Thursday, May 06, 2004
Cerpen: A. Mustofa Bisri
Sebagai lelaki, sebetulnya umur 37 tahun belum
terbilang tua benar. Tapi Rizal tak tahu mengapa kawan-kawannya selalu
mengejeknya sebagai bujang lapuk, hanya karena dia belum kawin. Orang tuanya
sendiri, terutama ibunya, juga begitu. Seolah-olah bersekongkol dengan
kawan-kawannya itu; hampir di setiap kesempatan selalu menanyainya apakah dia
sudah mendapatkan calon pendamping atau belum. Rizal selalu menanggapi semua
itu hanya dengan senyum-senyum.
Jangan salah sangka! Tampang Rizal tidak jelek.
Bahkan dibanding rata-rata kawannya yang sudah lebih dahulu kawin, tampang
Rizal terbilang sangat manis. Apalagi bila tersenyum. Sarjana ekonomi dan
aktivis LSM. Kurang apa?
"Terus teranglah, Zal. Sebenarnya cewek
seperti apa sih yang kau idamkan?" tanya Andik menggoda, saat mereka
berkumpul di rumah Pak Aryo yang biasa dijadikan tempat mangkal para aktivis
LSM kelompoknya Rizal itu. "Kalau tahu maumu, kita kan bisa membantu, paling
tidak memberikan informasi-informasi."
"Iya, Zal," timpal Budi, "kalau kau
cari yang cantik, adikku punya kawan cantik sekali. Mau kukenalkan? Jangan
banyak pertimbanganlah! Dengar-dengar kiamat sudah dekat lho, Zal."
"Mungkin dia cari cewek yang hafal Quran ya,
Zal?!" celetuk Eko sambil ngakak. "Wah kalau iya, kau mesti meminta
jasa ustadz kita, Kang Ali ini. Dia pasti mempunyai banyak kenalan
santri-santri perempuan, termasuk yang hafizhah."
"Apa ada ustadz yang rela menyerahkan anaknya
yang hafizhah kepada bujang lapuk yang nggak bisa ngaji seperti Rizal
ini?" tukas Edy mengomentari.
"Tenang saja, Zal!" ujar Kang Ali,
"kalau kau sudah berminat, tinggal bilang saja padaku."
"Jangan-jangan kamu impoten ya, Zal?"
tiba-tiba Yopi yang baru beberapa bulan kawin ikut meledek. Rizal meninju
lengan Yopi, tapi tidak mengatakan apa-apa. Hanya tersenyum kecut.
"Tidak sumbut dengan tampilannmu,"
celetuk Pak Aryo ikut nimbrung sehabis menyeruput kopinya. "Tampang boleh,
sudah punya penghasilan lumayan, sarjana lagi; sama cewek kok takut! Aku
carikan bagaimana?"
"Jawab dong, Zal!" kata Bu Aryo yang
muncul menghidangkan pisang goreng dan kacang rebus, mencoba menyemangati Rizal
yang tak berkutik dikerubut kawan-kawannya.
"Biar saja, Bu," jawab Rizal pendek tanpa
nada kesal. "Kalau capek kan berhenti sendiri."
Memang Rizal orangnya baik. Setiap kali diledek dan
digoda kawan-kawannya soal kawin begitu, dia tidak pernah marah. Bahkan
diam-diam dia bersyukur kawan-kawannya memperhatikan dirinya. Dan bukannya dia
tidak pernah berpikir untuk mengakhiri masa lajangnya; takut pun tidak. Dia
pernah mendengar sabda Nabi yang menganjurkan agar apabila mempunyai sesuatu
hajat yang masih baru rencana jangan disiar-siarkan. Sudah sering --sampai
bosan-- Rizal menyatakan keyakinannya bahwa jodoh akan datang sendiri, tidak
perlu dicari. Dicari ke mana-mana pun, jika bukan jodoh pasti tidak akan
terwujud. Jodoh seperti halnya rezeki. Mengapa orang bersusah-payah memburu
rezeki, kalau rezeki itu sudah ditentukan pembagiannya dari Atas. Harta yang
sudah di tangan seseorang pun kalau bukan rezekinya akan lepas. Dia pernah
membaca dalam buku "Hikam"-nya Syeikh Ibn ’Athaillah As-Sakandarany
sebuah ungkapan yang menarik, "Kesungguhanmu dalam memperjuangankan
sesuatu yang sudah dijamin untukmu dan kesambalewaanmu dalam hal yang dituntut
darimu, membuktikan padamnya mata-hati dari dirimu."
Setiap teringat ungkapan itu, Rizal merasa
seolah-olah disindir oleh tokoh sufi dari Iskandariah itu. Diakuinya dirinya
selama ini sibuk --kadang-kadang hingga berkelahi dengan kawan-- mengejar
rezeki, sesuatu yang sebetulnya sudah dijamin Tuhan untuknya. Sementara dia
sambalewa dalam berusaha untuk berlaku lurus menjadi manusia yang baik, sesuatu
yang dituntut Tuhan.
"Suatu ketika mereka akan tahu juga," katanya
dalam hati.
***
Syahdan, pada suatu hari, ketika kelompok Rizal
berkumpul di rumah Pak Aryo seperti biasanya, Kang Ali bercerita panjang lebar
tentang seorang "pintar" yang baru saja ia kunjungi. Kang Ali memang
mempunyai kesukaan mengunjungi orang-orang yang didengarnya sebagai orang
pintar; apakah orang itu itu kiai, tabib, paranormal, dukun, atau yang lain.
"Aku ingin tahu," katanya menjelaskan tentang kesukaannya itu,
"apakah mereka itu memang mempunyai keahlian seperti yang aku dengar, atau
hanya karena pintar-pintar mereka membohongi masyarakat sebagaimana juga
terjadi di dunia politik." Karena kesukaannya inilah, oleh kawan-kawannya
Kang Ali dijuluki pakar "orang pintar".
"Meskipun belum tua benar, orang-orang
memanggilnya mbah. Mbah Hambali. Orangnya nyentrik. Kadang-kadang menemui tamu
ote-ote, tanpa memakai baju. Kadang-kadang dines pakai jas segala. Tamunya luar
biasa; datang dari segala penjuru tanah air. Mulai dari tukang becak hingga
menteri. Bahkan menurut penuturan orang-orang dekatnya, presiden pernah
mengundangnya ke istana. Bermacam-macam keperluan para tamu itu; mulai dari
orang sakit yang ingin sembuh, pejabat yang ingin naik pangkat, pengusaha
pailit yang ingin lepas dari lilitan utang, hingga caleg nomor urut sepatu yang
ingin jadi. Dan kata orang-orang yang pernah datang ke Mbah Hambali, doa beliau
memang mujarab. Sebagian di antara mereka malah percaya bahwa beliau waskita,
tahu sebelum winarah."
Pendek kata, menurut Kang Ali, Mbah Hambali ini
memang lain. Dibanding orang-orang "pintar" yang pernah ia kunjungi,
mbah yang satu ini termasuk yang paling meyakinkan kemampuannya.
"Nah, kalau kalian berminat," kata Kang
Ali akhirnya, "aku siap mengantar."
"Wah, ide bagus ini," sahut Pak Aryo
sambil merangkul Rizal. "Kita bisa minta tolong atau minimal minta
petunjuk tentang jejaka kasep kita ini. Siapa tahu jodohnya memang melalui Mbah
Hambali itu."
"Setujuuu!" sambut kawan-kawan yang lain
penuh semangat seperti teriakan para wakil rakyat di gedung parlemen. Hanya
Rizal sendiri yang, seperti biasa, hanya diam saja; sambil senyum-senyum kecut.
Sama sekali tak ada tanda-tanda dia keberatan. Apakah sikapnya itu karena dia
menghargai perhatian kawan-kawannya dan tak mau mengecewakan mereka, atau
sebenarnya dia pun setuju tapi malu, atau sebab lain, tentu saja hanya Rizal
yang tahu. Tapi ketika mereka memintanya untuk menetapkan waktu, dia tampak
tidak ragu-ragu menyebutkan hari dan tanggal; meski seandainya yang lain yang
menyebutkannya, semuanya juga akan menyetujuinya, karena hari dan tanggal itu
merupakan waktu prei mereka semua.
***
Begitulah. Pagi-pagi pada hari tanggal yang
ditentukan, dipimpin Kang Ali, mereka beramai-ramai mengunjungi Mbah Hambali.
Ternyata benar seperti cerita Kang Ali, tamu Mbah Hambali memang luar biasa
banyaknya. Pekarangan rumahnya yang luas penuh dengan kendaraan. Dari berbagai
plat nomor mobil, orang tahu bahwa mereka yang berkunjung datang dari berbagai
daerah. Rumahnya yang besar dan kuno hampir seluruh ruangnya merupakan ruang
tamu. Berbagai ragam kursi, dari kayu antik hingga sofa model kota, diatur
membentuk huruf U, menghadap dipan beralaskan kasur tipis di mana Mbah Hambali
duduk menerima tamu-tamunya. Di dipan itu pula konon si mbah tidur. Persis di
depannya, ada tiga kursi diduduki mereka yang mendapat giliran matur.
Ternyata juga benar seperti cerita Kang Ali, Mbah
Hambali memang nyentrik. Agak deg-degan juga rombongan Rizal cs melihat
bagaimana "orang pintar" itu memperlakukan tamu-tamunya. Ada tamu
yang baru maju ke depan, langsung dibentak dan diusir. Ada tamu yang disuruh
mendekat, seperti hendak dibisiki tapi tiba-tiba "Au!" si tamu
digigit telinganya. Ada tamu yang diberi uang tanpa hitungan, tapi ada juga
yang dimintai uang dalam jumlah tertentu.
Giliran rombongan Rizal cs diisyarati disuruh
menghadap. Kang Ali, Pak Aryo, dan Rizal sendiri yang maju. Belum lagi salah
satu dari mereka angkat bicara, tiba-tiba Mbah Hambali bangkit turun dari
dipannya, menghampiri Rizal. "Pengumuman! Pengumuman!" teriaknya
sambil menepuk-nepuk pundak Rizal yang gemetaran. "Kenalkan ini calon
menantu saya! Sarjana ekonomi, tapi nyufi!" Kemudian katanya sambil
mengacak-acak rambut Rizal yang disisir rapi, "Sesuai yang tersurat, kata
sudah diucapkan, disaksikan malaikat, jin, dan manusia. Apakah kau akan menerima
atau menolak takdirmu ini?"
"Ya, Mbah!" jawab Rizal mantap.
"Ya bagaimana? Jadi maksudmu kau menerima
anakku sebagai istrimu?"
"Ya, menerima Mbah!" sahut Rizal tegas.
"Ucapkan sekali lagi yang lebih tegas!"
"Saya menerima, Mbah!"
"Alhamdulillah! Sudah, kamu dan rombonganmu
boleh pulang. Beritahukan keluargamu besok lusa suruh datang kemari untuk
membicarakan kapan akad nikah dan walimahnya!"
Di mobil ketika pulang, Rizal pun dikeroyok
kawan-kawannya.
"Lho, kamu ini bagaimana, Zal?" kata Pak
Aryo penasaran. "Tadi kamu kok ya ya saja, seperti tidak kau pikir."
"Kau putus asa ya?" timpal Budi.
"Atau jengkel diledek terus sebagai bujang lapuk, lalu kau mengambil
keputusan asal-asalan begitu?"
"Ya kalau anak Mbah Hambali cantik,"
komentar Yopi, "kalau pincang atau bopeng, misalnya, bagaimana?"
"Pernyataanmu tadi disaksikan orang banyak
lho," kata Eko mengingatkan. "Lagi pula kalau kau ingkar, kau bisa
kualat Mbah Hambali nanti!"
"Jangan-jangan kau diguna-gunain Mbah Hambali,
Zal!" kata Andik khawatir.
Seperti biasa, Rizal hanya diam sambil
senyum-senyum. Kali ini tidak seperti biasa, Kang Ali juga diam saja sambil
senyum-senyum penuh arti. ***
Rembang, 2004
0 comments:
Post a Comment