Post: 09/05/2006
Disimak: 27 kali
Cerpen: Aliela
Sumber: Riau Pos,
Edisi 09/03/2006
1. SEMILIR angin menyentuh ujung gaun bocah kecil berpita
merah jambu. Di tangannya setangkai bunga mawar merah jambu layu. Kelopaknya
beranjak kecoklatan dan tak lama kemudian kuntum-kuntum itu berguguran.
Menyisakan kepala putik yang dipenuhi serbuk sari. Bocah itu merengut,
menghilangkan rona pipinya yang merah jambu.
“Bunda, bunga Aisha mati, apakah itu salah Aisha karena tak
menyiramnya sore kemarin?”
Matahari pagi tersenyum. Kokok ayam jago bersahutan dengan
cericit burung gereja. Embun bergulir di kehijauan daun.
“Tidak sayang, sudah saatnya mawar itu mati. Tengoklah mawar
itu, dia sudah tua, sudah letih. Tapi lihat ada tunas-tunas baru yang akan
menggantikan mawar yang mati.”
“Tapi mengapa harus mati?”
Mata bocah itu berkaca-kaca. Ada kepedihan yang tersebunyi
dalam kehilangan. Ada ketidakrelaan. Ada pertanyaan yang berputar di otaknya
yang minta untuk segera dijawab.
“Alam sudah mengatur siklus kehidupan ini. Perputaran hidup
yang tak bisa dielakkan penghuninya. Yang muda menggantikan yang tua. Yang mati
akan digantikan oleh tunas-tunas baru.”
Mata bocah itu berkedip, jawaban itu tak bisa diterima otak
belianya.
“Baiklah sayang, mari kita pindahkan tunas-tunas muda itu ke
tempat yang lebih luas. Sepertinya pot itu sudah terlalu kecil, tak baik untuk
perkembangannya. Ayo, bantu Bunda menanam tunas-tunas ini.”
Jemari mungil bocah itu lincah mengaduk-aduk tanah. Tak
berapa lama gaun merah jambu berubah kecoklatan, dipenuhi tanah-tanah basah.
“Bunda, apakah tanah bisa mati?”
“Tanah adalah sumber kehidupan, dia memberikan kekuatan
untuk seluruh penghuni alam sehingga kita bisa hidup dengan nyaman di bumi ini.
Bunga mawar bisa tumbuh dan bermekaran karena ada tanah yang menopangnya. Tanpa
ada tanah maka tak kan ada kehidupan di dunia ini. Sungai-sungai yang mengalir di atas tanah,
rumah-rumah yang didirikan di atas tanah, pohon-pohon yang tumbuh di atas
tanah, manusia-manusia yang berjalan di atas tanah.”
“Kalau begitu Bunda, Aisha ingin menjadi tanah.”
Matahari tertunduk, kokok ayam jago dan cericit burung
gereja senyap, embun jatuh ke tanah. Sebuah pagi yang bergemuruh.
2. PATOK-PATOK yang berjejer di areal perkebunan tebu itu
kini sudah tercabut dari tempatnya. Batang-batang tebu muda bergelimpangan tak
tentu arah. Tangan-tangan perkasa yang legam dan kecewa telah mencabut secara
paksa tebu yang belum genap berumur dua bulan itu. Di sebelah ujung nampak asap
hitam mengepul. Kebun tebu dan papan kayu bertuliskan “Milik Pemerintah” itu
terbakar atau lebih tepatnya sengaja dibakar. Malam tadi adalah puncak segala
marah dan kecewa ditumpahkan.
Sekian tahun mereka hanya bisa pasrah dan memendam bara di
dada ketika tanah-tanah mereka diserobot demi sebuah kata “pembangunan”. Seolah
kata itu begitu ampuh untuk mengambil secara paksa apa yang selama ini menjadi
sumber penghasilan mereka. Bagi mereka tanah bukan hanya sekedar sumber
kehidupan tetapi juga status sosial dan harga diri mereka. Tanah yang mereka
peroleh secara turun temurun yang setiap hari mereka jaga, mereka olah dan
mereka rawat dengan peluh dan cinta kasih kelak akan mereka turunkan ke anak
cucu mereka. Menjadikan mereka simbol generasi yang ulet dan pekerja keras.
Bahwa tanah-tanah mereka adalah harapan di masa depan. Sebiji padi yang mereka
tanam adalah matahari yang bersinar esok hari di hati mereka. Maka ketika masa
depan mereka direnggut, hanya satu kata: lawan (1. Namun tekanan represif dari
aparat melumpuhkan kekuatan mereka. Satu persatu dari mereka yang lantang
bersuara diambil paksa dan di dada mereka tertempel papan hitam bertuliskan
“TAPOL “. Dan hingga hari ini tak terdengar lagi kabar nasib mereka.
Hingga zaman berganti, angin perubahan yang mereka hirup
sedikit bisa memulihkan harapan mereka. Janji-janji manis yang mereka terima seperti
angin surga yang segar berhembus di hati. Matahari di dada mereka mulai
menitikkan cahaya masa depan. Namun, lagi-lagi mereka harus kecewa ketika
harapan yang hampir hidup itu harus mati lebih dini. Sejak pemerintah baru
mengeluarkan kebijakan yang lebih tak manusiawi (2. Maka tak ada pilihan lain,
martabat dan harga diri mereka harus direbut kembali. Dengan sisa-sia kekuatan
mereka menumpahkan segalanya di sini, di tanah-tanah mereka yang telah menjadi
kebun percobaan bibit tebu unggul yang hasilnya nanti menjadi pemasok utama
pabrik gula terkemuka di daerah ini.
“Ini adalah jeritan kami, kepedihan kami dan juga kekuatan
kami. Semoga Tuhan memaafkan kami jika cara kami silap dalam mempertahankan hak
kami.”
Air mata meleleh di
pipi Darto. Tubuhnya lunglai dan jatuh bersimpuh di atas bekas tanahnya. Harum
tanah dihirupnya seperti menciumi tangan ibunya. Ia ingin menciumnya lagi, lagi
dan lagi. Angin pagi berhembus. Suara cericit burung gereja dan kokok ayam jago
terdengar di kejauhan. Butiran embun jatuh ke tanah. Bumi bergetar. Ia
terbayang anaknya yang masih bocah belajar menanam bunga mawar di pekarangan
rumah dan isterinya dengan kerudung putih menunggunya dengan senyum.
3. “KITA hidup di atas tanah yang rapuh. Kau tahu, tanah
yang kita pijak ini tak lebih seperti sebuah adonan kue donat yang lembek.
Haha, aku jadi ingat masa kecil ku dulu ketika pertama kali membuat donat.
Adonannya terlalu lembek, terlalu banyak air dan lihat tangan rapuhku tak kuat
untuk menguli. Hasilnya adonan lembek itu tak bisa dibentuk dan mudah sekali
patah. Dan diam-diam adikku mengambil adonan itu untuk mengusir Kimi, anjing
tetanggaku.”
Sebuah buku tentang alam. Halaman-halamannya yang lusuh dan
menguning. Terbiar. Di sampingnya puluhan puntung rokok merana, saling berhimpitan
di sebuah asbak yang telah penuh. Segelas kopi pahit yang tinggal ampas. Asap
yang berebut mencari lubang udara. Televisi yang hidup 24 jam. Seorang
perempuan yang kesepian.
“Lalu adonan lembek itu, yang membentang dari Sabang sampai
Merauke berlayar di lautan yang luas. Dengan gagah berani menantang hempasan
ombak dan badai. Nenek moyang ku orang pelaut gemar mengarung luas samudera,
ombak dan badai tiada takut.... (3.
Sebuah negeri yang dikelilingi
lautan yang indah dan kaya. Hasil bumi yang berlimpah, ramah penduduknya dan
tinggi budi pekertinya.... Sttt !! jangan tertawa...meskipun terbuat dari
adonan kue donat yang lembek, negeri ini menyimpan banyak keajaiban. Lihatlah,
di tanah ini hukum bisa disulap menjadi permainan, politik bisa disulap menjadi
lawakan. Dan hasil bumi bisa disulap menjadi mobil mercy...hahaha.”
Tawa yang pilu, memecah keheningan pagi. Burung-burung
gereja enggan mendekat, ayam jago terkejut dan pergi menjauh. Embun, sudah lama
ia tak mampir kemari. Perempuan itu masih tertawa. Lalu diam. Matanya
menerawang.
“ Ya, kau benar negeri ini hanyalah sebuah adonan kue donat
yang lembek. Yang dibangun di atas tanah yang rapuh. Sama rapuhnya dengan
jiwa-jiwa penghuninya. Jiwa-jiwa yang kehilangan cahaya. Jiwa-jiwa yang
hampa....hikhik.”
Perempuan itu menangis, tangannya menyentuh buku pengetahuan
alam, mengeja huruf-huruf yang tertera di satu halaman.
“Indonesia terletak di antara tiga lempeng utama dunia yaitu
lempeng Australia, lempeng Eurasia dan lempeng Pasifik serta berada di posisi
Ring of fire menjadikan Indonesia kerap kali diterpa bencana gempa bumi dan
letusan gunung berapi. Sebelumnya gempa terjadi di Sumatra pada 28 Maret 2005
menewaskan 361 orang serta gempa bumi dan tsunami di Aceh pada 26 Desember 2004
yang menewaskan 129.498 orang dan 37.606 lainnya hilang” (4.
Perempuan itu terus membaca, terus, terus dan terus. Suara
perempuan dan bocah kecil berteriak menyuruhnya diam. Suara lemparan gelas
sebagai jawabannya. Ia terus membaca dengan keras, lebih keras. Lalu terdengar
gemuruh. Bumi bergoyang, atap-atap jatuh. Dinding-dinding runtuh. Tanah
terbelah. Lalu senyap.***
Pekanbaru, Mei-Juli 2006
Catatan:
1.Puisi Penyair Wiji Thukul.
2.PePres No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Demi
Kepentingan Umum
3.Diambil dari lagu anak-anak
4.Dari http://id.wikipedia.org/wiki/Lempeng_tektonik
0 comments:
Post a Comment