Sunday, May 02, 2004
Cerpen Aris Kurniawan
Setelah menghunjamkan belati ke jantung laki-laki
itu menatap dengan mata kosong saat dia mengerjat meregang nyawa, perempuan itu
menyeret dan membuang mayatnya begitu saja ke dalam semak-semak belakang rumah.
Beberapa saat ia menatap tubuh kaku itu tersungkur memeluk belukar. Tubuh yang
semalam lalu masih memberinya kehangatan. Perempuan itu kemudian buru-buru
melucuti seluruh pakaiannya setelah mengepel ceceran darah di lantai, lantas
mandi merendam tubuhnya dengan air hangat dalam bathtub. Hujan masih
rintik-rintik menimpa genting dan daun-daun, suaranya terdengar bagai orkes
malam yang menggores perasaan. Ia menikmatinya sambil meresapi sensasi
kehangatan yang menjalari saraf-saraf sekujur tubuhnya sampai merem melek.
Kini ia telah berpakaian rapi. Bibir mungilnya
dipoles lipstik warna merah jambu.Warna yang cocok untuk menyembunyikan
kegugupan sekaligus kebuasan. Ia tersenyum sendiri di depan cermin, berusaha
meyakinkan diri bahwa perasaannya tetap tenang. Di luar malam begitu hitam
pekat. Angin basah berkesiur menggebrak jendela. Perempuan itu seperti tidak
juga merasa yakin bahwa perasaannya tetap tenang. Di cermin ia menatap wajahnya
yang pucat perlahan menegang, kerut merut kulit wajahnya makin mengeras. Wajah
yang memperlihatkan bermacam keinginan yang tak pernah tuntas. Ia seperti
melihat penggalan-penggalan peristiwa dengan banyak cerita yang kadang terlalu
sulit dimengerti. Perempuan itu lantas menghembuskan nafas dengan berat, seakan
ingin menghempaskan semua yang telah dilakukannya. Apakah sebenarnya yang aku
inginkan dari semua yang sedang terjadi?
Wajah yang menyeringai menahan kesakitan luar biasa
itu beberapa lama bagai nempel di pelupuk matanya. Ketika ia menatap wajahnya
di cermin yang nampak adalah wajah kesakitan itu. Tapi perempuan itu terus
menatapnya dan mencari-cari wajahnya sendiri di balik wajah yang menyeringai
itu. Ia terbiasa untuk selalu berpikir rasional. Ia sudah terlatih untuk tidak
sentimentil. Ia sudah piawai bagaimana menekan perasaan-perasaan kewanitaannya.
Apa saja yang sudah kulakukan untuk hidup yang
runyam ini? Tiba-tiba pertanyaan itu memercik dalam kepalanyanya. Percikan yang
semakin lama terasa semakin besar dan membuat kepalanya berdenyut nyeri. Ya,
hidup macam apa yang tengah kujalanai ini? Apakah ada artinya untuk hidup itu
sendiri? Perempuan itu menatap langit seperti mencari jawaban di sana. Tetapi
langit masih saja kelam dan hampir tak menyisakan harapan. Ia mendesah. Masih
mengiang ucapan laki-laki itu entah beberapa malam yang silam.
"Dasar pelacur. Pergilah sesukamu dan jangan
pernah kembali?"
Ia merasa heran kenapa laki-laki itu merasa punya
hak untuk mengatur hidupnya hanya karena dia telah menikahinya. Pernikahan yang
dulu disangkanya akan dapat memberikan perlindungan bagi kebebasannya justru
telah menjeratnya dalam sangkar yang penuh aturan. Untuk apa lembaga pernikahan
itu? Apakah ia diciptakan memang untuk mengekang kebebasan seseorang?
"Siapakah yang salah?" batin perempuan
itu mendesah. Ia menaikkan krah sweaternya lebih tinggi. Rambutnya yang
keriting panjang dan sedikit pirang dia ikat ke belakang. Lantas menyalakan
rokok, menyedot dan menghembuskan asapnya kuat-kuat. Betapa enaknya hidup ini
bila kesulitan dapat dihembuskan semudah menghembuskan asap rokok, lamunnya.
Dulu sebelum laki-laki itu menikahinya dia sudah
mengajukan beberapa persyaratan. Laki-laki itu sepakat. Kata suaminya
pernikahan bukan untuk menyatukan dua pribadi yang memang tak pernah sama.
"Pernikahan adalah cuma sebuah sarana di mana
orang harus punya komitmen untuk saling memahami, saling mengerti, saling
menghargai. Tidak ada yang lebih berkuasa dan dikuasai di antara dua orang yang
terikat dalam pernikahan. Kedua belah pihak memiliki hak yang sama dalam
mengambil keputusan untuk kepentingan bersama."
Di luar angin tak bersuara. Ia seperti bergerak
mengendap dan berjingkat hendak meninggalkan malam yang bimbang. Perempuan itu
bangkit dan menutup tirai jendela. Jam menunjuk angka dua. Sama sekali ia tidak
mengantuk. Tiap malam ia hampir selalu begadang, membaca, menggunting
tulisan-tulisan koran untuk dokumentasi, menulis novel, puisi, diskusi,
cekikikan bersama teman-temannya yang juga sebenarnya teman-teman suaminya.
Begitulah cara ia memberi makna pada hidup. Sebuah cara yang membuatnya
bergairah memandang kehidupan yang terentang di hadapannya.
Apakah selama ini aku telah salah memaknai hidup?
Benar dan salah, di manakah batasnya? Betapa ruwetnya hidup ini bila harus
selalu dibatasi dengan benar dan salah. Astaga, sialan betul hidup kalau
begitu.
Dua malam lalu dia baru saja menyelesaikan sebuah
novelnya. Mengundang beberapa temannya untuk mendiskusikan di sebuah kafe.
Menelepon pers untuk meliputnya. Acara itu berlangsung cukup meriah. Dia merasa
bahagia. Merasa hidupnya tidak sia-sia. Sebaliknya laki-laki itu menganggapnya
keterlaluan. Semaunya sendiri. Dan menuduhnya telah mengabaikan tugasnya
sebagai perempuan, sebagai istri.
"Kamu telah melanggar hakku sebagai
suami," kata suaminya.
"Dan kamu tidak melanggar hakku sebagai
perempuan?!" balasnya sengit. Aku memang perempuan tapi aku juga punya hak
menentukan pilihan hidupku, pikirnya. Kenapa hanya karena perkawinan seorang
perempuan harus membatasi diri? Tidakkah itu penindasan terhadap hak asasi? Apa
yang membedakan perempuan dan laki-laki sehingga mereka harus dibeda-bedakan
berdasarkan jenis kelamin dalam pekerjaan, peran sosial, dan norma-norma yang
tidak jelas hubungannya itu. Apa memang harus begitu? Siapa yang mengharuskan?
Dari dulu sebenarnya dia bertekad untuk tidak
menikah. Baginya menikah sama saja dengan menyerahkan kebebasannya pada
aturan-aturan yang tidak rasional dan diskriminatif. Dia sudah banyak menulis
cerpen, esai, maupun novel untuk menuangkan gagasan-gagasannya. Dia ingin setia
dengan tulisan-tulisannya. Dia membenci sebagian teman-temannya yang cuma bisa
menulis sementara dalam kehidupan sehari-hari mereka menyerah dan hampir tidak
ada usaha apa pun untuk merombak keadaan yang dikecamnya sendiri. Di matanya
mereka tak lebih dari pembual-pembual nomor satu. Tidak punya komitmen dan cuma
menjual kebohongan-kebohongan untuk menunjang hidupnya. Ya, dia melihat satu
per satu teman-temannya menikah dan meninggalkannya.
"Ya menikah dan berbahagialah kalian bersama
keluarga."
Dia tidak percaya bahwa pernikahan sebagai
satu-satunya cara menjalani kehidupan untuk bahagia. Namun begitulah, dia juga
tidak percaya kenapa kemudian dirinya harus menikah. Semuanya seperti begitu
saja berlangsung. Begitu cepat, begitu tak terkendali. Sampai tiba-tiba dia
mendapati dirinya sebagai ibu rumah tangga yang harus tunduk pada sejumah
aturan. Harus bangun pagi-pagi, menyiapkan sarapan untuk suami, meracik kopi,
mencuci, belanja ke pasar, tawar-menawar dengan penjual sayuran, menyapu
halaman mengepel lantai, menyiram tanaman, bila malam melayani suami di
ranjang. Wejangan-wejangan, nasihat-nasihat?
"Perempuan itu harus pintar masak. Harus
pandai dandan, menjaga badan. Tidak boleh bangun, kesiangan, tidak boleh pergi
sendirian, tidak boleh urakan, tidak boleh melawan tidak boleh?"
Untuk beberapa bulan ia berusaha mengikuti
kebiasaan yang sudah berjalan. Belajar menikmati perannya sebagai perempuan
setia meskipun dalam benaknya tak pernah percaya dengan ide semacam itu.
Menganggapnya lucu. Akhirnya ia memang tidak tahan menahan-nahan kemelut dalam
benaknya sendiri.
Perempuan itu menghempaskan tubuhnya ke sofa,
memandang langit-langit. Di sana ia seakan mencari jalan hidup mana yang harus
ditempuhnya. Tapi semuanya seakan menggelap dan sukar ditebak. Ia bangkit lagi.
Malam kian larut melantunkan kesunyian yang akut. Hujan sudah selesai. Suara
katak yang berirama di luar terdengar sangat merdu bagai datang masa lalu.
Perempuan itu tiba-tiba tersenyum, ada semacam
kecemasan menggelikan yang tiba-tiba menyergapnya. Hidup memang penuh jebakan,
batinnya. Siapakah yang telah memasang jebakan-jebakan itu? Tidakkah manusia
merasa dijebak? Perempuan itu bangkit, lalu berjalan hilir mudik di tengah
ruangan yang seakan bungkam dan tak mau komentar apa-apa. Biasanya ruangan ini
selalu melontarkan komentar-komentar tentang penghuninya. Benda-benda pun
kadang memperhatikan dan mengomentari tindakan manusia. Cara mereka merespons
itulah yang tidak setiap orang merasakannya.
Pada masa remaja ia pernah pacaran dengan beberapa
laki-laki. Ia heran, setiap laki-laki selalu menuntut kesetiaan. Sementara ia
merasa setiap orang tidak harus setia pada seseorang. Setiap orang tidak punya
hak menuntut orang lain untuk setia pada seseorang. Setiap orang lahir untuk
meraih kemerdekaanya masing-masing.
"Apa hakmu memintaku setia? Aku ini orang
merdeka." Begitu selalu kredonya.
Terdengar ayam jantan berkokok. Nampaknya hari
menjelang subuh. Perempuan itu seperti baru tersadar dari tidur, dia tergeragap
dan melangkah cepat-cepat masuk kamar. Ia telah menyiapkan tas besar dan
memasukkan beberapa potong pakaian, buku-buku serta peralatan kecantikan.
Lantas dengan sigap mengenakan sepatu ketsnya yang berwarna putih.
"Aku harus pergi," ucapnya pada diri
sendiri.
Dia bersiap meninggalkan rumah itu tepat ketika
azan Subuh melengking dari sebuah musala tua satu-satunya di kompleks perumahan
itu. Namun hatinya kembali goyah. Ia memandang rumah itu dengan perasaan kosong
yang sulit dijelaskan seperti apa. Diam-diam penyesalan dan rasa salah menyelinap
di benaknya. Makin lama makin membesar. Perasaan yang baru kali itu dialaminya.
Lantas ragu harus pergi ke mana. Lantas ia merasa semuanya tak berguna. Lantas
meraih belati yang tadi digunakan untuk membunuh suaminya, menggegamnya
erat-erat dengan kedua belah tangannya, lantas diangkatnya tinggi-tinggi dan
diayunkannya dengan mantap ke dadanya? ***
Tangerang, 2004
0 comments:
Post a Comment