Cerpen: Andi Suruji
Post: 05/24/2004 Disimak: 70 kali
Sumber: Kompas, Edisi 05/23/2004
TIDAK jauh dari tempat memarkir
mobil, saya melihat kakak sepupu saya bersama suaminya duduk di atas tumpukan
barang bawaannya. Penumpang kapal di Pelabuhan Tanjung Priok yang baru tiba
dari Makassar, sepertinya sudah turun semua. Mereka tentu telah pergi ke
tujuannya masing-masing di Jakarta ini.
WAJAH KAKAK sepupu suaminya
tampak begitu cerah menghampirinya. Kami pun berpelukan, saling melepaskan
rindu karena baru bertemu kembali setelah sepuluh tahun lampau, saat terakhir
sekeluarga pulang kampung. Kali ini mereka datang, untuk pertama kalinya ke
Jakarta, kota yang diidamkan setiap penduduk kampung, seperti juga saya dan
lainnya.
"Semula kami tidak mau
merepotkan, karena ada teman saya yang sudah sering ke Jakarta bisa mengantar
kami ke rumah. Tetapi dia tiba-tiba batal berangkat, dan kami sudah tidak punya
kesempatan lagi untuk menelepon, mengabari Ndi," ujar sepupu saya.
Suaminya pun membenarkan.
Belum saya tanggapi, sepupu saya
yang memang terkenal cerewet itu nyerocos lagi. "Bagaimana kabar Andi dan
anak-anak di rumah. Sehat saja toh," katanya menanyakan kondisi istri dan
anak-anak saya. Ia pun menyampaikan salam orang sekampung, seperti paman,
tante, sepupu, nenek, kakek, tetangga, kepada saya dan keluarga. Sementara
suaminya yang memang pendiam, hanya tersenyum terus mendengarkan ocehan
istrinya.
"Baik, semuanya sehat,"
kata saya, sembari meraih sepotong barang bawaannya. Kami pun berjalan menuju
mobil saya.
Mereka memperhatikan ketika saya
mencabut selembar uang seribu rupiah untuk tukang parkir. Begitu juga ketika
memberikan jumlah yang sama lagi di pintu pemeriksaan karcis parkir. Dua lembar
seribuan lagi untuk membayar karcis tol. Tak lama kemudian, di pintu tol lain,
empat lembar ribuan lagi.
"Eh, de... de... de….
Mengapa kita harus membayar begitu banyak?" tanya dia heran, karena tak
pernah menemukan hal-hal semacam itu di kampung. Orang dengan bangga plus
ikhlas memandu dan menjaga kalau kita memarkir kendaraan.
"Karena jalan mulus ini
dibangun oleh swasta, bukan oleh pemerintah, sehingga kita harus membayar.
Kalau tidak mau membayar, kita bisa lewat jalan di bawah yang macet seperti
itu. Tetapi, bisa-bisa seharian baru kita sampai di rumah. Ya, begitulah di
Jakarta ini. Kencing di toilet saja kita harus bayar. Hanya kentut yang gratis.
Seandainya angin busuk itu pun berwujud, pasti sudah dikelola juga oleh
orang-orang berduit dan menikmati pembayaran dari kita. Untungnya kentut itu
tak bisa dilihat, sehingga tidak bisa dibisniskan oleh mereka yang lihai
melihat peluang usaha," kata saya.
Di rumah, istri saya tak kalah
gesitnya, sudah siap dengan jamuan makan siang. Kami pun langsung menuju meja
makan karena memang sudah lapar, hampir tiga jam baru sampai di rumah. Suasana
menjadi semarak, karena istri saya menanyakan macam-macam tentang kampung halaman.
Cerita kakak sepupu saya pun menjadi panjang lebar. Bagai tape recorder yang
sedang memutar kaset rekaman cerita sejak sepuluh tahun silam, pada saat kami
terakhir kali pulang kampung. Si anu sudah meninggal, si anu sakit-sakitan, dan
si anu sudah menikahkan anak, anaknya si anu sudah bekerja di kantor kecamatan,
anak si anu menjadi guru, dan si anu menjadi polisi. Semuanya membayar uang
pelicin puluhan juta rupiah.
Setelah suasana semakin cair,
saya pun mulai menanyakan keperluan mereka datang ke Jakarta.
"Begini… Ndi. Dua bulan
lalu, ada tim dari Pusat (begitu biasa orang desa menyebut pejabat atau orang
Jakarta) yang datang ke kampung menanyakan kepada kami sekiranya keluarga kita
memiliki lontarak. Katanya mereka adalah tim penyelamat naskah kuno, seperti
lontarak keluarga kita itu. Ya, saya jawab jujur saja bahwa saya pun menyimpan
lontarak sebagai warisan keluarga," paparnya.
Saya sendiri tak pernah mendengar
cerita apa pun dari orangtua saya, sampai mereka meninggal, soal lontarak
keluarga itu. Bahwa orang-orang tua, nenek moyang kami sejak dahulu kala sudah
mengenal tradisi menuliskan apa pun yang terjadi di kampung, kejadian pada
keluarga, di atas gulungan daun lontar yang kemudian disebut lontarak, itu
sudah sering saya dengar. Ada lontarak pertanian, adat istiadat, silsilah
keluarga, perbintangan, pengobatan. Pendeknya, macam-macam lontarak yang
ditulis berdasarkan keperluannya.
Ah, saya teringat waktu kecil,
ketika saya belajar memanjat pohon lontar dan kaki saya gemetaran di ketinggian
empat meter, lalu saya turun sembari memeluk batang lontar, dan dada saya harus
luka-luka tergores batang lontar yang kasar. Celakanya, ternyata ibu saya marah
besar. Saya harus menerima hukuman cambuk kuda ayah saya sebanyak tiga kali di
betis.
SEPUPU saya pun lalu bercerita
mengenai wasiat orangtuanya sebelum meninggal. Kata dia, bapaknya sebelum
meninggal, berpesan bahwa ada lontarak, naskah kuno nan keramat yang
disimpannya. Lontarak itu diselamatkan oleh kakeknya ketika kampung orangtua
kami dibakar oleh penjajah Belanda. Penjajah itu membakar kampung karena Arung
(raja kecil) di kampung kami termasuk pemberontak yang tidak mau kompromi
dengan penjajah. Akan tetapi, lontarak itu baru bisa dibuka kalau wakil dari
tujuh orang bersaudara, termasuk ibu saya dan ibunya hadir lengkap. Sebelum
dibuka pun lontarak itu harus diupacarakan oleh para bissu dengan memotong
tujuh ekor kambing sesuai jumlah saudara kandung ibuku, berikut ayam sejumlah
anak-anak orangtua kami. Karena ibuku bersaudara kandung tujuh orang, dan masing-masing
memiliki tujuh orang anak, sehingga kami bersepupu sekali sebanyak 49 orang,
maka sebanyak itulah ayam harus dipotong saat mengupacarakan lontarak itu.
"Lalu kapan
upacaranya?" tanya saya. Terlintas di pikiran saya pasti sepupu saya itu
nanti ujung-ujungnya minta bantuan untuk perhelatan upacara membuka lontarak
itu.
"Rencananya bulan depan. Tim
itu menyanggupi membantu dana untuk keperluan upacara itu. Mereka pun katanya
mendapat bantuan dana dari Pemerintah Belanda sebagai upaya melestarikan
nilai-nilai budaya kita," paparnya bersemangat.
Saya lega, ternyata sepupu saya
tidak minta bantuan dana pada saya. Saya utarakan kemungkinan saya tidak bisa
menghadiri upacara itu. Alasan saya karena anak saya mau ujian akhir di sekolah
dasar, dan harus ada persiapan yang baik untuk masuk sekolah lanjutan pertama.
"Persaingan di Jakarta ini sangat ketat. Urusan sekolah tidak segampang di
kampung. Di sini, sudah urusannya repot, uang sekolah pun cukup besar."
Mendengar alasan saya itu, wajah
kakak sepupu saya itu menampakkan rona kekecewaan. Ia pun membujuk, supaya saya
mau datang. Kalau perlu, akan diusahakannya untuk membicarakan soal ini lagi
dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Daerah agar Tim Pusat dan Mister Belanda
itu mau menunda kedatangannya dan menyesuaikan dengan kesempatan saya pulang
kampung. Pendeknya, dia ngotot menghadirkan saya, karena dia takut kualat jika
membuka lontarak itu tanpa memenuhi wasiat ayahnya. Artinya, saya sebagai anak
ibu saya, haruslah datang memenuhi syarat tadi. "Bisa-bisa saya tidak
melihat terangnya dunia ini sampai tujuh turunan, kalau melanggar wasiat ayahku
itu Andi," katanya dengan nada memelas, penuh harap.
Istri saya pun menimpali
perbincangan. "Kita pergi saja Pa. Toh sudah lama kita tidak pulang
kampung," katanya.
KETIKA saya tiba di kampung
dengan mobil sewaan dari Makassar, di rumah peninggalan ibu saya yang masih
kekar yang bahan bangunannya terbuat dari pohon lontar, tampak sudah banyak
orang yang berkumpul. Mereka tak bisa menyembunyikan rasa senangnya dengan
kedatangan saya dan istri. Bagai dikomando, mereka serempak berdiri dari tempat
duduknya dan bergerak mengerubungi mobil sewaan yang saya tumpangi. Sejumlah
orang tua yang saya tidak kenal, bahkan menciumiku sembari berucap pujian
betapa terobatinya kerinduan mereka. Menurut mereka, wajahku sama persis dengan
ibuku. Bahkan Wa Laima dan anak-anaknya, keluarga yang dulu bertanggung jawab
terhadap semua harta orangtuaku dan kini masih menempati dan menjaga rumah itu,
silih berganti mencium tangan dan lutut saya, membuatku sangat rikuh. Dahulu,
aku pernah melihat kakekku diperlakukan seperti itu, tetapi ayah dan ibuku tak
pernah, karena mereka memang menghindari hal-hal semacam itu.
Semalaman saya tak bisa tidur,
karena sanak saudara ramai berkumpul, bercerita nyaris tak putus-putusnya. Ada
saja cerita yang sambung-menyambung mengenai kondisi kampung. Ada juga yang
meminta diceritakan berbagai pengalaman hidup di Jakarta. Tidak sedikit pula
yang meminta agar saya membawa anaknya ke Jakarta untuk dicarikan pekerjaan,
atau sekadar tinggal di rumah membantu pekerjaan rumah. Tidak satu pun yang
saya janjikan, karena bisa berabe. Harapannya sangat tinggi, apalagi kalau
mereka menilai seseorang sukses di perantauan. Meski setengah teler karena
kurang tidur semalaman, saya tetap berusaha tampak segar esok paginya.
"Upacara pembukaan lontarak
yang suci ini akan membuktikan kita ini siapa sebenarnya. Kita adalah keturunan
bangsawan yang harus dihormati. Kita akan tercatat dalam sejarah, dan akan
terkenal sampai ke negeri Belanda, Andi," kata kakak sepupuku, ketika
mengantarkan aku kopi dan pisang goreng untuk sarapan.
Rupanya itulah tujuan kakak
sepupuku itu. Mereka memang dikenal gila hormat. Padahal, tanpa lontarak itu
pun orang sekampung juga sudah mengetahui siapa kami, sudah menaruh hormat pada
keluarga kami. Namun, saya masih menyimpan pertanyaan, karena kedua orangtuaku,
semasa hidupnya, tak pernah sekali pun menceritakan hal-ihwal lontarak warisan
keluarga itu, tak pernah melakukan ritual-ritual seperti itu. Tetapi saya
memendamnya saja, tak ingin menyinggung perasaan mereka, walaupun ada sedikit
rasa penyesalan dan kedongkolan setelah mendengarkan ucapan kakak sepupuku
tadi.
Masih pagi-pagi benar, mereka
sudah lengkap dan siap menyambut kedatangan tamu yang mereka sebut Tim dari
Pusat dan Mister Belanda itu. Benar, tak lama kemudian, tamu yang
ditunggu-tunggu itu pun akhirnya muncul. Bau sedap dari masakan yang dimasak di
pekarangan belakang rumah, seolah berhamburan naik rumah, bercampur dengan bau
asap dupa yang sejak tadi malam dibakar di sudut-sudut rumah sebagai bagian
dari ritual membuka lontarak. Sementara sejumlah bissu sejak fajar belum
menyingsing, terus melantunkan syair-syair Bugis kuno yang semakin banyak
kata-katanya yang tak dapat saya mengerti.
Kakak sepupuku sendiri sibuk luar
biasa, menyajikan kopi dan aneka kue tradisional kepada tamunya itu. Setelah
istirahat sejenak, Tim dari Pusat dan Mister Belanda itu mulai memasang
komputer dan scanner yang mereka bawa. Saya hanya memperhatikan dari jauh. Dan
tak lama kemudian, muncullah kakak sepupu saya dengan baju bodo membawa
lontarak di atas baki kuningan yang mengkilap bagai emas, karena digosok dengan
asam jawa semalaman. Warna baki yang kuning sangat kontras dengan pembungkus
lontarak, kain merah dan hitam kusam. Entah sudah berapa puluh tahun tak pernah
sekalipun dibuka.
Si Belanda dengan hati-hati dan
khusyuk, seolah sudah sangat terbiasa, menerima lontarak itu dari kakak sepupu
saya. Semua yang hadir seolah menahan napas. Hanya suara bissu yang melantun
naik turun dengan irama nan syahdu, diiringi pukulan gendang dan simbal pelan,
memecah kekhusyukan ritual itu. Perlahan-lahan Mister Belanda itu membuka tali
pengikat pembungkus lontarak. Setelah gulungan daun lontar yang bertuliskan
huruf Bugis terlihat, mulut orang-orang tua yang hadir berdesis. Saya tidak
mengerti apa yang mereka ucapkan. Tanpa sadar, saya pun ikut tegang, dan
berkeringat.
Mister Belanda itu perlahan
melepaskan gulungan dan meletakkannya di atas scanner. Mesin pembaca huruf
lontarak itu pun mulai menjalankan fungsinya. Baris demi baris naskah lontarak
itu mulai terekam ke layar monitor komputer. Perlahan tapi pasti, dalam
beberapa saat saja, sudah ratusan kalimat yang terekam.
Saya melihat Si Bule dan seorang
yang diperkenalkan sebagai seorang profesor ahli sejarah dan antropologi,
terlihat beberapa kali menggelengkan kepalanya, saling berpandangan, dan
sesekali saling bisik. Saya memperhatikan semua gerak-geriknya. Tetapi, lama
kelamaan saya semakin menangkap gelagat kurang baik. Keringat terus bercucuran
di wajah Si Bule, akibat pengapnya ruangan karena penuh sesak, dan hawa panas
yang disemburkan scanner di depannya. Lontarak yang selesai di-scanning terus
membentuk gulungan besar di ujung lain. Saya mendengar semua anggota keluarga
yang hadir dan membisu sejak tadi, menarik napas panjang, seolah beban berat di
pundak mereka lepas seketika, saat proses scanning selesai.
Setelah mematikan mesin scanner-nya,
Si Bule mengamati huruf-huruf lontarak di layar monitor komputer,
membolak-balik lembar-lembar print-out naskah kuno itu, sembari sesekali
menggelengkan kepalanya. Akhirnya ia menutup komputer itu. Para ahli itu pun
lalu berdiskusi dengan rombongannya dalam bahasa Inggris campur bahasa Belanda.
Tentu saja tujuannya supaya perbincangan mereka tidak ketahuan orang kampung
yang hadir. Saya pun pura-pura tidak memperhatikan mereka, tetapi konsentrasi
saya pusatkan untuk menangkap betul percakapan mereka.
"Apa yang terjadi?"
tanya saya dalam bahasa Inggris, ketika mendengar perkataan yang nyaris saya
tak percayai.
Semua yang hadir kaget, seolah
tidak menyangka di antara orang kampung lugu dan "bodoh" itu ada yang
paham bahasa Inggris. Sekilas, saya melihat rasa heran di wajah sanak saudara
saya, melihat tingkah saya menyerbu masuk ke dalam lingkaran kecil tamu
terhormat tersebut.
Tim Pusat bersama Si Bule
menjelaskan kepada saya dalam bahasa Inggris mengenai apa yang sesungguhnya
mereka temukan dalam naskah kuno itu. Saya hanya mengangguk-angguk mendengarkan
penjelasannya. Saya sendiri memang bisa membaca huruf lontarak, tetapi tidak
paham jika sudah terangkai menjadi kalimat panjang. Apalagi dengan tata bahasa
kuno, karena banyak menggunakan kata-kata simbolik.
Mereka meminta saya untuk
menjelaskan kepada sanak saudara mengenai temuannya. Sejenak saya berpikir,
menimbang pantas-tidaknya saya menyampaikan sekarang, atau nanti setelah tamu
itu pulang. Tetapi, saya memilih menjelaskan sekarang saja. Dengan berat hati,
akhirnya saya tampil menjelaskan kandungan naskah kuno yang mereka keramatkan
itu.
"Saudara-saudaraku yang saya
cintai. Menurut bapak-bapak yang sangat ahli ini, naskah yang baru saja kita
upacarakan dengan memotong kambing dan sekian banyak ayam, yang menurut kalian
keramat, ternyata tidak menjelaskan harta karun. Tidak juga menjelaskan
pembagian warisan. Pendeknya, mungkin jauh dari harapan kalian. Naskah tua ini
hanyalah catatan sejumlah transaksi kuda, kerbau, sapi, dari sejumlah orang yang
juga sudah mati semua."
Mendengar penjelasan saya itu,
semuanya tertunduk. Tak satu pun yang hadir di ruang pengap itu, yang berani
mengangkat wajahnya, apalagi menatap saya.
"Kita semua yang hadir di
sini harus mengambil hikmah, pelajaran yang sangat berharga. Sekiranya di
antara yang hadir di sini masih menyimpan lontarak, janganlah disimpan terus
dan dikeramatkan. Tolong dibaca, supaya kalian mengetahui isinya. Kalau cuma
catatan jual-beli kuda seperti ini, mengapa harus disimpan, mengapa harus
dikeramatkan, tentu tidak ada gunanya. Nah, sekiranya lontarak itu merupakan
ilmu pertanian, ilmu perbintangan, ilmu perdagangan, ilmu pengobatan, tentu
saja banyak gunanya. Bisa kita amalkan, kalau kita memahaminya. Tentu saja kita
harus baca. Bacalah…!" kata saya.
Kakak sepupu saya yang punya
hajat, yang sangat bersemangat sampai mengenakan pakaian adat, tak tampak lagi
olehku. Bagai kilat, tiba-tiba saja ia menghilang dari tempat duduknya. Dia
pasti malu pada saya, pada Tim Pusat dan Si Bule itu. Sementara suaminya hanya
tertunduk lesu, tak sekalipun mengangkat wajahnya.
"Inilah kesalahan
orang-orang tua yang kita warisi pula, turun-temurun sampai sekarang. Kita
bangga sekali memiliki naskah kuno, tetapi apa isinya sama sekali tidak tahu.
Orang tua kita menyimpan naskah kuno seperti ini, hanya dijadikan alat
legitimasi bahwa dirinya adalah bagian dari kerajaan. Tak lebih dari itu. Ya,
begini jadinya. Kita semua membodohi diri kita sendiri…!" kata saya.
Pamulang, 240304
Catatan: lontarak: naskah yang
ditulis dengan huruf-huruf Bugis di atas gulungan daun lontar; Andi, ndi
panggilan akrab buat anggota keluarga yang lebih muda.
0 comments:
Post a Comment