Cerpen: Antoni
SUNDAY, APRIL 17, 2005
CINTA membuatku bodoh. Sebetulnya
aku membenci keadaan ini. Sudah lama aku tidak jatuh cinta. Dan tiba-tiba
makhluk gaib itu datang, menyergapku dari belakang, membantingku dengan kasar,
jatuhlah aku ke pelaminan.
Aku seorang pengembara, tapi kini
aku terjerat tali pernikahan. Bayangkan. Seorang pengembara terjerat tali
pernikahan! Pernikahan tanpa janur kuning melengkung, tanpa kelapa gading
menggelantung, tanpa setandan pisang raja, melati dironce-ronce, apalagi
gending Kodok Ngorek, tidak ada sama sekali. Semua berlangsung tawar, tidak
semerbak, abu-abu, persis mendung menggantung.
"Ini pernikahan resmi kan,
Ma?" tanyaku kepada ibu mertuaku, setelah semua tamu pulang.
"Resmi…!" Alis matanya
agak menaik. "Ada naib dan petugas KUA. Sah
menurut hukum dan agama. Emangnya
kenapa?"
"Ya alhamdulillah, merasa
bahagia saja…," jawabku. Aku memang seorang muallaf sejak Agustus 2003.
Jadi maklum belum begitu paham.
Kami pun kembali terdiam. Ibu
mertuaku asyik memisah-misahkan jepitan rambut yang tadi dipakai istriku. Ada
yang besar ada yang kecil, dipisahkan satu dengan lainnya. Lalu disimpan di
kotak kecil-kecil. Sambil menyulut rokok, aku sandarkan punggung ke tiang kayu
penyangga rumah limasan ini. Tidak ada penutup atap. Gentingnya terlihat dari
bawah. Lonjoran-lonjoran bambu tampak jelas.
Aku tercenung sejenak. Teringat
mendiang ibuku yang meninggal November tahun lalu. Seandainya masih hidup,
tentu ia bahagia sekali menyaksikan pernikahanku. Wasiat terakhir untukku hanya
satu: ia ingin melihatku bahagia.
Rambutku terasa sedikit naik.
Angin bukit batu yang kering, bersirobok masuk dari pintu depan. "Aku
mengalami kebahagiaan hanya pada saat berdoa saja, Bu…," gumamku dalam
batin.
Pernikahan, terus terang, memang
membuatku bahagia. Meski perhelatannya berlangsung sangat sederhana. Pernikahan
memaksaku berhenti mengembara. Puluhan tahun aku melintasi jalanan sepi dan
gelap, berteman rindu dan harapan. Kakiku melangkah tanpa kepastian. Akhirnya
aku dihentikan oleh kekuatan yang tidak pernah aku pahami. Jodoh membuatku
berhenti melangkah.
Sebagai pengembara, sungguh tak
pernah aku mempelajari apa itu hakikat perkawinan, rumah tangga bahagia,
keluarga sakinah dan sebangsanya. Jadilah aku manusia paling bodoh. Mengalami
ketergagapan budaya dalam berumah tangga. Sebuah ritual tradisional yang
dijalankan turun temurun oleh seluruh umat manusia di dunia ini. Dan aku tidak
mengenalinya sama sekali.
Dulu, aku merasa takut menghadapi
pernikahan. Dalam bayanganku, semua keperluan rumah tangga harus dipersiapkan
terlebih dahulu, seperti rumah, penghasilan tetap dan kendaraan. Sejak usia 18
tahun, sudah tiga kali aku membangun rumah, hanya untuk memahami elemen-elemen
pernikahan itu. Rumah pertama, mungil tapi permanen, terpaksa aku jual karena
pindah ke Surabaya. Dan calon istriku pergi jadi pramugari. Terbang, selamanya.
Rumah kedua, sebetulnya aku tidak
begitu berminat membangunnya untuk tujuan berumah tangga, meski pacarku
cintanya tak terbatas untukku. Kubangun di pinggir jalan besar, di sebuah desa
yang tenang. Aku tinggal di situ setahun lamanya, sambil menyelesaikan buku
keduaku tentang meditasi. Aku jual lagi. Pacarku ke Singapura bekerja di sana.
Setelah itu, aku tidak membangun
rumah lagi. Tapi membelinya. Di daerah sentra pariwisata di Jogja. Sebuah rumah
joglo tua dan angker. Kubuat galeri
kecil, lumayan juga.
Lukisan-lukisan karyaku sempat dibeli turis Belanda dan Belgia. Akhirnya,
karena jenuh dan ada peristiwa bom Bali, aku memutuskan
mengembara lagi. Rumah itu kujual
secara tergesa-gesa.
Kini, aku punya istri yang setia
tapi tidak punya rumah. Dulu aku punya rumah tapi hidup sendiri tanpa istri.
He..he…he, ironis kan? Sementara ini istriku tinggal bersama mamanya. Ia memang
anak yatim yang didera penderitaan hidup berkepanjangan.
Aku letakkan puntung rokok
terakhirku ke asbak. Ibu mertuaku ternyata sudah sejak tadi beranjak dari
duduknya. Lamunanku tentang peristiwa pernikahan ini, membuatku tidak memahami
lingkungan sekitarku. Aku pun beranjak, mencari istriku di bilik sebelah,
bersekat tripleks.
Istriku cantik sekali. Tercantik
di dunia. Ia tampak sedang sibuk memberesi pakaian pengantinnya, bedaknya dan
segala tetek bengek perlengkapan gaun pengantin. Bau parfum Drakkar Noir dari
Calvin Klein masih tertinggal, di ujung hidungku. Tadi, seusai resepsi, kucium
dia di tengkuknya. Jadi aroma parfumnya ikut juga. Memang, itu parfum cowok.
Tapi mau bagaimana lagi? Adanya cuma itu. Aku membelinya di drugstore Bandara
Juanda, Surabaya dua tahun lalu, sepulang dari Makassar.
Aku cium lagi tengkuknya. Ia tersenyum
manja. Kebahagiaan terpancar di wajahnya. "Mau ngopi lagi, Mas?"
tanyanya. Aku menggeleng, kudekap dia dari belakang, kemudian kita saling
menempelkan pipi dan mematut-matut di depan cermin. Sepasang pengantin baru
yang menikah diam-diam. Aku lihat matanya berbinar-binar. Ia bahagia.
Makna kebahagiaan bagiku hanyalah
setetes warna yang lebih bersinar di antara warna-warna lain yang kusam. Setiap
orang yang mampu meraih segala sesuatu yang diidam-idamkan, tentu merasa
bahagia. Begitu pula aku. Seringkali aku merasa lelah mengembara dan ingin
hidup layak seperti pada umumnya orang dengan menikah, berkeluarga, dan beranak
pinak seperti yang disampaikan Allah kepada Nabi Ibrahim.
Dua minggu menjelang pernikahan,
secara khusus memang aku memohon kepada kekuatan Yang Maha Dahsyat. Kekuatan
paling purba, sebelum bumi dan tata surya ini tercipta. Di bawah pohon tua
berumur ratusan tahun, di atas bukit kecil yang lembab, tepat tengah malam dan
purnama penuh di angkasa, aku sampaikan permohonan keramatku itu. "Aku
tidak butuh kekayaan, aku butuh istri dan sebuah keluarga," begitu doaku.
Kun fayakun, terjadilah segala sesuatunya secepat kilat.
Pernikahanku juga berlangsung
kilat. Memang, ketemunya sudah lama, dua tahun silam di acara pernikahan
seorang artis dangdut top ibu kota. Belum ada getar-getar cinta kala itu.
Pertemuan kedua terjadi di Jogja, di pinggir lapangan golf Hyatt Regency,
Bogeys Teras. Biasa saja, semuanya berlangsung biasa. Cuma di tengah dentuman
musik classic rock yang mengalun, dia mengatakan kepadaku setengah berbisik:
"Kalau mau sama aku, harus serius…," katanya.
Langsung saja aku melamarnya
malam itu juga. Ia pun mencium punggung tangan kananku. Resmilah kita mengikat
janji. Sepuluh hari setelah malam "bertabur bintang" itu, terjadilah
pernikahanku ini. Tanpa surat undangan dan wedding taart.
Perjalanan pernikahanku memang
terkesan begitu indah. Tak ada cacat,
semua berjalan baik dan tenang.
Ombaknya kecil, landai, dan bisa pasang layar sesuka hati. Langit biru tampak
bersahabat di ujung cakrawala dan matahari bersinar ramah.
Kunikmati pernikahanku. Sedikit
unik. Biasanya jok sebelah kemudiku selalu kosong. Paling, terisi dokumen
pribadi dan beberapa bungkus rokok. Kini ada wanita cantik dengan rambut
tergerai, tawa yang renyah dan sangat suka memakai aksen…gitu loh. "Liya
gitu loh….," katanya menegaskan bahwa Liya beda dengan Lia.
Aku jadi mudah tertawa dibuatnya.
Segala kata jadi berbunga-bunga, dan kita selalu mengurung diri di kamar
berdua. Bercanda, berantem kecil-kecilan, saling merajuk dan tentu saja,
bercinta.
"Aku pengin punya anak
9," kataku.
"Dua saja….Capek,"
jawabnya sambil menepuki perutnya.
Lalu kita berpelukan lagi. Seolah
tidak ada cakrawala untuk luapan kegembiraan dan kebahagiaanku. Tidak ada yang
membatasi. Tidak ada garis lurus yang memisahkan. Tidak seperti langit dan bumi
yang dibelah di cakrawala. Segalanya serba los, bebas dan tak terbatas. Luar
biasa. Aku selalu merindukan setiap menitnya.
Tawa ceria dan segala canda itu
ternyata tidak berumur lama. Begitu cepat perginya. Sama cepatnya dengan proses
pernikahanku. Kebahagiaan, agaknya, tidak pernah berpihak kepadaku. Segala
sesuatunya berbalik 180 derajat. Sirna seketika. Berubah serba hitam. Galau.
Gelap. Bergemuruh. Menghentak-hentak dan menyambar-nyambar. Setiap kata jadi
bersayap-sayap. Salah paham muncul silih berganti. Kecemburuan, kecurigaan, dan
pembicaraan-pembicaraan yang penuh teka-teki pun berebut mengganggu.
Salah ucap sedikit, menjelma jadi
bara api. Berkilat-kilat. Aku sampai tidak sempat berdoa karena pikiranku
tersita sepenuhnya untuk istriku. Kelakuannya berubah-ubah, sulit dipahami.
"Aku ingin sendiri,"
katanya pelan, tapi kurasakan seperti halilintar.
Menggelegar.
"Kita ini menikah, bukan
pacaran. Ini Suro…harus serba hati-hati," kataku
mengingatkan.
"Hasyaahhhh….." Mukanya
jadi cemberut dan bibirnya jadi tambah lancip.
Rambutnya yang dikucir
bergoyang-goyang. Meski marah, kuakui, dia tetap saja menggemaskan.
Sambil menjentikkan abu rokok ke
asbak, ia pun berargumentasi tentang pernak-pernik kegalauan perasaannya. Dari
soal sepele sampai besar. "Aku tuh sukanya mobil-mobilan dan korek api,
bukan bunga…Sabunku juga bukan yang itu, shamponya yang ini….." Mimik mukanya
agak berkerut-kerut, ketika aku bawakan setangkai red rose yang dikemas plastik
cantik.
Aku berusaha menyelami segala
sesuatunya dengan hati-hati. Termasuk soal rumah, yang berkali-kali dilihat
masih kurang cocok di hati. Kadang jengkel juga. Namun pernikahan tidak boleh
terganggu dengan perasaan-perasaan yang tidak berguna seperti itu. Pernah aku
berpikir kenapa harus begitu tergesa-gesa menikah?
"Aku sudah lelah dan jenuh
dengan kehidupanku selama ini. Jadi aku
memutuskan untuk cepat
menikah," katanya ketika itu.
Argumentasinya itu membuatku
merasa menemukan wanita yang sudah matang. Masa lalu yang carut marut memang
harus diakhiri ketika pernikahan terjadi. Ketika baju pengantin dikenakan dan
akad nikah ditandatangani, maka masa lalu berakhirlah di situ. Pernikahan
adalah sebuah lembaran baru yang serba bersih, sehingga kita bisa menuliskan
apa pun di sana sesuka hati, tanpa harus dihantui lembaran-lembaran hitam masa
lalu. Kisahnya harus dibuat sesuai tata nilai yang berlaku di masyarakat. Ditata
seperti mengatur sebuah taman bunga. Agar segalanya serba semerbak dan mewangi.
Sampai akhirnya lembaran pamungkasnya ditutup sendiri oleh Sang Khaliq. Pemilik
hak atas seluruh hukum kehidupan. Ah, lumayan juga teoriku ini.
"Hanya kematian yang bisa memisahkan
sepasang pengantin," kataku kepadanya. Ia tercenung beberapa jurus.
Matanya yang indah terdiam beberapa saat. Lalu bola matanya berubah jadi
abu-abu. Ia pun meledak-ledak lagi. Ada bau parfum yang berbeda dari tubuhnya,
ketika ia berdiri sambil bersungut-sungut. Aku terhenyak. Berangkat kantor tadi
pagi, memang ia sudah terlihat kusut. Tapi aku tidak memikirkannya terlalu
dalam. Sewaktu turun mobil, ia hampir lupa mencium tanganku.
"Aku suamimu bukan?"
tanyaku pelan, sambil kusodorkan tangan kananku.
Ia pun menciumnya. "Nanti
dijemput jam berapa?" tanyaku lagi.
"Jam empat sore. Mundur satu
jam," jawabnya, sambil bergegas turun.
Prahara itu pun dimulai. Bau
parfum yang berbeda sepulang kantor, menjadi puncak dari seluruh masalah yang
bertumpuk. Padahal sepulang kantor tadi kami sempat melihat sekali lagi rumah
yang akan kami tempati.
"Besok aku mau naik bis kota
saja. Nggak usah diantar jemput lagi," ujarnya sambil membanting tubuhnya
ke kasur. Ia memunggungiku. Tampak jengkel.
Aku berharap keadaan itu hanya
sementara saja. Seperti permasalahan-permasalahan kecil yang terjadi di
hari-hari kemarin. Ternyata tidak. Besok-besoknya lagi, tetap sama.
Terus-menerus begitu. Sehari dua hari. Seminggu dua minggu. Seluruh saluran
komunikasi ditutup. Ia pun ganti nomor hand phone. Aku takut membayangkan
kenyataan yang bisa membuatku bersedih.
"Ini hanya sementara…,"
katanya ketika aku nekat menemuinya, di siang yang terik.
"Sementara…," itulah kata-kata yang aku jadikan pegangan. Meski berat
dan dipenuhi ribuan teka-teki, aku berusaha meyakini janjinya itu.
Kehidupanku pun limbung. Aku
kembali melangkah tanpa kepastian, tak ada teman selain rindu dan harapan.
Keinginanku untuk menjalani kehidupan masa lalu kembali menggelegak lagi.
Mengembara. Ya, mengembara. Akulah, pengembara itu!
Aku harus kembali berteman dengan
alam, dengan orang-orang yang hidup
sederhana di ujung-ujung desa, di
pegunungan dan di pinggir-pinggir pantai. Bertemu orang-orang yang tulus
mencintaiku, menerimaku dengan tangan terbuka, tanpa rasa curiga, saling
pengertian dan tidak mengkhianati. Aku merasa bahagia. Apalagi kalau mereka berduyun-duyun
di belakangku, mengikutiku berdoa.
"Tapi ya Allah, apakah
Engkau tidak mengizinkan aku memiliki sebuah keluarga, keturunan, dan generasi
pewaris?" gumamku ketika aku datang lagi ke pohon besar di atas bukit yang
lembab itu.
Selang beberapa saat, tiba-tiba
melodi Songete mengalun dari hand phoneku. Debur ombak Laut Selatan hampir
membuatku tidak mendengarnya. Ada SMS masuk, dadaku berdebar.
"Jeleeeeeeeeeeeeeek…where
are u? Aku kangen tho sama Jelek. Ke sini tak buatin kopi…..!" begitu bunyi
SMS-nya. Dari istriku.
Ah, ternyata itu SMS yang pending
sejak empat minggu lalu. ***
posted by imponk | 11:08:00 PM
0 comments:
Post a Comment