Post: 03/13/2006 Disimak: 120 kali
Cerpen: Antoni
Sumber: Jawa Pos, Edisi 03/12/2006
9 DESEMBER 1996. Jakarta hujan
deras. Simpang empat Tugu Pancoran banjir. Airnya meluap memenuhi trotoar.
Beberapa mobil dan motor yang terjebak, dibiarkan terbengkelai oleh pemiliknya.
Tampak sebuah derek, sibuk menarik sedan mewah built up Jerman, ke selatan. Di
tikungan jalan, mesin derek itu terbatuk-batuk, seperempat knalpotnya sudah
terendam air. Hampir saja macet. Namun sejurus kemudian, melaju lagi.
Sedan hitam antipeluru itu
kosong. Beberapa menit lalu, pengemudi dan dua penumpangnya dijemput sekelompok
orang bermantel panjang, berhelm kaca, lalu dilarikan ke gedung perkantoran
tidak jauh dari lokasi. Kedua penumpangnya, seorang lelaki paruh baya dan
pemuda berambut sebahu, langsung dibawa ke helipad di atap gedung. Mereka diterbangkan
helikopter menuju hotel bintang lima, di kawasan Sudirman.
Orang-orang yang ada di shelter
bis kota tidak sempat memperhatikan seluruh kejadian itu. Pikiran mereka
tersita oleh hujan, yang dirasa, begitu mendadak datangnya. Petir
menyambar-nyambar. Halilintar menggelegar. Membelah langit Jakarta. Sayup-sayup
di kejauhan terdengar bunyi ledakan. Ternyata, mobil derek dan sedan hitam tadi
meledak! Jaraknya cuma 75 meter dari tikungan yang sempat dilewati.
"Cuaca yang sangat tidak
bersahabat," sapa seorang wanita muda. Tergopoh-gopoh. Menyambut lelaki
dan pemuda itu, setelah helinya mendarat.
Lelaki itu tersenyum. Wanita
cantik berseragam resmi dengan logo bulat kecil di krah baju kirinya itu segera
mengiring jalan lelaki itu sambil memayunginya dengan payung besar. Pemuda yang
bersamanya berlari kecil di belakang. Mereka bergegas melintasi atap bangunan
hotel 25 lantai di jantung metropolitan Jakarta. Waktu menunjukkan pukul 12
siang. Suhu udara 20 derajat Celcius. Hujan masih mengganas.
"Sir, dua jam lagi manuskrip
seluruh kegiatan agen di Asia Pasifik akan tiba. Kurir mengirim dari Subec
dengan pesawat khusus. Mereka sudah berangkat setengah jam lalu," wanita
itu bicara panjang lebar, sesaat setelah mereka memasuki ruangan khusus, di
sayap kanan hotel.
Orang yang dipanggil Sir
mendengarkan secara seksama. Lalu ia memanggil pemuda tadi. Memintanya membuka
kopor metal antipeluru yang ditentengnya. Mini laptop berwarna perak
dikeluarkan. Juga beberapa keping CD. Ia menghidupkan laptop. "Son,"
ujarnya kepada pemuda itu, "perjalanan kita tadi sedikit terganggu. Coba
kontak kedutaan, kita ingin tahu siapa yang memesan detonator bom waktu dari
pasar gelap pada minggu terakhir ini."
Son keluar ruangan. Ia pindah ke
ruang sebelah. Pemandangan Jakarta terlihat jelas. Stadion olahraga, gedung
pencakar langit, dan jalanan macet jadi terlihat seperti sebuah lukisan modern
art. Mereka memang menyewa salah satu apartemen di kondominium hotel tersebut.
Dalam data administrasi, pekerjaan mereka: brooker bidang keuangan. Bekerja
pada sebuah perusahaan finance multinasional di England. Fokus mereka adalah
pengusaha nasional yang membutuhkan dana dari luar negeri. Pernah juga membantu
pemerintah untuk mengurus dana dari Bank Dunia.
Son mengontak kedutaan dan
meminta salah satu agennya datang ke lobi hotel. Dari kejauhan Son mengamati
lebih detail kota Jakarta. Ia bisa memperkirakan asap yang membubung di balik
gedung-gedung beton itu berasal dari sedan yang ditumpanginya tadi.
Pagi tadi, mereka melakukan
perjalanan ke Bogor. Ada pertemuan kecil dengan beberapa pengusaha agrobisnis
dan informan di sana. Satu-satunya kemungkinan detonator bom waktu ditempelkan
ke bodi bawah sedan itu, pada saat ditinggalkan di pinggir jalan. Sopir
terpaksa ikut mereka karena harus mengangkat beberapa peralatan elektronika
yang diperlukan.
Mereka berjalan beberapa ratus
meter menuju tanah kosong, tempat pertemuan dilangsungkan. Areal tanah seluas
20 hektare itu memang sangat ideal untuk dijadikan tempat bertukar informasi.
Tinggal berjalan ke tengah, maka alat penyadap dari agen lain tidak berfungsi.
Apalagi mereka juga menggunakan alat pengacak suara.
Alat sadap terbaru punya daya
jangkau 200 meteran. Sementara titik pusat ngarai itu lebih dari 600 meter
jaraknya dari jalan. Di samping arah angin tidak teratur, lokasinya memang
terbuka. Tidak ada perdu atau pepohonan yang bisa dijadikan tempat
persembunyian. Jadi, memang sebuah areal yang sangat terlindung.
Jika tidak di lokasi itu Son
biasanya memilih pertemuan di tengah padang golf atau naik perahu sambil
memancing di Kepulauan Seribu. Di kedua tempat itu, segala jenis alat sadap
langsung blank.
Pemuda berusia 29 tahun itu
kembali lagi ke ruang utama. Wanita tadi sudah tidak di sana. Son memberi tahu
atasannya akan ke lobi menemui agen kedutaan. Lelaki berusia 70-an, tinggi
kurus, berwajah tirus, berkacamata dan selalu membawa tongkat itu berdiri dan
menepukkan tangannya ke bahu Son. Di meja, laptop dan kopor metal sudah tidak
ada. Son memperkirakan, Jones, wanita berseragam itulah yang membawanya keluar.
Son sedikit gelisah.
"Sir!" Son memperbaiki
sikap berdirinya, saat lelaki itu berdiri tepat di hadapannya. Di tangan
kanannya tergenggam sebuah compact disc. Ia menaik-turunkan tangan kanannya
sambil melihat ke Son. Wajahnya yang biasa serius, terlihat galau. Dari sorot
matanya tampak lelaki itu sedang berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa Son
anak didiknya itu tidak mungkin melakukan pengkhianatan.
"Jangan cemas laptop tadi
sudah kosong. Seluruh data ada di sini," lelaki itu menaik-turunkan
tangannya lagi.
"Son, kali ini kita tidak
cuma mengumpulkan data. Siang nanti, tepat jam dua, kitalah yang akan mengambil
manuskrip itu. Mendahului pihak kedutaan," ujarnya.
Lelaki itu juga menambahkan,
"Bravo itu mendarat di Soekarno-Hatta pada jam yang sama. Operasi ini
sudah tercium pihak lain. Tujuh orang tidak dikenal akan ikut
"menyambut" kedatangan agen kita."
Son berusaha menyelami seluruh
perintah atasannya itu. Ia cukup heran, soal bom sudah tidak disinggung lagi.
Sebelum berlalu Son sempat melihat stempel merah tertempel pada CD. Stempel
yang hanya dikeluarkan oleh duta besar.
"Izin turun, Sir…" Son
memberi hormat sebelum beranjak pergi.
Lobi hotel itu tergolong luas.
Kapasitasnya 200 orang. Son mengedarkan matanya ke sudut-sudut lobi. Ia tidak
bisa berlama-lama. Waktunya tinggal sedikit. Ia harus sampai bandara, paling
tidak 20 menit lebih awal. Saat ini ia masih punya waktu 110 menit. Perjalanan
ke bandara lamanya satu jam. Itu pun kalau jalanan tidak macet. Sempat terlintas
di benak Son untuk mengontak kedutaan dan request helikopter lagi. Namun niat
itu ia urungkan.
Son menenangkan dirinya. Ia
berdiri di dekat bar yang terletak di sisi kanan lobi pada koridor menuju
toilet. Orang kedutaan yang dikontaknya belum terlihat batang hidungnya.
"Jika 5 menit tidak muncul, aku segera ke bandara," gumam Son.
Manuskrip yang akan diambil Son
adalah manuskrip terlengkap. Isinya laporan kegiatan mata-mata di seluruh
negara kawasan Asia-Pasifik. Laporan-laporan itu dikumpulkan selama 25 tahun.
Lalu dipublikasikan secara terbatas.
Keterlibatan dinas rahasia asing
dalam sebuah negara memang sudah bukan rahasia lagi. Kegiatan intelijen yang
mereka lakukan jelas-jelas sudah terdeteksi oleh negara bersangkutan. Namun
selama ini tidak pernah dapat dibuktikan. Di Indonesia, dinas rahasia asing
malah terlibat langsung dalam revolusi fisik dan pembasmian ideologi komunis
pada 1965.
Pada saat komunis runtuh
--seiring Perestroika dan Glas Nost yang dicanangkan Gorbachev di USSR
(sekarang Rusia), maka adu kekuatan dan perebutan pengaruh dengan negara
adidaya Amerika mengendur untuk beberapa saat. Perang intelijen di seluruh
dunia, yang lebih dikenal sebagai perang dingin AS-Rusia, diperkirakan bakal
berakhir. Di atas kertas, perang itu memang sudah berakhir. Namun dalam
kehidupan politik sehari-hari segala sesuatunya masih berjalan seperti pada
hari-hari kemarin.
Son tidak bisa menebak kenapa
dinas rahasia menginginkan manuskrip itu. Andaikata jatuh ke tangan kedutaan
pun toh besoknya juga akan dipublikasikan di media massa. Ia memang pernah
mendengar rencana restrukturisasi negara-negara di kawasan Asia Timur dan
Tenggara. Tapi fokus operasi hanya pada daya perekonomian masing-masing negara.
Dinas rahasia tidak terlibat langsung. Pusat sudah memakai seorang spekulan
besar, ahli bursa saham, berkebangsaan Yahudi untuk "memainkan" Wall
Street-New York. Juga bursa efek lain seperti Hang Seng (Hongkong), Nikkei
(Jepang), Jakarta, dan Tiongkok. Dan, memang terbukti, mata uang masing-masing
negara akhirnya anjlok.
"Apakah rezim yang sudah
berkuasa sampai enam kali pemilu ini masih terlalu kuat," batin Son.
Ia sempat berpikir. Operasi hari
ini adalah operasi terbesar pada sebuah negara. Dalam arti: sebuah operasi
untuk menggulingkan kepala negara! Seluruh formulasi yang harus dijalankan
mungkin saja sudah tertuang pada manuskrip yang akan dijemputnya jam dua nanti.
Son tahu, tidak mungkin dinas rahasia merekayasa sebuah kudeta berdarah.
Risikonya terlalu besar. Bisa-bisa mereka berurusan dengan Badan Amnesti
Internasional.
Dengan cara apa pusat
merealisasikan rencana penggulingan itu?
Son meninggalkan lobi hotel. Ia
menganggap agen kedutaan batal datang. Sampai akhirnya ada yang menepuk bahu
kirinya. Son sedikit terkejut. Sopir sedan tadi sudah berjalan di sampingnya.
"Tidak ada yang memesan bahan peledak dalam minggu ini," ujar sopir
berkebangsaan Indonesia itu.
Son betul-betul terkejut. Tidak
mungkin pusat menggunakan "orang luar" sebagai agen resmi. Apalagi
untuk hal-hal penting seperti pasar gelap senjata dan bahan peledak. Dan,
bahkan, sampai terlibat penuh dalam setiap perjalanan kedinasan. Sopir itu
berjalan cepat.
"Kita harus sampai bandara
20 menit sebelum pesawat itu mendarat…," ujar sopir itu lagi.
Son betul-betul sudah kehilangan
akal sehatnya.
"Who are you?!"
"Teman," jawab sopir
itu singkat.
Langit Jakarta mulai bercahaya. Hujan
sudah berhenti. Kedua orang itu mengendarai jip Cherokee dengan kecepatan
tinggi menuju Bundaran HI. Lalu belok ke kiri, masuk Hotel Indonesia. Son
meyakinkan dirinya, ia ada di jalan yang benar. Atasannya memang sangat
terselubung jika memberi perintah-perintah penting. Seluruh peristiwa yang
terjadi dianggap Son sebagai bagian teka-teki intelijen yang harus dipecahkan.
Yang tidak dimengerti Son, kenapa tugas besar ini dipikulnya sendirian?
Jip diparkir di basement. Mereka
berlari kecil menaiki anak tangga khusus karyawan, lalu pindah ke lift.
Beberapa karyawan yang berpapasan keheranan melihat perilaku mereka. Son
mengedarkan senyumnya. Mereka naik ke helipad di atap HI.
"Nice to meet you,
Sir," pilot heli menyampaikan salamnya. Son jadi jengah karena pilot itu
Jones! Masih dalam atribut resmi. Jones tersenyum manis sekali.
Waktu menunjukkan pukul 13.30
ketika mereka tiba di bandara. Jones melakukan beberapa kontak dengan petugas
tower. Heli itu sudah memiliki tempat parkir khusus di Soekarno-Hatta,
terdaftar atas nama seorang pengusaha minyak. Satu pesawat kecil jenis Cesna
sudah parkir terlebih dulu di sebelahnya. Jones memberi kode kepada pilot Cesna
yang masih duduk di cockpit. Son dan sopir itu memperbaiki duduknya. Pintu heli
dibuka agar tidak memancing kecurigaan petugas bandara.
Tepat jam dua! Bravo hitam
mendarat. Lima meter jaraknya dari mereka. Jones dan Son bergegas turun. Sopir
tadi pindah ke cockpit. Jones berdiri tegap. Menunggu pintu dibuka. Agen itu
turun. Jones memberi hormat dan menyampaikan beberapa kata sandi. Manuskrip
yang diberi pelindung kotak metal itu pun diserahkan kepada Jones. Jones
menyerahkannya lagi kepada Son. Mereka pun berpisah. Jones naik ke Bravo, mengambil
alih kemudi. Agen itu duduk di belakangnya. Semua terkesan lancar. Bravo
kembali mengangkasa.
Son berbalik. Menuju heli yang
tadi mengantarnya. Tiba-tiba dua orang menyergapnya, membawanya ke Cesna. Son
tidak melawan. Dari kejauhan, beberapa orang berlarian, mengejar mereka sambil
menembaki Son. Tampak juga trailer kargo datang dengan kecepatan tinggi ke arah
mereka. Peluru berdesingan. Badan helikopter itu jadi sasaran tembak. Sopir
tadi segera menghidupkan mesin heli, namun baling-balingnya tidak mau berputar.
Tujuh orang yang memburu mereka jaraknya semakin dekat. Tapi Son berhasil
diselamatkan. Sudah masuk ke kabin Cesna.
Mereka segera memacu pesawat itu
di landasan. Beberapa menit kemudian melesat ke angkasa. Menikung di langit, 48
derajat ke barat. Son memantau dengan teleskopnya. Sopir tadi akhirnya dipaksa
turun dari heli, digelandang oleh pengejarnya. Sopir itu ditembak, dimasukkan
ke salah satu kotak, di trailer kargo. Mereka pun lari berhamburan.
Matahari Jakarta bersinar
menyilaukan. Son membuka kotak metal itu, memasukkan manuskrip ke laptop yang
dibawanya. Seluruh data digandakan. Sekilas terlihat laporan mata-mata di
Indonesia. Di situ terpampang tulisan dengan berbagai sandi. Di akhir kalimat
tercantum perintah singkat: Reformasi. ***
0 comments:
Post a Comment