Oleh Adek Alwi
Minggu,
16 April 2006 (versi online)
Minggu,
12 Februari 2006 (versi cetak)
KOTA Bukittinggi, Sumatera Barat, boleh jadi sudah lenyap dalam peta sastra Indonesia. Atau bulatan-merahnya yang dulu tegas, nyata, sekarang samar saja. Tidak terdengar lagi aktivitas sastra di kota itu.
Juga tak terbaca karya sastrawan
yang ada di kota itu, misalnya dalam jurnal dan
majalah sastra atau ruang-ruang sastra surat
kabar. Beda dengan kota
tetangganya, dan yang lebih kecil, Payakumbuh. Payakumbuh satu-dua dasawarsa
terakhir bersinar dengan kegiatan sastra serta karya sastrawan yang berdomisili
di sana,
seperti Gus tf, Adri Sandra, Iyut Fitra dan banyak yang lainnya.
Sebenarnya, pada dasawarsa
1950-an dan paling tidak sampai penggal pertama 1960-an, Bukittinggi justru kota penting dalam atlas sastra Indonesia. Keberadaannya tak hanya
patut ditandai bulatan-merah, melainkan bulatan yang dikurung segi-empat.
Persis keberadaan kota itu pada peta bumi Indonesia masa itu, yakni ibu kota
Provinsi Sumatera Tengah (Sumatera Barat-Riau-Jambi); atau beberapa tahun
sebelumnya, yaitu sebagai ibu kota PDRI
(Pemerintah Darurat Republik Indonesia),
ketika ibu kota RI,
Yogyakarta, diduduki oleh Belanda.
Bukittinggi pada dasawarsa
1950-an dan 1960-an bercahaya dalam jagat sastra Indonesia
tentu tak ada kaitannya (secara langsung) dengan statusnya sebagai ibu kota provinsi berdaerah luas, atau ibu kota pemerintah darurat republik. Tapi, lebih
karena, (1) di kota
itu tinggal sejumlah sastrawan yang menghidupkan kegiatan sastra, dan (2)
adanya penerbit yang memiliki komitmen menakjubkan terhadap kehidupan sastra.
AA Navis dkk
Sastrawan yang menetap di
Bukittinggi pada dekade 1950-an diantaranya ialah AA Navis, juga sastrawan yang
lebih muda, seperti Rusli Marzuki Saria, Nasrul Sidik, Motinggo Busye (sebelum
kuliah sekaligus pindah ke Yogya). Merekalah, antara lain, yang menghidupkan
kegiatan sastra di kota
itu, dengan berbagai diskusi, pembacaan serta ulasan puisi di RRI Bukittinggi,
dan (sudah tentu) penulisan karya-karya sastra secara individual. Cerpen
Robohnya Surau Kami Navis yang terkenal itu juga dia tulis di kota itu, bulan Maret 1955, dan dimuat dalam
Majalah Kisah edisi No.5/Th III Mei 1955. Lalu meraih Hadiah Majalah Kisah,
pada tahun yang sama.
Rusli Marzuki Saria kemudian kita
kenal sebagai penyair yang tak putus-putus berkarya, sehingga melahirkan banyak
sekali kumpulan puisi (diantaranya: Pada Hari Ini Pada Jantung Hari; Ada Ratap
Ada Nyanyi; Sendiri-Sendiri, Sebaris-Sebaris dan Sajak-Sajak Bulan Februari;
Sembilu Darah). Rusli juga pernah jadi anggota DPRD Tk II Kodya Padang, dan
redaktur kebudayaan (kini pensiun) Harian Haluan, Padang. Selama di Haluan pula (puluan tahun)
ia menyediakan ruang untuk tempat anak-anak muda berolah sastra, dan kemudian
tumbuh sebagai pengarang ataupun penyair andal.
Nasrul Sidik tokoh pers di Padang, dan terakhir
Pemimpin Redaksi Mingguan Canang. Sedangkan Motinggo Busye adalah seniman
sangat produktif, menunjukkan reputasinya di berbagai cabang kesenian: sastra
(cerpen, novel, sajak, naskah drama), penulisan skenario maupun sutradara film,
dan juga seni rupa dengan melukis.
Penerbit Nusantara
Mungkin tak banyak yang tahu
bahwa Rendra, selain penyair, pemain film dan dramawan, adalah juga pengarang
cerpen. Kumpulan cerpennya, Ia Sudah Bertualang (yang memuat sembilan cerpen)
diterbitkan oleh NV Nusantara, Bukittinggi, tahun 1963.
Penerbit (juga percetakan)
Nusantara berkantor pusat di Bukittinggi (cabang di Jakarta), dan sejak pertengahan 1950-an hingga
pertengahan '60-an aktif menerbitkan karya sastra. Dedikasi Nusantara dalam hal
ini sungguh menakjubkan (apalagi dilihat dari kacamata masa kini yang amat
berorientasi ekonomis), karena menerbitkan karya sastra merupakan proyek rugi.
Namun, langkah Nusantara itu dapat dimaklumi bila tahu siapa di balik penerbit
tersebut.
Penerbit NV Nusantara didirikan
Anwar Sutan Saidi, kelahiran Sungai Puar, Bukittinggi, 1910. Ia seorang
saudagar, aktivis pergerakan, pejuang. Dia juga tokoh utama pendiri Bank
Nasional tahun 1930 di Bukittinggi, yang latar belakang kelahiran bank ini khas
mencerminkan semangat zaman itu: memajukan perekonomian rakyat yang tertindas
oleh penjajah.
Pertengahan 1950-an Anwar Sutan
Saidi menjabat Presdir NV Nusantara, dan anaknya, Rustam Anwar, selaku
direktur. Sang anak rupanya tidak kalah idealis dari ayah. Maka mengalirlah
lewat Penerbit NV Nusantara karya para sastrawan Indonesia yang tumbuh dan
berkembang pada dekade 1950-an hingga paruh pertama 1960-an.
Di samping kumpulan cerpen Rendra
di atas misalnya, Nusantara menerbitkan kumpulan cerpen Robohnya Surau Kami dan
Hujan Panas (AA Navis); Di Tengah Padang (A Bastari Asnin); Pertemuan Kembali
(Ajip Rosidi); Malam Bimbang dan Supir Gila (Ali Audah); Datang Malam (Bokor
Hutasuhut); Umi Kalsum (Djamil Suherman); Pesta Menghela Kayu dan Dara Di Balik
Kaca (Dt B Nurdin Jacub); Dua Dunia (Nh Dini); Lukisan Dinding (M Alwan
Tafsiri); Keberanian Manusia dan Matahari Dalam Kelam (Motinggo Busye);
Sekelumit Nyanyian Sunda (Nasjah Djamin); Mabuk Sake (Purnawan Tjondronagoro);
Di Luar Dugaan dan Istri Seorang Sahabat (Soewardi Idris); Perjuangan dan Hati
Perempuan (Titie Said); Di Medan Perang (Trisnojuwono). Beberapa kumplan cerpen
ini mengalami cetak ulang, paling tidak dua kali, oleh penerbit yang sama.
Selain itu juga diterbitkan NV
Nusantara sejumlah novel asli Indonsia, antara lain Kemarau (AA Navis); Tidak
Menyerah (Motinggo Busye); Hati Yang Damai (Nh Dini); Midah Si Manis Bergigi
Emas (Pramoedya Ananta Toer); Mendarat Kembali (Purnawan Tjondronagoro); Di
Balik Pagar Kawat Berduri (Trisnojuwono). Dan juga terjemahan karya-karya
pengarang luar seperti karya "raksasa" sastra Rusia masa lalu, Maxim
Gorki.
Dengan buku-buku terbitan
Nusantara itu, tak pelak jagat sastra Indonesia pun semarak serta semakin kaya
pada dasawarsa 1950-an dan 1960-an. Dan Bukittinggi, ditambah dengan aktivitas
para sastrawan yang saat itu bermukim di sana, menerakan keberadaannya dalam
peta sastra Tanah Air dengan bulatan merah yang tegas. Malah, bulatan yang
dikurung tanda segi-empat, menyamai Yogya dan nyaris Jakarta!
Namun tanda itu belakangan pudar.
Bukittinggi tinggal sejarah, persis posisi kota
itu dalam sejarah Indonesia.
Dan kita tidak tahu kenapa. Memang ironi, tetapi, bagaimana lagi? Sebab agaknya
benar petuah orang bijak: mempertahankan lebih sulit ketimbang merebut.
Apalagi, pada zaman yang menderas dengan semangat yang tak menyentuh (dan malah
dapat membunuh) daya hidup sastra, seperti dewasa ini.***
* Penulis, sastrawan dan
wartawan
|
|||
0 comments:
Post a Comment