Penulis: akarwangi
"Sundal! Dasar pelacur! Semoga kau
mati disambar petih!" kata-kata perempuan itu keluar seperti air bah dari
mulutnya bersama air liur yang muncrat ke sana kemari. Sembari berkata-kata,
tangannya menjambak rambut wanita lawan berkelahinya yang tak kalah sengit
balas mencaci maki dengan kata-kata yang sama kotornya. Tangannya meninju, menjambak, dan entah apa lagi.
Orang-orang ramai berkumpul menyaksikan. Merkea tanpa sadar telah membentuk lingkaran di seputar dua wanita itu. Ada yang tertawa geli, ada yang memanas-manasi sambil mengepal-ngepalkan tinju, segelintir memandang prihatin.
Orang-orang ramai berkumpul menyaksikan. Merkea tanpa sadar telah membentuk lingkaran di seputar dua wanita itu. Ada yang tertawa geli, ada yang memanas-manasi sambil mengepal-ngepalkan tinju, segelintir memandang prihatin.
"Hei, sesama pelacur dilarang berkelahi!" terdengar teriakan seorng lelaki dari kerumunan. Ia menyandang tas di bahunya dan beberapa buku tebal didekapnya di dada. Melihat penampilannya, mungkin ia seorang mahasiswa.
Beberapa orang terkikik. Yang lain memandang dengan khawatir. Mengapa mahasiswa yang katanya kalangan intelektual itu tidak berusaha melerai? Dan ini, Pak RT-nya mana? Kok dari tadi dipanggil-panggil tak muncul?
Seorang lelaki enam puluhan, berwajah sedkit arogan, khas bangsawan, menoleh ke arah kerumunan itu. Dari mobilnya yang mewah dengan pendingin dan kaca gelap, dia dapat melihat kerumuman itu dengan seksama dan dua orang perempuan itu.
Dia tersenyum sinis. Dengan pandangan menghina, dia memalingkan muka. Katanya, "Dasar pelacur hina. Orang-orang seperti itu seharusnya dibasmi sampai habis. Harus ada satu sistem yang membuat mereka tidak lagi mengotori kota ini dengan tindakan perzinahan terkutuk itu. Pemerintah kota ini seharusnya membuat peraturan daerah yang ketat sehingga pelacuran tidak merajalela seperti ini. Apa jadinya negeri ini nanti? Kita bisa buat suatu lokalisasi yang jauh dari pusat kota. Pagari tempat itu dan awasi sedemikian rupa sehingga hanya orang-orang tertentu yang bisa masuk ke sana. Tidak seperti sekarang, anak kemarin sore yang baru sekali mimpi basah saja bisa dengan mudah mendapatkan pelacur. Berapa No? Hei, Gono, berapa kamu bilang tarif mereka sekali main?"
Sopirnya tersenyum sekilas. "Lima ribu Pak!"
Wartawan yang duduk di sampingnya di jok belakang, sibuk menulis di notebooknya. Ini pernyataan bagus, pikirnya. Dalam benaknya telah terbayang lead apa yang akan diangkat. Dan bagaimana menggambarkan fenomena ini sedemikian rupa hingga pembacanya tertarik.
Sesungguhnya itu pemandangan biasa di tempat itu. Semua orang tahu, di kota ini, inilah tempat dimana kenikmatan sesaat, harganya murah meriah, hanya lima ribuan. Gono si sopir, dengan mudah bisa mendapatkan uang itu dari majikannya, sebagai tips. Sedikit malu, lelaki itu mengakui iapun sesekali pergi ke sana kalau bertengkar dengan istrinya yang kurus tipis seperti papan itu. Cuma lima ribu! Berapalah uang itu baginya.
Lelaki tua itu, melirik sekilas untuk melihat kesibukan wartwan itu. Dalam hati ia tertawa. Besok lihat saja di koran, pasti itu akan menjadi berita besar dan namanya akan semakin dikenal orang. Promosi yang cukup bagus untuk pencalonannya sebagai gubernur periode mendatang. Memang masih lama, tapi tidak ada salahnya dari sekarang memobilisasi pendukung. Biarkan masyarakat akrab dengan nama besarnya, sosoknya, dan statemen-statementnya yang cerdas tak terpungkiri. Biarkan masyarakat terkagum-kagum dan kelak seperti terhipnotis, namanya akan menjadi kandidat kuat gubernur.
Dan si wartawan ini, gampanglah itu. Dengan beberapa lembar uang yang baginya amat sangat bernilai itu, akan tergadailah idealismenya. Dia muda, belum berpengalaman, sekaligus sedikit lugu dan kampungan. Lihat itu, kacamata yang dipakainya. Sungguh ketinggalan mode. Dan model rambutnya, minta ampun, itu model rambut entah tahun berapa. Dan sepatunya, dan pakaiannya, dan tas kumalnya itu. Dan baunya yang selangit tengiknya karena berpanas-panas meliput demonstrasi petani di halaman DPRD.
Wartawan seperti ini, pikir lelaki itu, dengan mudah bisa diarahkan, dibentuk, seperti apa yang diinginkannya. Munculkan ide-ide yang sedikit menentang arus, maka lihatlah sesudah itu, matanya yang kecil di balik kacamata itu akan berbinar-binar terkagum-kagum. Lalu dia akan memuji setinggi langit. Lelaki tua itu tak urung merasa bangga juga dipuja puji. Dan herannya, dia percaya pada pujian itu.
Mobil mewah itu melaju anggun di jalanan yang panas berdebu siang itu. Mereka sedang menuju ke restoran terkenal dan mahal tentu saja, untuk makan siang. Lelaki itu akan mengadakan konferensi pers tentang pertemuan tingkat tinggi yang baru saja diikutinya di luar negeri. Dalam pertemuan dimana ia bertindak sebagai keynote speaker itu, ia membicarakan konsep kesejahteraan sosial bagi masyarakat di daerahnya. Ide-ide yang dituangkannya dalam pertemuan itu sungguh cemerlang dan caranya berpidato memukau para pendengar.
Lelaki itu menceritakan kesuksesan pertemuan itu dengan sikap merendah yang khas, yang justru membuat orang semakin terkagum-kagum. Dan lelaki itu merasakannya. Diapun terkekeh-kekeh dalam hatinya. Mereka semua telah tertipu.
Yah, bagaimana mereka bisa membuktikan ia berbohong atau tidak? Bukankah pertemuan itu jauh di ujung dunia sana? Siapa yang bisa melacak ada tidaknya pertemuan itu, benar tidaknya ia sebagai keynote speaker. Atau benar tidaknya ia mendapat applaus luar biasa dari hadirin?
Lampu-lampu blitz dari kamera wartawan tak putus-putusnya membidik ke arahnya. Dan ia telah memasang topengnya yang sangat disukai khalayak ramai. Lihat saja besok di semua media daerah ini, janjinya dalam hati pada diri sendiri.
Lelaki itu memiliki ciri khas kemakmuran pada dirinya. Tambun, rambut putih, kulit berminyak terawat. Di usia tuanya, ia menikmati hidup berlimpah harta hasil usaha yang dirintis sejak muda. Berbagai usaha digelutinya. Ia seorang yang gigih bekerja dan pantang menyerah. Dab lobi-lobinya, banyak diakui kawan maupun lawan.
Ia juga dikenal sebagai seorang yang kritis bereaksi terhadap bentuk-bentuk ketidakadilan yang dihadapi masyarakat luas. Adalah wajar bila banyak orang yang terkagum-kagum padanya. Dialah sesungguhnya pemimpin masyarakat. Bukan gubernur, bukan wakil rakyat di dewan perwakilan. Dialah tempat bertanya, mengadukan kesewenang-wenangan. Mereka percaya padanya. Seratus persen percaya.
"Kakek, siapa pelacur itu?" tanya cucunya, Irma, siang itu. Lelaki itu, yang sedang menghisap pipnya di kursi goyang di teras belakang, jadi terkejut. Cucunya itu baru tujuh tahun, datang berlari-lari dengan tas ransel tersandang di punggung. Napasnya terengah-engah. Rupanya begitu turun dari mobil, kakeknyalah yang pertama dicarinya.
"Siapa yang bilang kata-kata itu Sayang?" tanyanya. Pipanya ditaruhnya di meja di samping kursi goyang.
Irmapun bercerita, tadi sepulang sekolah, mobil yang menjemputnya tiba-tiba pecah ban di tengah jalan. Saat si sopir mengganti ban dengan yang baru, Irma mendengar dua orang anak bertengkar dengan mengatakan ibu lawannya sebagai pelacur.
"Kalau ibunya sama-sama pelacur, masa mereka bertengkar sih Kek? Kan berarti ibunya sama?"
Si kakek tidak tahu harus menjawab apa. Bagaimana pula harus menjelaskan siapa pelacur pada anak sekecil itu. Lagipula, sudah pantaskah?
"Maksudnya, ibu mereka pekerjaannya sama," jawabnya akhirnya.
"Pekerjaan apa itu?" tanya anak kecil itu lagi. Rasa ingin tahunya yang besar rupanya tidak terpuaskan oleh jawaban itu. Si kakek berpikir-pikir, apa ya? Ia mengerutkan keningnya.
"Seperti pedagang."
"Kalau begitu kakek juga pelacur dong! Kakek kan punya plaza dan kakek menjual kelapa sawit," kata Irma keras.
Lelaki itu lalu menyuruh cucunya cepat-cepat mengganti seragamnya dan kemudian merkea makan siang bersama.
"Kamu tahu, Kakek pailng seang kalau ada kamu di sini, Irma," katanya sambil memasukkan sebutir anggur ke mulutnya seusai makan siang. Cucunyanya yang kecil, manis, bermata bulat, dan berambut kering itu menatap kakeknya lekat-lekat.
"Kakek senang karena ada teman," katanya lagi. Irma tersenyum padanya. Lelaki tua itu mengembangkan tangannya dan Irma kecil mendekat, masuk ke dalam pelukannya. Lelaki itu memejamkan matanya yang telah berkerut-kerut. Bibirnya tersenyum. Betapa bahagia memelukmu, Irma.
"Besok, Irma pulang ke rumah. Kakek tinggal sendiri lagi," kata Irma dalam pelukannya.
"Kenapa Kakek tidak tinggal saja di rumah dengan Irma? Kan ramai."
"Tidak bisa, Sayang. Kakek senang di sini. Irma saja yang datang ke sini."
"Katanya Kakek kesepian. Di sini Kakek sendiri. Irma kan hanya tiap hari Sabtu main kemari." Irma keluar dari pelukannya dan dua manusia dari dua zaman yang jauh berbeda itu saling menatap.
Lelaki tua itu mengusap rambut cucunya yang keriting. Ia bangkit dari duduknya dan sambil menggandenga tangan kecil Irma, ia berjalan ke taman belakang.
*
"Kakek akan menceritakan masa lalu Kakek padamu," katanya ketika duduk kembali di kursi goyang. Ia tahu, Irma kecil senang sekali mendengar cerita-ceritanya.
Irma menatapnya dengan mata berbinar. Senang sekali ia. Maka lelaki tua itu memutar ulang masa kecilnya yang serba kekurangan. Tak lupa menceritakan tentang perjuangannya hingga akhirnya bisa meraih sukses seperti sekarang ini.
Malam itu, saat Irma terlelap di pangkuannya kelelahan, lelaki tua itu menatapi wajah tak berdosa cucunya itu. Dia menyebutku pelacur, katanya dalam hati.
Lelaki itu tiba-tiba melihat kembali apa-apa yang telah diperbuatnya. Plaza megah di tengah kota itu bisa dibangunnya bukan dengan begitu saja. Di harus mencari dana segara hingga ke luar negeri. Dengan bahasanya yang penuh tipu muslihat namun dengan penyampaian yang santun dan bibir yang tidak pernah lepas dari senyum, dan tentu saja tidak lupa menyebut mereka -para pemilik tanah itu- pahlawan-pahlawan pembangunan yang harus dihargai hak-haknya, diperhatikan kesejahteraannya dan didengarkan keluhan-keluhannya, didapatnya tanah itu dengan harga yang lebih rendah dari yang seharusnya.
Itu baru satu kasus. Juga para petani itu. Ketika merkea datang mengadukan nasib padanya, dengan topeng keprihatinannya yang menghanyutkan, dibantunya orang-orang miskin itu. Dibawanya mereka menghadap gubernur, berdialog dengan pemimpin negeri itu, dan dibantunya mereka berbicara.
Namun di belakang itu, dia sendiri mengadakan pertemuan rahasia dengan orang-orang tertentu sehingga tuntutan petani terkatung-katung dari satu demonstrasi ke demonstrasi lainnya. Sementara itu ia tetap menyokong dan mendorong mereka untuk terus berupaya agar tuntutan itu dapat dipenuhi.
Masih banyak kasus lain dan emmang itulah yang selalu dilakukannya sepanjang karir di dunia bisnis yang kejam. Itu pulalah yang mengantarkannya ke puncuak yang dicapainya sekarang ini. Harta berlimpah dan popularitas dalam genggaman.
Lelaki itu berdiri perlahan-lahan dari duduknya. Irma menggeliat dari tidurnya. Dipindahkannya gadis kecil itu ke kamar. Diselimutinya dengan hati-hati.
Lelaki itu mendekati pigura kaca di kamar itu. Ia berdiri di depannya. Dilihatnya dalam kaca itu wajah lelah seorang lelaki tua. Betapa murung wajah itu, betapa gelap air mukanya. Wajah dalam kaca itu sungguh tak mengenakkan hatinya. Dan tatapan itu, seperti menghakimi masa lalunya.
Tiba-tiba pandangannya tertuju pda buku kecil tipis di meja kecil di depan pigura itu. Buku Irma. Pada halaman pertama dibacanya tulisan tangan Irma y ang tidak begitu bagus. Nama: Irma Wahyuni; alamat: (masih kosong); hobi: membaca buku cerita, cita-cita (masya Allah) menjadi pelacur seperti kakek.
Pekanbaru 6 Mei 2000
Dimuat di Harian Suara Kita edisi Sabtu 13 Mei 2000
0 comments:
Post a Comment