Tuesday, 24 June 2014

Selamat Datang di Negri Fir’aun, Tuan-Tuan!



18 December 2005 (Read 532 times)
  
"Tempat untuk berbahagia itu di sini. Waktu untuk berbahagia itu kini. Cara untuk berbahagia ialah dengan membuat orang lain berbahagia."

— Robert G. Ingersoll

Sebuah bangungan menterang, Istana para pembesar kerajaan yang penuh dengan perabotan dan hiasan-hiasan, dilapisi permadani tebal. Di ujung permadani terletak sebuah kursi besar tempat Jahoti duduk dengan gagah, dikelilingi dayang-dayang. Di belakangnya salah seorang dayang duduk sambil menggerak-gerakkan kipas besar, sedangkan di depannya Auni berdiri penuh hormat. Para pelayan lalu-lalang mengantarkan jamuan. Di sebelah depan berderet kursi saling berhadapan di sisi permadani. Para punggawa dan pembesar kerajaan duduk dengan sopan. Beberapa orang masih tampak berdiri menunggu titah raja. "Duduk!" perintah Jahoti. Perlahan-lahan Auni beringsut lalu duduk di kursi paling depan. Para pembesar dengan hati-hati melangkah mundur dan kemudian duduk di kursi yang sudah disediakan.


"Hari ini kita akan membicarakan tentang petani itu," titah raja. "Siapa Aknom ini hingga berani menentangku, sedang Aku adalah raja negri ini, tangan kanan Fir'aun yang agung."
Dia terdiam sesaat sambil memandang wajah para pembesar satu persatu dengan senyumannya yang garang. Kemudian dia kembali melanjutkan, "Aku tidak kuatir dengan kejadian ini. Namun aku takut akan sering terulang. Aku tidak pernah mendengar sepanjang hidupku manusia hina dina mengangkat wajahnya di depan tuan-tuannya. Tidak di Ahnasia, dan tidak pernah juga di wilayah lain. Apakah ini suatu tanda atau peringatan? Aku tidak tahu, tapi lebih hati-hati jika kita segera mengambil langkah-langkah."

"Tuanku, dia hanya seekor kecoak. Seorang hamba dari ribuan hamba-hambamu. Tidak usah kamu pikirkan. Biarkan dia berteriak-teriak di dalam gua yang gelap gulita dan meraung-raung seperti manusia diserang demam. Besok dia juga akan putus asa, lalu terjatuh kelelahan atau tidur pulas. Orang-orang kemudian akan melupakannya," sahut Auni angkat bicara.

Beberapa orang pembesar wilayah yang jauh telah tiba. Mereka datang dari negri seberang, karena titah raja untuk segera menghadiri pertemuan. Pertemuan penting yang tidak bisa ditunda-tunda. Jumlah yang terlambat ini sekitar 15 orang. Mereka menyampaikan alasan kepada Jahoti tentang keterlambatan mereka; karena rakyat di wilayahnya menghalang-halangi sehingga mereka harus berangkat dengan sembunyi-sembunyi. Mereka ketakutan Fir'aun akan murka, karena ini adalah titah raja. Lebih baik segera menghadiri pertemuan daripada mendengar pengaduan tentang hama-hama dan kelaparan. Penyakit, kelaparan, dan hama-hama bisa segera diatasi, tapi murka Fir'aun siapa yang bisa melawan. Jahoti tersenyum bangga.

"Selamat datang di istana Jahoti, tuan-tuan!" sambut Auni.
Dia menepuk tangannya dan tidak lama kemudian para pelayan datang mengantarkan gelas-gelas minuman.
"Saya tidak menyangka, bagaimana mungkin Tuanku tidak bisa menghalau kecoak-kecoak itu? Hanya satu orang petani, mencuri ketenangan harimu dan bersemayam dalam pikiranmu saat tidur dan bangun. Apa yang akan Tuanku lakukan, seandainya mereka sepuluh orang?" kata Tata mulai angkat bicara.

"Tuanku justru telah mengambil kebijakan yang bagus. Dia mengundang kita untuk membicarakan bersama. Musyawarah adalah kemestian, jika kita ingin mendapatkan strategi jitu. Karena, pendapat satu orang tidak lepas dari kelemahan," sahut Yaya.

Jahoti tersenyum lalu berkata, "Orang-orang mengatakan, Jahoti adalah manusia adil dan bijaksana. Dia tidak menjadikan pangkat dan jabatan sebagai alat kezhaliman. Justru dengan pertemuan Dewan, dia mengeluarkan kebijakan untuk wilayah, hingga wilayah yang jauh di sana."

"Oh kalau ini sudah maklum. Bahkan pembesar-pembesar negri jauh pun tidak akan berani menolak datang. Demi pertemuan penting mencapai kemaslahatan. Dengan harapan Tuanku dan para pembesar bisa mendapatkan keputusan menghadapi banyak tuntutan dan penentangan," sahut Yaya.

Auti masuk dengan tergesa-gesa. Napasnya tersengal-sengal seperti orang yang baru terlepas dari kejaran anjing.
"Tuanku dan tuan-tuan sekalian. Maafkan keterlambatan saya. Di tengah perjalanan saya menjumpai peristiwa yang sangat mengejutkan. Anjing-anjing menyalak dengan ganas dan menakutkan seakan-akan kita adalah orang-orang bodoh yang melarikan diri dari tanggung jawab. Bukankah kita adalah manusia-manusia pilihan? Dilantik oleh Fir'aun sebagai pembesar untuk mewakili rakyat di wilayah kita masing-masing. Bukankah kita ini orang-orang yang pintar dan sangat berpengalaman? Kenapa justru membuat kita terkejut dan takut apa yang sekarang sedang ramai di kalangan rakyat banyak hingga keruh malam-malam kita dan seperti tidur di atas bara?"

"Aku ini, anakku, orang tua yang sudah melewati tahun-tahunnya. Aku persembahkan hidupku hingga akar pohon-pohon menancap kokoh. Dan aku sandarkan pucuk yang lembut hingga tidak terbang ditiup angin. Atau bagaimana dahan-dahan itu tidak bergoyang, atau ada tangan yang mengguncang. Aku takuti burung-burung dari buah yang sudah matang, dan aku tidak pernah kikir dengan pengorbanan. Berapa banyak penderitaan yang aku hadapi dan aku sudah lelah. Berapa banyak penghargaan yang aku dapatkan. Kami dari putra-putra generasi pertama, orang-orang yang telah membangun singgasana kerajaan. Kami wariskan kepada kalian kebesaran ini, dengan keringat dan susah payah. Kami persembahkan dengan pengorbanan yang pahit, istana-istana yang berjejer di lembah-lembah. Sumber kehidupan dari kemurahan silsilah tuhan, para Fir'aun. Kekuasaan istana membentang lebar dan panjang ke semua penjuru bumi. Istana yang mempunyai kekuatan lahir dan batin, menurunkan atau meninggikan, dan memberi atau menghalangi. Istana yang penuh dengan kuasa, bahkan penentu takdir-takdir. Maka bagaimana mungkin aku tidak terkejut, atau cemas, atau dirundung kesedihan," tukas Yaya dengan suara lirih menjelaskan panjang lebar.

"Aku sendiri, tidak ada yang mengubahku. Hatiku masih bergelora dengan keagungan. Dua tanganku masih kokoh. Dan jiwaku penuh kelembutan," sahut Tata sambil tertawa.
"Memang siapa di antara kita yang gemetar sendi-sendi tulangnya, Tata? Apakah singgasana ini dibangun oleh pengecut?" tanya Jahoti garang.
"Tidak.. tidak. Kalian lebih perkasa dari batu karang. Semua harap tenang," sergah Yaya
"Akan tetapi aku harus tetap membuka mata seperti ular. Mengukur setiap langkahku di atas tali terbentang. Tidak mungkin aku berdiam di bawah naungan pohon rindang dan santai telentang. Dan menyerah pada hembusan angin sungai. Punggungku harus tetap bersandar di dinding. Selalu siaga agar tidak menyesal kemudian hari. Atau kekuatan lain meruntuhkanku. Atau apakah demam tidak menular? Dan semua berlalu sampai wabah baru mengancam," sahut Jahoti dengan tegas.

"Baiklah, sekarang mari kita kemukakan pikiran-pikiran. Dan kita pilih solusi yang baik," kata Tata. Auni, Tangan Kanan Jahoti, permisi angkat bicara dengan penuh sopan.
"Ribuan pemuda sudah berhimpun untuk menentang kita. Mereka telah menyalakan API pembangkangan di setiap sendi tulang. Sehingga membakar dada orang-orang, lalu mengeluarkan kilat-kilat menakutkan seperti desiran angin setan."

"Pikiranku kuno sudah membatu. Masaku telah berlalu hingga gagasan-gagasannya telah hancur. Namun aku hanya ingin menyampaikan sesuatu sebagai bahan pertimbangan. Pemuda sekarang tidak lagi seperti kemarin. Mereka telah menyadari banyak hal dan membuang jauh wasiat-wasiat lama. Mereka berbaring tenang, tetapi menyimpan penentangan dan permusuhan. Mereka mengatakan, generasi demi generasi telah menipu kita dengan omong kosong. Mengultuskan semua yang pernah dikatakan masa lalu adalah kejahilan yang membudaya dan kebodohan. Dan itulah sumber petaka. Mereka membuat sistem-sistem baru, mencari jalan keluar. Mereka menggali kebenaran dan jawaban. Apakah seperti ini yang mereka klaim. Dan hari ini, kalian pembesar yang juga masih muda, hadir di sini. Barangkali banyak pikiran baru. Pemikiran modern.. pada masa yang selalu mengubah kulitnya setiap hari. Dengan kalian kita bisa memberangus setiap pikiran yang menentang dan menghancurkan, dengan lembut jika lebih berguna, dengan pembiusan, atau kalau perlu dengan kekerasan," ujar Yaya.

"Kami tidak mengesampingkan pikiran yang cerah ini, atau strategi bagaimana menghadapi. Bahkan kami pada akhirnya adalah para pembesar pilihan yang disegani. Orang-orang mengenal kita dengan dua wajahnya yang lembut dan beku. Kita mengenakan seribu topeng dalam satu hari. Bagi kita apa yang kita inginkan, bukan yang diinginkan oleh orang-orang mabuk yang banyak ribut itu. Kita telah menghadapi semua itu berkali-kali dan bahkan setiap hari. Hingga kita menjadi berpengalaman dan para ahli," sahut Tata.

"Kalian memang orang-orang pilihan di antara masyarakat ini. Dengan kalian, semakin rindang pohon-pohon kekuasaan. Sawah-sawah menjadi subur dengan gelimangan air, hingga penuh perbendaharaan desa dengan sumbangan dan pemberian kalian. Sedang para penentang itu hanyalah kecoak yang iri dengki atau kelalawar malam yang mengganggu tidur," puji Auni.
Tata menatap Auni dengan penuh kebanggaan dan senang. "Betapa kalian orang-orang yang penuh ide dan gagasan, buah dari pikiran malam."

Jahoti memandangnya dengan jengkel. "Kenapa kamu belum juga mengajukan usulan sejak tadi? Apakah kamu sengaja atau kamu menganggap kecil persoalan, Hai Penyelamat."

"Oh tidak karena apa-apa. Aku memang laki-laki penyelamat. Selalu datang pada saat-saat genting. Aku disegani di banyak wilayah dan dikenal sebagai pangeran tipu daya, mampu menghadapi masalah dengan penuh siasat. Aku berburu dengan senyuman, dan siulan berirama."
"Tata, segera masuk ke topik persoalan. Kemukakan gagasanmu," desak Yaya.

Setelah berpikir sejenak, Tata angkat bicara, "Gampang! Kita tenggelamkan mereka dengan isu-isu dan berita-berita. Ini sering menggoda orang-orang. Kita menyerah kepada telinga terbuka siang dan malam. Kalau perlu, undang mereka makan malam di istana. Kemudian kita tanamkan kepada mereka apa yang kita inginkan; segala godaan, berita hangat, seribu alasan. Perlihatkan kepada mereka keberhasilan-keberhasilan kita atau perbaikan-perbaikan. Cukup kita tipu mereka dengan sedikit menyusupi berita-berita. Angkat orang-orang pintar menjadi teman sehingga mereka dipercaya mengemukakan analisa dan penelitian. Kita bisa pergunakan pendukung-pendukung kita yang tersebar di pasar-pasar dan setiap tapak jalan. Tidak usah takut dengan suara mereka, tapi tampakan bahwa kita mengagungkan kritik. Dan kita bisa masukkan sedikit alasan dan beberapa penjelasan."
"Begitu juga yang sebenarnya sedang aku pikirkan," sahut Jahoti.

Pages: 1

0 comments:

Post a Comment