Sunday, 22 June 2014

Robohnya Penyair Dimah



Post:  12/29/2004 Disimak: 70 kali
Cerpen: Rahim Qahhar, A
Sumber: Republika,  Edisi 06/06/2004

(1)Malam orasi seni dan budaya di kampus Islami segera usai. Sesuai rancangan semula, acara akan ditutup dengan penampilan musisi FS bersama gitar berliannya. Namun penyair Dimah yang sebelumnya sudah tampil lebih dahulu, menyela FS agar diberi waktu untuk baca puisi. Dimah minta FS mengayunkan irama blues. Dalam buaian blues inilah darah Dimah menggelegak-mendidih. Dimah pun mulai baca puisi dengan bernyanyi:

Walapun negeri ini menangis, mari kita tetap bernyanyi! Satu jam menjelang kau pulang, aku tak tahu mesti mulai dari mana, aku syok! Dimah yang bertubuh kecil dengan kaca mata minus bertali itu mengangkat tangan sembari berteriak. Tiba-tiba tubuhnya rebah di sisi mimbar. Ribuan hadirin bertepuk tangan merespon adegan tragis itu. Aktingnya cukup sempurna, mengalahkan aktor terbaik Dustin Hoffman yang dua kali meraih oscar dan enam kali masuk nominasi.


Namun aktor kelahiran Kota Gadang yang tak pernah mimpikan oscar, tak kunjung bangun dari sisi mimbar. Panitia dies natalis pun gusar. Tak seorang pun tahu, Izrail datang merangkul Dimah yang malam itu mengenakan pakaian hitam-hitam. Warna perkabungan. Para penyair negeri ini pun langsung berkabung. Saya tidak percaya!

(2)Suasana berkabung berlanjut di saat pemakaman. Namun SS menolak untuk bersedih. "Tidak ada alasan bagi kita untuk bersedih. Dimah meninggal dengan cara yang sangat indah," ujar SS ketika menyampaikan pidato singkat sesaat setelah penguburan. "Ibarat tentara, yang menginginkan meninggal di medan perang," lanjut SS kemudian. Sejumlah suratkabar meletakkan peristiwa itu pada halaman termulia, dibubuhi foto Dimah yang beragam. Layar kaca juga menayangkan peristiwa akhir hayat beliau hingga ke liang lahat. Sebagian ada yang kurang percaya atau perlu untuk bertanya: apa sebabnya, apa yang menyebabkan kematiannya. Padahal saya sejak lama yakin, kematian tidaklah berangkat dari sebab-akibat. Tugas Izrail tak dapat diralat. Dan jangan selalu main-main dengan kodrat-iradat. Konon pula sejak khalifah Usman firman telah tersurat: Bila tiba ajal kamu, tak dapat satu digit pun minta mundur atau maju!

Atas peristiwa tadi, banyak rekan-rekan terkesima. Para siswa SBSB pun bermanik air mata. AYH terpana, SFM berkabut duka, ARS ternganga, JDR dihempas lara, CSH dilulur nestapa. Kemudian beberapa karib pun mengurai kata. ''Ia penyair yang baik, senantiasa berusaha tampil prima, dengan kegembiraan hidup yang luar biasa. Dia tidak hanya suka bercanda, tapi juga suka main biliar pada jam berapa pun ia suka. Dan inilah keburukannya, dia tidak begitu memperhatikan kesehatan tubuhnya kalau sudah bekerja,'' kata SCB.

''Dan Hanya Dimahlah satu-satu penyair dalam sejarah negeri ini dari zaman Empu Tanakung, Ranggawarsita, Abdul Kadir Munsyi, hingga Chairil Anwar, yang meninggal di pentas sajak. Dimah memilih syahid menjemput maut di tempat itu,'' tandas SCB pula.
Soal mati syahid ini pun sempat menjadi bahan diskusi rekan-rekan. Apakah termasuk kategori syahid kubro atau shuhro . Namun semuanya seakan sepakat, shuhro atau kubro, itu urusan Yang Maha Qahhar, Yang Maha Jabbar. Kita tidak usah mereka-reka. Urusan pribadi kita saja tak pernah genah, sebaiknya jangan campuri urusan Allah. ''Dia adalah seorang penyair yang produktif, berwawasan luas, suka membaca, dan rendah hati,'' komentar TI pula. Saya belum percaya!

(3)TAPI Amir dan Chairil tak pernah mati. Jassin pun belum mati. Maka saya memang tidak percaya Dimah telah mati. Buktinya, saya segera berlayar ke dunia maya. Ternyata Dimah ada di situ. Dimah ada di mana-mana. Dengan iringan musik zapin serta penguasaan teknik deklamasi yang mumpuni, Dimah dengan kidmat melantunkan sajak Penari, puisi karya Martin Lings penyair Inggris dalam Semesta Sufisme Timur, sembari menari dan menyanyi.

Dalam beragam kegiatan, gaya uniknya bersajak semakin seru. Ia mengangkut seperangkat alat perkusi ke atas panggung. Menggeleng-gelengkan kepala. Merentang-rentangkan tangan sembari secara ritmis memukuli gendang, mengetuk bangku atau podium, mengibarkan bendera. Dimah tetap bersemangat, bergairah dan jenaka.

Dengan merasa diri berada di Berlin, Dimah yang diakui gayanya tak dapat ditiru, membacakan puisi terjemahan, karya Erich Kstner berjudul Besuch vom Lande (tamu dari kampung). Pada ujung baitnya terdapat akhir yang tragis sekaligus lucu, tentang orang-orang yang tanpa persiapan dan pengetahuan yang cukup, memasuki kebesaran kota Berlin. Demi Berlin, Dimah mendapat aplaus dari hadirin.

Dia ada di Tanah Semenanjung. Malam Baca Puisi diadakan julung-julung kalinya oleh MUIS bersama ASAS 50 dan Mendaki. Puisi-puisi Islami yang dilaungkan dalam bahasa Melayu, Arab, Inggris, Cina dan Tamil memukau para hadirin dan Dimah berucap Assalamualaikum di sini. Di Kanada dia juga ada. Puisinya pun tertera:

a bomb is a bomb like a bomb
but not only a bomb is a bomb
its like a bomb gregory corsos
bombing sign in the paper zero

a bomb is a bomb like a bomb
revolving the sound glory of o
from o to o crying our sorrow
making a bomb sign its s-bomb

Berlayar sampai ke Jerman pun, Dimah ternyata ada. Tertera dengan bahasa ibu negeri Nazi ini: Dimah; Der Tanz des Geldes. Aus dem Indonesischen von Berthold Damshuser. Dimah memang ada di mana-mana.

(4)SAYA percaya dia masih ada! Kemarin, kami baru saja berbincang tentang diabetes. Karena kami bernasib serupa. Sama-sama menabung kadar gula yang berlebihan dalam tubuh. Karya-karya kita manis. Puisi-puisi kita manis. Cerpen-cerpen kau manis. Jangan heran kalau air kencing kita juga manis! gurau Dimah. Sayangnya saya tak kuasa bergurau dengan penyakit, langsung memaparkan sinyal-sinyal komplikasi akut dan kronis akibat diabetes melitus.

Saya katakan, mata bisa kabur dan gampang terkena katarak dan flaukoma, badan gatal-gatal, luka yang sukar sembuh. Klimaksnya bisa terkena serangan jantung. Saya bilang, saya selalu periksa gula darah ke dokter. Pernah kadar gula saya 435 saat tidak puasa, dan turun 219 setelah diberi tablet glucadex dan captoril. Kata dokter, yang normalnya gula darah pada taraf 110-120 dalam keadaan tidak berpuasa. Maka saya pun ingin tahu, Dimah sudah pada posisi ke berapa.

Aku sudah pada tahaf impoten! terang Dimah lugu, dan mengaku saat itu ia tengah menunggu kehadiran seorang cucu. Ia terus mengaduk bubuk kopi instan- 3 in 1 kopi krimer gula, dengan sendok spesifik. Dan tradisi buruk ini pula yang terus menulari saya acap menggunakan kertas kemasan yang dilipat empat untuk difungsikan sebagai sendok. Perkara ini, saya akui Dimahlah saya anggap guru.
Saya sungguh tidak percaya!

Kemarin memang tubuhnya terlihat ringkih. Namun ia tak merasa perih atau pedih. Pinggangnya remuk pun ia belum peduli. Anehnya, ia terlihat amat ranggi bila saat baca puisi. Bicaranya masih terus menggebu-gebu. Di saat orang-orang sibuk mencari pemimpin negeri, ia pun menanggapi dengan berapi-api.

Orde Reformasi, apa yang salah dengan negeri ini? Siapa lagi yang harus kita percaya, yang kita pilih ternyata maling semua!" umpat Dimah. Dan katanya lagi, kita hidup di negeri yang luka, negeri yang memberi banyak kemudahan kepada para penyamun, sementara kepada orang-orang yang memperjuangkan nilai-nilai keislaman sebagai jalan hidup, justru ditangkap dan difitnah sebagai biang teroris.
Saya tidak percaya!

Tidak percaya Dimah berhenti di sini. Kiyai EAN bilang, ada puisi-puisi baru Dimah tersembunyi di jantung ponselnya yang mini. Seluruhnya belum dipublikasi. Maka saya percaya Dimah masih ada dan begitu dekat. Saya tak perlu melayat, karena Dimah bukan mayat. Ia belum wafat. Lagipula langit sastra belum kiamat.

Dimah masih ada di sini. Tak pernah berkubur puisi. Dimah bermakna terpuji. Ia pergi dengan pasti, mengayunkan langkah terpuji. Dan akan kembali, dan akan terus kembali untuk baca puisi. Dengan akting dan ekspresi yang begitu abadi. Lalu, tepuk tangan hadirin pun tak pernah henti. Karena puisi tak pernah mati, penyair pun berpantang mati. Ini saya percayai!

Medan, 31502

0 comments:

Post a Comment