Post: 12/29/2004 Disimak: 70 kali
Cerpen: Rahim Qahhar,
A
Sumber:
Republika, Edisi 06/06/2004
(1)Malam orasi seni dan budaya di
kampus Islami segera usai. Sesuai rancangan semula, acara akan ditutup dengan
penampilan musisi FS bersama gitar berliannya. Namun penyair Dimah yang
sebelumnya sudah tampil lebih dahulu, menyela FS agar diberi waktu untuk baca
puisi. Dimah minta FS mengayunkan irama blues. Dalam buaian blues inilah darah
Dimah menggelegak-mendidih. Dimah pun mulai baca puisi dengan bernyanyi:
Walapun negeri ini menangis, mari
kita tetap bernyanyi! Satu jam menjelang kau pulang, aku tak tahu mesti mulai
dari mana, aku syok! Dimah yang bertubuh kecil dengan kaca mata minus bertali
itu mengangkat tangan sembari berteriak. Tiba-tiba tubuhnya rebah di sisi
mimbar. Ribuan hadirin bertepuk tangan merespon adegan tragis itu. Aktingnya
cukup sempurna, mengalahkan aktor terbaik Dustin Hoffman yang dua kali meraih
oscar dan enam kali masuk nominasi.
Namun aktor kelahiran Kota Gadang
yang tak pernah mimpikan oscar, tak kunjung bangun dari sisi mimbar. Panitia
dies natalis pun gusar. Tak seorang pun tahu, Izrail datang merangkul Dimah
yang malam itu mengenakan pakaian hitam-hitam. Warna perkabungan. Para penyair
negeri ini pun langsung berkabung. Saya tidak percaya!
(2)Suasana berkabung berlanjut di
saat pemakaman. Namun SS menolak untuk bersedih. "Tidak ada alasan bagi
kita untuk bersedih. Dimah meninggal dengan cara yang sangat indah," ujar
SS ketika menyampaikan pidato singkat sesaat setelah penguburan. "Ibarat
tentara, yang menginginkan meninggal di medan perang," lanjut SS kemudian.
Sejumlah suratkabar meletakkan peristiwa itu pada halaman termulia, dibubuhi
foto Dimah yang beragam. Layar kaca juga menayangkan peristiwa akhir hayat
beliau hingga ke liang lahat. Sebagian ada yang kurang percaya atau perlu untuk
bertanya: apa sebabnya, apa yang menyebabkan kematiannya. Padahal saya sejak
lama yakin, kematian tidaklah berangkat dari sebab-akibat. Tugas Izrail tak
dapat diralat. Dan jangan selalu main-main dengan kodrat-iradat. Konon pula
sejak khalifah Usman firman telah tersurat: Bila tiba ajal kamu, tak dapat satu
digit pun minta mundur atau maju!
Atas peristiwa tadi, banyak
rekan-rekan terkesima. Para siswa SBSB pun bermanik air mata. AYH terpana, SFM
berkabut duka, ARS ternganga, JDR dihempas lara, CSH dilulur nestapa. Kemudian
beberapa karib pun mengurai kata. ''Ia penyair yang baik, senantiasa berusaha
tampil prima, dengan kegembiraan hidup yang luar biasa. Dia tidak hanya suka
bercanda, tapi juga suka main biliar pada jam berapa pun ia suka. Dan inilah
keburukannya, dia tidak begitu memperhatikan kesehatan tubuhnya kalau sudah
bekerja,'' kata SCB.
''Dan Hanya Dimahlah satu-satu
penyair dalam sejarah negeri ini dari zaman Empu Tanakung, Ranggawarsita, Abdul
Kadir Munsyi, hingga Chairil Anwar, yang meninggal di pentas sajak. Dimah
memilih syahid menjemput maut di tempat itu,'' tandas SCB pula.
Soal mati syahid ini pun sempat
menjadi bahan diskusi rekan-rekan. Apakah termasuk kategori syahid kubro atau
shuhro . Namun semuanya seakan sepakat, shuhro atau kubro, itu urusan Yang Maha
Qahhar, Yang Maha Jabbar. Kita tidak usah mereka-reka. Urusan pribadi kita saja
tak pernah genah, sebaiknya jangan campuri urusan Allah. ''Dia adalah seorang
penyair yang produktif, berwawasan luas, suka membaca, dan rendah hati,''
komentar TI pula. Saya belum percaya!
(3)TAPI Amir dan Chairil tak
pernah mati. Jassin pun belum mati. Maka saya memang tidak percaya Dimah telah
mati. Buktinya, saya segera berlayar ke dunia maya. Ternyata Dimah ada di situ.
Dimah ada di mana-mana. Dengan iringan musik zapin serta penguasaan teknik deklamasi
yang mumpuni, Dimah dengan kidmat melantunkan sajak Penari, puisi karya Martin
Lings penyair Inggris dalam Semesta Sufisme Timur, sembari menari dan menyanyi.
Dalam beragam kegiatan, gaya
uniknya bersajak semakin seru. Ia mengangkut seperangkat alat perkusi ke atas
panggung. Menggeleng-gelengkan kepala. Merentang-rentangkan tangan sembari
secara ritmis memukuli gendang, mengetuk bangku atau podium, mengibarkan
bendera. Dimah tetap bersemangat, bergairah dan jenaka.
Dengan merasa diri berada di Berlin,
Dimah yang diakui gayanya tak dapat ditiru, membacakan puisi terjemahan, karya
Erich Kstner berjudul Besuch vom Lande (tamu dari kampung). Pada ujung baitnya
terdapat akhir yang tragis sekaligus lucu, tentang orang-orang yang tanpa
persiapan dan pengetahuan yang cukup, memasuki kebesaran kota Berlin. Demi
Berlin, Dimah mendapat aplaus dari hadirin.
Dia ada di Tanah Semenanjung.
Malam Baca Puisi diadakan julung-julung kalinya oleh MUIS bersama ASAS 50 dan
Mendaki. Puisi-puisi Islami yang dilaungkan dalam bahasa Melayu, Arab, Inggris,
Cina dan Tamil memukau para hadirin dan Dimah berucap Assalamualaikum di sini.
Di Kanada dia juga ada. Puisinya pun tertera:
a bomb is a bomb like a bomb
but not only a bomb is a bomb
its like a bomb gregory corsos
bombing sign in the paper zero
a bomb is a bomb like a bomb
revolving the sound glory of o
from o to o crying our sorrow
making a bomb sign its s-bomb
Berlayar sampai ke Jerman pun,
Dimah ternyata ada. Tertera dengan bahasa ibu negeri Nazi ini: Dimah; Der Tanz
des Geldes. Aus dem Indonesischen von Berthold Damshuser. Dimah memang ada di
mana-mana.
(4)SAYA percaya dia masih ada!
Kemarin, kami baru saja berbincang tentang diabetes. Karena kami bernasib
serupa. Sama-sama menabung kadar gula yang berlebihan dalam tubuh. Karya-karya
kita manis. Puisi-puisi kita manis. Cerpen-cerpen kau manis. Jangan heran kalau
air kencing kita juga manis! gurau Dimah. Sayangnya saya tak kuasa bergurau
dengan penyakit, langsung memaparkan sinyal-sinyal komplikasi akut dan kronis
akibat diabetes melitus.
Saya katakan, mata bisa kabur dan
gampang terkena katarak dan flaukoma, badan gatal-gatal, luka yang sukar
sembuh. Klimaksnya bisa terkena serangan jantung. Saya bilang, saya selalu
periksa gula darah ke dokter. Pernah kadar gula saya 435 saat tidak puasa, dan
turun 219 setelah diberi tablet glucadex dan captoril. Kata dokter, yang
normalnya gula darah pada taraf 110-120 dalam keadaan tidak berpuasa. Maka saya
pun ingin tahu, Dimah sudah pada posisi ke berapa.
Aku sudah pada tahaf impoten!
terang Dimah lugu, dan mengaku saat itu ia tengah menunggu kehadiran seorang
cucu. Ia terus mengaduk bubuk kopi instan- 3 in 1 kopi krimer gula, dengan
sendok spesifik. Dan tradisi buruk ini pula yang terus menulari saya acap
menggunakan kertas kemasan yang dilipat empat untuk difungsikan sebagai sendok.
Perkara ini, saya akui Dimahlah saya anggap guru.
Saya sungguh tidak percaya!
Kemarin memang tubuhnya terlihat
ringkih. Namun ia tak merasa perih atau pedih. Pinggangnya remuk pun ia belum
peduli. Anehnya, ia terlihat amat ranggi bila saat baca puisi. Bicaranya masih
terus menggebu-gebu. Di saat orang-orang sibuk mencari pemimpin negeri, ia pun
menanggapi dengan berapi-api.
Orde Reformasi, apa yang salah
dengan negeri ini? Siapa lagi yang harus kita percaya, yang kita pilih ternyata
maling semua!" umpat Dimah. Dan katanya lagi, kita hidup di negeri yang
luka, negeri yang memberi banyak kemudahan kepada para penyamun, sementara
kepada orang-orang yang memperjuangkan nilai-nilai keislaman sebagai jalan
hidup, justru ditangkap dan difitnah sebagai biang teroris.
Saya tidak percaya!
Tidak percaya Dimah berhenti di
sini. Kiyai EAN bilang, ada puisi-puisi baru Dimah tersembunyi di jantung
ponselnya yang mini. Seluruhnya belum dipublikasi. Maka saya percaya Dimah
masih ada dan begitu dekat. Saya tak perlu melayat, karena Dimah bukan mayat.
Ia belum wafat. Lagipula langit sastra belum kiamat.
Dimah masih ada di sini. Tak
pernah berkubur puisi. Dimah bermakna terpuji. Ia pergi dengan pasti,
mengayunkan langkah terpuji. Dan akan kembali, dan akan terus kembali untuk
baca puisi. Dengan akting dan ekspresi yang begitu abadi. Lalu, tepuk tangan
hadirin pun tak pernah henti. Karena puisi tak pernah mati, penyair pun
berpantang mati. Ini saya percayai!
Medan, 31502
0 comments:
Post a Comment