Tuesday, 24 June 2014

Tanah



Post:  09/05/2006 Disimak: 27 kali
Cerpen: Aliela 
Sumber: Riau Pos,  Edisi 09/03/2006 

1. SEMILIR angin menyentuh ujung gaun bocah kecil berpita merah jambu. Di tangannya setangkai bunga mawar merah jambu layu. Kelopaknya beranjak kecoklatan dan tak lama kemudian kuntum-kuntum itu berguguran. Menyisakan kepala putik yang dipenuhi serbuk sari. Bocah itu merengut, menghilangkan rona pipinya yang merah jambu.

“Bunda, bunga Aisha mati, apakah itu salah Aisha karena tak menyiramnya sore kemarin?”

Matahari pagi tersenyum. Kokok ayam jago bersahutan dengan cericit burung gereja. Embun bergulir di kehijauan daun.


“Tidak sayang, sudah saatnya mawar itu mati. Tengoklah mawar itu, dia sudah tua, sudah letih. Tapi lihat ada tunas-tunas baru yang akan menggantikan mawar yang mati.”

“Tapi mengapa harus mati?”

Mata bocah itu berkaca-kaca. Ada kepedihan yang tersebunyi dalam kehilangan. Ada ketidakrelaan. Ada pertanyaan yang berputar di otaknya yang minta untuk segera dijawab.

“Alam sudah mengatur siklus kehidupan ini. Perputaran hidup yang tak bisa dielakkan penghuninya. Yang muda menggantikan yang tua. Yang mati akan digantikan oleh tunas-tunas baru.”

Mata bocah itu berkedip, jawaban itu tak bisa diterima otak belianya.

“Baiklah sayang, mari kita pindahkan tunas-tunas muda itu ke tempat yang lebih luas. Sepertinya pot itu sudah terlalu kecil, tak baik untuk perkembangannya. Ayo, bantu Bunda menanam tunas-tunas ini.”

Jemari mungil bocah itu lincah mengaduk-aduk tanah. Tak berapa lama gaun merah jambu berubah kecoklatan, dipenuhi tanah-tanah basah.

“Bunda, apakah tanah bisa mati?”

“Tanah adalah sumber kehidupan, dia memberikan kekuatan untuk seluruh penghuni alam sehingga kita bisa hidup dengan nyaman di bumi ini. Bunga mawar bisa tumbuh dan bermekaran karena ada tanah yang menopangnya. Tanpa ada tanah maka tak kan ada kehidupan di dunia ini.  Sungai-sungai yang mengalir di atas tanah, rumah-rumah yang didirikan di atas tanah, pohon-pohon yang tumbuh di atas tanah, manusia-manusia yang berjalan di atas tanah.”

“Kalau begitu Bunda, Aisha ingin menjadi tanah.”

Matahari tertunduk, kokok ayam jago dan cericit burung gereja senyap, embun jatuh ke tanah. Sebuah pagi yang bergemuruh.


2. PATOK-PATOK yang berjejer di areal perkebunan tebu itu kini sudah tercabut dari tempatnya. Batang-batang tebu muda bergelimpangan tak tentu arah. Tangan-tangan perkasa yang legam dan kecewa telah mencabut secara paksa tebu yang belum genap berumur dua bulan itu. Di sebelah ujung nampak asap hitam mengepul. Kebun tebu dan papan kayu bertuliskan “Milik Pemerintah” itu terbakar atau lebih tepatnya sengaja dibakar. Malam tadi adalah puncak segala marah dan kecewa ditumpahkan.

Sekian tahun mereka hanya bisa pasrah dan memendam bara di dada ketika tanah-tanah mereka diserobot demi sebuah kata “pembangunan”. Seolah kata itu begitu ampuh untuk mengambil secara paksa apa yang selama ini menjadi sumber penghasilan mereka. Bagi mereka tanah bukan hanya sekedar sumber kehidupan tetapi juga status sosial dan harga diri mereka. Tanah yang mereka peroleh secara turun temurun yang setiap hari mereka jaga, mereka olah dan mereka rawat dengan peluh dan cinta kasih kelak akan mereka turunkan ke anak cucu mereka. Menjadikan mereka simbol generasi yang ulet dan pekerja keras. Bahwa tanah-tanah mereka adalah harapan di masa depan. Sebiji padi yang mereka tanam adalah matahari yang bersinar esok hari di hati mereka. Maka ketika masa depan mereka direnggut, hanya satu kata: lawan (1. Namun tekanan represif dari aparat melumpuhkan kekuatan mereka. Satu persatu dari mereka yang lantang bersuara diambil paksa dan di dada mereka tertempel papan hitam bertuliskan “TAPOL “. Dan hingga hari ini tak terdengar lagi kabar nasib mereka.

Hingga zaman berganti, angin perubahan yang mereka hirup sedikit bisa memulihkan harapan mereka. Janji-janji manis yang mereka terima seperti angin surga yang segar berhembus di hati. Matahari di dada mereka mulai menitikkan cahaya masa depan. Namun, lagi-lagi mereka harus kecewa ketika harapan yang hampir hidup itu harus mati lebih dini. Sejak pemerintah baru mengeluarkan kebijakan yang lebih tak manusiawi (2. Maka tak ada pilihan lain, martabat dan harga diri mereka harus direbut kembali. Dengan sisa-sia kekuatan mereka menumpahkan segalanya di sini, di tanah-tanah mereka yang telah menjadi kebun percobaan bibit tebu unggul yang hasilnya nanti menjadi pemasok utama pabrik gula terkemuka di daerah ini.

“Ini adalah jeritan kami, kepedihan kami dan juga kekuatan kami. Semoga Tuhan memaafkan kami jika cara kami silap dalam mempertahankan hak kami.”

 Air mata meleleh di pipi Darto. Tubuhnya lunglai dan jatuh bersimpuh di atas bekas tanahnya. Harum tanah dihirupnya seperti menciumi tangan ibunya. Ia ingin menciumnya lagi, lagi dan lagi. Angin pagi berhembus. Suara cericit burung gereja dan kokok ayam jago terdengar di kejauhan. Butiran embun jatuh ke tanah. Bumi bergetar. Ia terbayang anaknya yang masih bocah belajar menanam bunga mawar di pekarangan rumah dan isterinya dengan kerudung putih menunggunya dengan senyum.

3. “KITA hidup di atas tanah yang rapuh. Kau tahu, tanah yang kita pijak ini tak lebih seperti sebuah adonan kue donat yang lembek. Haha, aku jadi ingat masa kecil ku dulu ketika pertama kali membuat donat. Adonannya terlalu lembek, terlalu banyak air dan lihat tangan rapuhku tak kuat untuk menguli. Hasilnya adonan lembek itu tak bisa dibentuk dan mudah sekali patah. Dan diam-diam adikku mengambil adonan itu untuk mengusir Kimi, anjing tetanggaku.”

Sebuah buku tentang alam. Halaman-halamannya yang lusuh dan menguning. Terbiar. Di sampingnya puluhan puntung rokok merana, saling berhimpitan di sebuah asbak yang telah penuh. Segelas kopi pahit yang tinggal ampas. Asap yang berebut mencari lubang udara. Televisi yang hidup 24 jam. Seorang perempuan yang kesepian.

“Lalu adonan lembek itu, yang membentang dari Sabang sampai Merauke berlayar di lautan yang luas. Dengan gagah berani menantang hempasan ombak dan badai. Nenek moyang ku orang pelaut gemar mengarung luas samudera, ombak dan badai tiada takut.... (3.  Sebuah negeri  yang dikelilingi lautan yang indah dan kaya. Hasil bumi yang berlimpah, ramah penduduknya dan tinggi budi pekertinya.... Sttt !! jangan tertawa...meskipun terbuat dari adonan kue donat yang lembek, negeri ini menyimpan banyak keajaiban. Lihatlah, di tanah ini hukum bisa disulap menjadi permainan, politik bisa disulap menjadi lawakan. Dan hasil bumi bisa disulap menjadi mobil mercy...hahaha.”

Tawa yang pilu, memecah keheningan pagi. Burung-burung gereja enggan mendekat, ayam jago terkejut dan pergi menjauh. Embun, sudah lama ia tak mampir kemari. Perempuan itu masih tertawa. Lalu diam. Matanya menerawang.

“ Ya, kau benar negeri ini hanyalah sebuah adonan kue donat yang lembek. Yang dibangun di atas tanah yang rapuh. Sama rapuhnya dengan jiwa-jiwa penghuninya. Jiwa-jiwa yang kehilangan cahaya. Jiwa-jiwa yang hampa....hikhik.”

Perempuan itu menangis, tangannya menyentuh buku pengetahuan alam, mengeja huruf-huruf yang tertera di satu halaman.

“Indonesia terletak di antara tiga lempeng utama dunia yaitu lempeng Australia, lempeng Eurasia dan lempeng Pasifik serta berada di posisi Ring of fire menjadikan Indonesia kerap kali diterpa bencana gempa bumi dan letusan gunung berapi. Sebelumnya gempa terjadi di Sumatra pada 28 Maret 2005 menewaskan 361 orang serta gempa bumi dan tsunami di Aceh pada 26 Desember 2004 yang menewaskan 129.498 orang dan 37.606 lainnya hilang” (4.

Perempuan itu terus membaca, terus, terus dan terus. Suara perempuan dan bocah kecil berteriak menyuruhnya diam. Suara lemparan gelas sebagai jawabannya. Ia terus membaca dengan keras, lebih keras. Lalu terdengar gemuruh. Bumi bergoyang, atap-atap jatuh. Dinding-dinding runtuh. Tanah terbelah. Lalu senyap.***

Pekanbaru, Mei-Juli 2006 
 
 Catatan:
1.Puisi Penyair Wiji Thukul.
2.PePres No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan     Demi Kepentingan Umum
3.Diambil dari lagu anak-anak
4.Dari http://id.wikipedia.org/wiki/Lempeng_tektonik

0 comments:

Post a Comment