Betapa menyenangkan bila ia
mati di bulan Ramadhan ini. Ia tak ingin kecewa lagi. Ramadhan berlalu, tapi
ia masih saja hidup. Rasanya seperti seorang anak yang kecewa karena ditolak
permintaannya saat lebaran. Ramadhan kali ini, ia berharap maut benar-benar
akan datang. Saat ia berbaring di ranjang, hingga ia bisa mati tenang…
Alangkah menenteramkan
membayangkan kematian yang nyaman seperti itu. Tak ada darah membuncah dari
kepala pecah. Atau erang kesakitan leher digorok. Ia memejam, mengusir
bayangan buruk itu. Bayangan kematian penuh darah. Ah, ia bisa mencium bau
amis darah itu, seperti lengket di hidungnya!
Segera ia mandi, keramas.
Menyisir rambut dan memotong kuku, sembari bersiul-siul kecil. Rasanya segar
mendapati suasana yang sudah serba bersih, rapi, dan wangi. Tak ada lagi
serakan puntung rokok atau tumpukan pakaian kotor mengonggok di pojok. Setiap
menjelang Ramadhan, ia selalu membersihkan kamar kontrakannya. Saat Ramadhan
kemarin, ia malah mengecat ulang dinding-dindingnya. Dan tadi, ia sudah
menjemur kasur bantal yang lembab apak berjamur. Melipat selimut. Merapikan
pakaian. Menyemprotkan pewangi ruangan. Ia lakukan itu setiap kali menyambut
Ramadhan—seakan ia menyiapkan upacara kecil menyambut kematian...
Ia berdiri di ambang pintu,
memandang langit siang yang terang, sembari terus bersiul- siul ringan.
>diaC<
Beberapa tetangga—yang tengah
duduk menggerombol— memandang ke arah laki-laki yang bersiul-siul itu, dan
segera saling bisik. Anak-anak yang sedang bermain seketika berhenti,
mengerut menatap laki-laki itu. Langsung, seorang perempuan tergopoh menarik
anak-anak itu menjauh. Kemunculan laki-laki itu selalu menimbulkan
ketidaknyamanan.
Ia jarang berada di kamarnya.
Seperti selalu menghilang. Berhari-hari. Kadang berbulan-bulan. Bila pulang,
ia mendekam dalam kamarnya yang selalu tertutup. Sesekali, beberapa tetangga
melihatnya keluar tengah malam. Bergegas. Memakai jaket kulit hitam.
Menenteng koper besar, seperti kotak tempat menyimpan gitar. Ada yang bilang ia
seorang pemusik yang main di sebuah bar. Entahlah. Sebab, banyak yang sering
melihatnya duduk-duduk menenggak tuak di pelacuran bawah jembatan. Mungkin ia
rampok. Lihat saja tampang seramnya. Tato di lengan kanan. Parut luka seputar
pundak, seperti bekas bacokan. Tapi ada yang pernah melihatnya jualan es
cendol saat ada demonstrasi menentang kenaikan harga BBM—matanya jelalatan,
seperti mengawasi. Mungkin intel. Dan seseorang yang sering ikut demonstrasi
bayaran beberapa kali melihat laki-laki itu ikut teriak-teriak menuntut
pembebasan mantan menteri yang didakwa korupsi. Tetangga yang jadi tukang
ojek pernah secara tak sengaja berpapasan dengannya: rapi berdasi mirip sales
obat kuat. Para tetangga penasaran menyimpan
dugaan. Sikapnya yang dingin membuat para penghuni rumah petak tak pernah
berani bertanya. Ia seperti tak mau dikenali. Menutup diri. Misterius. Aneh.
Seperti kebiasaannya itu:
berdiri membisu, memandang entah apa. Rutin yang ganjil. Menjelang Ramadhan
ia muncul. Beres-beres kamar. Pintu jendela yang biasanya tertutup dibuka
lebar. Sepanjang malam mondar-mandir dalam kamar. Mungkin sedang menyiapkan
makanan buat sahur.
Tapi mereka tak yakin kalau
laki-laki itu puasa. Sering, ia terlihat merokok siang hari. Tiap sore ia
keluar. Bukan ke masjid mendengarkan pengajian dan buka puasa bersama, tapi
pergi ke kuburan. Ini yang membuat kian penasaran. Sampai kemudian beberapa
orang tahu: laki- laki itu ternyata sudah membeli kapling kuburan buat
dirinya! Juru kunci bercerita, betapa ia sering melihat laki-laki itu
mencabuti rumput, menyapu, atau berdiri termangu memandangi kapling makam
itu. Seperti seorang yang tengah menziarahi kubur sendiri. Dan orang-orang
merinding mendengarnya.
Para
tetangga jadi gelisah. Barangkali ia dukun. Bisa-bisa ia mencabuli gadis di
sini. Atau ia lagi menyempurnakan ilmu hitam? Kuduk mereka meremang. Sering
mereka mendengar erang panjang dari kamar laki-laki itu…
>diaC<
Mayat-mayat yang melepuh gosong
terbakar itu muncul dari liang kelam. Seperti iblis yang marah karena diusir
dari neraka, mereka mendengis bengis. Mengepungnya. Kulit wajah mayat- mayat
itu meleleh, seperti lilin panas mencair. Ia mengerang, mengenali beberapa
wajah remuk rusak itu. Wajah-wajah orang yang pernah dibunuhnya. Wajah
mahasiswa yang ketakutan ketika ia pelan-pelan mengerat ibu jarinya. Wajah
pucat perempuan simpanan yang lehernya ia sayat. Wajah tirus gadis kecil
berpita merah yang seketika bersimbah darah ketika ia membantai keluarganya.
Wajah- wajah yang membuatnya mengerang panjang.
Ia tergeragap bangun. Mimpi
terkutuk! Mimpi yang membuatnya ingin mati. Mati dengan tenang, di bulan
Ramadhan. Meski ia tahu, sebagai seorang pembunuh bayaran, ia bisa saja
menghadapi kematian yang paling buruk. Mungkin, seorang pembunuh bayaran lain
pada suatu malam akan menyergapnya—dan ia meronta melawan tapi tak berdaya.
Ia terkapar, memandang pembunuh itu berdiri menyeringai menikmati saat-saat
paling mengasyikkan ketika seorang korban mengejang mati pelan-pelan.
Ia pun suka menikmati saat-
saat seperti itu. Itulah kenapa ia paling suka membunuh pakai pisau belati.
Membuatnya bisa lebih dekat dengan wajah sekarat orang yang mesti
dihabisinya. Ada
kenikmatan yang membius setiap kali menyaksikan urat-urat di leher korban
pelan-pelan berubah menjadi lebih lembut kehijauan. Seperti menyaksikan
kematian mengecup pelan-pelan…
Sejak kecil ia suka menikmati
saat-saat merasakan aroma maut seperti itu. Ia selalu ingin berada sangat
dekat, setiap kali kakeknya menyembelih ayam. Ia tak suka bila ibunya
bercerita putri-putri jelita dan para pangeran yang hanya sibuk berpesta. Ia
lebih menyukai dongeng makhluk-makhluk seram penghuni hutan. Kisah para
raksasa penyantap manusia. Ia senang membayangkan memenggal kepala para
raksasa itu. Umur tujuh tahun, diam-diam ia membunuh kucing pamannya. Saat
SMP ia berkali-kali berkelahi, membuat lawan-lawannya bonyok nyaris mati. Ia
terkenal sebagai bocah tangguh jago kelahi. Kamu pantas jadi tentara, kata
teman-temannya. Dan ia membusung bangga.
Memang, ia suka membayangkan
diri jadi tentara. Di kampungnya, orang yang jadi tentara sangat ditakuti. Ia
pernah melihat seorang tentara mengajar tukang parkir, saat ada keramaian
pasar malam di alun-alun kecamatan. Orang- orang mengerubung, tak ada yang
berani menghentikan. Alangkah hebatnya jadi tentara, bisa memukuli orang
sepuasnya. Ia pun mendaftar jadi tentara. Dikirim ke medan perang. Ia paling senang ketika harus
menyiksa para pemberontak. Ia melaksanakan penyiksaan dengan tenang, tertib,
dan disiplin. Dan itu disukai komandannya.
”Kamu punya bakat bagus.
Percuma kalo cuma jadi tentara. Paling mentok jadi sersan,” kata komandannya.
Lalu sepulang perang, ia diberinya pekerjaan. Pekerjaan yang tak terlalu
sulit: cuma menghabisi istri seorang pejabat, karena pejabat itu pingin kawin
lagi. Lalu beberapa order ringan lainnya. Membunuh seorang pengusaha.
Menghabisi seorang wartawan. Seorang hakim. Ia menikmati bayaran yang
lumayan. Benar kata komandannya. Penghasilan pembunuh bayaran lebih baik
ketimbang gaji sersan.
Rezekinya lancar sebagai
pembunuh bayaran. Ia sudah membeli rumah buat hari tua. Tapi selama ini ia
lebih memilih tinggal di sepetak kamar kontrakan. Tempat menyembunyikan diri.
Sumpek bau comberan. Tapi membuatnya merasa aman. Lagi pula ia bisa mengatasi
kecurigaan tetangga. Ia akan tinggal di rumahnya, nanti bila sudah berhenti.
Selalu ia mengangankan usia tua
yang tenang. Ia kenal beberapa mantan pembunuh bayaran yang menderita di masa
tuanya. Beberapa mati dalam penjara. Beberapa menderita sakit jiwa.
>diaC<
Sampai satu peristiwa membuat
segalanya jadi tak seperti yang ia angankan.
Pesan itu singkat dan jelas:
bunuh Kiai Karnawi. Dan ia mulai mengawasi. Beberapa kali ia menguntit ketika
kiai itu memberi pengajian. Ia amati raut tua Kiai Karnawi. Kulitnya yang
coklat resik. Rahang terkesan pipih, membuatnya makin terlihat tua dengan
jenggot panjang putih bersih. Sorot matanya tenang. Bicaranya santun. Ia
heran, kenapa orang seperti itu dianggap membahayakan negara dan mesti
dilenyapkan? Dianggap memimpin para militan? Tapi itu bukan urusannya.
Tugasnya hanya membunuh. Tanpa jejak. Biar nanti bisa direkayasa: Kiai
Karnawi mati kecelakaan…
Ia menunggu Kiai Karnawi
selesai memberi pengajian. Ia tak terlalu menyimak. Sepotong- sepotong
mendengar kiai itu bicara soal kemuliaan bulan Ramadhan. Beruntunglah orang
yang mati di bulan Ramadhan. Mati di bulan Ramadhan ialah mati yang mulia.
Dan ia tersenyum. Mencibir. Getir. Apakah seorang pembunuh bayaran juga akan
mendapatkan kemuliaan bila mati di bulan Ramadhan?
Semua sudah sesuai rencana. Ia
berhasil menyamar sebagai sopir colt omprengan yang akan membawa pulang Kiai
Karnawi. Ia merasa segalanya akan berjalan lebih mudah ketika Kiai Karnawi
menolak tiga orang panitia pengajian yang hendak ikut mengantar Kiai Karnawi
pulang. Itu lebih menggampangkan rencananya: menyekap kiai itu di tengah
jalan, lalu mendorong mobil ke jurang.
Semua berjalan sebagaimana
sudah ia perhitungkan. Sampai Kiai Karnawi kemudian bicara tenang, ”Aku tahu,
kamu mau membunuhku. Aku ingin mempermudah pekerjaanmu. Karena itulah, aku
tadi tak mau ada orang lain yang ikut mengantar. Biar tak banyak korban. Kamu
cukup membunuhku, tak perlu repot-repot membunuh yang lain…”
Ia tak tahu, kenapa mobil
perlahan berhenti. Ia tak mengeremnya!
”Mari kita turun,” ajak Kiai
Karnawi. ”Kamu bisa membunuhku di sini. Tak usah membuangku ke jurang dengan
mobil itu. Sayang kan,
itu mobil mahal. Nanti bisa dipakai ngompreng bila sampeyan memang berniat pensiun
jadi pembunuh bayaran.”
Baru kali ini ia gemetar. Kiai
Karnawi minta izin untuk sholat terlebih dulu. ”Setelah itu kamu bisa
membunuhku. Tapi tolong, yang pelan. Jangan sampai aku kesakitan ya, hehehe…”
Kiai Karnawi terkekeh. Lalu menggelar sajadah. Ia meraba belati. Gemetar tak
yakin. Lalu meraba pistol yang ia siapkan sebagai cadangan. Ia bisa
menembaknya. Tapi sampai Kiai Karnawi selesai sholat, ia hanya berdiri
gamang.
”Sekarang, lakukan tugasmu.
Mungkin Allah memang memilihku mati di bulan Ramadhan. Alhamdulillah. Kalau
boleh memilih, aku sih inginnya mati dengan cara enak dan nyaman di bulan
Ramadhan. Enggak usah merepotkan sampeyan…,” lalu kembali Kiai Karnawi
tertawa ringan.
Ia merasa senja meremang. Yang
terjadi kemudian lebih serupa bayang-bayang suram. Terdengar letusan. Senyap.
Kelebat bayang burung menyambar. Kemeresek daun jati jatuh. Pelan. Lengking
gagak di kejauhan. Dengung jutaan serangga mengepung. Singup. Seperti ada
jutaan pasang mata yang mengawasinya dari balik rembang petang. Jutaan pasang
mata yang sejak itu terus mengintainya. Berpasang-pasang mata yang
mengingatkan pada orang-orang yang telah dibunuhnya, dan kini memburu
kematiannya.
Ia mulai diusik gelisah. Ia
jadi suka membayangkan kematiannya sendiri. Membuatnya mulai menginginkan
kematian yang tenang. Kematian di bulan Ramadhan. Rasanya tak ada yang lebih
membahagiakan, kecuali mati di bulan Ramadhan. Ia pun kemudian selalu
berharap, diperkenankan mati di bulan Ramadhan.
Dan semoga saja, ia benar-benar
mati di bulan Ramadhan ini. Amin.
Yogyakarta, 2005
|
0 comments:
Post a Comment