Cerpen: Agus Noor
Post: 01/12/2006 Disimak: 122 kali
Sumber: Media Indonesia, Edisi 01/08/2006
ROMBONGAN sirkus itu muncul ke
kota kami....
Gempita tetabuhan yang menandai
kedatangan mereka membuat kami--anak-anak yang lagi asyik bermain
jet-skateboard--langsung menghambur menuju gerbang kota. Rombongan sirkus itu
muncul dari balik cakrawala. Debu mengepul ketika roda-roda kereta karnaval
berderak menuju kota kami. Dari kejauhan panji-panji warna-warni terlihat
meliuk-liuk mengikuti musik yang membahana. Dan kami berteriak-teriak gembira,
"Sirkus! Sirkus! Horeee!!!"
Sungguh beruntung kami bisa
melihat rombongan sirkus itu. Mereka seperti nasib baik yang tak bisa diduga
atau diharap-harapkan kedatangannya. Rombongan sirkus itu akan datang ke satu
kota bila memang mereka ingin datang, menggelar pertunjukan semalam, kemudian
segera melanjutkan perjalanan. Rombongan sirkus itu layaknya kafilah pengembara
yang terus-menerus mengelilingi dunia, melintasi benua demi benua, menyeberangi
lautan dan hutan-hutan, menembus waktu entah sejak kapan.
Kisah-kisah ajaib tentang mereka
sering kami dengar, serupa dongeng yang melambungkan fantasi kami. Banyak yang
percaya, sirkus itu ada sejak mula sabda. Merekalah arak-arakan sirkus pertama
yang mengiringi perjalanan Adam dan Eva dari firdaus ke dunia. Mereka legenda
yang terus hidup dari zaman ke zaman. Ada yang percaya. Ada yang tidak. Karena
memang tak setiap orang pernah melihatnya. Sirkus itu tak akan mungkin kau
temukan meskipun kau telah tanpa lelah terus memburunya hingga seluruh ceruk
semesta. Bukan kau yang berhasil menemukan rombongan sirkus itu. Tapi merekalah
yang mendatangimu. Dan itulah keberuntungan. Merekalah sirkus gaib berkereta
nasib. Kau hanya dapat berharap diberkahi bintang terang untuk bisa melihatnya.
Banyak orang hanya bisa mendengar gema gempita suara kedatangan mereka
melintasi kota, tapi tak bisa melihat wujudnya. Orang-orang yang tak diberkati
keberuntungan itu hanya mendengar suara arak-arakan mengapung di udara yang
makin lama makin sayup menjauh....
Beruntunglah siapa pun yang
dikaruniai kesempatan menyaksikan bermacam atraksi dan keajaiban sirkus itu.
Menyaksikan para hobbit bermain bola api melintasi tali, centaur dan minotour,
mumi Tutankhamun yang akan meramal nasibmu dengan kartu tarot; peri, Orc,
Gollum, unta yang berjalan menembus lubang jarum; mambang, kadal terbang
Kuehneosaurus - bermacam makhluk yang kau kira hanya bisa kau temui dalam
dongeng.
Kami belum pernah melihat sirkus
itu. Tapi kami yakin kalau yang muncul dari balik cakrawala itu memang
rombongan sirkus yang melegenda itu. Kami bisa mengenali dari riang rampak
rebana dan lengking nafiri yang menyertai kemunculannya. Gempita tetabuhan itu
bagai muncul dari kenangan kami yang paling purba.
Rasanya, di kota kami, hanya satu
orang yang pernah melihat sirkus itu. Peter Tua yang tak henti bercerita,
bagaimana lima tahun lalu ketika ia berada di New Orleans--sehari setelah kota
itu dilanda badai Katrina untuk kesekian kalinya--ia menyaksikan rombongan
sirkus itu muncul dan waktu seperti beringsut mundur: mendadak semua benda
porak-poranda yang dilintasi rombongan sirkus itu langsung untuk kembali.
Reruntuh puing rumah perlahan saling rekat, gedung-gedung yang roboh kembali
tegak, debu lengket pada dinding, lumpur surut ke sungai, kaca-kaca pecah jadi
utuh seperti sediakala. Peter Tua selalu menceritakan peristiwa itu dengan mata
menyala-nyala.
Dan kini, betapa beruntungnya,
rombongan sirkus itu singgah di kota kami.
***
SEKETIKA, kami--seluruh warga
Oklahoma--berjajar sepanjang jalan mengelu-elukan rombongan sirkus yang
bergerak pelan memasuki kota. Kami menyaksikan selusin kurcaci menari-nari di
atas kereta karavan, singa berambut api yang rebahan setengah mengantuk di
kandang. Dan itu…, lihat! Dumbledore! Memakai jubah dan topi penyihir warna
ungu gemerlapan, berkacamata bulan separuh, tersenyum melambai-lambaikan
tangan. Konfeti serangga mendadak berhamburan. Semua orang bersorak riang.
Karnaval keajaiban terus mengalir. Badut-badut. Penari ular. Putri duyung
berkalung mutiara air mata. Astaga, kami bahkan menyaksikan Hippogriff,
unicorn, Aragog, burung phoenix yang lahir kembali dari abu tubuhnya, beberapa
ekor pixie mungil, Dementor yang telah dijinakkan, serimbun perdu wolfsbane
yang terus melolong--lolong, bola Bludger, sapu terbang Nimbus--semua yang
bertahun lampau hanya bisa dibaca di buku cerita klasik Harry Potter.
Kemudian kami melihat raksasa
troll berkepala empat, yang tiap kepala menghadap ke satu penjuru mata angin,
beruar-uar sambil memukuli canang, "Saksikan! Keajaiban manusia terbang!
Grrhhhhh.... Terbang! Manusia terbang! Manusia terbang! Saksikan!
Grrhhhh...."
Kami bersorak. Kami bersorai.
***
INILAH malam paling menakjubkan
dalam hidup kami yang fana. Kami memenuhi tenda raksasa, yang sepertinya
tiba-tiba sudah berdiri begitu saja di tengah kota. Keriangan mengalir seperti
cahaya yang menjelma sungai fantasi. Bermacam akrobat atraksi pertunjukan
membuat kami seperti tersihir, seakan-akan kebahagiaan ini tak akan pernah
berakhir. Lima kuda sembrani berputaran. Kembang api naga. Kungfu pisau
terbang. Bayi bersayap jelita. Kami begitu diluapi ketakjuban dan berharap
semoga semua keajaiban yang kami saksikan tak akan pernah berakhir, ketika
seorang gipsi tua tukang cerita muncul ke tengah arena.
"Saya akan menghantar Anda
ke pertunjukan utama. Keajaiban yang kalian nanti-nantikan. Tapi, terlebih
dulu, izinkan hamba bercerita."
Ia merentangkan tangan, hingga
semua terdiam.
"Dari zaman ke zaman sirkus
kami memperlihatkan bermacam keajaiban, yang hamba harap, bisa memberi sedikit
pencerahan. Apalah guna keajaiban, bila semua itu tidak membuat Anda jadi makin
menyadari betapa mulia dan berharganya hidup ini. Seperti yang terjadi pada
manusia terbang ini. Kami menemukannya bertahun lalu, selepas melintas Samudra
Hindia. Kami tiba di Flores, Nusa Tenggara. Dan kami melihatnya,
makhluk-makhluk malang itu! Melayang-layang di antara reruncing stalaktit gua
kapur Liang Bua. Kami mula-mula menduga, itu kalong raksasa." Gipsi tua
itu sejenak menarik nafas dalam-dalam, sampai kemudian ia menghembuskannya
sembari berteriak, "Ternyata manusia!"
"Aku tahu!" seorang
penonton berteriak memotong, "Itu pasti Homo Floresiensis."
Gipsi tua itu tersenyum sabar,
"Ini spesies Homo sapiens yang lebih modern. Kita tahu, sampai saat ini
tak ada satu manusia modern pun yang bisa terbang. Kecuali dengan bantuan
mesin. Namun, kali ini Anda akan menyaksikan sendiri manusia-manusia yang bisa
terbang melayang-layang!! Selamat menyaksikan...."
Musik membahana. Cahaya tumpah ke
arena. Dari kotak-kotak yang mulai terbuka perlahan bermunculan tubuh-tubuh
yang begitu ringan, seperti ular keluar dari keranjang. Tubuh-tubuh itu
melenting ringan, mengapung mengambang seperti balon gas yang membumbung. Di
pinggang mereka ada sabuk berkait yang diikat sejuntai tali, di mana masing-masing
tali itu dipegangi satu orang kate bertopi kerucut. Sesekali ada yang
membumbung sampai nempel di langit-langit tenda, dan segera orang kate yang
memegangi tali itu menariknya turun. Orang-orang kate itu berlarian
berputar-putar, persis kanak-kanak yang gembira dengan balon warna-warni di
tangan mereka.
"Kami terpaksa mengikat
mereka. Bila tidak, mereka akan membumbung terusss..., lenyap ke langit.
Mungkin ke surga. Sudah jutaan yang lenyap, seperti generasi yang menguap. Yang
tersisa memilih tinggal di gua-gua. Di situlah, kami menemukan mereka...."
Gipsi tua itu terus bercerita.
Kami terpana didera kengerian dan
perasaan hampa. Ada yang ganjil dari orang-orang yang melayang-layang itu.
Mulut mereka kosong setengah terbuka. Kulit cokelat-kusam mereka terlihat
seperti buah sawo matang yang mulai membusuk. Sampai kami menyadari,
sesungguhnya mereka tak bisa terbang, tapi hanya melayang-layang. Gerangan
apakah yang membuat mereka jadi seperti itu? Mata mereka penuh kesedihan. Ini
keajaiban ataukah kesengsaraan? Lidah kami pahit, dan kami mulai terisak. Di
barisan depan, gadis-gadis menunduk tak tega. Seorang ibu dengan gemetar
memeluk anaknya. Nenek bergaun hijau terisak sebak. Seperti ada kesenduan yang
pelan-pelan menangkupi kami. Ya, kami, kami disesah kesedihan yang sama. Kami
semua, semua…juga aku! Aku yang turut menyaksikan pertunjukan itu dan
menceritakan semua ini kepadamu.
Aku melirik Mom dan Dad, yang
duduk di sebelahku. Mom mengatup dan memejam. Dad terlihat menahan tangis…
***
ROMBONGAN sirkus itu telah pergi.
Mungkin sekarang di Montana atau Wisconsin atau Toronto atau terus melintasi
Teluk Hudson, Laut Labrador, Green Land sampai Kutub Utara. Tapi aku selalu
terkenang sirkus itu. Teringat manusia-manusia terbang itu: kulit sawo
matangnya, hidungnya yang kecil. Mirip aku.
Aku hanya diam bila kini
teman-teman sekolah sering meledekku. "Hai, lihat itu keturunan manusia
terbang", dan serentak mereka tertawa bila aku melintas. Hanya karena
kulitku cokelat, dan rambutku tak pirang seperti mereka. Aku tak marah, hanya
merasa geli dan agak jijik dipersamakan seperti itu. Rasanya tubuhku jadi
seperti dihuni makhluk ganjil. Mom menegurku, karena belakangan sering melamun.
Kubilang, aku baik-baik saja. Sampai suatu malam Dad mengajakku rebahan di atap
loteng. Agak lama kami hanya diam memandangi bintang-bintang
"Kamu memikirkan
manusia-manusia terbang itu, kan?" Dad menepuk bahuku.
Aku terus diam.
"Baiklah, Nak. Sudah saatnya
kuceritakan rahasia ini padamu. Mereka berasal dari negeri yang telah collapse
puluhan tahun lalu. Negeri yang terus-menerus dilanda kerusuhan. karena para
pemimpinnya selalu bertengkar. Kerusuhan sepertinya sengaja dibudidayakan.
Perang saudara meletus. Flu burung mengganas. Rakyat kelaparan sengsara.
Sementara minyak mahal, dan langka. Orang-orang harus antre dan berkelahi untuk
mendapatkan minyak, juga air bersih dan beras. Pengangguran tak bisa diatasi.
Bangkai terbengkelai. Lebih dari 23 juta balita menderita kekurangan gizi.
Terserang folio, lumpuh layuh, busung lapar. Menderita marasmik kuasiorkor
akut. Otak balita-balita itu menyusut. Terkorak mereka kopong. Perut busung.
Bahkan tak ada akar yang bisa mereka makan. Sebab tanah, hutan, sungai dan
teluk rusak parah tercemar limbah. Karena tak ada lagi yang bisa dimakan,
orang-orang kelaparan itu pun mulai belajar menyantap angin. Bertahun-tahun,
paru-paru dan perut mereka hanya berisi angin hingga tubuh mereka makin
mengembung dan terus mengembung, seperti balon yang dipompa. Jadi begitulah,
Nak. Seperti yang kau lihat di sirkus, mereka sesungguhnya tak bisa terbang,
tapi melayang-layang karena kepala dan tubuh mereka kosong....."
Napas Dad terdengar merendah. Aku
seperti merasa ada yang perlahan pecah dan tumpah.
"By the way..., ada juga
penduduk negeri itu yang bisa menyelamatkan diri. Yakni sebagian kecil mereka
yang pergi mencari jazirah baru dengan menjadi manusia perahu, seperti
orang-orang Vietnam. Terombang-ambing di samudra, dan terdampar menjadi
imigran. Salah satu dari para imigran itu, tak lain ialah kakekmu. Kamu wangsa pendatang,
Nak. That's why your skin not fair and your hair not blond like your friends
that mock you. "
Dad terisak. Aku menatap langit.
Berharap melihat tubuh-tubuh gembung busung itu melayang di antara
bintang-bintang. Semoga, seperti kata gipsi tua itu, mereka memang menuju
surga....
Jakarta, 2005






0 comments:
Post a Comment