Cerpen: Akmal Nasery Basral
Sumber: Nova, Tabloid, Edisi 08/21/2006 Post: 08/22/2006 Disimak: 255 kali
AKU tak menduga hal ini menjadi
masalah penting.
"Aku ingin ada
kelambu," ujarnya perlahan.
"Maaf?" Aku tak yakin
benar-benar mendengar kalimat itu.
"Kamu tak salah dengar. Aku
ingin ada kelambu."
"Kelambu?"
"Ya, di malam perkawinan
kita."
Aku terkesiap, lalu tertawa
lepas. Menggemaskan sekali calon suamiku ini.
"Ada yang lucu?" Air
mukanya serius.
Aku masih tertawa. "Ya,
tetapi tidak logis."
"Di mana tidak
logisnya?"
"Sebab kita belum
membicarakan bentuk kamar pengantin."
"Justru itulah mengapa aku
ingin membicarakannya sekarang."
"Oke, kelambu, di hari
pernikahan kita. Wow, kamu tidak bermaksud mengatakan bahwa…"
"Persis. Itu maksudku."
"Maksudmu kelambu itu juga
akan digunakan pada malam harinya?"
"Ya."
"Hamdan!"
"Kenapa kaget?"
"Karena kau laki-laki. Dan
ide memakai kelambu di malam pertama perkawinan kita adalah…adalah…." Aku
gagal menemukan kata-kata yang tepat untuk menyatakan "betapa tidak masuk
akalnya ide itu di zaman seperti ini."
"Kelambu itu bukan cuma kita
gunakan di malam pertama, juga di malam-malam selanjutnya."
"Apa?"
"Bukankah aku pernah bilang
bahwa aku terbiasa tidur memakai kelambu."
"Aku ingat, tapi aku kira
itu hanya sewaktu kau masih SD."
"Itulah. Kau tetap saja
tidak mendengarkan. Sampai kuliah, bahkan setelah bekerja sekarang, aku masih
tidur seperti itu."
"Kau pernah menceritakan itu
memang. Kukira kau hanya ingin melucu."
Hamdan bertahta di hatiku sejak
setahun silam. Aku bertemu dengannya di sebuah konter penjualan DVD di sebuah
pusat belanja. Saat itu aku sudah berulang kali mengaduk-aduk film di kotak kayu
besar bercat cokelat.
"Ada yang bisa
kubantu?" Suara seorang lelaki membuyarkan pencarianku. Aku mencari asal
suara: sang pemilik konter. "Aku lihat kamu belum menemukan satu pun
film?"
"Betul. Ada saran film apa
yang sebaiknya aku tonton? Bukan cuma hiburan, tapi yang bisa mengembangkan
wawasan."
"Kamu sedang resah?"
"Entahlah, belakangan ini
aku selalu memikirkan orang tuaku."
"Boleh aku tahu pekerjaan
mereka?"
"Keduanya dosen."
"Sebentar." Tubuhnya
berbalik mencari-cari sesuatu di tumpukan DVD. "Ah, ini dia." Ia
mengangsurkan sebuah film, Madadayo.
"Tentang apa ini?"
"Film yang menyenangkan
hati. Lebih baik kau tonton sendiri."
"Terima kasih." Aku
membuka dompet dan menjulurkan uang.
"Tidak usah, kamu tonton
saja dulu. Kalau bagus, bayar Minggu depan."
Tak bisa kujelaskan betapa
beruntungnya aku bisa menonton film yang luar biasa mengharukan itu. Sebuah
film tentang bagaimana seorang dosen yang sudah pensiun masih terus dihormati
oleh bekas muridnya, sampai ke anak cucu mereka. Minggu berikutnya, aku sudah
di konter itu lagi. Hamdan tersenyum melihatku. "Bagaimana filmnya?"
"Indah sekali. Aku datang
dengan tangan hampa, kau memberiku mutiara."
"Syukurlah."
"Berapa harganya?"
Hamdan tak mau menerima uangku.
Ia malah menjadi konsultan untuk mencari film-film yang bahkan judulnya pun tak
kuketahui. Aku hanya berkata, "Aku ingin film seperti ini…" Dan ia
akan membawakan film tertentu, yang setelah aku tonton, persis seperti yang aku
inginkan.
Hamdan hanya menjaga konter DVD
di hari Minggu. Di hari lain, ia pengajar pascasarjana di sebuah sekolah
ekonomi swasta. Ia bilang, hobinya terhadap film baru muncul ketika bersekolah
di Chicago. "Di sana ada festival yang diselenggarakan kritikus film Roger
Ebert terhadap film-film yang diabaikan orang. Overlooked film. Aku tak pernah
sekali pun absen menonton," katanya satu ketika.
Aku mengerti sekarang mengapa ia
menginginkan kelambu di hari pernikahan kami. "Hamdan, ide kelambu ini kau
dapat dari sebuah film bukan?"
"Tidak. Itu bagian dari
diriku yang harus kamu ketahui."
"Bukankah setelah menikah,
seharusnya aku menjadi kita?"
Aku tak bisa membayangkan betapa
anehnya harus tidur berkelambu. Itu hanya pernah aku jalani sampai kelas 2 SD.
Hamdan menatapku lembut. "Menjadi kita, bukan berarti semua harus seragam.
Keunikan yang menjadi identitasmu dan aku sebelum menikah biar saja seperti apa
adanya."
"Aku mengerti. Begini saja,
kelambu itu ada pada siang hari perkawinan, pada saat keluarga melihat bentuk
kamar pengantin. Tapi setelah malam turun, aku tak ingin kelambu itu
digunakan."
"Itu tidak baik. Aku ingin
semua dimulai dengan kejujuran."
"Kalau begitu aku jujur. Aku
tak bisa tidur dengan kelambu, Hamdan. Aku merasa seperti ikan yang
terperangkap jaring nelayan. Perasaan itu bahkan sudah aku ketahui sejak kelas
2 SD, ketika aku menolak menggunakan kelambu yang dipasang orang tuaku."
"Aku tak bisa tidur tanpa
kelambu. Kau harus tahu itu."
"Termasuk ketika kau kuliah
di Chicago?"
Hamdan mengangguk.
"Di asrama? Teman-temanmu
tahu itu?"
Tetap mengangguk.
"Apakah tak ada yang merasa
aneh karena itu atau, maaf, malah meledekmu?"
Hamdan menggeleng. Astaga!
***
AKU tak menduga hal ini menjadi
masalah penting.
"Aku ingin ada
kelambu," ujarku perlahan.
"Maaf?" Ia seperti tak
yakin benar-benar mendengar kalimatku.
"Kamu tidak salah dengar.
Aku ingin ada kelambu."
"Kelambu?"
"Ya, di malam perkawinan
kita."
Ia terlihat terkesiap, lalu
tertawa lepas. Menggemaskan sekali calon istriku ini.
"Ada yang lucu?" Air
mukaku serius.
Ia masih tertawa. "Ya,
tetapi tidak logis."
"Di mana tidak
logisnya?"
"Sebab kita belum
membicarakan bentuk kamar pengantin."
"Justru itulah mengapa aku
ingin membicarakannya sekarang."
"Oke, kelambu, di hari
pernikahan kita. Wow, wow, kamu tidak bermaksud mengatakan bahwa…"
"Persis. Itu maksudku."
"Maksudmu kau ingin kelambu
itu juga digunakan pada malam harinya?"
"Ya."
"Hamdan!"
"Kenapa kaget?"
"Karena kau laki-laki. Dan
ide memakai kelambu di malam pertama perkawinan kita adalah…adalah…."
Anjali tak melanjutkan
kata-katanya. Aku selalu suka melihatnya dalam kondisi ini, ketika legam
matanya berpendar seperti danau jernih yang memanggil penduduk hutan untuk
berkumpul di tepinya.
Anjali bertahta di hatiku sejak
setahun silam, ketika ia sedang mengaduk-aduk koleksi konter DVD milikku.
Wajahnya gundah. Biasanya aku sebal melihat calon pembeli hanya mengaduk-aduk
serampangan. Tapi kali ini aku tak bisa kesal melihat mata kelinci di depanku
yang pikirannya sedang mengembara itu. Wajahnya mirip pemeran utama film
Monsoon Wedding karya Mira Nair. Pipinya padat lembut berwarna cokelat martabak
dan menyebarkan harum meruap. Aku mendekatinya. "Ada yang bisa
kubantu?"
Wajahnya terangkat mencari asal
suara, sebelum menatap lurus kepadaku. Detik itu aku yakin perempuan ini akan
menjadi ibu dari anak-anakku. Jangan tanya bagaimana aku bisa tahu, apalagi
mengaitkan dengan profesiku sebagai dosen Ekonomi Internasional.
Anjali adalah peranakan dari ayah
berdarah Iran dan ibu India, yang sudah tinggal dua generasi di Indonesia.
Seperti kebanyakan peranakan, kecantikannya muncul secara khas. Namun, yang
lebih menyenangkan adalah ia seorang pendengar yang baik, dan pembicara yang
hebat. Ia penyeimbang sempurna dari sikapku yang kaku.
Sekarang aku tak mengerti,
mengapa Anjali yang pandai dan selalu bisa menemukan sisi baik dari setiap hal
merasa heran dengan ihwal kelambu ini. Aku bahkan merasakan ia agak tertekan.
"Aku tak bisa tidur tanpa
kelambu," kataku. Aku harus mengatakan hal ini sejujurnya sejak hari
pertama perkawinan kami. Aku selalu tenteram melihat jaring-jaring lembut
berwarna putih itu menjelang hilangnya kesadaranku memasuki alam tidur. Aku
selalu menyisakan sedikitnya 10 menit untuk menatap lubang-lubang kecil kelambu
sebelum terlelap. Aku membayangkannya seperti jaringan sel yang melindungi
janin di rahim. Itulah saat-saat pendek yang membuatku merasa dalam kandungan
ibu, wanita tercinta yang tak pernah kurasakan belai dan kecupnya karena beliau
wafat saat melahirkanku.
Suara Anjali menyadarkanku.
"Termasuk ketika kau kuliah
di Chicago?"
Aku mengangguk.
"Di asrama? Teman-temanmu
tahu itu?"
Tetap mengangguk.
"Apakah tak ada yang merasa
aneh karena itu atau, maaf, malah meledekmu?"
Aku menggeleng.
AKU tak menduga hal seperti ini
menjadi masalah penting. Mereka berdua berbisik. "Maadha kai*?"
Kudengar Anjali mendesis. Entah apa persisnya, telinga tuaku sulit mendengar
dengan jelas.
"Madadayo**." Hamdan menjawab
tak kalah lirih. Paling tidak kata seperti itulah yang kudengar. Wajah Hamdan
terlihat serius. Bibirnya hampir tak bergerak saat menyebutkan kalimat itu.
"Jadi begini Bunda,"
Anjali meremas tanganku, tampaknya ia sedang berusaha agar aku tak khawatir.
"Kami sudah siap menikah, hanya saja …" Anjali memandang Hamdan. Yang
ditatap berkomentar pendek. "Masih ada satu hal yang harus kami diskusikan
lagi, Bunda."
Yang aku sukai dari pemuda ini
adalah ketulusan suaranya saat memanggilku Bunda. Aku tahu ibunya meninggal
saat ia dilahirkan. Tapi Hamdan sungguh-sungguh memperlakukanku sebagai seorang
ibu, yang dalam beberapa hal, bahkan lebih intens ketimbang yang ditunjukkan
Anjali.
"Boleh Bunda tahu masalah
kalian?"
Mereka terdiam. Aku tak mendesak.
Segala sesuatu ada waktunya. Termasuk untuk memberikan sebuah jawaban.
"Kami … " Anjali
meremas tangannya. "Kami masih belum sepakat soal kelambu, Bunda."
Seribu pertanyaan muncul di ujung
mulutku mencari jalan keluar. Tiba-tiba aku merasa begitu renta, tak mengerti
anak-anak sekarang. Kubiarkan bibirku terkunci. Ini hidup mereka, ini perahu
yang sedang mereka persiapkan untuk mengarungi samudera kehidupan. Biarlah
mereka sendiri yang memutuskan bentuk biduk yang mereka inginkan.
"Bunda tidak marah?"
Suara Hamdan terdengar seperti seorang anak kecil yang sedang belajar
menggenggam sebutir telur.
Aku menggeleng, mencoba
tersenyum. Namun di dalam hati, tetap saja aku bingung. Aku tak menduga hal
seperti ini bisa menjadi masalah penting. Begitu penting. * * *
Keterangan:
* Maadha kai
** Madadayo
Dua kata ini muncul beberapa
kali, dan menjadi esensi film Madadayo (Akira Kurosawa).
= Belum? = Sudah siap?
* * *
0 comments:
Post a Comment