagasan-gagasannya telah hancur. Namun aku hanya ingin
menyampaikan sesuatu sebagai bahan pertimbangan. Pemuda sekarang tidak lagi
seperti kemarin. Mereka telah menyadari banyak hal dan membuang jauh
wasiat-wasiat lama. Mereka berbaring tenang, tetapi menyimpan penentangan dan
permusuhan. Mereka mengatakan, generasi demi generasi telah menipu kita dengan
omong kosong. Mengultuskan semua yang pernah dikatakan masa lalu adalah
kejahilan yang membudaya dan kebodohan. Dan itulah sumber petaka. Mereka
membuat sistem-sistem baru, mencari jalan keluar. Mereka menggali kebenaran dan
jawaban. Apakah seperti ini yang mereka klaim. Dan hari ini, kalian pembesar
yang juga masih muda, hadir di sini. Barangkali banyak pikiran baru. Pemikiran
modern.. pada masa yang selalu mengubah kulitnya setiap hari. Dengan kalian
kita bisa memberangus setiap pikiran yang menentang dan menghancurkan, dengan
lembut jika lebih berguna, dengan pembiusan, atau kalau perlu dengan
kekerasan," ujar Yaya.
"Kami tidak mengesampingkan pikiran yang cerah
ini, atau strategi bagaimana menghadapi. Bahkan kami pada akhirnya adalah para
pembesar pilihan yang disegani. Orang-orang mengenal kita dengan dua wajahnya
yang lembut dan beku. Kita mengenakan seribu topeng dalam satu hari. Bagi kita
apa yang kita inginkan, bukan yang diinginkan oleh orang-orang mabuk yang
banyak ribut itu. Kita telah menghadapi semua itu berkali-kali dan bahkan
setiap hari. Hingga kita menjadi berpengalaman dan para ahli," sahut Tata.
"Kalian memang orang-orang pilihan di antara
masyarakat ini. Dengan kalian, semakin rindang pohon-pohon kekuasaan.
Sawah-sawah menjadi subur dengan gelimangan air, hingga penuh perbendaharaan
desa dengan sumbangan dan pemberian kalian. Sedang para penentang itu hanyalah
kecoak yang iri dengki atau kelalawar malam yang mengganggu tidur," puji
Auni.
Tata menatap Auni dengan penuh kebanggaan dan
senang. "Betapa kalian orang-orang yang penuh ide dan gagasan, buah dari
pikiran malam."
Jahoti memandangnya dengan jengkel. "Kenapa
kamu belum juga mengajukan usulan sejak tadi? Apakah kamu sengaja atau kamu
menganggap kecil persoalan, Hai Penyelamat."
"Oh tidak karena apa-apa. Aku memang laki-laki
penyelamat. Selalu datang pada saat-saat genting. Aku disegani di banyak
wilayah dan dikenal sebagai pangeran tipu daya, mampu menghadapi masalah dengan
penuh siasat. Aku berburu dengan senyuman, dan siulan berirama."
"Tata, segera masuk ke topik persoalan.
Kemukakan gagasanmu," desak Yaya.
Setelah berpikir sejenak, Tata angkat bicara,
"Gampang! Kita tenggelamkan mereka dengan isu-isu dan berita-berita. Ini
sering menggoda orang-orang. Kita menyerah kepada telinga terbuka siang dan
malam. Kalau perlu, undang mereka makan malam di istana. Kemudian kita tanamkan
kepada mereka apa yang kita inginkan; segala godaan, berita hangat, seribu
alasan. Perlihatkan kepada mereka keberhasilan-keberhasilan kita atau
perbaikan-perbaikan. Cukup kita tipu mereka dengan sedikit menyusupi berita-berita.
Angkat orang-orang pintar menjadi teman sehingga mereka dipercaya mengemukakan
analisa dan penelitian. Kita bisa pergunakan pendukung-pendukung kita yang
tersebar di pasar-pasar dan setiap tapak jalan. Tidak usah takut dengan suara
mereka, tapi tampakan bahwa kita mengagungkan kritik. Dan kita bisa masukkan
sedikit alasan dan beberapa penjelasan."
"Begitu juga yang sebenarnya sedang aku
pikirkan," sahut Jahoti.
0 comments:
Post a Comment